Вы находитесь на странице: 1из 23

Mahalnya Pendidikan di Indonesia [7/13/2008 03:34:00 AM | 2 comments ]

Tanggal 1 Juli kemarin ketika saya menyaksikan berita di sebuat setasiun televisi lokal Jawa Tengah, hati saya heran plus terharu ketika manyaksikan seorang ibu tua menuturkan mengapa anaknya tidak diterima di sebuah sekolah SLTA Negeri favorit di Semarang, anak saya tidak diterima karena uang pangkal (baca: sumbangan untuk sekolah) kurang besar., tuturnya. Padahal anak dari orang tua tersebut memiliki nilai rata-rata kelulusan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang diterima di sekolah tersebut. (Kok bisa ya? Ya iyalah.. ada uang gitu lho) Uniknya lagi hal yang sama tidak hanya terjadi pada orang tua dan anaknya tersebut, hal yang sama juga dialami oleh anak-nak yang memiliki prestasi tinggi namun secara keuangan mereka kurang mampu. Akhirnya mereka harus memilih alternatif sekolah lain, yang belum tentu cocok dengan keinginan dan mungkin kualitasnya belum tentu sama dengan sekolah-sekolah negeri favorit yang ada. Berdasarkanebut Surat Keputusan Wali Kota Semarang (Sukawi Sutarip) Nomor 6 Tahun 2008, tahun ajaran baru ini sistem penerimaan siswa baru di sekolah negeri Kota Semarang menggunakan dua jalur, yakni jalur khusus dan reguler. Sukawi mengizinkan sekolah memungut sumbangan dari wali murid lewat jalur khusus. Maka sejumlah SMP dan SMA negeri, terutama yang favorit, berlomba mengeruk uang orang tua murid, mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 20 juta (wooow..), sebagai persyaratan penerimaan siswa baru. "Kalau ada wali murid yang mau menyumbang sekolah, masak ya dilarang?" kata Sukawi, Rabu pekan lalu. Kok bisa gitu yaa..? (Anda bingung? sama) Disadari atau tidak oleh oleh yang berujar, apa yang telah dilakukan sebetulnya telah melegalkan segala bentuk pungutan liar oleh sekolah, apa lagi dengan nominal yang begitu besar. Sekolah yang dianggap favorit ramai-ramai kenduri menyantap hidangan yang enak tersebut, siapa yang mau bayar mahal dialah yang bisa masuk ke sekolah kami (mungkin itu kata mereka yaa..). Penggalan cerita dan sedikit uraian di atas tadi sanggat menarik untuk disimak lantaran mengandung dua alasan utama. Pertama, cerita itu sangat "mengharukan" karena hanya dapat ditarik kesimpulan bahwa betapa di negeri ini untuk sebuah bangku sekolah itu harus "dibeli" dengan harga yang mahal, yang tentunya begitu berat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Betapa tidak, untuk memasukkan anaknya ke sekolah pada saat ini orangtua diharuskan

