Вы находитесь на странице: 1из 16

PRESENTASI KASUS PALSI SEREBRAL

Penyusun: Dr. Andika Dwiputra Djaja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Pembimbing: Dr. Ratih Dwi Ari

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INONESIA RS. KARTIKA HUSADA KUBU RAYA JUNI 2012

BAB I ILUSTRASI KASUS

I.1 Identitas Identitas Pasien Nama Usia : An. R : 4 tahun

Jenis kelamin : laki-laki Rekam medik : 04-26-35 Alamat : Sanggau

Masuk IGD RSUT tanggal 28-5-12 pk. 16.15

Identitas orangtua Ayah : Tn. S : 32 tahun : SD : swasta (sawit) : Rp.1.000.000,-/bulan

Nama Usia Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Ibu

Nama Usia Pendidikan Pekerjaan

: Ny. M : 26 tahun : SD : IRT

Pembayaran

: Ditanggung perusahaan

I.2 Anamnesis Alloanamnesis dengan ayah dan ibu pasien pada tanggal 29 Mei 2012.

Keluhan utama Kejang sejak 1 jam SMRS (sebelum masuk rumah sakit).

Riwayat penyakit sekarang Sejak 1 minggu SMRS, pasien menderita demam naik turun disertai batuk berdahak putih yang sulit dikeluarkan dan pilek. Demam timbul mendadak, menetap sepanjang hari, dan suhu tidak diukur. BAB cair 2-3 kali/hari ampas (+), volume setengah gelas Aqua (100 mL), warna kuning kehijauan, lendir (-), darah (-). Pasien hanya diberikan obat penurun panas, panas turun tetapi naik kembali. Menurut ibu pasien, sejak sakit pasien sulit makan dan minum. 1 jam SMRS, pasien kejang ( menurut informasi orang tua: mata tidak mendelik ke atas, tangan dan kaki kelojotan). Kejang berlangsung selama kurang dari 5 menit dan berhenti tanpa diberikan pengobatan apapun. Ketika kejang, pasien langsung dibawa ke rumah sakit. Kejang berhenti dalam perjalanan menuju RS, setelah kejang berhenti, anak sadar dan menangis. Riwayat trauma kepala (-). Saat masuk rumah sakit, pasien sudah dalam kondisi tidak kejang, sadar, suhu saat diukur 38,5*C. Di IGD, pasien mendapatkan stesolid 3 mg iv jika kejang, dan Sanmol syrup 3x120 mg, Cefotaxim injeksi.

Riwayat penyakit dahulu Riwayat kejang sebelumnya (+) o Pasien mengalami kejang disertai demam berulang pada usia 7 bulan, 1 tahun dan 1,5 tahun. Pasien sempat dirawat dan dirujuk ke Jawa Timur untuk berobat, dikatakan pasen mengalami gangguan saraf pusat. Pasien diberikan obat pencegah kejang dan suplemen saraf yg diminum rutin. Sejak usia 2,5 tahun obat berhenti diminum karena sudah tidak ada kejang Alergi makanan atau obat (-). 2

Riwayat sakit paru atau sakit jantung (-).

Riwayat penyakit keluarga/lingkungan sekitar Tidak terdapat riwayat batuk pilek atau diare pada anggota keluarga serumah ataupun masyarakat sekitar lingkungan rumah dalam beberapa minggu terakhir. Riwayat kejang pada keluarga (+), yaitu ibu pasien pernah mengalami kejang yang didahului demam pada usia 1 tahun ketika sedang diare. Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal.

Riwayat kehamilan Pasien merupakan anak tunggal. Selama kehamilan ibu sehat. Kontrol teratur di bidan setiap bulan, dikatakan janin normal. Ibu pasien pernah di-USG satu kali, dikatakan normal.

Riwayat kelahiran Pasien lahir spontan, cukup bulan (masa gestasi 38 minggu), ditolong bidan. Berat lahir tidak ingat, panjang lahir tidak ingat, langsung menangis, biru (-), kuning (-), pucat (-), kejang (-). Apgar score tidak ingat.

