Вы находитесь на странице: 1из 30

Teori Kesadaran Hukum

Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang kesadaran hukum. Perihal kata atau pengertian kesadaran hukum,ada juga yang merumuskan bahwa sumber satu-satunya dari hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum dan keyakinan hukum individu di dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan pangkal dari pada kesadaran hukum masyarakat. (Soerjono Soekanto, 1994, hlm. 147). Selanjutnya pendapat tersebut menyatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah jumlah terbanyak dari pada kesadaran kesadaran hukum individu sesuatu peristiwa yang tertentu. Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. (Soerjono Soekanto, 1987, hlm. 217). Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama atau dasar, dan para warga masyarakat menetapkan pengalaman-pengalaman tentang faktor-faktor yang mendukung dan yang mungkin menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan utama atau dasar tersebut. Apabila faktor-faktor tersebut dikonsolidasikan, maka terciptalah sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2019067-teori-kesadaranhukum/#ixzz1yidbpSMj

KESADARAN HUKUM : Landasan Memperbaiki Sistem Hukum


25 02 2009

PAKAR hukum UGM Yogyakara, RM. Sudikno Mertokusumo (Artikel , 2008: 2) mengatakan bahwa kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang seyogyanya tidak kita lakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum. Problema dari kesadarn hukum sebagai landasan memperbaiki sistem hukum adalah, kesadaran hukum bukan merupakan pertimbangan rasional, atau produk pertimbangan menurut akal, namun berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor seperti faktor agama, ekonomi, politik dan sebagainya, dan pandangan ini selalu berubah. Oleh karena itu kesadaran hukum merupakan suatu proses psikhis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas kesadaran hukum, ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Begitu pentingnya kesadarn hukum di dalam memperbaiki sistem hukum, maka tak heran dari tokoh-tokoh mazhab sejarah seperti Krabbe dan Kranenburg bersikukuh mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan satu-satunya sumber hukum. Bahkan Paul Scholten sendiri yang melahirkan teorinya tentang kesadaran hukum disebut Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn

dengan tegasnya menyatakan bahwa, kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum. Selengkapnya Paul Scholten mengatakan: Met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoordeel over eenig concreet geval, doch het in ieder mensch levend bewustzijn van wat recht is of behoort te zijn, een bepaalde categorie van ons geestesleven, waardoor wij met onmiddellijke evidentie los van positieve instellingen scheiding maken tusschen recht en onrecht, gelijk we dat doen tusschen waar en onwaar, goed en kwaad, schoon en leelijk. (Pandangan Scholten di atas pada intinya menjelaskan kepada kita bahwa istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup pada manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum. Kesadaran hukum masuk kategori tertentu dari kehidupan kejiwaan kita, yang menyebabkan kita dengan evidensi melepaskan diri dari lembaga-lembaga hukum positif, dalam membedakan antara hukum dan bukan hukum, seperti kita membedakan antara benar dan tidak benar, baik dan buruk, cantik dan jelek). Di Indonesia masalah kesadaran hukum mendapat tempat yang sangat penting di dalam pembangunan sistem dan politik hukum, dan kesadaran hukum merupakan salah satu asas dari pembangunan nasional. Dalam Program Pembangunan Nasional di Bidang HukumPROPENAS 2000-2004; RPJMN 20042009) menyebutkan bahwa: Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum. a. Kesadaran hukum masyarakat yang menurun ? Secara teori maupun kenyataan, yang dihadapi dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat adalah masyarakat Indonesia secara kultural dan keagamaan adalah terdiri atas kelompok besar dan bersifat majemuk. Begitu pula fakta mengenai kebutuhannya, dan kepentingan manusia. Di dalam memenuhi kebutuhannya yang begitu banyak itu, senantiasa dalam ancaman dan boleh jadi menimbulkan gesekan yang tidak diharapkan. Karenanya yang sangat diperlukan adalah kesadaran hukum. Kesadaran hukum sejatinya adalah kesadaran akan hak dan kewajiban dari individu-individu, kesadaran akan tanggung jawab sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Fenomena kesadaran hukum di masyarakat kita, cenderung menurun untuk menghindari ungakapan semakin karuan. Menurunnya kesadaran hukum dari bangsa ini, menyemntuh semua elemen dan lapisan masyarakat, mulai dari hilir sampai hulu, alias dari rakyat jelata hingga penguasa, dari yang kaum terdidik hingga kaum putus sekolah. Betapa banyak dari kaum bangsa ini menggunakan cara kekerasan atau main hakim sendiri (eigin rechting) untuk memenuhi kepentinganya, entah itu pencurian, korupsi, pemerkosaan, selingkuh, pembunuhan dsb. Yang melakukannya itu, tak berbilang dari orang biasa, dan orang penting, bahkan untuk mencapai maksud jahatnya, menyewa orangpun tak masalah, jika ia orang berduit. Kini banyak produk hukum berupa undang-undang dan peraturan lainnya yang sudah ditetapkan, tapi tidak dijalankan dengan baik, bahkan belum dijalankan, atau paling tidak belum ada PPnya yang keluar, UUnya sudah diamandamen llagi. Akhir-akhir ini, yang fenomenal kasusnya adalah, pelanggaran atas UU paket politik. Contoh, caleg-caleg yang sudah jelas-jelas mendapat hukuman atau ancaman hukum 5 tahun keatas, masih saja mendaftar sebagai calon legislator, bahkan ngotot dan mengancam untuk diloloskan, karena jika tidak, akan menurunkan massa untuk mengacaaukan jalannya pemilu. Pada hal ia tahu bahwa peraturan tersebut dibuat oleh dewan, atau dibuat oleh institusi tempatnya kelak bekerja (UU. no. 10 tahun 2008). Pada hal tidakkah mereka sadar, dan tidakkah mereka membaca undang-undang tersebut sebelum mereka melamar jadi caleg. Belum lagi penyelenggara Pemilu, juga banyak dilanggar, seperti ketika sudah menjadi anggota BAWASLU

