Вы находитесь на странице: 1из 4

Jangan Pilih Pemimpin Khianat!!!

Elviandri, S.HI., M.Hum (Dosen Universitas Muhammadiyah Riau)


Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, Karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti (Qs. At-Taubah ayat 12) Kaum muslimin yang berbahagia, 5 hari lagi, tepatnya 09 April 2009 kita akan melaksanakan pesta demokrasi pemilihan anggota legislatif DPRD Kabupaten/Provinsi, DPR-RI dan DPD. Jika kita salah dalam memilih pemimpin maka kesalahan itu akan merugikan kita dan masyarakat pada umumnya. Kerugian yang akan kita alami tidak tanggung-tangung kita harus meraskannya paling tidak 5 tahun yang akan datang. Perubahan yang kita impikan hanya isapan jempol belaka, kesejahteraan yang diharapkan akan berubah menjadi kesengsaraan dan keterpurukan diberbagai sisi kehidupan, politik, ekonomi dan sosial budaya. Tanggungjawab kepemimpinan tidak hanya menjadi beban seorang pemimpin. Mereka yang dipimpin pun yaitu rakyat (baca: umat) memiliki tanggungjawab besar. Tidak salah kalau Rasulullah bersabda bahwa semua umat adalah pemimpin, yang harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah. Setiap kamu adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggungjawabannya dihadapan Allah, sabda Rasulullah. Ini adalah konsep kesetaran, kesamaan terutama menyangkut tanggungjawab dalam kepemimpinan. Bahwa keberhasilan kepemimpinan ditentukan harmonisasi fungsi, peran serta tugas dari pemimpin dan umat yang dipimpinnya. Dalam konteks apa peran kita sebagai masyarakat (umat) itu? Pertama, dalam proses awal pemilihan pemimpin. Umat harus tahu siapa pemimpin yang dipilihnya. Apakah sosok yang akan dipilih itu memiliki kelayakan, kemampuan, kredibilitas moral serta kecakapan. Dan bagi umat Islam, tentu saja, yang utama menyangkut syarat aqidah. Merupakan larangan keras, umat memilih pemimpin yang tidak seaqidah.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS. Al Maidah ayat 51). Pengertian seaqidah ini tidak bersifat formalistik: hanya karena beragama Islam. Keislaman calon pemimpin itu harus terlihat nyata pada sikap dan perilakunya. Apakah yang bersangkutan benar-benar memiliki kometmen keislaman, memperjuangkan aspirasi umat Islam atau tidak? Ini harus menjadi perhatian dan pertimbangan umat Islam dalam menentukan pemimpinnya. Banyak sosok pemimpin di negeri ini secara formal beragama Islam. Tetapi komitmen dan konsistensi perjuangannya kepada Islam nol besar bahkan seringkali memusuhi umat Islam hal itu bisa kita lihat dari: Mempertuhankan Hawa Nafsu "Untuk bisa menggapai bintang orang besar harus berdiri diatas kepala orang kecil". Realitas yang sedang terjadi begitu nyata terlihat, bagaimana manusia dipaksa oleh sistem untuk mengakui kesalahan sebagai suatu kebiasaan yang dibenarkan. Sementara kebenaran sendiri tersembunyi dibalik topeng para pecundang, pemuka, dan pemegang otoritas yang memonopoli kebenaran. Keadilan semakin menjadi benda sejarah yang tidak layak lagi dipertontonkan, sementara keserakahan, penindasan, ketimpangan dan kesenjangan sosial diusung kepermukaan dan ditonjol-tonjolkan. Agama telah banyak dipelintir kekanan-kiri, ayat-ayat tuhan telah disulap menjadi senjata kamuflase yang ampuh untuk melegitimasi kejahatan dan kemungkaran menjadi seolah-olah enak dan halal. Sepertinya, umat manusia kini sudah kehilangan harta yang paling berharga, yaitu "nurani" dan "akal sehat". Tapi malangnya, kehilangannya tidaklah terlalu disesalkan, karena kondisi jiwa manusia sudah jauh berubah. Cara pandang, gaya hidup, kecendrungan berpikir, pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang mengatasnamakan kesenangan duniawi yang melalikan ibadah kepada Allah, dan saudara kembarnya cinta harta yang menghalakan segala macam cara untuk mendapatkan harta, tidak peduli apakah dengan cara menyengsarakan rakyat, mengambil hak rakyat ataupun mengesampingkan keadilan, semua dilakukan untuk dua kata harta kekayaan dan kekuasaan. Kecintaan kepada kemewahan dunia membuat keteguhan iman menjadi terkubur. Buktinya sudah banyak kepala daerah apakah bupti ataupun gubernur dan wakil rakyat antrean masuk penjara karena terlibat kasus suap dan korupsi. Sejak berdiri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berhasil menyelesaikan sebagian kecil beberapa kasus dari setidaknya terdapat 16.200 kasus korupsi. Segitu korupkah pemimpin kita? Dimana hati nurani pemimpin kita? Kecintaan dunia juga menyebabkan idealisme perjuangan ikut hangus terbakar dalam bara kepentingan. Tiada lagi pengorbanan untuk rakyat, yang ada hanya rakyat terkorban ulah kepentingan mereka. Maka, yang kuat memangsa yang lemah, dan yang besar menginjak yang kecil. Memang, fitrah manusia itu cinta terhadap kemegahan dunia. Tanpa itu, manusia tidak akan mampu membangun dunia ini. Tapi, yang merusak itu, bila kecintaan kepada kebendaan dunia ini menjadi tujuan awal dan akhir dalam hidup ini. Semua ini perlu pada keteguhan iman yang dapat meluruskan langkah seorang pemimpin.

