Вы находитесь на странице: 1из 8

FISIBILITAS PROYEK LNG DONGGI-SENORO DITINJAU DARI ASPEK EKONOMI DAN POLITIK

Vitradesie Noekent
Dosen FE Universitas Negeri Semarang Email : vitradesienoekent@yahoo.co.id

ABSTRACT Project liquefied natural gas (LNG) Donggi-Senoro (DS) worth U.S.$1.7 billion or Rp20.4 trillion was developed by a consortium of Pertamina-Medco, Mitsubishi (Japan) with a pattern of development of downstream (downstream). This project seemed to be a turning point in the gas industry in Indonesia. Preceded by a gas sales agreement (GSA) in January 2009, DS LNG projects have different situations that are dynamic and unpredictable, will continue or not, given the deficit of gas talks in Indonesia instead discussed on the Moon in July 2009, at the second line must be dead end. In the first section, the author describes a chronological journey consortium until July 2009 and the position of the government in relation to its position as regulator. In the second section, authors examine the case based on a theoretical approach. In closing, presented a SWOT analysis of this case. The author hopes, this paper became an additional method of learning using case studies. Keywords: LNG project, economic, politic

PENDAHULUAN Proyek gas alam cair (liquefied natural gas/ LNG) Donggi-Senoro dibentuk oleh tiga anggota konsorsium, yaitu Pertamina (29%), Medco (20%) dan Mitsubishi Jepang (51%) dengan nama PT. Donggi Senoro LNG yang tertuang dalam gas sales agreement (GSA) pada tanggal 22 Januari 2009 dengan cakupan perjanjian tentang kombinasi ekspor dan domestik dalam pengalokasian gas. Proyek ini dikembangkan dengan pola pengembangan hilir (downstream) dan tidak dijamin oleh pemerintah, sebanyak 100% biaya proyek atau sekitar US$1,7 miliar ditanggung oleh investor (penanaman modal asing/PMA). Cadangan pasti LNG Donggi-Senoro sebesar 2,3 triliun kaki kubik, sedang kapasitas produksinya 2 juta ton/tahun. Untuk alokasi, konsorsium hulu ini akan menjual gas ke DS LNG yang akan diolah menjadi dua tun LNG per tahun untuk dikirim ke dua calon konsumen Jepang yaitu Kansai Electric Power Co. dan Chubu Electric Power Co. yang dimulai tahun 2013. Jika proyek ini dijalankan, maka posisi Indonesia sebagai pengekspor LNG di pasar dunia semakin perkasa. Untuk pasar domestik, konsorsium hulu berkomitmen untuk memasok ke pabrik amoniak milik swasta lokal sebanyak 70 kaki juta kubik per hari

(MMscfd) atau setara 0,5 juta ton per tahun. Gas ini direncanakan akan diperoleh dari sumur Cendanapura 1 dan senora 6. Perencanaan ini sudah melalui pembahasan panjang dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi selaku kepanjangan tangan pemerintah di sektor migas sejak 2006. Keputusan atas pembahasan itu, baru dicapai pada 16 Februari 2007, bahkan untuk keputusan harga baru tercapai Mei 2008. Dikarenakan ketidakjelasan prosedur dari pemerintah Indonesia, konsorsium LNG DS terancam bubar. Hingga akhir bulan Maret 2009, belum diperoleh kepastian menyangkut sales appointed agreement (SAA) dan authorization for expenditure dari pemerintah. Padahal, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh konsorsium, batas persetujuan proyek adalah 31 Maret 2009. Jika persetujuan soal harga gas dari pemerintah tidak diberikan, maka rencana pembangunan kilang gas senilai US$ 1,7 miliar atau Rp 20,4 triliun (kurs Rp 12.000) dipastikan batal dan negosiasi proyek bakal kembali dari awal. Menurut pemerintah, melalui Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah tetap menolak revisi harga gas Donggi untuk ketiga kalinya karena dinilai masih terlalu rendah (Kompas, 13 Mei 2009). Pemerintah meminta