(Panwas), atau anggota KPU, maka pekerjaan-pekerjaan sebelumnya sudah harus ditinggalkan (nonaktif). UU no. 22 tahun 2007. Bahkan rekomendasi dari atasan pun (bagi mereka dari instansi Pemerintah, BUMN, BUMD) sudah dikeluarkan, tapi toch kesadaran hukumnya belum juga muncul, sehingga yang didapat dilapangan adalah rangkap jabatan, tentunya juga rangkap gaji. Jadi selain yang bersangkutan melanggar, juga atasan yang sudah mengeluarkan rekomendasi pun ikut melanggar hukum, lantaran membiarkan masalah ini berlangsung terus. Konsekwensi pelanggaran aturan di atas, adalah timbulnya resiko berupa pelanggaran hukum dan pembengkakan keuangan negara, karena dari tempat kerjanya semula gajinya pun berjalan, juga ditempat barunya juga dapat gaji baru. Oleh karena itu apa yang diharapkan dari adanya Pemilu yang banyak menelan biaya, waktu, tenaga, bahkan (mungkin) korban nyawa, bagi kemajuan demokrasi untuk bangsa, negara dan masyarakat; untuk perbaikan sendi-sendi hukum, dan kesejahteraan secara lahiriyah jikalau pelaksana dan out futnya (produknya: anggota DPR/DPRD, DPD; Presiden dan Wakil Presiden), tidak menuntaskan masalah dalam dirinya sendiri b. Bagaimana Membangun Kesadaran hukum yang baik ? Membangun sistem hukum adalah penting, tapi membangun kesadaran hukum masyarakat adalah lebih penting, karena kesadaran hukum menyangkut pemahaman, penerapan dan pelaksanaan hukum. Sedangkan membangun sistem hukum terkait dengan tiga hal, yakni struktur hukum; substansi hukum dan budaya hukum. Tiga unsur dari sistem hukum ini diteorikan Lawrence M. Friedman sebagai Three Elements of Legal System. Struktur hukum menurut Friedman, adalah rangkanya atau kerangka, dan sebagai bagian-bagian dari hukum yang tetap senantiasa bertahan, atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kelembagaan hukum adalah bagian dari struktur hukum, seperti Lembaga Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian. Jumlah Hakim Agung, dan umur seorang Hakim Agung misalnya 70 tahun. Subtansi atau materi hukum, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Subtansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluargkan, aturan baru yang mereka susun. Subtansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya pada aturan yang ada dalam kiba hukum (law in books). Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapannya. Budaya hukum juga mencakup suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang, bukan seperti ikan hidup berenang di laut. Cara lain dalam mengambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu oleh Friedman, adalah struktur hukum diibaratkan seperti mesin; subtansi hukum diibartakan sebagai apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut, sedangkan kultur atau budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaiaman mesin tersebut digunakan. Dalam menjadikan kesadaran hukum sebagai landasan dalam memperbaiki sistem hukum, Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1980) mengajukan 4 (empat) indikator, yaitu; kesadaran tentang ketentuan-ketentuan hukum; kesadaran tentang pengakuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum; kesadaran akan penghargaan terhadap ketentuanketentuan hukum; dan kesadaran pada penaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. Mengenai (empat) indikator itu masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, dalam menuju adanya pengetahuan hukum, pemahaman hukum; sikap dan pola prilaku/penerapan hukum. yang bukan saja menjadi milik bagi sarjana hukum, atau penegak hukum, tetapi milik semua masyarakat, karena dimasyarakatlah hukum dilaksanakan. Untuk membangun sistem hukum yang lebih baik, bukan semata membangun ketiga unsur sistem hukum yang sudah dikemukakan di atas, bukan pula hanya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,

tetapi juga membina kesadaran hukum masyarakat. Terkait dengan terkhir ini, RM. Sudikno Mertokusumo (2008:2-3) menawarkan 2 (dua) sikap penting untuk dipelihara, karena kedua hal itu berimplikasi positip terhadap cara berhukum seseorang sebagai akibat dari pembinaan kesadaran hukum, yaitu sikap tepo sliro dan kesadaran akan kewajiban hukum. Tepo sliro, berarti bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain, dan terutama tidak merugikan orang lain, karenanya penyalah gunaan hak atau abus de droit bertentangan dengan sikap tepo sliro. Adapaun kesadaran akan kewajiban hukum artinya tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum untuk taat terhadap ketentuan undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis., yang dalam bahasa reformasi hukum adalah menghargai dan memelihara kearifan lokal, dan sebaliknya tidak berkiblat pada hukum barat. Banyak nilai-nilai hukum lokal patut diangkat untuk membangun sistem hukum, selain tepo seliro, tetapi juga seperti siri napacce, sipakatau, sipakainge, sipakalebbi dsb. Nilai-nilai hukum ini diharapkan tetap menjadi kesadaran hukum masyarakat, karenanya menghargai kearifan lokal berarti menghargai kebudayaan bangsa yang majemuk ini, sedangkan kebudayaan yang majemuk itu merupakan suatu blueprint of behaviour yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang untuk dilakukan menurut hukum. Wallahu Alam. G. Kesadaran Hukum. 1. Pengertian Kesadaran Hukum. Berbicara masalah kesadaran hukum menurut Sunaryati Hartono (1991, 151) berarti berbicara dalam masalah budaya, khusunya pada nilai-nilai sosial dan budaya hukum bangsa. Menurut Paul Scholten dalam Sudikno Mertokusumo (http://sudiknoartikel.blogspot.com, 2008:1) bahwa kesadaran hukum adalah: Kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan. Selanjutnya Paul Scholten (1934: 166) mengungkapkan sebagai berikut: Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan kaidah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia?. Oleh karena itu menurut Sudikno Mertokusumo (http://sudiknoartikel.blogspot.com, 2008:2) kesadaran hukum adalah: Kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Juga pendapat Soekanto dan Mustafa Abdullah, (1980: 210) bahwa,. Kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap apa yang dianggap sebagai hukum yang baik dan/atau hukum yang tidak baik. Penilaian terhadap hukum tersebut didasarkan pada tujuannya, yaitu apakah hukum tadi adil atau tidak adil, oleh karena keadilan yang diharapkan oleh warga masyarakat. Permasalahan kesadaran hukum timbul di dalam kerangka mencari dasar sahnya hukum yang merupakan konsekwensi dari masalah yang timbul di dalam penerapan tata hukum atau hukum positif. Dengan demikian, berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa kesadaran hukum merupakan suatu kategori penilaian, berdasarkan kenyataan tertentu yang sesungguhnya hidup dalam kejiwaan manusia yang menyebabkan manusia dapat memisahkan antara hukum (kebenaran) dan yang bukan hukum (kebatilan), jadi tidak ubahnya mana yang benar dan yang tidak benar, mana yang baik dan mana yang buruk. 2. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Dalam berbagai TAP MPR (PROPENAS 2000-2004; RPJMN 2004-2009) disebutkan bahwa, pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhankebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (http://sudiknoartikel.blogspot.com, 2008:2)

bahwa, berbicara tentang peningkatan kesadaran hukum masyarakat, maka akan timbul pertanyaan, apakah kesadaran hukum masyarakat sudah sedemikian merosotnya, sehingga perlu ditingkatkan dan bagaimana cara meningkatkannya?. Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karenanya dibutuhkan peningkatan kesadarn hukum masyarakat, agar kehidupan lebih terjamin dari rasa aman dan tenang. Sehubungan dengan di atas, Sudikno Mertokusumo (http://sudiknoartikel.blogspot.com, 2008:2) berpendapat: Bahwa Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya berupa pencurian terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama baiknya, pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain berupa kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan. Dalam melindungi kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya sendiri, atau dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig). Bagi masyarakat yang sedang berkembang, termasuk masyarakat Indonesia, bahwa masalah kesadaran hukum kian bertambah rumitnya, oleh karena berbagai faktor yaitu; bahwa masyarakatnya sedang mengalami masa transisi di mana sistem norma-norma yang lama ingin ditinggalkna, akan tetapi sistem norma-norma yang baru belum terbentuk secara mantap (Soekanto dan Mustafa Abdullah (1980: 208). Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau suatu peristiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg, maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya atau seyogyanya dan hal ini akan menimbulkan pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan dan disebut kebiasaan, lama-ama akan mempunyai kekuatan mengikat (die normatieve Kraft des Faktischen). Penekanan mengenai pentingnya memupuk dua hal di atas, oleh Sudikno Mertokusumo (http://sudiknoartikel.blogspot.com, 2008:5-6) mengatakan sebagai berikut: Kesadaran hukum erat hubungannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan.. Dengan demikian maka kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai. Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan pembinaan yang utama, efektif dan efisien ialah dengan pendidikan. Pendidikan tidaklah merupakan suatu tindakan yang einmalig atau insidentil sifatnya, tetapi merupakan suatu kegiatan yang kontinyu dan intensif dan terutama dalam hal pendidikan kesadaran hukum ini akan memakan waktu yang lama. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dengan pendidikan yang intensif hasil peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum baru dapat kita lihat hasilnya yang memuaskan sekurang-kurangnya 18 atau 19 tahun lagi. Ini bukan suatu hal yang harus kita hadapi dengan pesimisme, tetapi harus kita sambut dengan tekad yang bulat untuk mensukseskannya. Dengan pendidikan sasarannya akan lebih kena secara intensif daripada cara lain yang bersifat drastis. Pendidikan yang dimaksud di sini bukan semata-mata pendidikan formal disekolah-sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, tetapi juga pendidikan non formal di luar sekolah kepada masyarakat luas. Yang harus ditanamkan baik dalam pendidikan