Mempermainkan Agama Dalam proses awal pemilihan pemimpin itu, Islam mengingatkan secara tegas dan jelas tentang Larangan memilih pemimpin yang menjadikan moral dan nilai agama sebagai mainan.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (QS .Al Maidah ayat 57). Menjadikan agama sebagai mainan dalam pengertian ayat ini adalah penyalahgunaan kekuasaan, tidak mampu mengemban amanah kekuasaan dengan baik. Ia misalnya, tidak menegakan keadilan. Hukum menjadi mainan demi kepentingan kekuasaan. Ketika seseorang dianggap tidak mendukung kepentingan politiknya, hukum dipaksakan ditegakan. Tetapi bila sejalan kepentingan politiknya, betapa pun salah, hukum dimanipulasi. Hukum dibiarkan lumpuh. Banyak para calon Pemimpin saat ini yang berteriak ingin menegakan hukum bila berkuasa. Padahal saat berkuasa, mereka tak peduli pada hukum dan bahkan menjadi pelanggar berat hukum, tokoh-tokoh yang pernah memegang kekuasaan. Baik di daerah maupun pusat yang sudah lengser maupun yang masih memegang kekuasaan di negeri ini. Tetapi mereka semua, tak pernah serius melaksanakan penegakan hukum hingga negara ini hancur karena penyalahgunaan kekuasaan yang luar biasa. Manipulasi, korupsi, kolusi dan nepotisme sudah menjadi rahasia umum berkembang pesat di negeri ini. Tetapi sejauh ini, pemegang kekuasaan, sekarang, cenderung membiarkan. Siapa pun, yang mata hatinya masih terbuka mengetahui dengan persis bahwa saat ini korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Eskalasi tindak pidana yang merugikan negara itu makin meluas sehingga membuat negara ini makin terjun bebas ke jurang kehancuran. Catatan-catatan terbuka tentang sikap para calon pemimpin itu, harus menjadi pertimbangan umat Islam dalam memilih pada saat mendatang. Umat tidak boleh memilih pemimpin, yang terbukti dan nyata-nyata mengabaikan moral, nilai agama serta hukum saat memegang kekuasaan. Islam mengajarkan umat melaksanakan amar maruf nahi munkar. Termasuk juga dalam masalah kepemimpinan. Allah dalam satu firmannya menegaskan agar umat melakukan perlawanan, koreksi terhadap para pemimpin yang berjanji namun tidak ditepati. Para pemimpin yang disaat kampanye berteriak memperjuangkan kepentingan masyarakat marginal/kecil namun ternyata menjadikan masyarakat marginal/keci komodite. Termasuk mereka yang saat ini banyak janji tetapi ketika mereka berkuasa tidak berbuat apa-apa bagi kepentingan rakyat. Perlawanan itu antara lain melalui keberanian sikap umat untuk tidak lagi memilihnya. Pemimpin seperti itu, termasuk pula para calon pemimpin lainnya, perlu diberi pelajaran agar tidak menghianati rakyat. Mereka tidak layak lagi dipilih sebagai pemimpin karena terbukti mengingkari janjinya. Inilah salah satu nilai indah ajaran Islam, yang menempatkan kesetaraan dan kesamaan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Tak ada perbedaan tugas dalam menyangkut penegakan kebenaran. Yang membedakan hanya porsi tanggungjawab. Secara subtansi rakyat dan pemimpinnya memiliki tanggungjawab sama: harus menegakan nilai-nilai kebenaran. Rakyat harus memiliki kecerdasan dan ketajaman berpikir serta keberanian bertindak dalam menentukan sosok pemimpinnya. Bukan hanya para pemimpin yang menentukan arah perjalanan bangsa ini, tetapi juga kecerdasan dan ketajaman berpikir rakyatnya.

Tahun 2009, karenanya harus menjadi momentum mengembalikan hak rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Rakyat sudah saatnya bersikap kritis, arif serta mengedepankan nurani dalam menentukan siapa sosok yang layak menjadi pemimpinnya. Tentu, hanya mereka yang memiliki moral, tidak cacat moral, bukan pengkhianat saat berkuasa, tidak suka ngumbar janji, mereka tidak layak memimpin bangsa ini. Mereka yang banyak janji saat belum berkuasa tetapi ketika berkuasa lalu terbukti menjadi penghianat moral dan nilai agama, tidak boleh lagi diberi kesempatan. Itu, bila rakyat ingin bangsa ini diberkahi, sejahtera, lahir batin dalam maghfirah dan limpahan rahmat Allah SWT.

Вам также может понравиться