Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
2
Tasdyanto R
Panglima Pembangunan
1
Makalah singkat disampaikan dalam bedah Buku Escaping The Resource Curse. Yogyakarta 11
Desember 2008
2
Bekerja di Kementrian Negara Lingkungan Hidup, dan Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan
Hidup.
Masyarakat awam pernah menanyakan, “Kapan anak cucu, titip ke kita?”. Kalau
merupakan hak waris untuk anak cucu, berarti wajar jika pada suatu saat lingkungan
hidup ini rusak dan sumberdaya alam habis. Sebab fenomena warisan di budaya
Indonesia akan memberikan harta yang semakin sedikit.”
Kita sering menyalahkan negara manju sebagai perusak lingkungan hidup dan
pengkonsumsi sumberdaya alam yang boros. Hal ini terbukti dengan riset yang
menunjukkan bahwa Carbon terbesar di dunia diproduksi oleh negara-negara maju
terutama USA dan China (Witoelar, 2008)
Demikian juga, monopolisasi penguasaan dan pemanfaatan SDA ini, pada akhirnya
menimbulkan persoalan rights to environment dan environmental injustice. Jutaan
penduduk miskin di dunia tidak mempunyai akses terhadap SDA karena SDA tersebut
sudah dikuasai oleh mereka yang berkuasa dan mempunyai kapital. Sekitar 80 %
penduduk dunia hanya menguasai dan memanfaatkan 20% SDA di dunia. Di manakah
letak keadilannya? Bagaimana hal ini dapat terjadi dan apakah hal ini akan terus
terjadi? Jelas bahwa dalam situasi ini mereka yang mampu, berkuasa, dan menguasai
SDA akan cenderung mempertahankan status quo- disinilah letak kebuntuan
persoalan lingkungan (Setiawan, 2007).
Tapi di sisi lain, negara maju juga menuduh bahwa negara-negara berkembang juga
turut berkontribusi besar dalam perusakan SDA dan lingkungan hidup. Lahan
pertanian, peternakan, sampah, transportasi yang semrawut sangat besar
menghasilkan GRK seperti CO2, Methan, Dinitrogen Oksida dll. Bahkan dimunculkan
mitos bahwa sumber perusakan dan kehancuran SDA adalah kemiskinan.
Kebudayaan Jawa menempatkan alam sebagai jagad besar (makrokosmos) dan diri
manusia sebagai jagad kecil (mikrokosmos). Pemaknaan ini sangat mendalam, dengan
mencerminkan alam sebagai diri kita sendiri. Sehingga wajar dalam kebudayaan Jawa
melahirkan etika lingkungan tertinggi, yakni Planeter Altruisme (=rasa empati
terhadap planet/ dunia/ alam sekitar). Etika ini melampaui kedalaman biocentrisme
atau bahkan ecocentrisme.
Dalam pandangan ini emlahirkan konsep pemimpin yang bukan yanya pemimpin
untuk menusia, tetapi untuk seluruh jagad raya. Diperkaya dengan kebudayaan Islam-
Jawa yang mendomonasi Indonesia, maka dimensi keillahiyan juga melekat pada
konsep pemimpin di Jawa. Konsep kepemimpinan Jawa tersebut terlihat pada Raja
Mataram sebagai identitas kebudayaan Jawa (yang masih eksis sampai sekarang),
Yakni Sri Sultan Hamengku Buwono, yang berngelar “Senopati ing Alogo
Abdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah.”
Falsafah yang terbangun dalam kebudayaan jawa ini juga sangat luhur, yakni
Hamemayu Hayuning Bawana (HHB) yan gberarti mempercantik dan memperindah
bumi. Menurut Soemarwoto (2007) falsafah ini jelas-jelas telah mengintegrasikan
lingkungan hidup dalam pembangunan, jauh-jauh hari sebelum Sustainable
Development dicetuskan pada tahun 1987 dalam laporan Our Common Future.
Apabila dielaborasi dan disesuaikan dengan konteks kekinian, HHB dapat menjadi
konsep pembangunan yang lebih baik daripada Sustainable Development(SD). Tiga
dimensi kehidupan menjadi kunggulan falsafah ini, yakni hubungan manusia-
manusia, manusia-alam dan manusia- Sang Pencipta. Dimensi ketiga ini tidak dimiliki
SD.