formal maupun non formal ialah pada pokoknya tentang bagaimana menjadi masyarakat Indonesia yang baik, tentang apa hak serta kewajiban seorang warga negara Indonesia. Setiap warga negara harus tahu tentang undang-undang yang berlaku di negara kita. Tidak tahu undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf (ignorantia legis excusat neminem). Asas ini yang lebih dikenal dengan kata-kata bahasa Belanda dengan iedereen wordt geacht de wet te kennen berlaku di Indonesia harus ditanamkan dalam pendidikan tentang kesadaran hukum. Ini tidak hanya berarti mengenal undang-undang saja, tetapi mentaatinya, melaksanakannya, menegakkannya, dan mempertahankannya. Lebih lanjut ini berarti menanamkan pengertian bahwa di dalam pergaulan hidup kita tidak boleh melanggar hukum serta kewajiban hukum, tidak boleh berbuat merugikan orang lain dan harus bertindak berhati-hati di dalam masyarakat terhadap orang lain. Suatu pengertian yang pada hakekatnya sangat sederhana, tidak bombastis, mudah dipahami dan diterima setiap orang. Sesuatu yang mudah dipahami dan diterima pada umumnya mudah pula untuk menyadarkan dan mengamalkannya. Tawaran selanjutnya dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat adalah pengejawantahan rasa keadilan dalam masyarakat, sebagaimana pendapat Soerjono Soekanto (1980: 210) yang mengatakan bahwa, rasa kadilan merupakan asas dari kesadarn hukum, dan setiap manusia memiliki kesadaran hukum oleh karena dalam diri setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Lanjut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1980: 211) mengatakan: Penilaian tentang adil tidaknya suatu hukum positif (tertulis) senantiasa tergantung pada taraf persesuaian antara rasa keadilan pembentuk hukum dengan rasa keadilan warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tadi. Namun demikian, bagaiaman pun juga di lain segi sebagai fakta, bahwa pembaruan hukum selalu terjadi disetiap masyarakat, baik dalam masyarakat yang terbilang maju (modern) maupun pada masyarakat yang tergolong masih terkebelakang. Dengan demikian dalam upaya pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral diperlukan sebagai manisfestasi dari kesadaran hukum masyarakat yang menghendaki perlunya pembinaan di bidang hukum ini agar dapat terwujud keadilan. Di dalam kenyataannya bahwa pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral dengan fokus pada relevansi beberapa asas dari hukum kewarisan menurut KUHPerdata, menurut hukum Islam dan menurut hukum Adat yang merupakan hukum positif, bukan saja terpaut pada faktor kesadaran hukum, tetapi juga faktor agama, adat dan kepercayaan serta sifat kekerabatan masyarakat yang turut menentukan perlu dan tidaknya diadakan pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral. Dengan demikian, pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral agar sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, maka berbagai faktor di atas menjadi bagian yang sepatutnya diintegrasikan dalam perumusan peraturan hukumnya. 3. Kesadaran Hukum Sebagai Landasan Memperbaiki Sistem Hukum. Dengan demikian, di dalam rangka menjadikan kesadaran hukum sebagai landasan memperbaiki sistem hukum, maka menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1980: 216219) diperlukan 4 (empat) faktor sebagai berikut: 1. Pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hukum, artinya secara tradisional ada suatu peraturan-peratura yang say secara legislative, maka dengan sendirinya peraturan-peraturan tadi akan tersebar luas dan diketahui umum. Setidaktidaknya menjadi suatu asumsi umum bagi para pembentuk hukum. 2. Pengakuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, artinya pengakuan masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hukum tertentu berarti bahwa mereka mengetahui isi dan kegunaan dari norma-norma hukum tertentu. Artinya adanaya suatu derajat pemahaman yang tertentu terhadap ketentua-ketentuan hukum yang berlaku. Bahwa pada pengakuan masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan hukum, memiliki tingkatan kesadaran hukum lebih tinggi dibandingkan dari sekadar pengetahuan belaka. 3. Penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, artinya bahwa ketentuan-ketentuan hukum

berlaku karena dihargai oleh masyarakat. Suatu ketentuan-ketentuan hukum dihargai atau tidak dihargai karena disebabkan dengan beberpa hal, yaitu: a) Ketentuan-ketentuan hukum tertulis tidak dapat mengikuti perubahan-perubahan masyarakat yang terjadi. b) Hukum tidak sesuai dengan sistem nilai yang berlaku. c) Khususnya mengenai hukum baru, dapat timbul perbedaan oleh karena hukum tadi berhasil mengubah pendapat umum masyarakat. d) Adanya perbedaanperbedaan antara apa yang dikehendaki dari hukum dengan apa yang dikehendaki masyarakat umum. 4. Penaatan/kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, artinya bahwa dengan diumumkannya suatu ketentuan hukum, dengan sendirinya masyarakat akan mengetahuinya dan selanjutnya mematuhinya. Kesadaran hukum sebagai landasan di dalam memperbaiki sistem hukum, yang terpenting pula adalah kesesuaian antara nilai-nilai yang ada pada diri seseorang dan masyarakat dengan peraturan hukum yang berlaku, sehingga pada gilirannya peraturan hukum yang berlaku tersebut memiliki kedaulatan. Seperti dikatakan Lili Rasyidi (1990, 59) bahwa, kalau ada peraturan hukum berlaku secara efektif berarti peraturan hukum tersebut sesuai dengan nilai bathin yang terdapat dalam diri individu-masyarakat yang terjelma dalam peraturan hukumnya. Jadi suatu peraturan hukum dapat tegak dan dipatuhi anggota masyarakat, karena didasari atas faktor kesadaran hukum, selain faktor-faktor karena takut kena sanksi apabila melanggar peraturan hukum; atau karena faktor kepentingannya merasa dijamin oleh peraturan hukum tersebut (Manan, 2005, 90). Berdasarkan dengan berbagai pendapat yang dikemukakan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa kesadaran hukum tercermin pada sikap bathin manusia dan perilaku masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Dengan demikian faktor kesadaran hukum menjadi faktor utama dalam menunjuk keberhasilan penegakan hukum dalam masyarakat, yang pada gilirannya akan menjadi landasan dalam memperbaiki sistem hukum, sebab tanpa kesadaran hukum amatlah sulit mencapai apa yang dinamakan supremasi hukum. Diungkapkan Bagir Manan dalam Abdul Manan (2005, 91) bahwa, faktor kesadaran hukum merupakan salah satu penyebab dapat tegaknya supremasi hukum, yang diwujudkan melalui tiga hal yakni kepastian hukum, kemanfaatn dan keadilan. Penganut mazhab sejarah juga telah menempatkan kesadaran hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, sebagaimana diungkapkan Krabbe dalam Paul Scholten (1934: 166) bahwa menurut ahli bahwa kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum. Pandangan mazhab sejarah ini di ilhami dari pendapat von Savigni yang mengatakan: Das Recht wird nicht gemacht, est und wird mit dem volke, artinya hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Rasyidi, 2004: 65). b) Teori Lawrence M. Friedman. Landasan teoritik dari Friedman ini, digunakan sebagai Middle Range Theory, yang berkaitan dengan variabel hukum kewarisan sebagai sistem hukum atau sub sistem hukum dari sistem hukum yang berlaku positip di tanah air kita. Friedman (2001: 7-8) Penggunaan teori Friedman dalam penulisan ini, adalah sebagai alat atau penuntun dalam menganalisis fungsi sistem hukum kewarisan sebagai kontrol sosial. Seperti dikatakan Friedman (2001: 11) bahwa: Sistem hukum sebagai bagian dari sistem sosial, menjadi kontrol sosial, sehingga semua sistem yang lain kurang lebih menjadi sekunder atau berada di bawah sistem hukum. Setiap masyarakat, atau setiap negara, mempunyai norma hukum, dan karenanya selalu saja ada pendapat mengenai hukum, namun demikian menurut Friedman (2001:8-9) bahwa dengan itu, tidak berarti bahwa setiap orang dalam suatu komunitas memberikan pemikiran yang sama. Karena ada banyak sub-sub budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan bukan hanya berbeda, tetapi juga terus mengalami perubahan. Namun ada bagian-bagian dari hukum, perubahannya terjadi dengan sangat cepat, dan ada pula perubahannya lambat, bahkan cenderung bertahan untuk tidak berubah. Bahwa bagian hukum yang cenderung bertahan atau tidak berubaha itulah struktur hukum (Friedman (2001: 8). Agar pembaruan bidang hukum kewarisan berjalan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat sebagai

