Вы находитесь на странице: 1из 6

Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Diberlakukannya UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sejak 25 Maret 2003, jika dibaca

isinya khususnya tentang Pengupahan dan Kesejahteraan, memberikan harapan baru bagi buruh Indonesia. Sebab dalam Undang Undang itu dengan jelas dan tegas tentang hal upah dan kesejahteraan buruh sudah disebutkan. Namun seperti terjadi dalam banyak kasus di Indonesia, hal-hal positif dalam Undang Undang yang memberikan harapan bagi perbaikan kehidupan rakyat, berubah menjadi pepesan kosong karena tidak ada wujudnya di kehidupan buruh sehari-harinya. Sebab Undang Undang atau aturan hukum lainnya nampaknya lebih difungsikan sebagai hiasan, bukan atau tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.\ Pengalaman sejarah selama Orde Baru tentang indahnya hukum namun jeleknya pelaksanaan hukum, nampaknya tidak pernah diambil hikmahnya oleh bangsa Indonesia, sehingga sekalipun era berubah dan rejim penguasa khususnya presiden sudah berganti empat kali sama sekali tidak mempengaruhi mental manusia Indonesia yaitu hukum sekedar tulisan tanpa makna yaitu penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang jauh menyimpang jika tidak mau disebut mengkhianati hukum yang ada. Demikian jugalah kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini. Sejak rakyat memberikan mandat kepada SBY-KALLA untuk memimpin Indonesia sampai saat ini tidak ada hasil yang dinilai dapat meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia, khususnya di kalangan buruh. Sebaliknya yang terjadi adalah buruh mengalami kemiskinan, pemiskinan dan penindasan yang luar biasa akibat kolusi antara penguasa dan pengusaha pada berbagai bidang, yaitu: EKONOMI Pada awal kepemimpinannya SBY-KALLA mengeluarkan kebijakan tentang kenaikkan harga BBM rata-rata sebesar 80%, bahkan kenaikan harga minyak tanah naik sebesar 175 prosen. Dampak kenaikan harga BBM itu dirasakan sangat mencekik bagi kehidupan rakyat termasuk buruh, karena otomatis harga-harga kebutuhan hidup lainnya juga mengalami kenaikkan yang tinggi yang tidak sejajar dengan upah yang diterima buruh. Memang secara nominal upah buruh setiap awal tahun meningkat, tetapi meningkatnya nilai nominal upah buruh tidak berarti ada kenaikan upah buruh jika dilihat dari nilai riil ekonomis, bahkan yang terjadi adalah penurunan nilai riil ekonomi upah buruh pada setiap tahunnya. Sebagai contoh, pada UMK tahun 2006 upah buruh mengalami kenaikan nominal yang secara prosentase sebesar sekitar 20 prosen dari UMK tahun 2005. Kenaikan nominal sebesar 20 prosen itu menjadi sama sekali tidak berarti bagi buruh kecuali buruh menjadi lebih miskin, sebab kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 sebesar rata-rata 80 prosen yang kemudian membawa kenaikan harga kebutuhan sehari-hari. Kembali pada hal upah dalam kaitannya ekonomi nasional. Pasal 88 UU nomor 13/2003 menyatakan bahwa Setiap buruh berhak memperoleh pengasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan yang melindungi buruh. Bentuk perlindungan buruh yang berupa kebijakan pemerintah tersebut adalah Upah Minimum. Tapi ternyata UU 13/2003 itu hanya menyebutkan, bahwa Upah Minimum tersebut barulah diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak(Pasal 89 (2). Ini artinya bukan terwujudnya kebutuhan hidup layak itu sendiri bagi buruh. Dari ketentuan ini nampak bahwa buruh Indonesia pada pembentukan UU 13/2003 itu sudah diniatkan atau dikehendaki oleh Presiden dan DPR untuk tetap miskin dan sengsara bukan untuk diusahakan sebagai layaknya manusia. Inilah nasib rakyat yang 100 jutanya terdiri atas buruh yang bodoh di negara Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden dan DPRnya adalah orang-orang yang pandai membohongi rakyat. Celakanya buruh yang bodoh itu dibodohi lagi oleh pemerintah, buktinya adalah sudah empat tahun berlalu sejak berlakunya undang undang ketenagakerjaan dimaksud, pemerintah belum merumuskan apalagi menetapkan formulasi tentang hidup layak bagi