Riwayat perkembangan Pasien mulai dapat berbaring pada perutnya usia 6 bulan. Hingga saat ini pasien belum dapat duduk tanpa dibantu. Pasien dapat menyebutkan 2-3 suku kata tanpa arti.

Riwayat nutrisi Pasien mendapatkan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan. Setalah itu, pasien mendapatkan ASI, susu Nutrilon, dan bubur saring hingga usia 1 tahun. Kemudian bubur saring diganti dengan nasi tim hingga usia 1,5 tahun. Setelah itu, pasien sudah mulai makan nasi lembek dengan lauk seperti makanan keluarga.

Riwayat imunisasi Imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal. (terakhir campak 9 bulan)

I.3 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 29 Mei 2012 B. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum Kesan sakit Kesadaran : tampak sakit sedang, lemas, sesak (-), paresis (-) : compos mentis

Tanda-tanda vital Nadi Suhu Napas : 94 kali/menit, regular, isi cukup, equal : 36,3 C, aksila : 23 kali/menit, regular, dalam, abdominotorakal

Data antropometrik (menggunakan kurva pertumbuhan CDC) Usia Berat badan Tinggi badan BB/U TB/U BB/TB Kesan : 4 tahun 6 bulan : 22 kg : 113 cm : 22 kg/ 17 kg = 127% : 113 cm/ 105 cm = 107% : 22 kg/ 20 kg = 110% : gizi baik

Status generalis Kulit : sianosis (-), ikterik (-), pucat (-), turgor baik, skar BCG (-), makula hiperpigmentasi (+) di abdomen Kepala Rambut Mata : normosefali, deformitas (-), dismorfisme (-) : rambut hitam, lebat, tidak mudah dicabut, distribusi merata : kelopak mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya konsensual (+/+), pupil isokor diameter 3 mm/ 3 mm, gerakan bola mata baik Telinga : normotia, membran timpani intak, refleks cahaya (+/+), sekret (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), pendengaran sulit dinilai 4

Hidung

: napas cuping hidung (-), deformitas (-), septum deviasi (-), sekret (+), nyeri tekan sinus paranasal (-)

Gigi Mulut

: karies dentis (+) : mukosa lembab (+), lidah di tengah

Tenggorok : arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1/T1, dinding faring posterior hiperemis (+), post nasal drip (-) Leher Paru : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-) : simetris pada kondisi statis dan dinamis, retraksi (-), vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-) Jantung Punggung Abdomen : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-) : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-) : datar, lemas, nyeri tekan (-), hati dan limpa tidak teraba, timpani, bising usus (+) normal Genital Anus ::-

Ekstremitas : akral hangat, CRT 3s, hipotrofi, spastisitas (+) pada semua ekstremitas kecuali ekstremitas atas kanan, rigiditas (+)

Pemeriksaan neurologi Kaku kuduk (-) spastisitas (+), rigiditas (+) Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Darah perifer rutin Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Eritrosit MCV MCH 9,3 37,6 4,2 320 3,1 88 29,7 10,5-12,9 g/dl 35-43 % 5,5-18 ribu/L 150-440 ribu/L 3,6-5,2 juta/L 74-106 fL 21-33 pg

MCHC RDW-CV Diff Count

33,2 14,3

26-34 g/dL 11,5-14,5 %

Refleks patologis (+) babinsky

I.4 Pemeriksaan penunjang

Monosit ( 6%) Lym (42 %) Neutrofil (52%) Pemeriksaan laboratorium (10 April 2011)

I.5 Diagnosis kerja 1. Riwayat kejang akut dd/ kejang demam pada Palsi Sereberal 2. Palsi Serebral 3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut 4. Anemia normositik normokrom ec penyakit kronis

I.6 Penatalaksanaan RDx/: GDS, elektrolit, EEG, foto toraks, UL IVFD KAEN 3B 1500cc/hari Ceftriaxon 2 x 500mg Diazepam supp 10 mg k/p Parasetamol 3xCth 2 Piracetam 3 x 125 mg IV Diphenhidramine 2 x cth 1/2

1.7 Follow-up (30/5/2012) S: kesadaran baik, kejang (-) O: KU, TSS, CM FN 100 x/menit Status generalis stq A: meningoensefalitis, susp. pneumonia aspirasi P: sesuai penatalaksanaan FP 22 x/menit S 36,4oC

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.