yang dipersyaratkan dari sebuah pembaruan hukum, maka dalam upaya pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral, unsur subtansi atau materi serta budaya hukum hukum dari hukum kewarisan menjadi fokus analisis. Oleh karena itu subtansi hukum kewarisan yang diharpakan adalah subtansi hukum yang memiliki norma hukum berpijak pada perilaku yakni sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum kewarisan yang terus mengalami pertumbuhan dan kemajuan, seiring dengan pertumbuhan dan kemajuan masyarakatnya. Dengan demikian, subtansi hukum sebagai unsur dari sistem hukum menurut teori Friedman di atas, akan digunakan untuk menguraikan upaya pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral. Untuk struktur hukum dikesampingkan, mengingat bahwa struktur hukum (Friedman, 2001: 7) adalah kerangka atau rangkanya dari suatu kelembagaan hukum yang senantiasa bertahan atau tidak mengalami perubahan. Dengan demikian struktur hukum dimaksud tidak masuk dalam wilayah kajian dalam upaya pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral.

MENINGKATKAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT

Kalau kita bicara tentang peningkatan kesadaran hukum masyarakat, maka akan timbul pertanyaan: Apakah kesadaran hukum masyarakat sudah sedemikian merosotnya, sehingga perlu ditingkatkan dan bagaimana cara meningkatkannya? Apa yang dapat kita konstatasi mengenai kesadaran hukum ini di dalam masyarakat? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kiranya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali. Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum (Lemaire, 1952; 46). Bahkan Krabbe mengatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum (v. Apeldoorn, 1954: 9). Menurut pendapatnya maka yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, maka undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat. Hal ini masih memerlukan kritik. Perlu kiranya diketahui bahwa Krabbe dan juga Kranenburg termasuk mereka yang mengembangkan teori tentang kesadaran hukum. Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap

manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166) . Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadinya pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu itu terjadi secara teratur tidak akan dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah. Kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara itu masih dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling menuduh dengan mengatakan Kamulah yang salah, kamulah yang melanggar peraturan lalu lintas atau Saya terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan lalu lintas lebih dulu. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak terjadi pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara kendaraan mengendarai kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama tidak terjadi tabrakan, selama kepentingan manusia tidak terganggu, tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum. Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya: pencurian terhadap harta kekayaannya,

pencemaran terhadap nama baiknya, pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain: kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan. Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa timbulnya hukum itu pada hakekatnya ialah karena terjadinya bentrok atau konfik antara kepentingan manusia atau conflict of human interest (Post dalam Soerjono Soekanto, 1975: 35) Dalam melindungi kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya sendiri, dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig). Jadi kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain demikian pula, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya. Kalau saya tidak suka tetangga saya berbuat gaduh di malam hari dengan membunyikan radionya keras-keras, maka saya tidak boleh berbuat demikian juga. Tepo sliro berarti bahwa seseorang

harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain dan terutama tidak merugikan orang lain. Penyalah gunaan hak atau abus de droit seperti misalnya mengendarai sepeda motor milik sendiri yang diperlengkapi dengan knalpot yang dibuat sedemikian sehingga mengeluarkan bunyi yang keras sehingga memekakan telinga jelas bertentangan dengan sikap tepo sliro. Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-undang saja, tidak berarti kewajiban untuk taat kepada undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau suatu peristtiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg, maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya atau seyogyanya dan hal ini akan menimbulkan pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan dan disebut kebiasaan, lama-ama akan mempunyai kekuatan mengikat (die normatieve Kraft des Faktischen). Memang keadaan akan kewajiban hukum itu merupakan salah satu faktor untuk timbulnya hukum kebiasaan. Faktor lain untuk timbulya hukum kebiasaan ialah terjadinya sesuatu yang ajeg. Akan tetapi kesadaran akan kewajiban hukum tidak perlu menunggu sampai terjadinya suatu peristiwa secara berulang. Suatu peristiwa cukup terjadi sekali saja untuk dapat memperoleh kekuatan mengikat asal peristiwa yang hanya terjadi sekali saja itu cukup menyebabkan timbulnya kesadaran bahwa peristiwa atau perbuatan itu seyogyaya terjadi atau

dilakukan. Pada hakekatnya kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan yang hidup di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi poliitik dan sebagainya Sebagai pandangan hidup didalam masyarakat maka tidak bersifat perorangan atau subjektif, akan tetapi merupakan resultante dari kesadaran hukum yang bersifat subjektif. Di muka telah diketengahkan bahwa ratio adanya hukum itu adalah conflict of human interest. Hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak ada. (onrecht) atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berlangsung dengan tertib (bukankah tujuan hukum itu ketertiban?), maka tidak akan ada orang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadi pelanggaran, sengketa, bentrokan atau conflict of human interest, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang benar dan sebagainya. Dengan demikian pula kiranya dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum pada hakekatnya bukanlah kesadaran akan hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya tidak hukum atau onrecht. Memang kenyataannya ialah bahwa tentang kesadaran hukum itu baru dipersoalkan atau ramai dibicarakan dan dihebohkan di dalam surat kabar kalau justru kesadaran hukum itu merosot atau tidak ada, kalau terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum: pemalsuan ijazah, pembunuhan, korupsi, pungli, penodongan dan sebagainya.