terlebih dahulu membayar uang pangkal Rp 2 jutaan. Bahkan lebih. Itu baru masuk SD. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, uang pangkalnya juga akan semakin tinggi. Bisa mencapai 4 juta hingga 20 jutaa. (Wooow) Dan lagi-lagi, itu baru perkara uang pangkal. Tagihan lainnya yang mencekik leher orangtua adalah SPP yang berkisar antara Rp 150.000 Rp 700.000 per bulan (tergantung status dan favorit tidaknya sebuah sekolah), uang pakaian seragam, uang buku, uang kegiatan, dan tagihan lainnya dari sekolah. Begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan, maka sekolah akhirnya hanya bisa dimasuki mereka yang berduit semata, sedangkan mereka yang berekonomi lemah terpaksa harus gigit jari dan mata melotot melihat mereka yang menikmati ceriahnya bangku sekolah. Kedua, cerita yang sama, juga memberi kita "rasa takjub" sebab ada kegigihan yang luar biasa dari para orangtua untuk menyelamatkan masa depan anak mereka di sebuah tempat bernama sekolah. Bagi orangtua, sekolah tampaknya masih dijadikan tempat yang bisa mengubah nasib anak-anak mereka. Rasa takjub yang sama akan kita saksikan jika kita berlibur di desa-desa pada saat liburan sekolah. Ternyata di sana juga tidak sedikit orangtua yang disibukkan dengan menjual sawah dan berbagai ternak untuk biaya sekolah anaknya. Begitulah kenyataan yang menjadi kalender tetap yang tersembunyi di balik kalender pendidikan nasional kita. Penggalan sedikit cerita itu menghadirkan satu pertanyaan menggelitik; masih adakah sekolah bagi mereka yang miskin dan kurang di negeri ini? Kisah "mengharukan" dan "menakjubkan" di atas sepertinya memperjelas terminologi bahwa "orang miskin di negeri ini dilarang sekolah". Dari hari ke hari kaum miskin makin kehilangan hak-haknya yang telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Kian hari jumlah orang miskin kian bertambah, sedangkan kekuasaan makin menjauh dari mereka. Semenjak neoliberalisme menjadi program utama yang dianut bangsa ini, sejak itu juga orang miskin semakin sulit untuk menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai, dan pekerjaan yang layak. Neoliberalisme sebagai ideologi dunia seolah telah sukses meluluhlantakkan pertahanan hidup orang miskin untuk berpendidikan. Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa pendidikan model pasar telah menjadi mesin produksi yang harus bekerja terus-menerus dengan logika "efektivitas dan efisiensi" untuk menciptakan "generasi intelektual instan" yang serba seragam, termasuk seragam dalam cara pemikirannya. Model pendidikan seperti ini kemudian mengenyampingkan sebuah proses pendidikan yang di dalamnya terdapat titik-titik pencerahan dan pembebasan manusia dari keterkungkungan. Hasil dari proses pendidikan dengan logika efektivitas dan efisiensi itu adalah hadirnya para koruptor dan munculnya manusia yang berwatak kasar. Perlu dipertanyakan kemudian adalah komitmen pemerintah mengenai kebijakan di bidang pendidikan. Selama ini, sangat terasa janggal di mana subsidi pendidikan lebih kecil daripada subsidi militer. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah lebih bangga dan senang dengan kekerasan daripada kecerdasan warga negaranya yang bisa muncul melalui pendidikan. Sekadar perbandingan saja, kalau kita menengok kebijakan Pemerintah Republik Rakyat China (RRC), misalnya, di sana pemerintahnya mampu membiayai 5.000-10.000 mahasiswa untuk belajar ke Eropa. Hal yang sama dilakukan oleh Perdana Menteri Malaysia yang tiap tahun mengirim 50.000 calon doktor, antara lain, ke Inggris dan Amerika. Jumlah seperti itu dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah karena pemerintah di dua negeri ini "melek pengetahuan".

Di negara ini kondisinya malah kebalikannya. Hingga saat ini, hanya mereka yang berkantong tebal yang bisa menikmati pendidikan bermutu di luar negeri. Karena mereka harus mengeluarkan biaya sendiri untuk biaya pendidikannya di negeri orang, maka sepulangnya ke Tanah Air para ilmuwan itu berusaha untuk "mengembalikan modal" dengan berbagai cara. Korupsi kemudian menjadi sesuatu hal yang tidak luput dari perilaku mereka. Dan, kasus korupsi miliaran di negeri ini justru banyak dilakukan oleh para intelektual dan akademisi. Selain pemerintah tidak memberikan perhatian besar pada dunia pendidikan, pemerintah bahkan ikut merusak lembaga pendidikan dengan "menciptakan suasana tidak aman" di dalam negeri. Konflik yang berlarut-larut di banyak daerah dan "tambal sulamnya" kebijakan dalam dunia pendidikan, membuat dunia pendidikan di negeri ini jauh tertinggal dari negaranegara tetangga. Ekses dari minimnya keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan maka kini bertebaranlah mental-mental "rapuh" yang muncul dalam perilaku korupsi pada pribadi-pribadi pejabat bangsa ini. Korupsi yang merambah ke semua sektor, termasuk sektor pendidikan sendiri, kini seolah menjadi "benang basah yang sulit ditegakkan". Bahkan, hingga hari ini penyelenggaraan pendidikan sering kali tanpa tahu malu dan basa basi terutama dalam mempraktikkan tindakan tercela dalam berbagai kegiatan sekolah dan proyek-proyek lainnya. Kini sudah saatnya kebohongan besar seperti ini harus dihentikan dan proses penyadaran bagi masyarakat harus diteriakkan. Bukan pendidikan yang menipu kita selama ini, melainkan pihak-pihak (oknum-oknum) yang memanfaatkan pendidikan untuk meraup laba yang telah menipu masyarakat bangsa ini. Pendidikan telah dipoles cantik dengan gedung-gedung megah dan janji-janji menggiurkan, yang membuat terbatasnya akses masyarakat ke dunia pendidikan. Hanya dengan pendidikan murah, negeri ini akan diselamatkan. Dengan pendidikan murah, masyarakat akan bergembira menduduki bangku sekolah. Dengan perasaan senang, masyarakat bebas mengungkapkan berbagai kreativitas yang ada dalam dirinya. Dan, dengan penyelenggaraan pendidikan murah juga akan mudah mengontrol perilaku korupsi yang marak terjadi pada berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan itu sendiri; karena dana yang sedikit akan mudah diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dan, dengan pendidikan murah diskriminasi terhadap orang miskin untuk tidak boleh sekolah bisa dihindarkan. Singkat kata, dengan penyelenggaraan pendidikan murah, orang miskin tidak lagi dilarang untuk sekolah. Sumber Bacaan: http://www.jakartateachersclub.com http://www.poskota.co.id/news_baca.asp?id=38187&ik=3 http://forum.detik.com/showthread.php?t=2985