Kejang

Kejang adalah perubahan tiba-tiba dan sementara pada aktivitas motorik, sensorik, dan/atau perilaku akibat adanya aktivitas listrik abnormal pada otak. Serangan kejang terjadi pada 10% anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan setiap tahunnya terdapat 25.000-40.000 anak mengalami kejang. Kebanyakan kejang terjadi karena kelainan somatik yang berasal dari luar otak (misalnya demam tinggi, infeksi, sinkop, trauma kepala, hipoksia, toksin, aritmia jantung). Breath-holding spell (berhentinya pernapasan secara involunter, biasanya disertai penurunan kesadaran) dan refluks gastroesofageal (sindroma Sandifer) dapat menunjukkan gejala yang menyerupai kejang. Kejang juga dapat berasal dari gangguan psikiatri (kejang psikogenik), gangguan perilaku (jitteriness, stereotipi), migraine, gangguan pergerakan (tic, diskinesia), dan gangguan tidur. Kurang dari sepertiga kejang pada anak disebabkan oleh epilepsi. Seorang anak dikatakan epilepsi bila mengalami 2/lebih episode kejang tanpa penyebab (unprovoked seizure). Kejang dapat menandakan adanya kelainan sistemik atau sistem saraf pusat (SSP) yang serius. Kejang simptomatik (provoked) memiliki beberapa kemungkinan etiologi, antara lain infeksi (meningitis, ensefalitis), gangguan metabolik (gula darah, elektrolit, toksin), trauma kepala, dan abnormalitas struktural (malformasi serebral kongenital, stroke, tumor). Dalam menilai pasien anak dengan kejang, pertama-tama harus dinilai apakah jalan napas, ventilasi, dan fungsi jantung adekuat (penilaian ABC). Setelah itu dapat diperiksa temperatur, tekanan darah, dan parameter metabolik lain. Dalam evaluasi kejang pertama, harus dicari kemungkinan penyebab kejang yang mengancam jiwa seperti meningitis, sepsis, trauma kepala, dan konsumsi obat atau toksin. Anamnesis harus mendeteksi ada tidaknya faktor yang mungkin memicu kejang, deskripsi kejang dan kondisi postiktal (termasuk tidur, sakit kepala), serta aura dan perubahan perilaku anak sebelum kejang. Aura paling umum pada anak adalah ketidaknyamanan atau nyeri epigastrium dan perasaan takut. Anamnesis juga harus dapat mendeteksi adanya kondisi medis kronik (diabetes), pengobatan, perubahan perilaku atau asupan makanan, riwayat trauma atau infeksi SSP, serta riwayat keluarga. 7

Dari evaluasi dapat ditentukan apakah kejang bersifat fokal atau umum. Kejang fokal dapat berupa pergerakan kepala atau mata ke satu sisi, gerakan klonik unilateral pada wajah atau ekstremitas, atau gangguan sensoris (parestesia, nyeri) yang terlokalisasi. Kejang motorik bisa bersifat tonik (peningkatan tonus otot atau rigiditas), klonik (kontraksi dan relaksasi otot secara ritmik), tonik-klonik, mioklonik (kontraksi otot seperti terkejut), atau atonik (lunglai). Perlu diperhatikan pula durasi kejang, kesadaran anak selama kejang, postur anak, sianosis, vokalisasi, adanya kehilangan kontrol atas sfingter (terutama kontrol berkemih). Penilaian anak dengan kejang harus diarahkan pada pencarian adanya penyebab organik. Lingkar kepala, tinggi/panjang badan, dan berat badan perlu dimasukkan ke dalam kurva pertumbuhan dan dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya. Perlu dilakukan pemeriksaan neurologis menyeluruh. Pemeriksaan mata dilakukan untuk mencari adanya papiledema, perdarahan retina, korioretinitis, koloboma (lubang pada struktur mata), perubahan makula, dan phakoma retina (plak abu atau kuning pada retina, disebabkan oleh tuberous sclerosis). Adanya hepatomegali dapat menandakan adanya penyakit metabolik yang mendasari kejang. Perlu juga dicari adanya demam, tanda trauma, dan dismorfik. Adanya tanda neurologis seperti hemiparesis dengan hiperrefleks dan tanda Babinski dapat menandakan lesi struktural pada hemisfer kontralateral (misalnya glioma lobus temporal). Berhentinya pertumbuhan kuku, tangan, atau ekstremitas pada anak dengan kejang fokal dapat berarti adanya kondisi kronik seperti kista porensefalik, malformasi arteriovenous, atau atrofi korteks pada hemisfer kontralateral. CT scan dilakukan bila terdapat riwayat trauma kepala, perubahan status mental, nyeri kepala signifikan, papiledema atau penonjolan ubun-ubun, atau abnormalitas pada pemeriksaan neurologis. Pungsi lumbal dipertimbangkan bila pasien menderita demam disertai kaku leher atau penurunan kesadaran. Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotika. EEG berguna untuk menentukan risiko timbulnya kejang rekuren.