Kesadaran hukum masyarakat dewasa ini Judul karangan ini adalah meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Telah dikemukakan pula apa kesadaran hukum itu. Apakah kesadaran hukum masyarakat dewasa ini perlu ditingkatkan? Apakah sudah sedemikian merosotnya? Apakah yang dapat kita konstatasi didalam masyarakat dewasa ini yang berhubungan dengan kesadaran hukum? Sesuai dengan apa yang telah dikemukan di atas, bahwa kesadaran hukum pada hakekatnya adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya tidak hukum atau onrecht, maka marilah kita lihat apakah di dalam masyarakat sekarang ini banyak terjadi hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dinilai sebagai tidak hukum atau onrecht. Akhir-akhir ini banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum. Kalau kita mengikuti berita-berita dalam surat kabar-surat kabar, maka boleh dikatakan tidak ada satu hari lewat di mana tidak dimuat berita tentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum, baik yang berupa pelanggaran-pelanggaran, kejahatankejahatan, maupun yang berupa perbuatan melawan hukum, ingkar janji atau penyalah gunaan hak. Berita-beria tenang penipuan, penjambretan penodongan pembunuhan, tabrak lari dan sebagainya setiap hari dapat kita baca di dalam surat kabarsurat kabar. Yang menyedihkan ialah bahwa tidak sedikit dari orang-orang yang tahu hukum melakukannya, baik ia petugas penegak hukum atau bukan. Memang kriminalitas dewasa ini meningkat. Hal ini diakui juga oleh pihak kepolisian. Yang mencemaskan ialah bahwa meningkatnya kriminalitas bukan hanya dalam kuantitas atau volume saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas. Kejahatan-kejahatan lebih terorganisir, lebih sadis serta di luar peri kemanusiaan: perampokan-perampokan yang dilakukan

secara kejam terrhadap korban-korbannya tanpa membedakan apakah mereka anak-anak atau perempuan, pembunuhanpembunuhan dengan memotong-motong tubuh korban. Rasanya tidak mau percaya kalau mengingat bahwa bangsa \Indonesia itu terkenal sebagai bangsa yang halus dan perasa serta cukup besar tepo selironya. Tentang korupsi yang kata orang sudah membudaya di Indonesia dan suap tidak terbilang banyaknya. Yang terakhir ini rupa-rupanya sudah membudaya juga, sehingga orang mengikuti saja apa yang dilakukan oleh orang lain asal tercapai tujuannya. Setiap orang selalu ingin tujuannya tercapai Melihat orang lain melakukan penyuapan untuk mencapai tujuannya, takut kalau-kalau keinginannya tidak tercapai maka ia tepaksa melakukan penyuapan juga. Karena sudah terbiasa menerima suap maka si pejabat selalu akan mengharapkan. Dalam hal ini tidak jarang terjadi konflik antara tujuan yang harus dicapainya dengan hati nurani. Bentuk lain dari suap yang lebih kasar sifatnya adalah pungli atau pungutan liar yang banyak kita baca di dalam surat kabar dan dikecam sebagai perbuatan yang tercela. Kita konstatasi juga bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat. Boleh dikatakan setiap hari terjadi kecelakaan lalu lintas. Sesungguhnya meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas tidak perlu terjadi seperti keadaan sekarang ini. Memang benar jumlah kendaraan bermotor meningkat, tetapi apabila para pemakai jalan raya terutama para pengendara kendaraan bermotor mentaati peraturan lalu lintas dan para petugas ketat mengawasinya serta sikapnya tegas dan konsekuen menghadapi pelanggaran-pelanggaran lalu lintas, kecelakaan lalu lintas tidak perlu terjadi seperti sekarang ini. Mengabaikan rambu-rambu lalu lintas terjadi setiap hari. Kendaraan umum dan terutama

kendaraan bermotor beroda 2 sering membuat kesal dan gelisah pemakai jalan lainnya: kecuali dengan suara knalpot yang mempekakan telinga juga dengan cara mengendarai kendaraannya sehingga membahayakan lalu lintas. Pendek kata kesopanan lalu lintas diabaikan. Bukan hanya itu saja, tangggung jawab para pengendara kendaraan bermotor dapat dikatakan pada umumnya menurun: betapa banyaknya peristiwa tabrak lari. Ini berarti sikap yang tidak toleran dan melanggar kewajiban hukum, kewajiban untuk bersikap dan bertindak berhati-hati di dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Untuk sekedar memberi perbandingan dengan keadaan di zaman pendudukan Jepang: sekalipun pada waktu itu belum banyak kendaraan sepeda motor seperti sekarang, orang naik sepeda di malam hari pada umumnya menggunakan upet yang dinyalakan sebagai pengganti lampu penerangan karena lampu sepeda seperti yang banyak dijual sekarang tidak terdapat, sedangkan miyak tanahanpun sukar didapat juga. Fungsi upet ini adalah sebagai tanda bahwa ada orang mengendarai sepeda dan agar jangan sampai terjadi tabrakan. Ini menunjukkan adanya kesadaran akan kewajiban hukum, adanya toleransi dan sikap berhati-hati terhadap orang lain di dalam masyarakat. Sekarang banyak pengendara sepeda yang tidak memakai penerangan jalan di malam hari, jangankan pengendara sepeda, kendaraan bermotorpun tidak sedikit yang berjalan tanpa lampu di malam hari. Sangat disesalkan bahwa terhadap hal-hal tersebut tidak ada tindakan-tindakan yang tegas dari yang berwajib. Di samping pelanggaran-pelanggaran peraturan hukum terjadi banyak penyalahgunaan hak atau wewenang. Menggunakan haknya secara berlebihan sehingga merugikan orang lain berarti menyalahgunaan hak. Komersialisasi jabatan misalnya pada

hakekatnya merupakan penyalahgunaan hak. Penyalahgunaan hak banyak dilakukan oleh golongan tertentu atau pejabatpejabat yang merasa boleh berbuat dan dimungkinkan dapat berbuat semaunya sendiri karena kedudukan atau jabatannya. Dari segi pelaksanaan hukum (law enforcement) dapat dkatakan tidak ada ketegasan sikap dalam menghadapi pelanggaranpelanggaran hukum. Banyak pelanggaran-pelanggaran hukum yang tidak diusut. Tidak sedikit pengaduan-pengaduan dan laporan-laporan dari masyarakat tentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan kepada yang berwajib tidak ditanggapi atau dilayani. Banyak pegawai pengusut yang tidak wenang mendeponir perkara membiarkan perkara tidak diusut, sedangkan perkara perdata yang bukan wewenangnya diurusinya. Peristiwa-peristiwa tersebut di atas hampir setiap hari kita baca di dalam surat kabar. Boleh dikatakan tidak ada berita di dalam surat kabar mengenai suatu daerah yang keadaannya serba teratur tidak ada pelanggaran, tidak ada kejahatan dan tidak pula ada sengketa. Tidak ada surat kabar yang memberitakan tentang suatu daerah yag oleh kidalang lazimnya digambarkan sebagai Panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja.Kalau adapun maka selalu dihubungkan atau dibandingkan dengan tempat lain atau kedaan sebelumnya yang lebih buruk. Jadi bukan semata-mata hendak memberitahukan yang hukum, tetapi yang menjadi ukuran adalah yang tidak hukum (onrecht). Ditinjau dari segi journalistik memang sensasilah yang dicari dalam pemberitaan, karena sensasi menarik perhatian para pembaca dan berita tentang pelanggaran dan peradilan selalu menarik perhatian. Ditinjau dari segi hukum, maka makin banyaknya pemberitaan