24

Fisibilitas Proyek LNG Donggi-Senoro Ditinjau dari Aspek Ekonomi dan Politik (Noekent: 24 31)

konsorsium mengajukan harga yang diajukan Mitsubishi pertama kali, yaitu sebesar US$ 3,8, sedang revisi harga terakhir yang diajukan konsorsium sebesar US$ 2,4. Di lain pihak, calon pembeli gas Donggi, Kansai Electric Power dan Chubu Electric Power belum memberikan pernyataan tertulis untuk menyetujui perpanjangan head of agreement yang berakhir 31 Maret 2009. Jika dianalisis dari polemik pemberitaan di media massa dan internet, terjadi inkonsistensi sikap pemerintah di saat pihak konsorsium dan calon pembeli membutuhkan kepastian untuk pengambilan keputusan atas investasi LNG mereka (Tabel 1). Pengembangan proyek LNG Donggi Senoro ini memisahkan antara kegiatan usaha hulu (up stream) dan hilir (down stream) dimana harga gas ditentukan pada mulut kilang sebelum diproses menjadi LNG. Biaya investasi dan pemrosesan gas ditanggung investor. Pengembalian investasi berasal dari harga jual LNG dengan cicilan tetap selama umur proyek. Pada proyek ini, biaya investasi di hulu terpisah dari

hilir. Pola pengembangan proyek hulu (up stream project) dilakukan secara terintegrasi, mulai proses produksi gas, pengilangan dan pemrosesan, hingga pengapalan. Pada berbagai industri, istilah hulu dan hilir banyak digunakan secara luas. Untuk industri minyak dan gas, kegiatan usaha hulu (up stream) dikaitkan dengan sisi penawaran (supply chain activity) yang meliputi kegiatan eksplorasi, pemurnian atau prosesproses untuk menghasilkan minyak dan gas berikut produk turunannya (extending products). Sedang kegiatan usaha hilir (down stream) dikaitkan dengan sisi permintaan (demand chain activity) yang meliputi kegiatan pengapalan, pendistribusian dan jaringan pemasaran. Ciptono (2006) merekomendasikan hasil penelitiannya tentang pengaruh inovasi terhadap kinerja non keuangan pada perusahaan minyak dan gas di tingkat hulu dan hilir. Menurutnya, manager SBU (strategis business unit) di tingkat hulu dapat menggunakan strategi inovasi eksternal seperti

Tabel 1. Inkonsistensi Sikap Pemerintah Melalui Pernyataan Pejabat Negara


Tanggal Nama Pejabat Jabatan Menteri ESDM Pernyataan yang disampaikan Pemerintah menegaskan bahwa hingga saat ini belum menerima keputusan apapun dari pihak konsorsium Donggi Senoro yang terdiri dari Pertamina, Medco, dan Mitsubishi terkait harga jual gasnya. Diduga molornya keputusan tentang harga jual ini karena pihak konsorsium bingung dengan nilai keekonomiannya. Terdapat khabar bahwa terkatung-katungnya pelaksanaan proyek LNG Donggi-Senoro akan dilaporkan kepada Badan Arbitrase Internasional. Pemerintah tidak takut jika hasil keputusan tersebut akan dibawa ke badan arbitrase oleh pihak konsorsium. Pasalnya, pemerintah hingga kini belum mengakui konsorsium tersebut di tingkat hilir (downstream). Konsumsi kebutuhan publik harus diprioritaskan sebelum mengekspor keluar negeri (sesuai Hasil Rapat Kerja dengan Wapres). Terkait harga penjualan dalam negeri yang masih terbilang murah, Kemmeneg BUMN membantah pernyataan tersebut. Menurutnya, pembelian gas dalam negeri dibayar dengan menggunakan harga international di kisaran USD 6-7 MMBTU. Sebelumnya, Pertamina menjelaskan rencananya menjual gas Donggi Senoro keluar negeri karena harga di dalam negeri terbilang murah dibandingkan dengan harga internasional. Proyek pengembangan Senoro hingga kini belum masuk kewenangan pemerintah dan masih dalam tahap antarperusahaan, serta belum sampai pada harga gas yang memerlukan persetujuan pemerintah Menurut perhitungan Pertamina, apa yang sudah dipaparkan soal harga (US$ 2,4) dan alokasi sudah mentok keekonomiannya 25 Juni Purnomo Yusgiantoro