Perlancar BOS, Pemerintah Terbitkan Surat Edaran Bersama


Berita Edukasi, Berita Media no comments 44 views
VVRGLTg= dGV4dC9odG1s MQ== QXJ0aWtlbCBvZi PGRpdj48L2Rpdj4 aHR0cDovL3d3dy S29w ZXJ0aXMgV base64 YWRtaW5Aa29w UGVybGFuY2FyI PGRpdj4gS2FtaS aHR0cDovL3d3dy Rml0cmk=

Download format PDF Perlancar BOS, Pemerintah Terbitkan Surat Edaran Bersama http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2011/3/17/bos-(1).aspx 17 Maret 2011 | Laporan oleh ahmad_dj Depok - Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) akan mengeluarkan surat edaran bersama untuk memperlancar penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) triwulan kedua (April-Juni 2011). Kebijakan ini berisi petunjuk untuk mempermudah proses penyusunan dokumen rencana kegiatan anggaran (RKA). Pada draf surat edaran disebutkan adanya larangan untuk menggunakan pertanggungjawaban penyaluran BOS pada triwulan pertama sebagai syarat cairnya dana BOS triwulan kedua. Edaran keluar dalam pekan ini untuk menyelamatkan kuartal kedua, kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kemdiknas Suyanto, ketika memberikan keterangan pers pada kegiatan Rembuk Nasional Pendidikan 2011 di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan (d/h. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai) Kemdiknas, Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Kamis (17/3). Suyanto menyebutkan, RKA dapat disusun secara sederhana dengan mencantumkan nama sekolah, kepala sekolah, rekening bank, dan jumlah siswa. Penyaluran dana BOS pada triwulan kedua dilakukan paling lambat tujuh hari kerja pada awal bulan April 2011. Indikasinya terlambat ketika melebihi tujuh hari kerja, katanya. Sampai Kamis (17/3) siang 13.00 WIB sebanyak 219 dari 497 kabupaten/kota diseluruh Indonesia telah menyalurkan dana BOS triwulan pertama. Sebelumnya, Kemdiknas dan Kemdagri telah mengeluarkan surat edaran bersama tentang pedoman pengelolaan dana BOS dalam APBD Tahun Anggaran 2011. Dana BOS untuk Tahun Anggaran 2011 dilaksanakan dalam mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Untuk sekolah swasta dananya disalurkan melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku bendahara umum daerah (BUD), sedangkan untuk sekolah milik pemerintah daerah (negeri) melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pendidikan. Suyanto mengatakan, program BOS dijadikan Bank Dunia sebagai contoh di negara dunia ketiga lainnya. Itulah sebabnya, Bank Dunia membuat BOS sebagai jaminan untuk membantu pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan dana sebesar US$600 juta tahun lalu dan US$500 juta tahun ini. Pemeriksaan audit BPKP, BOS memiliki status wajar tanpa pengecualian, suatu status yang paling tinggi di dalam audit, ujarnya. Alokasi BOS 2011 untuk jenjang SD/SDLB di kota sebanyak Rp400 ribu dan kabupaten sebanyak Rp397 ribu. Sementara alokasi untuk SMP/SMPLB/SMPT di kota Rp575 ribu dan di kabupaten Rp570 ribu. Total dana BOS 2011 sebanyak Rp 16.812.005.760.000