ALGORITME PENANGANAN KEJANG AKUT & STA TUS KONVULSIF3


Pre hospital Dia ze pa m 510m g/r ekt m a x 2x jar ak 5 m e nit 0-1 0 m nt

Hos pital/ED

Airw ay B e athing, O2 r C ir culation

Dia ze pa m 0,25-0 ,5mg/kg/iv /io (k e c 2m g/m nt, max dos is 2 0mg) atau M idaz olam 0,2mg/kg/iv bolus atau

10- 20 m nt

Monit or Tand a vital EKG Gula dara h Ele ktrol it s erum (Na, K, Ca, Mg , Cl) An alisa Gas Dara h Ko reksi kelai nan Puls e oxyme tri

NOTE : JI KA DI AZ RE CT L 1X PRE A HOSPI T BOL EH RECT L 1X AL A

Lor aze pam 0,0 5-0,1m g/kg/iv (ra te <2m g/mnt) Fenitoin 2 0m g/k g/iv (20 m nt /50 ml NS) M ax 1 000m g Phe nobarbitone 20m g/k g/iv (r at e >5-10 min; m ax 1g) R fr ak ter e Pe ntot al - Tiopent al 5 8 m g/kg/iv

KEJ ANG (-) 5 7 m g/k g 12 ja m ke m udian ICU/ED N ote : Aditional 5-10 mg/kg/iv

20- 30 mn t

Kada r oba t d arah

KEJ ANG (-) 4 5 m g/k g 1 2 jam k em udian ICU Mida zola m 0,2m g/kg/iv bolus D ilanjut infus 0,02-0,4 m g/kg/jam

30- 60 mn t

Propofol 3 -5mg/k g/infus ion

Gambar 1: Algoritma penatalaksanaan kejang akut pada anak.

2. Cerebral Palsy Palsi sereberal adalah sekelompok kelainan motorik non-progresif dengan gambaran klinis dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, dapat timbul sekunder akibat lesi atau anomali otak yang terjadi pada thap awal perkembangan otak. Prevalensi palsi sereberal sebesar 2-3 per 1000 kelahiran hidup dan prevalens ini cenderung meningkat. Palsi sereberal diklasifikasikan berdasarkan gangguan motorik yang dominan, bagian tubuh yang terkena dan derajat keparahan penyakit sesuai dengan klasifikasi The Gross Motor Function Classification System (GMFCS).

Gambar 2 : The Gross Motor Function Classification System (GMFCS).

Berdasarkan klasifikasi The Gross Motor Function Classification System (GMFCS), derajat keparahan palsi sereberal dibagi menjadi: Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik kasar yang lebih rumit. Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan di luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, mengguna-kan alat bantu gerak yang cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah menggunakan alat bantu yang canggih

10

Faktor risiko palsi sereberal meliputi fator prenatal, antenatal dan neonatal.

