Вы находитесь на странице: 1из 4

Bulletin V.

GEF- lsd

#HUTAN DAN MASYARAKAT ADAT Hubungan antara Manusia dan Nafas Hidupnya Oleh : Rudy R. Udur* I. Memahami Komunitas Adat

Tahun 1993 ditetapkan PBB sebagai Tahun Masyarakat Adat (Indigenous People Year). PBB juga menetapkan dasa warsa tahun 1995 sampai 2005 sebagai Dasa warsa masyarakat adat dunia. Masyarakat adat adalah masyarakat minoritas di dalam sebuah pemerintahan modern. Tapi tidak semua masyarakat minoritas adalah masyarakat adat. Orang Ashaninka dan Mapuche adalah masyarakat adat dan minoritas. Sebaliknya orang Jepang di Peru dan Argentina , bisa dikategorikan kelompok minoritas, pendatang dari negeri lain tetapi mereka bukan masyarakat adat. Orang biasa berpikir masyarakat adat adalah kelompok kecil masyarakat, penduduk asli dari suatu negara, orang-orang pinggiran yang hidup di hutan, padang pasir atau daerah kutub, masyarakat yang tertindas, atau mereka yang budayanya benar-benar berbeda dari masyarakat umum disekelilingnya, menurut IWGIA dan Institute Dayakologi (2001:11-13) Dan menurut AMZ, (2000:108) masyarakat adat adalah : Komunitas yang berdiam di negara merdeka, dimana kondisi sosial dan ekonominya membedakan mereka dengan masyarakat lain di negara tersebut dan statusnya diatur seluruhnya atau sebagian oleh adat dan tradisi setempat atau dengan hukum dan peraturan khusus. Lebih lanjut dikemukakan, menurut Konvensi ILO no. 169, 27 Juni 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di negara Merdeka, masyarakat adat adalah komunitas yang leluhurnya dianggap pemula, tinggal di suatu wilayah tertentu, memperoleh penghidupan dari potensi sumber daya lokal. Mereka merupakan kesatuan berdasarkan kesamaan keturunan, adat, bahasa, hukum dan pola hidup yang diwarisi dari kearifan leluhur. Mereka tidak selalu mengenal kepemimpinan struktural, tidak harus dipimpin Kepala Adat dan tidak selalu mengenal konsep pemerintahan adat. Lebih lanjut dikemukakan bahwa masyarakat adat sering bertentangan dengan negara dan definisi cagar alam juga merupakan kasus. Mereka tidak membangun negara dan seringkali masyarakat adat mengalami kesulitan untuk mendapatkan dukungan untuk mewujudkan tuntutan mereka, dalam bingkai keadilan, dalam kerangka kerja institusional negara. Jelas keadaan akan buruk sekali di dalam negara dimana kekuatan pemerintah menjadi ancaman tetap bagi masyarakat adat. Dalam kasus seperti ini, formula kerja internasional di bidang hak azasi manusia menjadi alat yang sangat berguna bagi masyarakat adat. Masyarakat internasional menawarkan kemungkinan baru bagi masyarakat adat. Dengan penemuan tehnik baru seperti mesin faksimil, penerbangan murah dan internet, media cetak dan elektronik, informasi dapat disebarluaskan dengan mudah ke seluruh penjuru dunia dalam waktu singkat. Contohnya orang Ashaninka di Peru dapat mengadakan kontak dengan penduduk hutan dari daerah lainnya di dunia dan membuat situasi mereka diketahui masyarakat internasional. II. Hutan dan Komunitas Adat