disediakan untuk daerah melalui penerbitan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2011 atas beban Bagian Anggaran 999.05 (Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah). Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Santoso Edi Prabowo mengatakan, BOS merupakan kebijakan pemerintah yang harus segera dilaksanakan. Untuk itu, kata dia, dibutuhkan komitmen yang kuat, serta pemahaman yang sama antara pihak-pihak terkait. Kabupaten Banyumas adalah salah satu kabupaten yang paling cepat menyalurkan dana BOS ke sekolah pada triwulan pertama. Dana BOS sangat dibutuhkan masyarakat untuk membantu pendidikan mencapai wajib belajar sembilan tahun, kata Santoso. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi Idham Khalid mengatakan, kendala yang menghambat penyaluran dana BOS di daerahnya adalah kurangnya pemahaman dari sekolah dan bagian keuangan mengenai mekanisme pencairan BOS. Aturan ini baru pertama kali dilaksanakan, katanya. Sebanyak tiga dari 11 kabupaten/kota di Jambi telah menyalurkan dana BOS triwulan pertama 2011.(aline/agung) >>> Sangsi Keterlambatan Penyaluran BOS pada 2012 http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2011/3/16/sanksi-bos.aspx 16 Maret 2011 | Laporan oleh widhi Depok, Rabu (16 Maret 2011)Pemerintah memberikan sangsi bagi pemerintah kabupaten/kota yang belum menyalurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) triwulan pertama 2011. Sangsi yang diberikan berupa pengurangan alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah pada 2012. Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Nasional usai membuka Rembuk Nasional Pendidikan 2011 di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan (d/h. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai) Kemdiknas, Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/3/2011). Diknas dan Kemenkeu sepakat memberikan sangsi finansial bagi kabupaten/kota yang belum menyalurkan BOS ke sekolah, kata Mendiknas. Sebelumnya, Mendiknas memberikan batas akhir penyaluran dana BOS pada 15 Maret 2011. > Mendiknas menyebutkan, sampai Rabu (16/3/2011) pagi sebanyak 182 kabupaten/kota telah menyalurkan dana BOS. Ada 300an (kabupaten/kota) yang akan diberikan sangsi. Pokoknya yang belum menyalurkan sampai due date itu kita berikan sangsi finansial. Saya sudah umumkan saat di DPR, tegasnya. Mendiknas mengatakan, sangsi yang diberikan bukan pengurangan alokasi dana BOS , tetapi dana-dana transfer dari pusat ke daerah nonpendidikan. Banyak dana-dana transfer dari pusat ke daerah yang nonpendidikan itu yang harus direview, ujarnya. > Mendiknas mengatakan, kompleksitas penyusunan dokumen administratif tidak dapat dijadikan alasan keterlambatan penyaluran dana BOS. Mendiknas mencontohkan, Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah termasuk relatif awal menyalurkan dana BOS. Memang ada yang baru menyelesaikan Pemilukada, tetapi jauh lebih penting ditunjukkan komitmen dan kesadaran dari masing-masing kabupaten/kota, katanya. Pemerintah, kata Mendiknas, perlu mengadakan kajian mendalam terkait pelaksanaan

kebijakan sentralisasi maupun desentralisasi pendidikan. Menurut Mendiknas, berdasarkan fakta di lapangan, berdasarkan undang-undang Kementerian Agama tidak desentralisasi padahal ada fungsi pendidikan di dalamnya. Kita bentuk tim untuk melakukan kajian tentang sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, katanya. > Mendiknas menjelaskan, ada tiga pilihan terkait desentralisasi. Pertama, desentralisasi secara keseluruhan, kedua dikembalikan sentralisasi, dan ketiga dilakukan secara parsial. Diknas belum memutuskan karena masih memerlukan kajian, katanya. Mendiknas berharap, penyaluran dana BOS 2011 triwulan kedua April-Juni diharapkan tepat waktu. Tahap kedua April harus turun. Jangan mengulang dua kali kesalahan, tandasnya.***

Angka Partisipasi Murni (APM) Index Artikel Angka Partisipasi Contoh Murni (APM) Cara Menghitung Berikut adalah penghitungan APK menggunakan data Susenas Data yang diperlukan 2004. Bila diketahui jumlah penduduk menurut usia standar dan Contoh jenjang pendidikan serta jumlah penduduk menurut usia standar Interpretasi Halaman 4 dari 5

seperti dalam tabel 1 dan 2 sbb:


2004 Tabel 1 Jumlah penduduk sedang sekolah menurut jenjang pendidikan dan usia standar,

sumber: Susenas 2004

Tabel 2 Jumlah penduduk menurut kelompok usia "standar" , 2004

sumber: Susenas 2004

APM SD APM SMP

= (25,362,124/27,258,170)*100 = 93% = (8,308,941/12,763,733)*100 = 65%

Angka Partisipasi Murni (APM) Halaman 5 dari 5 Interpretasi

APM SD sama dengan 93% artinya dari 100 penduduk usia 7-12 tahun, 93 orang bersekolah di bangku SD. Partisipasi sekolah penduduk usia 13-15 di SMP (65%) lebih rendah dibanding SD. Nilai APM akan berkisar dari 0 sampai dengan 100. Tidak mungkin ditemukan APM lebih dari 100 karena jumlah siswa (pembilang) merupakan bagian dari jumlah penduduk usia tertentu (penyebut).

