Вы находитесь на странице: 1из 4

Golden Rice Sebagai Solusi Kekurangan Vitamin A

Oleh : Silvi Nurjanah Beras atau nasi merupakan salah satu sumber yang memang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk di negara berkembang, terutama Asia. Nasi menjadi pangan pokok bagi sebagian besar warganya, dan kemiskinan sering kali tidak memungkinkan penyediaan sayuran atau buah-buahan yang biasa menjadi sumber provitamin-A dalam menu makanan sehari-hari. Dari data International Service For The Acquisition of Agri-Biotech Applicatins (ISAA), di negara berkembang terdapat 127 juta orang yang 25% di antaranya anak-anak di bawah enam tahun, mengalami masalah asupan vitamin A atau Vitamin A Deficiency (VAD). Setiap tahun, sebanyak 250 ribu sampai 500 ribu mengalami kebutaan. Selain dapat menyebabkan kebutaan kekurangan vitamin A jugan bisa memperburuk penderita diare, sakit pernafasan, dan cacar air. Sementara itu, suplemen vitamin A yang disediakan Food and Agriculture Organization (FAO) untuk negara berkembang biayanya cukup mahal, sekitar 500 juta dolar AS per tahun. Bahkan, dengan biaya sebanyak itu, suplemen itu tetap tidak bisa menjangkau daerah terpencil. Oleh karena itu, dengan adanya data bahwa sekitar tiga miliar orang sangat bergantung pada nasi dan tidak mampu membeli suplemen vitamin A, golden rice bisa dijadikan sebagai solusi. Apa itu golden rice ? Golden rice adalah padi varietas baru yang berhasil didapatkan melalui sebuah

temuan mutakhir dalam bidang bioteknologi tanaman pangan yang bukan merupakan hasil dari persilangan biasa (breeding). Golden rice merupakan padi transgenik hasil rekayasa genetika dimana pada produk akhirnya dihasilkan tanaman padi yang mengandung betakarotena ( pro vitamin A ) pada bagian endospermanya. Didalam tubuh manusia betakarotein ini akan diubah menjadi vitamin A. Umumnya pada endosperma padi tidak menghasilkan beta-karotena sehingga padi yang dihasilkan akan berwarna putih sampai putih kusam. Namun lain halnya dengan padi hasil rekayasa genetika ini yang ternyata terdapat kandungan beta-karotena yang menyebabkan warna beras tersebut tampak seperti kuning-jingga, sehingga varietasnya dinamakan 'Golden Rice' ("Beras Emas").

Keberadaan padi yang masih dalam tahap akhir pengujian di International Rice Research Institute (IRRI) Filipina ini berawal dari pemikiran peneliti IRRI, Peter Jennings, pada 1984, yang ingin meningkatkan konsumsi vitamin A di negara yang banyak mengonsumsi nasi. Yang kemudian dikembangkan oleh Ingo Potrykus dari ETH Zurich dan Peter Beyer dari Universitas Freiburg. Pada sekitar tahun 1990 sekelompok ilmuwan Jepang berhasil mengisolasi gen pembentukan biosintesis karotenoid berupa crt1 yang didapat dari suatu bakteri tanah yaitu Erwinia uredovora. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa enzim fitoena (phytoene) desaturase yang dihasilkan bakteri tersebut dapat mengubah fitoena menjadi likopena. Fitoena merupakan senyawa antara pada biosintesis beta-karotena. Beberapa tahun setelah itu diketahui bahwa endosperma pada bulir padi mengandung geranilgeranil-difosfat (GGDP), bahan dasar prekursor untuk biosintesis beta-karotena. GGDP dapat diubah menjadi fitoena dengan bantuan enzim fitoena sintase yang dibantu oleh gen psy. Sayangnya, secara alami pada padi ekspresi gen psy tersebut tidak terbentuk fitoena. Dengan menyisipkan konstruk gen Crt1 dari E. uredovora dan gen psy dari narsis (sejenis tanaman hias yang bunganya berwarna kuning atau jingga) ke dalam genom padi geranilgeranil difosfat diubah menjadi fitoena dan selanjutnya diubah lagi menjadi likopena. Gen penyandi likopena siklase (Lcl) yang bertugas mengkatalisis perubahan likopena menjadi beta-karotena telah tersedia pada padi. Dimana secara singkat Golden Rice merupakan proses rekayasa genetika pada padi dengan menambahkan gen asing berupa bakteri Erwinia uredovora (gen crt1) dan narsis (Narcissus pseudonarcissus) (gen psy). Dan kemudian pada tahap penelitian selanjutnya Kultivar 'Golden Rice 2' mengganti narsis dengan jagung (Zea mays) sebagai salah satu sumber gennya.