Ketika berbicara paradigma komunitas adat atas hutan maka hal penting yang perlu dipahami adalah kebudayaan dari komunitas adat tersebut. Berbagai komunitas adat di Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang sangat erat kaitan dengan hubungan yang saling membutuhkan antara komunitas tersebut dengan hutannya. Hubungan simbiosis mutualisme ini melahirkan kebudayaan yang dilandasi atas keyakinan-keyakinan yang tumbuh selama proses interaksinya dengan lingkungan alamnya. Religi adalah salah satu bagian dari sistem ideologis. Sistem ini sendiri adalah salah satu wujud dari kebudayaan. Dengan demikian religi adalah bagian-dari dan terbentuk dalam ruang lingkup kebudayaan manusia (Leslie A. White). Religi harus memuat data tentang keyakinan, ritual dan upacara, sikap dan pola tingkah laku, serta alam pikiran dan perasaan penganutnya (Radam, 2001:1-3).

Ychi.doc.11.04

Bulletin V. GEF- lsd

Menurut Heider (1972) bahwa ekologi kebudayaan (cultural ecology) pada intinya memahami hubungan antara masyarakat, subsistensi, dan lingkungannya. Ia menekankan bahwa perlu diperhatikan dalam ekologi kebudayaan adalah aktivitas subsistensi. Dalam konteks ini, ia memperhatikan hubungan antara lingkungan fisik, teknologi subsistensi dan organisasi sosialnya. Sedangkan Pennoyer (1981) memperhatikan hubungan antara faktor lingkungan, kebudayaan dan teknologi (Olofson, 1981). Hubungan diantara ketiga aspek tersebut terletak pada pola adaptasi ekologis. Masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya untuk memperoleh kebutuhan hidup (ekonomi) yang subsisten. Di atas, saya sudah mengacu pada pandangan (Warner, 1981) yang mengatakan bahwa sistem pertanian manapun merupakan hasil keputusan yang diambil oleh petani untuk mencapai tujuantujuan tertentu, seperti kebutuhan subsistensi petani dan teknologi pertanian yang dipilihnya guna mempertahankan stabilitas atau ekuilibrium ekosistem atau agroekosistem (Olofson, 1981:26), dalam Lahajir (2001:198). III. Hutan dan Komunitas Dayak Sebutan Komunitas Dayak adalah sebutan umum untuk komunitas adat yang menempati wilayah pulau Kalimantan. Sementara itu, komunitas dayak ini masih terbagi-bagi ke berbagai sub etnis dayak yang tersebar di berbagai pelosok pulau Kalimantan. Menurut Soedjito (1996) di Kalimantan, terdapat tidak kurang dari 11 (sebelas) etnik dayak yaitu : Dayak Bahau, Dayak Basap, Dayak Benuaq, Dayak Kayan, Dayak Kenyah, Dayak Glad, Dayak Modang, Dayak Penihing, Dayak Punan, Dayak Saputan dan Dayak Tunjung. Kelompok Dayak Kenyah masih bisa dibagi lagi menjadi puluhan sub kelompok etnik yang biasa disebut Lepo atau umak. Berkaitan dengan pandangan masing-masing sub etnis tersebut atas hutan sangat beragam, namun secara umum menunjukkan kedekatan mereka yang kuat atas sumber daya hutan yang merupakan bagian dari sistem kehidupan mereka. Menurut Uga, dkk (2001:18), Alam dan hutan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari pola kehidupan masyarakat Ot Danum. Semuanya hampir tergantung dengan hutan, hal ini terlihat dari budaya dan adat istiadat masyarakat dan perkampungan masyarakat Ot Danum yang lebih banyak memilih daerah tempat tinggal di sekitar hutan. Karena kedekatannya dengan hutan sekitar yang berada di sekitar kawasan hutan maka hidupnya pun bergantung pada berbagai barang dan jasa hutan. Ketergantungan masyarakat tersebut tidak jauh dari pola kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, karena hutan menyediakan beraneka macam bahan makanan, seperti daging hewan, ikan, sayur-sayuran mulai pucuk hingga ke akar, umbi-umbian, madu, bahan obat-obatan dan juga bangunan rumah. Pandangan atau pengetahuan orang Rentenukng dan Benuaq mengenai hutan terungkap dalam sistem kategorisasi mereka tentang hutan. Ada enam kategori hutan didasarkan pada fungsi atau kegunaan hutan itu sendiri. Orang Rentenukng dan Benuaq mempunyai anggapan bahwa hutan dan tanah harus dilihat secara fungsional. Artinya tanah tidak mempunyai makna kalau tidak dilihat sekaligus dengan hutannya. Orang Rentenugkng mengenal istilah talun-tanaaq (hutan-tanah). Ini berarti bahwa makna antara hutan dan tanah tidak terpisahkan. Tanah mempunyai makna dan nilai karena hutan ada di atas tanah. Keenam kategori hutan itu menjadi pedoman dalam memanfaatkan dan memiliki tanah dan hutan. Dengan demikian prilaku pemanfaatan dan penguasaan anggota komunitas masyarakat tersebut terhadap setiap kategori tanah hutan kiranya berbeda-beda pula. Setiap orang harus memanfaatkan hutan tanah sesuai dengan batasan dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, Rimbo G dkk (1998:89) mengatakan sebagai berikut Dekatnya hubungan sosial ekonomi dan religi antara orang Benuaq dan hutan membuat mereka merasa direndahkan atau dilecehkan ketika hutan tersebut dieksploitasi sedemikian rupa oleh perusahaan HPH. Menurut mereka, saat ini sangat sulit untuk mencari bahan makanan dari hutan ketika musim kemarau tiba. Pohon-pohon besar sebagai sumber buah-buahan dan madu telah ditebang tanpa sepengetahuan masyarakat (Lahadjir, 2001:345-346).