Selisih antara APK dan APM menunjukkan proporsi siswa yang tertinggal atau terlalu cepat bersekolah. Kelemahan APM adalah kemungkinan adanya kekurangan estimasi karena siswa diluar kelompok usia yang standar di tingkat pendidikan tertentu. Contoh: Seorang anak usia 6 tahun bersekolah di SD kelas 1 tidak akan masuk dalam penghitungan APM karena usianya lebih rendah dibanding kelompok usia standar SD yaitu 7-12 tahun. Rentang APM di Indonesia dari hasil tabulasi data Susenas 10 tahun terakhir untuk SD berkisar antara 50 sampai 95 persen, SMP antara 50 sampai 70 persen, dan SMA antara 20 sampai 50 persen. mospagebreak title=Pertanyaan Diskusi}

Inilah Korupsi di Dunia Pendidikan Kita


Posted on 23 September 2009 by AKHMAD SUDRAJAT

Analisis 5 Tahun Pemberantasan Korupsi Pendidikan (2004-2009) [Press Release ICW]

Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Kenaikan anggaran menjadi tidak bermakna. Indikator pendidikan masih tetap belum memuaskan. Angka putus sekolah (SD dan SMP) masih tetap tinggi yakni sebesar 4,313,001 murid (2004-2008). Hal ini berarti turun 5,1 persen dibandingkan periode sebelumnya sebesar 4,545,921 murid (2000-2004). Meskipun angka putus sekolah turun, hal ini tetap belum sebanding dengan kenaikan anggaran Depdiknas yang mencapai 1,5 kali lipat dibandingkan dengan Depdiknas periode sebelumnya. Selain itu, jumlah ruang kelas (SD dan SMP) rusak berat juga meningkat, dari 640,660 ruang kelas (2000-2004 meningkat 15,5 persen menjadi 739,741 (2004-2008). Selain itu, persentase guru (SD,SMP dan SM) yang tidak layak mengajar hanya turun sebesar 10 persen. Sekali lagi, performas tiga indikator pendidikan ini tidak sebanding dengan anggaran yang telah dikeluarkan untuk Depdiknas. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya adalah maraknya korupsi pendidikan diseluruh tingkatan birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas sampai tingkatan sekolah. Penindakan Korupsi Pendidikan Berdasarkan pemantauan ICW diperoleh bahwa penegak telah mengusut 142 kasus korupsi pendidikan dengan total kerugian negara kurang lebih Rp 243,3 miliar. Dari kasus korupsi tersebut, 287 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka yang sebagian besar berasal dari dinas pendidikan daerah seperti kepala dinas pendidikan (42 orang) dan jajarannya (67 orang). Dari kasus ini terlihat bahwa, dinas pendidikan telah menjadi institusi paling korup dan menjadi isntitusi penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding dengan institusi lainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya desentralisasi pendidikan yang disertai rendahnya kontrol atas dinas pendidikan dan jajarannya. Selain itu, sebagian besar korupsi pendidikan berkaitan dengan pengelolaan dana DAK Pendidikan seperti dana untuk rehabilitasi dan pengadaan sarpras sekolah (meubeulair, buku, alat peraga dan lain sebagainya) yakni sebanyak 47 kasus. Total kerugian negara akibat korupsi dana DAK mencapai Rp 115,9 miliar. Selain itu dana operasional sekolah (BOS) juga telah menjadi obyek korupsi yani sebesar 33 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp 12,8 miliar. Gap Besar Antara Penindakan dan Potensi Korupsi Pendidikan