tentang pelanggaran hukum, kejahatan atau kebatilan berarti kesadaran akan makin banyak terjadinya onrecht. Dengan makin banyaknya pelanggaran hukum makin berkurangnya toleransi dan sikap berhati-hati di dalam masyarakat, penyalahgunaan hak dan sebagainya dapatlah dikatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat dewasa ini menurun, yang mau tidak mau mengakibatkan merosotnya kewibawaan pemerintah juga. Menurunnya kesadaran hukum dalam hal ini berarti belum cukup tinggi. Kesadaran hukum yang rendah cenderung pada pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi ketaatan hukumnya. Untuk dapat mengambil langkah-langkah guna mengatasi menurunnya kesadaran hukum masyarakat, perlu kiranya diketahui apakah kiranya yang dapat menjadi sebab-sebabnya. Menurunnya kesadaran hukum masyarakat itu merupakan gejala perubahan di dalam masyarakat: perubahan sosial. Salah satu sebab perubahan sosial menurut Arnold M Rose (dalam Soerjono Soekanto, 1975: 35) adalah kontak atau konflik antar kebudayaan. Besarnya arus pariwisatawan yang mengalir ke Indonesia tidak sedikit pengaruhnya dalam merangsang perubahan-perubahan sosial. Pengaruh film terutama film luar negeri serta televisi, majalah atau bacaan-bacaan lainnya dengan adegan-adegan atau ceritera- ceritera yang sadistis tidak berperikemanusiaan atau asusila mempunyai peran penting dalam membantu menurunkan kesadaran hukum masyarakat. Kurang tegas dan konsekuensinya para petugas penegak hukum terutama polisi, jaksa dan hakim dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum pada umumnya merupakan peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatankejahatan. Tidak adanya atau kurangnya pengawasan pada

petugas penegak hukum merupakan perangsang menurunnya kesadaran hukum masyarakat. Adanya golongan, pejabat-pejabat dan pemimpin-pemimpin tertentu yang seakan-akan kebal terhadap hukum karena mereka berbuat dan dapat berbuat semaunya, menimbulkan kesadaran kepada kita bahwa tidak demikianlah seyogyanya. Sistem pendidikan kita kiranya kurang menaruh perhatiannya dalam menanamkan pengertian tentang kesadaran hukum. Mengingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, maka menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena orang tidak melihat atau menyadari lagi bahwa hukum melindungi kepentingannya. Soerjono Soekanto menambahkan bahwa menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan juga karena para pejabat kurang menyadari akan kewajibannya untuk memelihara hukum dan kurangnya pengertian akan tujuannya serta fungsinya dalam pembangunan. Cara-cara meningkatkan kesadaran hukum masyarakat Tindakan atau cara apakah yang sekirarnya efektif untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat? Tindakan drastis dengan misalnya memperberat ancaman hukum atau dengan lebih mengetatkan penataan ketaatan warga negara terhadap undang-undang saja, yang hanya bersifat insidentil dan kejutan, kiranya bukanlah merupakan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Mungkin untuk beberapa waktu lamanya akan tampak atau terasa adanya penertiban tetapi kesadaran hukum masyarakat tidak dapat dipaksakan dan tidak mungkin diciptakan dengan tindakan yang drastis yang bersifat insidentil saja. Kita harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran

hukum masyarakat dewasa ini, yang menjadi tujuan kita pada hakekatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan kesadaran hukum masyarakat saja, tetapi membina kesadaran hukum masyarakat. Seperti yang telah diketengahkan di muka maka kesadaran hukum erat hubungannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu blueprint of behaviour yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Dengan demikian maka kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai. Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan pembinaan yang utama, efektif dan efisien ialah dengan pendidikan. Pendidikan tidaklah merupakan suatu tindakan yang einmalig atau insidentil sifatnya, tetapi merupakan suatu kegiatan yang kontinyu dan intensif dan terutama dalam hal pendidikan kesadaran hukum ini akan memakan waktu yang lama. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dengan pendidikan yang intensif hasil peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum baru dapat kita lihat hasilnya yang memuaskan sekurang-kurangnya 18 atau 19 tahun lagi. Ini bukan suatu hal yang harus kita hadapi dengan pesimisme, tetapi harus kita sambut dengan tekad yang bulat untuk mensukseskannya. Dengan pendidikan sasarannya akan lebih kena secara intensif daripada cara lain yang bersifat drastis. Pendidikan yang dimaksud di sini bukan semata-mata

pendidikan formal disekolah-sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, tetapi juga pendidikan non formal di luar sekolah kepada masyarakat luas. Yang harus ditanamkan baik dalam pendidikan formal maupun non formal ialah pada pokoknya tentang bagaimana menjadi masyarakat Indonesia yang baik, tentang apa hak serta kewajiban seorang warga negara Indonesia. Setiap warga negara harus tahu tentang undang-undang yang berlaku di negara kita. Tidak tahu undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf : ignorantia legis excusat neminem. Asas ini yang lebih dikenal dengan kata-kata bahasa Belanda dengan iedereen wordt geacht de wet te kennen berlaku di Indonesia harus ditanamkan dalam pendidikan tentang kesadaran hukum. Ini tidak hanya berarti mengenal undang-undang saja, tetapi mentaatinya, melaksanakannya, menegakkannya, dan mempertahankannya. Lebih lanjut ini berarti menanamkan pengertian bahwa di dalam pergaulan hidup kita tidak boleh melanggar hukum serta kewajiban hukum, tidak boleh berbuat merugikan orang lain dan harus bertindak berhati-hati di dalam masyarakat terhadap orang lain. Suatu pengertian yang pada hakekatnya sangat sederhana, tidak bombastis, mudah dipahami dan diterima setiap orang. Sesuatu yang mudah dipahami dan diterima pada umumnya mudah pula untuk menyadarkan dan mengamalkannya. Di Taman Kanak-kanak sudah tentu tidak mungkin ditanamkan pengertian-pengertian abstrak tentang hukum atau disuruh menghafalkan undang-undang. Yang harus ditanamkan kepada murid Taman Kanak-kanak ialah bagaimana berbuat baik terhadap teman sekelas atau orang lain, bagaimana mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh sekolah. Maka perlu kiranya di sekolah dipasang tanda-tanda larangan

(verbodstekens) atau tanda-tanda perkenan (gebodstekens) berupa poster atau tanda-tanda bergambar lainnya yang menarik dan ibu guru harus mengadakan pengawasan serta menindak pelanggarnya dengan memberi hukuman. Suatu taman mini lalu lintas pada tiap-tiap sekolah Taman Kanakkanak akan membantu memupuk kesadaran hukum pada anakanak. Yang penting dalam pendidikan di Taman Kanak-kanak ialah menanamkan pada anak-anak pengertian bahwa setiap orang harus berbuat baik dan bahwa larangan-larangan tidak boleh dilanggar dan si pelanggar pasti menerima akibatnya. Di SD, SLTP dan SLTA hal tersebut di atas perlu ditanamkan lebih intensif lagi: hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar, pasalpasal yang penting dari KUHP, bagaimana cara memperoleh perlindungan hukum. Perlu diadakan peraturan-peraturan sekolah. Setiap pelanggar harus ditindak. Untuk itu dan juga untuk menanamkan sense of justice pada murid-murid perlu dibentuk suatu dewan murid dengan pengawasan guru yang akan mengadili pelanggar-pelanggar terhadap peraturan sekolah. Di samping buku pelajaran yang berhubungan dengan kesadaran hukum perlu diterbitkan juga buku-buku bacaan yang berisi cerita-cerita yang heroik. Secara periodik perlu diadakan kampanye dalam bentuk pekan (pekan kesadaran hukum, pekan lalu lintas dan sebagainya) yang diisi dengan perlombaan-perlombaan (lomba mengarang, lomba membuat motto yang ada hubungannya dengan kesadaran hukum), pemilihan warga negara teladan terutama dihubungkan dengan ketaatan mematuhi peraturan-peraturan, pameran dan sebagainya. Di Perguruan-perguruan Tinggi harus diberi pelajaran Pengantar Ilmu Hukum, yang disesuaikan dengan kebutuhan: PIH yang

