Вы находитесь на странице: 1из 2

Munculnya keberadaan RUU Perguruan Tinggi (RUU PT) sebagai pengganti UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) agaknya

tidak memberikan suatu perbaikan yang berarti. Harapan publik akan penggantian UU BHP yang dibatalkan setelah judicial review Maret 2010 kandas setelah mengetahui bahwa RUU PT tetap mempertahankan unsur-unsur esensial yang menjadikan kontra dari UU BHP, seperti adanya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Walaupun pembahasan akan RUU PT ini berlangsung cukup lama, hasill yang diberikan dari draft RUU PT sangat mengecewakan. Setidaknya ada beberapa permasalahan yang muncul dari substansi RUU PT ini. Pasal 66 ayat (3)

Pasal ini menjelaskan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola keuangannya (poin b). Hal yang ditakutkan akan terjadi adalah adanya kebijakan tiap perguruan tinggi untuk menentukan biaya kuliah yang terlalu tinggi. Kewenangan sepenuhnya tanpa campur tangan pemerintah juga mengindikasikan bahwa pemerintah berusaha untuk berlepas tangan pada kewajibannya untuk membiayai pendidikan rakyatnya. Apabila biaya perguruan terlalu tinggi, maka bisa dipastikan bahwa jumlah rakyat yang akan menerima dan mengenyam pendidikan tingkat tinggi akan lebih sedikit, sehingga bisa dipastikan mutu dari sumber daya manusia kita akan menurun yang berimbas pada penurunan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan akan menjadi salah satu barang komersial yang bisa diperdagangkan. Pasal 75 ayat (2)

Dalam ayat 2 pasal ini disebutkan bahwa pemerintah atau pun perguruan tinggi memenuhi pemenuhan mahasiswa dengan cara memberikan pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah mahasiswa tersebut lulus atau memperoleh pekerjaan. Beberapa pihak mengatakan bahwa munculnya ayat ini dapat menjadi suatu dorongan bagi mahasiswa untuk tidak terlalu berpangku tangan pada beasiswa/dana yang diberikan, namun hal yang lebih penting dari kemunculan ayat ini adalah bahwa substansinya jelas menentang UUD 1945 pasal 31 ayat (2) dimana Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dana pendidikan yang

diberikan pemerintah bukanlah suatu bantuan, melainkan lebih kewajiban negara kepada rakyatnya untuk memajukan pendidikan.

sebagai

Hal lain yang perlu dicermati dari kemunculan ayat ini adalah ketidakjelasan dari objek perguruan tinggi, apakah PTN atau PTS atau keduanya. Pada kenyataannya, di Perguruan Tinggi Swata, mahasiswa sangat sulit untuk mendapatkan beasiswa pendidikan sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa biaya pendidikan di PTS akan jauh lebih tinggi daripada PTN. Bila ayat ini dapat diperjelas objek sasarannya, maka diharapkan ketimpangan biaya pendidikan antara PTN dan PTS tidak terlalu jauh. Pasal 90

Dengan alasan kuatnya arus globalisasi yang sedang mendera di seluruh dunia, termasuk Indonesia, pemerintah menggunakannya sebagai alasan perlunya melakukan kerja sama dengan insitusi-institusi pendidikan luar negeri ataupun membuka peluang bagi insitusi-institusi pendidikan luar negeri untuk membuka cabang di Indonesia. Kebijakan akan liberalisasi pendidikan sesungguhnya sudah diawali dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk menyepakati perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services) pada tahun 1994. Dengan adanya pasal 90 ayat (1) ini, maka liberalisasi pendidikan terlihat lebih nyata dari keputusan perjanjian GATS. Peluang masuknya perguruan tinggi internasional ke Indonesia mampu membuat perguruan-perguruan dalam negeri menjadi anak tiri di negeri sendiri. Dapat dipastikan, perguruan tinggi berbasis internasional akan memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik sehingga mampu menarik banyak peminat, sehingga keinginan untuk melanjutkan studi pada perguruan tinggi dalam negeri, dengan kebudayaan lokalnya yang masih kuat, lama kelamaan akan terkikis. Pasal 14 ayat (3)

Adanya wewenang yang begitu besar bagi kementerian dalam mengatur kegiatan kampus dikhawatirkan akan memicu timbulnya sejarah kelam Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang pernah terjadi pada masa orde baru. Apabila wewenang ini tidak digunakan secara bijaksana dan tanpa berdasarkan komunikasi yang baik antara pemerintah dan mahasiswa, maka bukan tidak mungkin akan banyak terjadi tindakan representatif untuk mengekang kegiatan mahasiswa di kalangan kampus. Banyaknya masalah yang muncul dalam RUU PT ini mengindikasikan bahwa kehadiran RUU PT bukan memberikan solusi terbaik bagi pendidikan tinggi di Indonesia, justru sebaiknya yang terjadi adalah kekacauan penyelenggaraan. Esensi lain yang terlihat jelas adalah munculnya pasal-pasal yang memacu adanya liberalisasi dan komersialiasi pendidikan yang jelas bertentangan dengan aturan dalam dasar negara Indonesia, yaitu pasal 31 UUD 1945. Sehingga, hal yang sebaiknya dilakukan adalah membatalkan pengesahan RUU PT tersebut.

Вам также может понравиться