Skema proses rekayasa genetika padi golden rice.

Perkembangan Golden Rice Munculnya golden rice pada tahun 2000 langsung mendapat reaksi keras dari GMO (genetically modified organism). Reaksi ini muncul karena adanya kekhawatiran masyarakat akan tingkat keselamatan konsumsi golden rice. Namun hal tersebut tidak mematahkan semangat dua peneliti utama golden rice, yaitu Ingo Potrykus dan Peter Beyer, untuk terus berkarya dan melakukan penelitian yang tujuan untuk meningkatkan kandungan beta-karoten pada biji padi. Penelitian peningkatan kandungan beta-karoten pada golden rice terus dilakukan selama kurang lebih lima tahun. Penelitian ini focus pada ke-3 jenis gen yaitu psy, crtI dan lyc. Dalam penelitiannya para ahli tersebut merumuskan hipotesa bahwa gen psy-lah yang paling berperan dalam jalur biosintesa karotenoid tersebut. Untuk menguji kebenaran hipotesa tersebut, mereka mengisolasi dan menguji efisiensi gen psy dari berbagai tanaman seperti Arabidopsis, wortel, paprika, jagung, tomat, bahkan padi sendiri. Pengujian awal dilakukan dengan cara overeskpresi gen-gen psy pada callus jagung. Callus dipilih karena sifat integrasinya yang stabil terhadap gen yang ditransformasikan (transgene).

Gen psy dari jagung menunjukkan tingkat efisiensi paling tinggi dibanding dengan psy dari tanaman lainnya. Berdasar pada hasil tersebut, maka transfromasi pada padi lakukan dengan menyisipkan gen psy dari jagung bersama dengan gen crtI. Hasil yang dicapai bisa dibilang memuaskan karena kandungan karotenoid pada biji Golden rice 2 mencapai 37 mikrog/g, yang berarti 23 kali lipat dibanding golden rice generasi pertama. Dari total karotenoid tersebut, 31 mikrog/g-nya adalah beta-karoten. Kehadiran padi emas tidak diterima sepenuhnya oleh masyarakat dunia. Sebagian masyarakat tidak menyetujui budidaya padi emas karena adanya kekhawatiran akan terjadinya perubahan lingkungan atau ekosistem. Mereka takut padi emas yang ditanam dapat menularkan sifat mutasinya ke tanaman alami lain. Hal ini mungkin terjadi bila padi emas ditanam bersama padi jenis lain dalam satu lahan yang berdekatan sehingga polen (benang sari) padi emas dapat membuahi padi lain. Hal lain yang ditakutkan adalah apabila sifat yang diciptakan oleh ilmuwan ternyata bisa berubah dan melenceng jauh dari yang diharapkan. Masyarakat juga takut mengkonsumsi padi emas karena takut akan membahayakan kesehatan. Padahal pada kenyataannya RDA (recommended daily allowance) dari vitamin A untuk anak-anak berumur 1 sampai 3 tahun adalah 300 mikrog. Sedangkan faktor konversi beta-karoten (provitamin A) dari total makanan adalah 12. Dengan menggunakan faktor konversi tersebut maka bisa dibuat semacam hitungan sederhana yaitu 24 mikrog/g provitamin A, sehingga 72 gram berat kering golden rice 2 mampu menyediakan 50% RDA untuk anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa golden rice 2 memiliki sebuah potensi yang besar untuk menyelamatkan anak-anak dari kekurangan vitamin A.

Вам также может понравиться