diberikan di Fakultas Teknik misalnya harus berbeda dengan yang diberikan di Fakultas Ekonomi atau Fakultas Hukum. Dalam memberi Pengantar Ilmu Hukum di semua Perguruan Tinggi hendaknya diketengahkan probleem situasi yang konkrit dengan mengetengahkan res cottidianae (= peristiwa sehari-hari), yaitu persoalan-persoalan yang terjadi setiap hari yang dimuat di dalam surat kabar terutama yang berhubungan dengan kesadaran hukum. Pada Fakultas-fakultas hukum hendaknya dibentuk seksi atau jurusan peradilan yang khusus mendidik para calon hakim, jaksa dan pengacara. Kecuali itu Fakultas Hukum ditugaskan pula untuk memberi penataran kepada para petugas penegak hukum. Perguruan Tinggi khususnya Fakultas Hukum mempunyi peranan penting dalam hal meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Menarik sekali pendapat Achmad Sanusi yang mengatakan bahwa Perguran Tinggi menghasilkan orang-orang yang diasumsikan mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Pendidikan non formal ditujukan kepada masyarakat luas meliputi segala lapisan di dalam masyarakat. Pendidikan non formal ini dilakukan dengan peyuluhan atau penerangan, kampanye serta pameran. Penyuluhan atau penerangan dapat dilakukan melalui segala bentuk mass media: televsii, radio, majalah, surat kabar dan sebagainya. Bahan bacaan, terutama ceritera bergambar atau strip yang bersifat heroik akan sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Buku pengangan (vademecum, handboek) yang berisi tentang hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan \Undang-undang Dasar, pasa-pasal yang penting dalam KUHP, bagaimana caranya memperoleh perlindungan hukum perlu diterbitkan. Dalam buku ini harus ditanamkan rasa demuwe

dan sense of belonging, yaitu agar merasa dan menyadari sebagai bangsa yang merdeka dan mempunyai negara yang merdeka pula. Buku vademecum untuk umum ini hendaknya ditulis secara populer dan sebaiknya dalam bentuk tanya jawab, seperti misalnya buku the USA answers questions, a guide to understanding diterbitkan oleh Kenneth E. Beer atau Our Ameican Government the answers to one thousand and one questions ditulis oleh Wright Patman seorang anggota Kongres. Di tempat yang banyak dikunjugi oleh orang, seperti pasar, alun-alun, restoran, stasiun, terminal, stasiun udara, bioskop dan juga di perempatan-perempatan atau sepanjang jalan raya atau pada kendaraan-kendaraan umum dipasang atau ditempelkan poster-poster atau spandoek dengan motto yang berhubungan dengan kesadaran hukum. Penyuluhan atau penerangan dapat dilakukan juga dengan ceramah yang diadakan di kecamatan-kecamatan atau di tempat tempat lain kepada golongan-golongan tertentu, misalnya para pemegang SIM, para pedagang, para narapidana dan sebagainya. Ceramah-ceramah ini harus diadakan secara sistematis dan periodik. Di Amerika Serikat, suatu negara yang sudah maju, dikenal adanya Law Day untuk membina kesadaran hukum masyarakat. Maka kiranya tidak berlebihan kalau kita mengadakan kampanye peningkatan kesadaran hukum masyarakat secara ajeg yang diisi dengan kegiatan-kegiatan yang disusun dan direncanakan secara planmatig (terrencana), seperti ceramah-ceramah, pelbagai macam perlombaan, pemilihan warga negara teladan, pameran dan sebagainya. Suatu pameran mempunyai fungsi yang informatif edukatif. Maka tidak dapat disangkal peranannya yang positif dalam meningkatkan dan membina kesadaran hukum

masyarakat. Tersedianya buku vademecum seperti yang telah diketengahkan di muka, brohure serta leaflets di samping diperlihatkan film, slide dan sebagainya yang merupakan visualisasi kesadaran hukum akan mempunyai daya tarik yang besar. Pelaksanaan hukum Adanya hukum itu adalah untuk ditaati, dilaksanakan atau ditegakkan. Pelaksanaan hukum atau law enforcement oleh petugas penegak hukum yang tegas, konsekuen, penuh dedikasi dan tanggung jawab akan membantu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Tidak atau kurang adanya sikap yang tegas dan konsekuen dari para petugas penegak hukum, kurangnya dedikasi dan tanggung jawab akan minmbulkan sikap acuh ta acuh dari masyarakat dan memberi peluang serta perangsang untuk terjadinya onrecht. Setiap petugas penegak hukum harus bersikap tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi. Tegas dan konsekuen dalam arti tidak ragu-ragu menindak setiap pelanggaran kapan saja dan di mana saja. Pengabdian dalam tugas dan rasa tanggung jawab merupakan persyaratan yang penting bagi setiap petugas penegak hukum. Pelaksanaan hukum yang tegas dan konsekuen serta penuh dedikasi dan tanggung jawab akan menimbulkan rasa aman dan tenteram di dalam masyarakat. Orang tahu kepada siapa harus mencari perlindungan hukum dan dapat mengharapkan perlindungan hukum itu tanpa adanya kemungkinan akan dipersukar, tidak dilayani atau dipungut beaya yang tidak semestinya. Kalau sampai terjadi sebaliknya maka orang tidak akan merasa aman dan tenteram. Untuk mengadukan atau melaporkan suatu pelanggaran hukum saja segan karena tidak

yakin akan dilayani dengan baik atau ditindak pelanggaran hukum yang dilaporkan itu. Oleh karena itu maka perlu ada kontrol atau pengawasan terhadap para petugas penegak hukum dalam menjalankan tugasnya melaksanakan atau menegakkan hukum. Pengawasan ini tidak cukup dilakukan oleh pimpinan setempat saja, tetapi harus dilakukan juga oleh pimpinan pusat. Banyak hal-hal yang terjadi di daerah tidak diketahui atau lepas dari sorotan pimpinan pusat. Lebih-lebih mengingat banyaknya laporanpaporan ke pusat yang tidak sesuai dengan kenyataan. Maka oleh karena itu secara ajeg pimpinan dari pusat harus turun ke bawah. Mengingat bahwa praktek hukum itu pada hakekatnya merupakan suatu chaos, tidak teratur secara sistematis dan merupakan sleur sebagaimana sifat praktek pada umumnya, maka sekali-kali para petugas penegak hukum perlu ke luar dari suasana sleur dari praktek untuk mendapatkan refreshing. Di dalam praktek hukum ada kecenderungan orang untuk mengabaikan teori dan sistem, maka oleh karena itu sangat penting fungsi penataran bagi para petugas penegak hukum. Akhirnya demi suksesnya peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum masyarakat masih diperlukan partisipasi dan kooperasi dari para pejabat dan pemimpin-pemimpin.

ekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja. Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk.Tingginya angka penganguran pada saat itu mengakibatkan meningkat pula angka kriminalitas, termasuk tindak pidana narkotika. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yangsemakin mahal, penganguran terpaksa menempuh cara yang melanggar hukum yaitu menjadi pengedar atau kurir narkotika. Sebuah cara mudah mencari uang dengan hasilyang berlipat ganda. Tidak disadari bahwa melakukan tindak pidana narkotika amat berbahaya dan dapat dijatuhi sanksi yang berat (misal pidana mati). Atau mungkin keinginan untuk keluar dari pusaran kemiskinan telah mengalahkan ketakutan akan bahaya hukuman mati. Faktor ekonomi ini masih sangat relevan sampai saat inimempengaruhi meningkatnya jumlah tindak pidana narkotika di Indonesia. Dalam sebuah media cetak nasional diberitakan bahwa ; Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui faktor ekonomi menghambat upaya pemberantasan tanaman ganja di provinsi itu.