Ychi.doc.11.04

Bulletin V. GEF- lsd

IV.

Hutan dan Komunitas Dayak Meratus

Dalam kepustakaan tentang masyarakat dan kebudayaan yang disusun oleh Raymond Kennedy, penduduk yang mendiami Kalimantan Selatan dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yakni Ngaju dan Melayu Pesisir (Coastal Malay). Suku bangsa Ngaju pada umumnya mendiami daerahdaerah sepanjang aliran sungai Kahayan, Katingan dan Barito. Oleh H.J Malinnkrodt orang-orang yang mendiami daerah-daerah tersebut dimasukkan ke dalam rumpun suku Ot Danum. Terkandung dalam pengertian tersebut orang-orang yang mendiami daerah-daerah dataran rendah maupun dataran tinggi semua daerah aliran sungai-sungai tersebut. Selain Ngaju atau Biaju, ke dalam rumpun ini termasuk pula suku Maanyan dan Lawangan yang mendiami kawasan bergunung-gunung dan berbukit-bukit bagian barat pegunungan Meratus yang terletak di kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah sekarang ini, Radam (2001). Lebih lanjut dikemukakan bahwa penamaan kelompok orang yang mendiami kawasan pegunungan Meratus, terutama mereka yang tinggal antara daerah hulu aliran Sungai Pitap dan Riam Kiwa, khususnya yang mendiami kawasan hulu sungai Batang Alai (Sungai Alai) sebagai Orang Bulit mula-mula dipakai oleh W.Grabowski (seorang misionaris) dalam tulisan singkat yang berjudul Die Orang Bukit oder Bergmenschen von Mindai (1885:782-786). Dari tulisan itu, ia memberi perhatian orang bukit itu sebagai orang gunung (Bergnenschen) atau orang yang tinggal dipegunungan. Kebetulan anak kampung Mindai terletak di kawasan yang bergunung-gunung tersebut yang sekarang ini berada dalam daerah administratif desa Pambakulan. Sebagai komunitas yang mendiami kawasan pegunungan Meratus yang lingkungan sekitarnya dikelilingi oleh kawasan hutan maka paradigma mereka atas tata kehidupan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan hutan alam disekitarnya. Oleh Hegar dalam Majid (2002:3-4), dikemukakan bahwa hutan bagi suku dayak meratus merupakan bagian dari nafas hidupnya. Pemanfaatannya dikelolah secara bersama, diatur berdasarkan kebiasaan-kebiasaan mereka (adat). Lebih lanjut oleh Hairansyah (2002:3-4) dikemukakan bahwa umumnya model pengelolaannya berbasis pada nilai ekonomis, ekologis dan keberlanjutan sebuah sistem pengelolaan. Sumber daya alam adalah sumber pendapatan untuk memenuhi hidupnya seharihari sekaligus sebagai tabungan masa depan bagi anak cucu mereka. Mata pencaharian mereka mengandalkan sumber daya alam setempat (resources base activity) yang memiliki rotasi ekonomi sepanjang tahun sesuai musim yang berlaku, mulai usaha pertanian berupa padi tugalan, kebun rotan, kebun karet, dan hasil hutan non kayu seperti ; kulit kayu, getah jelutung, obat-obatan tradisional dan buah-buahan lokal musiman. V. Masyarakat Adat dan Sumber Daya Ekonomi Non Kayu