kemanusiaan sebagai diamanatkan UU. Namun konyolnya adalah pemerintah melalui menakertrans RI telah menetapkan Peraturan Menakertrans RI nomor : PER-17/MEN/VIII/2005 tanggal 26 Agustus 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan hidup Layak. Dikatakan konyol sebab bagaimana mungkin terjadi, Formulasi Kebutuhan hidup layak bagi kemanusiaan sendiri belum ditetapkan, tetapi tahapan pencapaian kebutuhan hidup layaknya sudah ditetapkan; ibaratnya titik tujuan belum ditetapkan, tetapi proses menuju titik sasaran sudah berjalan, terus mau jalan ke mana?, edan benar!!!. Dan lebih celaka lagi nasib buruh Indonesia adalah dari ahli atau aktivis hukum dan atau pengurus serikat buruh di tingkat nasional tidak ada yang melawan terhadap kebijakan pemerintah ini, sebab tidak satu pun yang mencermatinya apalagi berusaha menghentikan kekonyolan pemerintah ini, melalui usaha melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung.\ Maka dalam kebodohan buruh Indonesia itu dilaksanakanlah Upah Minimum yang benar-benar minimum, karena dalam realita, upah yang diterima buruh berdasar kebijakan upah minimum menurut permenaker tanggal 26 Agustus 2005 itu, nilai riil atau nilai ekonominya lebih kecil dibandingkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup minimum seperti dalam UMK tahun 2005. Terlebih lagi walaupun Gubernur telah menetapkan UMK tetapi karena pemerintah tidak melaksanakan fungsi pengawasan di lapangan, akibatnya lebih banyak buruh yang masih menerima upah di bawah UMK yang ditetapkan pemerintah dibandingkan buruh yang menerima upah sebesar ketentuan UMK. Sebagai contoh: Di Kota Malang masih ada buruh tetap yang bekerja seharian pada perusahaan konveksi hanya menerima upah Rp 5.500, per hari. Belum lagi ditambah kenyataan yang terjadi adalah UMK diberlakukan pada semua buruh pada perusahaan yang melaksanakan UMUK, sekalipun hukum menentukan bahwa UMK hanya diperuntukkan bagi buruh yang bekerja (memiliki masa kerja) satu tahun atau kurang, artinya mayoritas perusahaan tidak melaksanakan pengupahan berdasarkan masa kerja; jadi yang masa kerja 1, 5, 13, atau 24 tahun upahnya ya sebesar UMK. Padahal jelas bahwa UMK ditentukan berdasarkan Kebutuhan Hidup Minimum bagi seorang buruh lajang, karena komponen UMK hanya terdiri dari 46 jenis kebutuhan hidup yang secara kualitas maupun kuantitas nilainya sangat rendah dari kebutuhan hidup layak kemanusiaan apalagi kebutuhan hidup yang disebut sejahtera. Terus nasib keluarga buruh?, ya tahu sendirilah, jika buruh punya istri dan dua anak. Ini berarti UMK dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan empat orang. Dengan kata lain setiap orang hanya mendapatkan pemenuhan kebutuhan sebesar seperempat dari kebutuhan hidup minimum seseorang, atau sebut saja kelompok orang ini tidak lain adalah kualitas seperempat orang, tidak layak untuk disebut lagi sebagai manusia. Terus kapan buruh Indonesia dapat merasakan sebagai manusia yang sungguhsungguh hidup layak secara manusiawi ?. Mungkin banyak yang akan menjawab seperti diungkapkan Ebiet G.Ade: tanyakan pada rumput yang bergoyang. Tetapi penulis menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang jelas dan tegas, yaitu: Sampai buruh itu sendiri mampu menyadari dan menjalani dirinya sebagai Manusia, bukan lagi orang, apalagi sekedar orangorangan. Tuhan tidak akan merubah nasib buruh Indonesia, kecuali buruh Indonesia sendiri yang merubahnya. Dengarkanlah hai buruh Indonesia: Kamu diam menunduk akan terus ditindas dan disengsarakan; oleh karena itu tegakkan kepala, gunakan pikiran dan akalmu untuk menanamkan kesadaran diri sebagai buruh, yang adalah sebagai manusia, kemudian bangkit melawan semua penindas buruh Indonesia apakah penguasa, pengusaha, tokoh masyarakat, dan ulama yang dzolim, yang hanya pandai omong tapi tidak pernah menyantuni kaum miskin di lingkungannya.

Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Perkembangan hokum perburuhan ditandai oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; 2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; 4. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah mengubah sistem keserikatburuhan di Indonesia. Dengan diundangkannya UU ini maka sistem keserikatburuhan di Indonesia berubah dari single union system menjadi multi union system. Hal ini disebabkan menurut menurut UU No.21/2000, sekurang-kurangnya 10 orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan. Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui serikat pekerja/serikat buruh, buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum perburuhan yang mengatur keserikatburuhan mempunyai nilai positif. Selanjutnya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti UU No.25/1997 yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. UU No. 13/2003 ini juga mengandung banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Perjanjian Kerja Waktu tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karenapihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu. 2. Outsourcing. Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang dioutsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang dioutsource juga merasa diback up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing

pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasa; 6 ayat 2 a UU No.13/2003 Pemerintah melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia. Kemudian UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial meskipun sampai saat ini masih belum diberlakukan namun melalui kajian yuridis-normatif dapat dikemukakan bahwa UU No.2/2004 masih mengandung banyak kelemahan yang mengakibatkan proses Penyelesaian Perselisihan Industrial yang lama dan ini berarti mahal. Hal ini antara lain dapat dikemukakan halhal sebagai berikut: 1. UU ini berparadigma konflik karena hanya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara, sedangkan pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan tidak diberi keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh UU ini. Hal ini tercermin dari perbedaan kewenangan pengadilan hubungan industrial dibandingkan dengan kewenangan arbitrase. Menurut UU ini, pengadilan hubunganindustrial diberi kewenangan untukmenyelesaikan semua jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksudkan oleh UU ini yaitu: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja. Sedangkan kewenangan arbitrase terbatas pada perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara jalurnya adalah pengadilan, sedangkan pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan bukan ke pengadilan melainkan ke arbitrase sebagai alternative dispute resolution. Menurut UU ini, para pihak yang menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan hak tidak dapat menyelesaikannya melalui arbitrase. Mereka harus menempuh jalur pengadilan hubungan industrial. Padahal 99, 9 % perselisihan perburuhan adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak. Dengan demikian 99,9 % dari ribuan kasus perburuhan akan diselesaikan melalui jalur pengadailan hubungan industrial dan akan bermuara di Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan di sini apakah pengadilan hubungan industrial dapat menyelesaikan kasus perburuhan yang jumlahnya ribuan itu dalam waktu 50 hari untuk setiap kasusnya? Pertanyaa serupa juga dapat dikemukakan disini kepada Mahkamah Agung yang diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan setiap kasusnya. Dengan demikian harapan terselesaikannya kasus perburuhan dalam waktu 140 hari melalui mekanisme yang ditawarkan UU ini akan jauh dari kenyataan. 2. Dengan dicabutnya pasal 158 tentang Kesalahan Terberat untuk kasus pemutusan hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam UU No.13/2003 juga akan memperlama proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan pengadilan hubungan industrial baru dapat memproses kasus tersebut terutama dengan alasan pencurian, penggelapan atau penganiayaan setelah kasus tersebut mendapatkan keputusan yang mengingat dari pengadilan pidana. Akhirnya UU No.39/2004 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negri juga masih memposisikan TKI sebagai ekspor komoditi, bukan sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya. Hal ini terjadikarena UU ini belum menciptakan sistem penempatan TKI ke Luar Negri yang berpihak kepada Tki sebagaimana terurai di bawah ini: 1. Perusahan penempatan TKI yang pada dasarnya business-oriented diberi kewenangan untuk merektut, menampung, melatih dan sekaligus menempatkan TKI, melindungi TKI selama masa

pra penempatan, pada masa penempatan dan pasca penempatan. Pembebanan tanggung jawab yang sangat berat ini tidak dapat dibebankan kepada perusahaan penempatan TKI yang business-oriented. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penempatan TKI yang tidak selektif. Penempatan TKI yang tidak selektif ini akan merupakan akar permasalahan terjadinya penganiayaan, pelecehan seksual, tidak dibayar upahnya, penipuan, pemerasan dan lain-lain akan merupakan persoalan laten yang akan berulang kembali pada masa mendatang. 2. Tidak adanya ketentuan yang melarang kegiatan penempatan TKI secara ilegal serta tidak adanya ketentuan yang melarang pejabat Depnaker, deplu dan Depkumham termasuk saudarasaudaranya yang menurut garis keturunan menyamping atau kebawah akan menimbulkan persoalan TKI sebagaimana tersebut di atas. Tren Hukum Perburuhan 2008 Di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang tahap pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, tahap industrialiasi dan tahap kesejahteraan berlangsung secara bersamaan), kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan hukum perburuhan. Tahap industrialisasi yang menekankan pertumbuhan ekkonomi setinggi-tingginya akan mengarahkan hukum perburuhan untuk melindungi pemilik modal. Hal ini berarti bahwa buruh dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Di lain pihak pada tahap kesejahteraan fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari krisis multidimensional dan tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh berjalan bersamaan. Kondisi ini akan mempengaruhi perkembangan hukum perburuhan, sehingga akan terjadi tarik menarik kepentingan dari kedua belah pihak. Pengusaha akan berusaha untuk tetap mempertahankan ketentuan yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan outsourcing, di lain pihak buruh akan berusaha agar ketentuan Perjanjian Kerja Waktu tertentu dan outsourcing dihapuskan. Pengusaha akan berusaha menekan besarnya upah minimum, di lain pihak pekerja akan berusaha meningkatkan upah minimum. Pihak pemerintah cenderung untuk memihak para pelaku bisnis karena Pemerintah menghadapi persoalan bagaimana menarik investor domestik/asing dan untuk mengatasi masalah pengangguran. Dengan demikian tren hukum perburuhan 2008 akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis bukan kepada pekerja/buruh semata-mata.