Gambar 3 : faktor risiko terjadinya palsi sereberal

Tanda awal palsi sereberal timbul sebelum usia 3 tahun. Bayi mengalami keterlambatan perkembangan motorik kasar seperti tengkurap, duduk, merangkak atau berjalan. Anak palsi cereberal memiliki tonus yang abormal, terlihat lemas / flaksid atau kaku / spastis. Pada beberapa kasus mula-mula bayi hipotoni kemudian menjadi hipertoni setelah 2-3 bulan pertama kehidupan. Postur tubuhnya juga abnormal. Biasanya juga disertai dengan gejala lain seperti iritabilitas berlebihan, kesulitan makan (kesulitan menghisap, menelan dan mengunyah), sekresi air liur berlebihan, kaget berlebihan, dominasi tangan yang nyata pada 12 bulan pertama kehidupan. Pada pasien palsi sereberal juga dapat ditemukan epilepsi, kelainan mata dan retardasi mental. Pada anamnesis juga perlu digali berbagai kemungkinan faktor risiko terjadinya palsi sereberal pada pasien. Diagnosis palsi sereberal ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Langkah selanjutnya adalah dengan menyingkirkan kelainan-kelainan lain yang juga dapat menyebabkan kelainan perkembangan. Dalam hal ini yang paling penting adalah untuk memastikan bahwa kelainan tersebut tidak menjadi progresif meskipin gejalanyadapat berubah seiring dengan waktu, karena salah satu karakteristik dari palsi serebral ini adalah kelainan ini tidak bersifat progresif. Palsi sereberal tidak dapat disembuhkan, namun dengan penanganan yang tepat dapat memperbaiki fungsi dan kualitas hidup penderitanya. Pasien palsi sereberal menjadi tanggung jawab seluruh keluarga, sehingga penangananya melibatkan seluruh anggota keluarga, sesuai dengan kebutuhan, nilai dan kemampuan keluarga. Tata laksana anak dengan palsi sereberal perlu dilakukan secara komprehensif antara berbagai bidang antara lain dokter anak, saraf anak, rehabilitasi medik, ahli terapi okupasi, ahli fisioterapi, pekeja sosial dan berbagai bidang yang berkaitan dengan gangguan lain yang menyertainya. 11

Adanya kurva prediksi rata-rata perkembangan anak pasi ereber berdasarkan GMFCS memungkinkan orang tua an klinisi merencanakan intervensi yang sesuai dan menilai perkembangannya dari waktu ke waktu. Pengenalan terhadap gejala klinis, faktor risiko, modalitas yang membantu deteksi dini palsi sereberal, prognosis berdasarkan GMFCS dan terapi yang dapat diberikan, dapat menjadi dasar pelaksanaan berbagai tingkat dapat diberikan, dapat menjadi dasar pelaksanaan berbagai tingkat pencegahan terhadap palsi sereberal, baik pencegahan primer, sekunder, maupun tersier.