Namun demikian, korupsi pendidikan yang telah ditindak masih jauh lebih kecil dari penyelewengan dana pendidikan yang ada. Sebagai contoh, berdasarkan audit BPK diketahui bahwa terdapat 6 dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah. Selain itu, berdasarkan audit BPK juga diketahui 3 dari dinas kabupaten/kota mengarahkan pengelolaan dana DAK pada pihak ketiga. Terakhir, berdasarkan perhitungan ICW terhadap audit BPK terhadap anggaran Depdiknas sampai semester I tahun 2007, diketahui terdapat dana sekitar Rp 852,7 miliar yang berpotensi diselewengkan. Berdasarkan hasil ini maka dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sektor yang sangat rawan korupsi. Hal ini disebabkan empat faktor pertama merupakan sektor yang mendapatkan anggaran paling yang besar dari negara. Kedua banyak aktor terlibat dalam sektor pendidikan baik dari birokrasi pendidikan mulai dari Depdiknas, Dinas Pendidikan, sekolah serta juga berasal dari politisi, kontraktor/pemborong dan supplier sarpras (Sarana prasarana) pendidikan. Keempat, tata kelola (governance) disektor pendidikan masih buruk. Hal ini terlihat dari pengelolaan anggaran pendidikan yang belum transparan, akuntabel dan partisipatif. Institusi pendidikan terutama Depdiknas masih bermasalah ketika diaudit oleh BPK atau BPKP. Paling tidak, status disclaimer (tidak memberikan opini) yang disandang Depdiknas sampai tahun 2007 adalah bukti betapa buruknya pengelolaan anggaran pendidikan di Depdiknas. Begitu juga dengan pengelolaan anggaran pendidikan ditingkat daerah dan sekolah juga masih bersifat tertutup. Keempat, besarnya anggaran pendidikan telah menjadi sumberdana penggalangan kampanye bagi politisi dalam pemilu atau pilkada. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan analisis terhadap 5 tahun pemberantasan korupsi pendidikan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Korupsi menyebabkan tujuan pendidikan tidak tercapai. Kenaikan anggaran pendidikan tidak berdampak signifikan terhadap indikator pendidikan karena banyaknya penyimpangan dan kebocoran anggaran. Kenaikan anggaran pendidikan justru meningkatkan potensi korupsi disektor pendidikan. Hal ini terjadi karena buruknya tata kelola (governance) disektor pendidikan. 2. Desentralisasi pendidikan telah memunculkan aktor-aktor korupsi pendidikan baru, yakni kepala dinas pendidikan beserta jajarannya. Hal ini terjadi karena rendahnya partisipasi publik dalam kontrol kewenangan dinas pendidikan daerah dalam penetapan kebijakan dan anggaran pendidikan daerah. Kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan daerah hanya dikuasai oleh pejabat birokrasi pendidikan daerah. 3. Depdiknas gagal mengelola anggaran pendidikan yang besar. Hal ini dibuktikan dengan opini disclaimer oleh BPK atas laporan keuangan Depdiknas. Depdiknas hanya berhasil meningkatkan status opini Wajar Dengan Pengecualian pada tahun 2008. Capaian ini juga tidak sesuai yang ditetapkan dalam Renstra Depdiknas 2004 2009. 4. Penindakan kasus korupsi pendidikan masih sangat rendah dibandingkan dengan besaran alokasi pendidikan dan potensi korupsi pendidikan berdasarkan audit BPK. Penindakan kasus korupsi pendidikan hanya mampu menjerat aktor ditingkat dinas pendidikan dan sekolah (middle lower). Sedangkan aktor ditingkat Depdiknas dan DPR masih sangat sedikit. Padahal dua lembaga tersebut memiliki kewenangan paling tinggi atas kebijakan pendidikan di Indonesia.

Rekomendasi:

1. Presiden SBY mengevaluasi kinerja pemberantasan korupsi sektor pendidikan sebagai perwujudan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Evaluasi terutama ditujukan pada kinerja pengelolaan anggaran pendidikan dan penindakan dugaan korupsi disektor pendidikan. 2. KPK memprioritaskan penindakan kasus korupsi pendidikan terutama di Depdiknas. Depdiknas merupakan instusi pengelola anggaran pendidikan terbesar dan juga memiliki kewenangan tertinggi dalam kebijakan pendidikan. 3. Memperbaiki tata kelola di sektor pendidikan dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya guna mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan perumusan kebijakan pendidikan sehingga bisa menghindari penyimpangan dan penyelewengan. 4. Penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK) mengusut tuntas semua kasus korupsi pendidikan diseluruh Indonesia

======================== Hasil analisis ICW selengkapnya dapat dilihat dalam tautan di bawah ini: Kajian Peta Korupsi Pendidikan SUMBER: Indonesia Corruption Watch (ICW)

Pendidikan dan Janji Alokasi 20 Persen dari APBN


PEMILIHAN Umum 2004 telah melewati putaran pertamanya. Begitu banyak janji dan program yang dikeluarkan partai-partai peserta pemilu, namun yang sangat menarik adalah bagaimana partai mengusung pendidikan sebagai program mereka.

Hampir semua partai kembali mengungkit-ungkit dana pendidikan dalam anggaran pemerintah, baik anggaran pusat (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) maupun anggaran daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD). Bahkan, sebagian partai dengan terang-terangan menargetkan angka 20 persen (dari anggaran di APBN) untuk pendidikan sebagai janji atau programnya di masa yang akan datang. Sungguh sangat ironis karena angka 20 persen itu sendiri sedang mengalami dilema dalam penentuan anggaran kita.

TIDAK disangkal lagi bahwa masalah alokasi anggaran pendidikan telah menjadi masalah yang cukup pelik di Indonesia. Mutu modal manusia Indonesia telah mengalami kemerosotan dalam lima dekade belakangan ini secara relatif terhadap bangsa-bangsa ASEAN lainnya.

Secara relatif pula hal ini kemudian dikait-kaitkan dengan persentase anggaran pendidikan kita yang sangat rendah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu diperkirakan sekitar 1,27 persen rata-rata antara tahun 1990-1995, sementara Thailand 3,80 persen, Vietnam 2,32 persen, dan Malaysia 4,87 persen (data UNDP).

Hal tersebut kemudian terlihat berkorelasi dengan peringkat kualitas manusia Indonesia yang saat ini berada di peringkat 114 dan Malaysia di peringkat 61 (UNDP/UNESCO). Malaysia kemudian seakan menjadi patokan resmi dalam strategi pendidikan kita.