Persoalan di sekitar isu perburuhan di Indonesia


Harian Republika pada Selasa 20 Juni 2006 menurunkan berita tentang kritikan pedas dari Federasi Serikat Buruh Transport Internasional (ITF) Asia Pasifik tentang kualitas Serikat Buruh di Indonesia. Menurut ITF, serikat buruh di Indonesia sangat vokal dan militan pada saat melakukan aksi unjuk rasa, tetapi sangat lemah ketika maju ke meja perundingan untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau pada saat bernegosiasi dengan pemerintah dan asosiasi pengusaha. Bahkan ITF menilai, serikat buruh di Indonesia terkesan cepat menyerah dan mengikuti keinginan pihak pengusaha atau pemerintah. Kelemahan atau lemahnya posisi tawar serikat buruh di Indonesia dimulai pada saat penghancuran gerakan serikat buruh pasca peristiwa oktober 1965. Secara sistematis pemerintah orde baru menghancurkan suprasutruktur dan infrastruktur dari gerakan serikat buruh. Pembentukan government controlled trade union Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 1973 menjadi awal dari melemahnya posisi tawar serikat buruh di Indonesia. Mulai saat itu sebenarnya serikat buruh di Indonesia sudah tidak mempunyai kekuatan berunding baik dengan pengusaha ataupun dengan pemerintah.

Munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa pada medio 1998 yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Soeharto, memang menjadi dari menjamurnya serikat buruh di Indonesia. Hingga saat ini tercatat lebih dari 64 federasi dan konfederasi ditambah dengan lebih dari 100 serikat pekerja yang beroperasi di tingkat nasional. Tren pertumbuhan gerakan serikat buruh ini nampaknya akan terus berlangsung, hal ini sangat kontras bila dibandingkan dengan Korea Selatan yang hanya mempunyai dua konfederasi di tingkat nasional. Pertumbuhan serikat buruh di Indonesia tidak berkorelasi secara positif pada posisi tawar dari serikat buruh. Pertumbuhan dan fragmentasi ini nampaknya malah berkorelasi secara positif dengan melemahnya posisi tawar dari serikat buruh. Meskipun demikian ada beberapa serikat buruh yang cukup penting untuk diketahui antara lain, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI-Government Sponsored Trade Union), Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI, ILO Sponsored Trade Union), dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI, yang ini juga terpecah kedalam K-SBSI dan SBSI KKSD 1992). Fenomena penolakan rencana revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh seluruh serikat buruh di Indonesia menjadi titik perhatian yang penting. Selama ini perhatian serikat -serikat buruh baik yang mainstream maupun tidak hanyalah berkutat diseputaran isu ketenagakerjaan. Isu ketenagakerjaan sebaiknya tidak direspon sebagai isu tunggal namun juga sebagai isu yang saling jalin menjalin dan juga mempunyai keterkaitan erat dengan berbagai isu lainnya, seperti misalnya isu anti korupsi, reformasi pendidikan, reformasi birokrasi, reformasi hukum, dan perbaikan iklim investasi di Indonesia. Pada umumnya, konsentrasi serikat-serikat buruh di Indonesia tidak menyentuh isu-isu krusial yang mempunyai kaitan erat dengan isu ketenagakerjaan. Dari sini sebetulnya serikatserikat buruh dituntut untuk dapat melakukan advokasi atau menyusun proposal tentang reformasi perburuhan yang berkaitan dengan isu reformasi pendidikan, birokrasi, hukum, dan investasi. Serikat buruh juga dituntut untuk melakukan kerjasama dengan asosiasi pengusaha dalam rangka kegiatan pemberantasan korupsi. Meski harus disadari juga bahwa kemampuan serikat-serikat buruh di Indonesia juga belum cukup mampu untuk menyusun proposal tersebut sebagaimana asosiasi pengusaha juga tidak mampu merespon secara positif isu-isu krusial di atas. Hal ini sebenarnya perlu untuk dilakukan sebagai media komunikasi yang intens antara serikat-serikat buruh dengan asosiasi pengusaha agar dapat melihat dengan kacamata yang lebih jernih problem-problem yang muncul pada isu ketenagakerjaan.

Вам также может понравиться