Gambar 4. Pencegahan terhadap palsi sereberal

12

BAB III PEMBAHASAN

Pasien, anak laki-laki berusia 4 tahun 6 bulan, datang ke IGD dengan keluhan kejang saat 1 jam SMRS. Berdasarkan deskripsi dari orang tua pasien tersebut, tipe kejang yang dialami pasien adalah menyerupai kejang umum. Kejang pada pasien didahului demam ringan yang naik turun sejak 1 hari SMRS, riwayat trauma disangkal, dan pada pemeriksaan fisik di IGD didapatkan suhu 38,2oC sehingga dipikirkan diagnosis ke arah kejang demam. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien langsung tersadar dan tidak terlihat kelainan apapun. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin pasien tidak mengalami defisit neurologis. Namun pada saat dilakukan pemeriksaan fisik saat pasien telah stabil dan masuk di ruangan, ditemukan adanya defisit neurologis yaitu spastisitas dan rigiditas pada 3 ekstremitas serta adanya refleks patologis babisky yang positif. Oleh karena itu perlu dipikirkan adanya gangguan pada lesi upper motor neuron. Diagnosis kejang demam belum dapat ditegakkan secara pasti pada awal pasien diterima saat di IGD karena harus dipastikan apakah pasien tidak mempunyai infeksi SSP, gangguan elektrolit akut, atau riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium darah lengkap beserta elektrolit hingga Pungsi lumbal dan EEG untuk menyingkirkan adanya infeksi SSP, gangguan elektrolit, dan Epilepsi. Saat pasien datang ke IGD pasien diberikan diazepam supp 5 mg. Hal ini sudah sesuai guidelines penatalaksaan kejang akut pada anak (IDAI). Pemberian obat antipiretik juga telah diberikan di IGD yaitu sanmol sirup. Sejak 1 minggu sebelum masuk RS pasien mempunyai keluhan batuk dan pilek yang disertai demam. Dipikirkan gejala ini merupakan suatu manifestasi dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Hal ini didukung dengan ditemukan dinding faring posterior hiperemis pada pasien. Pada pemeriksaan laboratorium leukosit cenderung menurun (leukopenia) hal ini dapat merupakan manifestasi suatu infeksi virus, dimana salah satu dari ISPA yaitu common cold sering disebabkan oleh Rhinovirus. Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan neurologis berupa spastistas, rigiditas, dan refleks patologis babinski positif. Pada pasiem ini tidak ditemukan adanya faktor risiko selama kehamilan seperti BBLR, bayi kurang bulan, malformasi sistem saraf, kelahiran multipel, ibu 13

hipertiroidisme atau mendapat hormon tiroid dan estrogen selama hamil, perdarahan antepartum atau proteinuria pada akhir kehamilan. Faktor risiko prenatal dan neonatal juga tidak dapat ditemukan. Namun pada saat pasien berusia 1 tahun terdapat riwayat kejang berulang yang dapat dicurigai adanya suatu infeksi sistem saraf pusat yang menyebabkan kerusakan atau lesi dari otak. Palsi sereberal dapat terjadi pada masa awal anak dimana terjadi akibat dari perdarahan otal, trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat, infeksi rubella, dan ikterus berat. Menurut kurva MFCS pasien ini merupakan Triplegia Spastik dengan derajat keparahan derajat V, dimana pasien kemampuan bergerak masih sangat terbatas meskipun sudah memakai alat bantu. Tataksana palsi serebral pada pasien ini meliputi perbaikan kualitas hidup pasien melalui edukasi kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang diderita. Tatalaksana secara komprehensif dari berbagai bidang juga diperlukan sehingga pelatihan fisioterapi untuk memaksimalkan perkembangan fungsi. Terapi medikamentosa kelainan dan penyerta telah dilakukan pada pasien ini selama di ruangan dan sesuai dengan permasalahan yang ada. Pemberian piracetam yang merupakan derivat GABA ditujukan untuk perbaikan fungsi kognitif pada pasien akibat kerusakan SSP. Pemeriksaan penunjang seperti elektrolit, EEG, pungsi lumbal diperlukan untuk menepis kemungkinan kejang disebabkan oleh hal lain seperti epilepsi, gangguan elektrolit atau infeksi SSP. Pemeriksaan UL disarankan untuk mengetahui apakah ISK merupakan salah satu penyebab dari demam pada pasien.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Behrman ME, Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics [E-book]. Ed 17. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. 2. Freeman JM. The evaluation of a child with a first seizure. Dalam: Singer HS, Kossoff RH, Hartman AL, Crawford TO, editor. Treatment of pediatric neurologic disorders [E-book]. Boston: Taylor & Francis; 2005. 3. Chu-Shore CJ, Kao A. First seizure, pediatric perspective [Online]. 14 Januari 2010. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1179097-overview#showall (Diakses tanggal 8 April 2011) 4. Sastroasmoro S. panduan pelayanan medis departemen ilmu kesehatan anak. Jakarta: RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo; 2007. 5. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis. Dalam: Kliegman RL, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE, editor. Nelsons essentials of pediatric. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2007, h.1272. 6. Johnston MV. Encephalopathies. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2011: chap 591. 7. Ashwal S. et al. Practice parameter: diagnostic assessment of the child with cerebral palsy: report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology Society. Neurology. 2004;62:851-863.

15

Вам также может понравиться