Cukup sulit mengajak mereka berhenti menanam ganja karena keuntungan cukup menggiurkan

. Aceh merupakan salah satu wilayah dengan tingkat tindak pidana narkotika cukuptinggi.Dalam Undang-undang Narkotika diatur juga peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika. Selama ini masyarakat belum banyakmemberikan kontribusi dalam upaya pemberantasan tindak pidana di Indonesia. Adaketakutan dalam masyarakat untuk melaporkan kepada POLRI atau BNN jika di daerahnya ditemukan ada indikasi tindak pidana narrkotika. Mereka takut keselamatan dirinya dan keluarganya terancam jika melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Padahal peran serta masyarakat akan sangat membantu aparat penegak hukum memberantas tindak pidana dan peredaran gelap narkotika. Belum semua lapisan masyarakatmenyadari pentingnya peran serta mereka. Untuk

meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika, maka diberikan penghargaanbagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkotika.Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakaat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaanspiritual atau non materiil. Pasangan nilainilai kebendaan dan keakhlakan, jugamerupakan pasangan nilai yang bersifat universal. Akan tetapi di dalam kenyataan masyarakat Indonesia pada masing-masing masyarakat timbul perbedaan-perbadaankarena berbagai macam pengaruh. Pengaruh dari kegiatan modernisasi di bidang materiil, misalnya tidak mustahil akan menempatkan nilai kebendaaan pada posisi yang lebih tinggi daripada nilai keakhlakan, sehingga akan timbul pula suatu keadaan yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan yang pada posisi lebih tinggi dan lebih penting, akan mengakibatkan bahwa berbagai aspek proses hukum akan mendapat penilaian dari segi kebendaan belaka.Penempatan nilai kebendaan lebih tinggi daripada nilai keakhlakan sebenaarnya telah terjadi dalam masyarakat Indonesia, dimana beberapa masyarakat Indonesia memilih melakukaan peredaran gelap narkotika demi keuntungan yang berlipat ganda.Segala sesuatu disandarkan pada cost and benefit. Akhlak tidak menjadi prioritasbagi mereka yang telah melakukan tindak pidana narkotika. Hal inilah yang membuktikan bahwa nilai kebendaan lebih penting daripada nilai keakhlakan. Padahal pandangan seperti ini sangat bertentangan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia.Kebudayaan Indonesia sangat menjunjung akhlak, moral, etika berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan. Jika nilai-nilai kebudayaan ini dipegang teguh dan diamalkan, maka seharusnya bangsa Indonesia tidak terlibat dalam tindak pidana narkotika. BAB IIIPENUTUPIII.1. Kesimpulan1 . A n c a m a n p i d a n a m a t i dalam Undang-undang Narkotika tidak efektif dalam

u p aya pemberantasan tindak pidana narkotika.2 . D a r i p e m b a h a s a n dapat diketahui bahwa kesadaran hukum masyarakat d a n p e n egak hukum di Indonesia masih buruk (negatif), artinya walaupun mereka tahu bahwa mengkomsumsi dan peredaran gelap narkotika adalah tindak pidana, tetapi hal itu masih tetap dilakukan. Penegakan hukum di dalam bidang Undang-undang Narkotikabelum maksimal yang dipengaruhi oleh beberapa faktor Undang-undang narkotika tidak efektif, sebagai berikut :i ) F a k t o r h u k u m n y a s e n d i r i . ii)Faktor penegak hukum, yakni pihakp i h a k m e n e r a p k a n h u k u m . iii)Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.i v ) F a k t o r masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum t e r s e b u t b e r l a k u a t a u diterapkan.v ) F a k t o r k e b u d a y a a n , yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang d i d a s arkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.Faktor hukum (Undang-undang Narkotika) secara normatif sudah baik, tetapi yang paling menyebabkan undang-undang tersebut tidak efektif adalah faktor penegak hukum, sarana atau fasilitas penegakan hukum, masyarakat, dan faktor kebudayaan.III.2. SaranSolusi yang harus dilakukan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana narkotika, sebagai berikut :1 ) H a r u s ditanamkan kesadaran hukum pada diri setiap orang ( m a s y a r a k a t d a n penegak hukum) melalui pendidikan dan sosialisai. Proses pendidikan harus lebihmemperhatikan nilai-nilai moral dan etika untuk membangkitkan kesadaran hukum, tidak hanya mengedepankan intelektualitas semata.2 ) A p a r a t p e n e g a k h u k u m d a l a m m e n j a l a n k a n t u g a s n y a t i d a k s a j a b e r p e d o m a n k e pada peraturan perundang-undangan, tetapi juga berpedoman pada hati nurani dan moral.3 ) P e m e r i n t a h h a r u s m e m b e r i k a n d a n a ( a n g g a r a n ) y a n g c u k u p s e h i n g g a u p a y a p e mberantasan tindak pidana narkotika didukung penggunaan peralatan canggih.4 ) P e m e r i n t a h harus mampu meningkatan pembangunan pada sektor r i i l s e r t a m embuka lapangan kerja bagi masyarakat.5 ) M a s y a r a k a t

harus meningkatkan peran sertanya dalam p e m b e r a n t a s a n t i n d a k pidana narkotika. DAFTAR PUSTAKAAli, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana, Jakarta, 2009.Muladi dan Barda Arief Nawawi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.52Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet.III, Angkasa, Bandung, 1984.Satjipto Raharjo, Sosilogi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cet.II, Genta, Yogyakarta, 2010.Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum, Cet.I, Genta, Yogyakarta, 2009.Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet.19, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.Media Elektronik dan Cetak :Andi Suruji dkk, Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi; Krisis Ekonomi 1998, Tragedi tak Terlupakan, http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm, 21 Desember 1998.Badan Narkotika Nasional, Data Jumlah Kasus dan Tersangka Narkotika, http://www.bnn.go.idGories Mere, Pantai Indonesia Rawan Penyelundupan Narkoba, http://www.tempointeraktif.com, 21 September 2010.Harian Bali Post, 22 Oktober 2010.Harian Jawa Pos, 27 Mei 2007.Harian Jawa Pos, 9 Januari 2011.Mertokusumo, Sudikno, 19 Maret 2008, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, http://sudiknoartikel.blogspot.comMertokusumo, Sudikno,Kesadaran Hukum Sebagai Landasan Untuk Memperbaiki Sistem Hukum, 19 Maret 2008, http://sudiknoartikel.blogspot.com HarianNews, Viva, Seorang Perempuan Filipina Ditangkap Membawa Heroin, 13/07/2010, http://metro.vivanews.comRois, 19-11-2010, Dua Kali Terjerat Kasus Narkoba, Staf Kejari Tanjung Perak Dipecat, http://surabaya.detik.com HarianSofia, Kesadaran Hukum Masyarakat Dan Pengaruhnya Bagi Efektifitas PerkembanganHukum, 2010, http://s2hukum.blogspot.comPeraturan Perundang-undangan :Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang narkotika.Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 Tentang Narkotika.

Вам также может понравиться