Akan tetapi, angka 4,87 persen dari PDB diperkirakan kurang rasional, mengingat total anggaran rutin dan pembangunan kita pada tahun 1999/2000 masih sekitar 20 persen dari PDB, bahkan sebelumnya hanya 16,40 persen pada tahun 1998/1999. Adapun Malaysia memiliki pengeluaran di atas 25 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Karena itulah tampaknya kemudian yang dilihat adalah alokasi anggaran pendidikan sebagai rasio dari total pengeluaran, di mana Malaysia telah mengalokasikan 20-25 persen pengeluaran ke sektor pendidikan, sedangkan Indonesia pada tahun anggaran 1999/2000 hanya 6 persen setelah tahun sebelumnya 7 persen.

Melihat hal tersebut, cukup beralasan untuk mengatakan sekali lagi bahwa Malaysia memang menjadi patokan di balik penentuan angka 20 persen ini.

Angka itu sendiri pertama kali secara resmi sudah muncul di amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen dari nilai APBN dan APBD. Setidaknya ini untuk menyatakan bahwa isu 20 persen dalam pemerintahan bukanlah barang baru, bahkan telah menjadi bagian dari konstitusi. Namun, bagaimana pelaksanaannya?

SECARA mengejutkan, bila kita melihat agregat APBD dalam arti jumlah seluruh APBD di Indonesia, maka angka tersebut sudah tercapai.

Pada tahun 2001, dari data 357 anggaran provinsi, kabupaten, dan kota, yang diperoleh dari bagian informasi dan data Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, persentase anggaran pendidikan adalah 28,30 persen.

Pada tahun 2002 angka tersebut turun menjadi 27,34 persen, bahkan di tahun ini nilai anggaran rutin pendidikan mencapai 37,80 persen dari total pengeluaran rutin di daerah.

Tentu saja hal ini bervariasi antardaerah. Ada daerah yang keseluruhan anggaran pendidikannya mencapai di atas 50 persen dari total pengeluaran. Namun, ada juga yang lebih rendah, sebut saja Jakarta yang hanya mengalokasikan 13,40 persen dari total anggaran pada tahun 2002.

Nilai persentase ini tidaklah sepola dengan apa yang ditunjukkan oleh APBN kita pada tahun 2002 tersebut. Total anggaran pendidikan di APBN adalah 6,45 persen. Namun, dari sisi anggaran pembangunan, untuk pendidikan sudah mencapai 21,62 persen dari total anggaran pembangunan.

Dari sisi anggaran rutin, persentase yang dialokasikan kepada sektor pendidikan hanyalah 2,35 persen. Salah satu yang memicu hal tersebut adalah ditransfernya gaji guru ke daerah walaupun pada tahun-tahun sebelumnya sebenarnya juga hanya berkisar 3,5-5,0 persen.

Dengan rincian yang kita dapat dari APBN dan APBD 2002, maka secara total persentase anggaran pendidikan di tahun 2002 terhadap total pengeluaran adalah 13,2 persen atau masih kurang dari 20 persen.

DUA hal penting yang harus ditekankan di sini terhadap para penjual janji adalah bahwa alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan di APBN dan APBD sudah ada di konstitusi. Artinya, mau tidak mau mereka harus melaksanakan tanpa harus mengeluarkan janji-janji.

Kedua, banyak daerah kabupaten dan kota yang anggarannya sudah melebihi 20 persen, bahkan 50 persen, namun belum tentu cukup untuk membiayai pendidikan yang mendasar (sembilan tahun SD dan SMP yang menjadi patokan wajib belajar Indonesia) sekalipun. Dengan demikian, yang perlu dipikirkan bukan hanya angka 20 persen, tetapi juga pembagiannya dalam anggaran.

Nah, di sinilah dilema itu terjadi. Pada dasarnya ada dua dilema yang dihadapi dari pembagian ini, yaitu antara anggaran pusat dan daerah serta yang kedua adalah antara anggaran rutin dan pembangunan.

Seperti sudah dinyatakan sebelumnya, anggaran di pusat tidak lagi terbebani oleh gaji guru, terutama gaji guru SD dan SMP. Bahkan, pada dasarnya sebagian besar pembiayaan SD dan SMP menjadi tanggung jawab APBD.

Artinya, ketika kita membicarakan pembebasan biaya sekolah yang dikonotasikan sebagai SD-SMA, sebenarnya beban yang dibicarakan adalah beban APBD. Padahal, ada daerah yang sudah menanggung beban tersebut sebagai persentase APBD yang begitu besar.

Di sisi lain, sebenarnya justru persentase pendidikan di APBN masih begitu rendah. Apakah kemudian negara ini mau menggunakannya untuk menyubsidi pendidikan tersier seperti perguruan tinggi dengan melupakan perkembangan SD-SMA? Tentu saja itu tidak mungkin.