Istilah sumber daya ekonomi hutan non kayu sebenarnya dilatar belakangi oleh suatu situasi dimana model pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang lebih diarahkan untuk pengeksploitasian sumber daya tegakan kayu/pohon. Dengan model pendekatan seperti ini maka laju kerusakan ekosistem hutan semakin hari semakin berkurang. Sementara itu diketahui pula bahwa eksosistem hutan tidak hanya berfungsi sebagai sumber kayu olahan tetapi memiliki fungsi yang sangat luas dan besar; mulai dari penghasil oksigen, penjaga daur hidrologi, sumber bahan baku obat-obatan serta pusat habitat keaneka ragaman hayati. Orang-orang yang tinggal di dalam dan di dekat hutan, yang kebanyakan masyarakat adat bergantung pada hutan untuk makanan, obat-obatan, pakaian, dan kayu. Mereka seringkali lebih menyadari nilai hutan daripada orang-orang yang hidup jauh dari situ, yang kerap menganggap hutan semata-mata sebagai sumber kayu dan lupa bahwa hutan juga menghasilkan kacangkacangan, buah-buahan, karet dan gabus, bahan perwarna, minyak dan obat-obatan. Produkproduk ini kebanyakan berasal dari tumbuhan dan pohon yang tumbuh dengan baik di hutan-hutan alami, dikelilingi oleh pohon-pohon dan tumbuhan lain. Hutan juga memberikan banyak jasa bermanfaat lain, tidak hanya membersihkan udara tetapi juga menjamin kelangsungan ketersediaan air bersih.

Ychi.doc.11.04

Bulletin V. GEF- lsd

Menurut McKinnon et all, 2002, Seperti perubahan tata guna lahan lainnya, eksploitasi kayu mempunyai biaya kesempatan yang tersembunyi. Penebangan hutan untuk pemanenan kayu akan menurunkan nilai hutan, akan hilang pula hasil-hasil alami yang berharga seperti rotan, damar, ikan, daging binatang buruan, madu, buah-buahan serta senyawa farmasi dan komestik. Banyak diantara hasil-hasil tersebut diperoleh dari hutan borneo secara berkelanjutan dan menyediakan bahan makanan, pendapatan dan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Nilai hasilhasil hutan sampingan sering diremehkan. Lebih lanjut dikemukakan oleh McKinnon et all, 2002, Pada tahun 1982, eksport hasil hutan non kayu dari Indonesia menghasilkan US$ 120 juta, melebihi nilai ekspor tembaga, aluminium, teh, lada, dan tembakau (Repetto, 1988). Tabel 9.4a dibawah ini menunjukkan nilai ekspor hasil hutan non kay

# di sunting dari berbagai sumber * Direktur Program Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI), Banjarbaru

Ychi.doc.11.04

Вам также может понравиться