Maka, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mekanisme perbantuan dana pendidikan dari pusat ke daerah, terutama dana operasional atau anggaran rutinnya. Di sinilah dilema yang kedua bermula.

Pemerintah pusat dengan undang-undang sistem pendidikan nasionalnya, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan, yang dimaksud 20 persen adalah di luar gaji guru kedinasan. Ini berarti bahwa nilai yang dimaksud sebagian besar adalah nilai anggaran pembangunan.

Masalah yang muncul ada dalam dua dimensi, yaitu dari sisi nilai dan dari sisi kebutuhan. Dari sisi nilai, perlu disadari bahwa nilai anggaran pembangunan di APBD rata-rata hanyalah 36 persen dari total anggaran. Jadi, apakah masuk akal jika 20 persennya atau lebih dari 50 persen anggaran pembangunan harus ke pendidikan.

Untuk APBN, sekilas terlihat lebih ekstrem karena anggaran pembangunan hanya 21 persen, namun mengingat gaji guru sudah menjadi tanggungan daerah, itu tidaklah seekstrem yang dibayangkan.

Yang kedua adalah penggunaannya. Dari hasil penelitian atau bahkan secara nalar saja, diketahui bahwa kebutuhan terbesar untuk peningkatan mutu sekolah ataupun jangkauan pelayanannya adalah guru dan gaji guru serta biaya peningkatan kualitas guru sebagai komponen yang paling besar, disusul perawatan dan perbaikan sekolah.

Kedua komponen ini berada di anggaran rutin dan bukan anggaran pembangunan. Oleh karena itu, untuk kasus anggaran pendidikan SD-SMA, wajar bila anggaran rutin jauh lebih besar dari anggaran pembangunannya.

Jadi, sangat tidak masuk akal bila kemudian dengan anggaran yang ada dipaksakan untuk melaksanakan 20 persen itu di luar gaji guru, walaupun itu guru kedinasan. Hal ini terutama untuk APBD yang menanggung biaya tersebut.

Akhir kata, partai-partai politik yang sedang berkampanye sekarang mungkin sebaiknya melihat kembali janji-janji politik yang diajukannya sehingga terasa lebih masuk akal dan tidak ketinggalan zaman.

Yang kedua, perlu direncanakan dari sekarang tentang pengaturan angka 20 persen yang terlihat sedikit kacau ini. Usulan yang bisa saya ajukan adalah transfer bantuan khusus sekolah untuk SD-SMP dari pusat ke daerah untuk anggaran rutin.

Yang ketiga, perlu disadari bahwa berbicara soal mutu modal manusia di bidang pendidikan, ada hal lain yang juga sangat sangat penting, yaitu pengaturan kurikulum yang lebih baik dan konsisten.

Kamis, 18 Maret 2010


APBN 2010 Tentang Pendidikan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2009 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2010 Pasal 21

(1) Anggaran pendidikan adalah sebesar Rp.209.537.587.275.000,00 (dua ratus sembilan triliun lima ratus tiga puluh tujuh miliar lima ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). (2) Persentase anggaran pendidikan adalah sebesar 20,0% (dua puluh koma nol persen), yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp.1.047.666.042.990.000,00 (satu kuadriliun empat puluh tujuh triliun enam ratus enam puluh enam miliar empat puluh dua juta sembilan ratussembilan puluh ribu rupiah). PENJELASAN : Anggaran pendidikan sebesar Rp.209.537.587.275.000,00 (dua ratus sembilan triliun lima ratus tiga puluh tujuh miliar lima ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah), terdiri atas:
(dalam rupiah) Anggaran Pendidikan melalui Belanja Pemerintah Pusat 1.Departemen Pendidikan Nasional 2.Departemen Agama 3.Kementerian Negara/Lembaga lainnya 83.170.009.475.000,00 54.704.324.253.000,00 23.663.565.732.000,00 4.802.119.490.000,00

Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke Daerah (1) DBH Pendidikan 0

126.367.577.800.000,0 617.048.800.000,00

(2) DAK Pendidikan (3) DAU Pendidikan (4) Tambahan Tunjangan Guru PNSD (5) DAU Tambahan untuk Tunjangan Profesi Guru (6) Dana Insentif Daerah (7) Dana Otonomi Khusus Pendidikan

9.334.882.000.000,00 95.923.070.400.000,00 5.800.000.000.000,00 10.994.892.500.000,00 1.387.800.000.000,00 2.309.884.100.000,00

TOTAL DANA APBN 2010 Bidang Pendidikan :

209.537.587.275.000,0 0

Keterangan : 1. Dana bagi hasil, selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 2. Dana alokasi umum, selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 3. Dana alokasi khusus, selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 4. Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Вам также может понравиться