29 Juni Sofjan Djalil

Kemmeneg BUMN

14 Juli

Evita Legowo

Dirjen Migas

27 Juli

Karen Agustiawan

Dirut Pertamina

Sumber : Okezone, 2009

DINAMIKA MANAJEMEN, Vol. 1, No. 1, Nopember 2009

25

pengembangan kemitraan bisnis berupa bentuk kerja sama JOB-EOR (Joint Operation Body for Enhanced Oil Recovery) dan JOB-PSC (Joint Operation Body for Product Sharing Contrac)t, perjanjian lisensi atau akuisisi perusahaan lain. Sebaliknya, untuk manager SBU di tingkat hilir, strategi inovasi internal lebih tepat digunakan untuk membangun organisasi yang sarat dengan aktivitas research & development (R&D). Apabila diterapkan, kedua strategi tersebut akan mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan kinerja keuangan-penjualan, laba bersih, return on asset. Pada bulan Februari 2009, Konsorsium mengajukan formula penetapan harga gas dengan menggunakan dua slope, yaitu: Untuk harga minyak Japan Crude Coctail di bawah US$ 45 per barel, memakai slope 6,7% Untuk harga minyak Japan Crude Coctail di atas US$ 45 per barel, memakai slope 12% Usulan ditolak pemerintah (melalui Kepala Badan Pelaksana kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi-R Priyono) karena ketika harga minyak US$ 45 per barel, harga gasnya sekitar US$ 2,4 per barel atau lebih rendah dari harga gas awal yang dipatok sebesar US$ 3,8 (Koran Tempo, 13 Mei 2009). Belum selesai perdebatan tentang harga, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Departemen ESDM memaparkan neraca gas yang diminta Wapres Yusuf Kalla sebelum memutuskan kelanjutan proyek DS. Indonesia diproyeksikan mulai defisit gas dalam skala besar, yaitu 500 MMsscfd mulai tahun 2011. Defisit baru bisa diatasi pada tahun 2015 melalui pemanfaatan gas-gas yang tidak konvensional, seperti gas metana batu bara. Berdasar fakta tersebut, diputuskan untuk menghentikan kontrakkontrak ekspor baru gas. Bahkan, moratorium tersebut dijadwalkan baru bisa dibuka kembali dalam waktu sepuluh tahun mendatang. Donggi Senoro, Bontang dan Tangguh yang masih menyisakan train untuk pengembangannya, termasuk yang dilarang untuk diekspor. Jika ditelaah melalui perspektif kepentingan nasional, maka alasan yang diajukan pemerintah untuk mengamankan pasokan gas dalam negeri sangatlah masuk akal. Tetapi hendaknya larangan tersebut tidak disamaratakan untuk seluruh kontrak atau perjanjian awal yang telah dibuat. Pertama,
26

untuk kontrak yang memang merugikan negara seperti Tangguh,memang layak jika dihentikan. Tetapi untuk proyek LNG DS yang telah diperhitungkan secara cermat dalam kurun waktu yang tidak sebentar, dimana feasibility proyek sangat besar (harga gas tidak dibatasi oleh harga minyak pada level tertentu) dan berpotensi menghasilkan penerimaan negara US$ 8,4 miliar selama 15 tahun (dengan asumsi harga JCC US$80 per barel dan harga gas US$ 7,4 per juta Btu) hendaknya tidak dibiarkan terkatung-katung tanpa keputusan seperti saat ini. Kedua, proyek LNG DS mempertaruhkan kredibilitas negara di mata internasional (termasuk hubungan bilateral dengan Jepang). Adanya perbedaan kepentingan calon presiden Indonesiatahun 2009 ini dan juga adanya kepentingan asing membuat masa depan proyek kilang LNG Donggi Senoro menjadi tak menentu. Padahal, DSLNG di hilir dan operator hulu JOB PMTS di Senoro dan PT Pertamina EP PPGM di Matindok kini tinggal menunggu persetujuan SAA (Sales Appointed Agreement) dari pemerintah untuk memulai proyek ini. Sementara, masyarakat Sulteng dan Kabupaten Banggai sendiri secara umum menginginkan pembangunan kilang LNG segera terealisasi. Struktur penulisan paper ini akan dijabarkan menjadi beberapa bagian, sebagai berikut: Pertama adalah pendahuluan dan kronologis proyek LNG DS. Pada bagian kedua akan memuat mengenai tinjauan literatur mengenai beberapa aspek yang berkaitan dengan peran pemerintah sebagai regulator, posisi perusahaan/ konsorsium dalam bisnis internasional dan sedikit hal mengenai ekonomi politik untuk memperluas sudut pandang pembahasan. Bagian ketiga menguraikan analisa SWOT untuk mendapatkan formulasi atau solusi permasalahan yang menguntungkan (wi-win solution). Bagian akhir adalah penutup yang memuat kesimpulan dan rekomendasi. PERAN PEMERINTAH Menurut Porter (1998), tujuan akhir pembangunan ekonomi yang dilakukan suatu negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara-negara yang berhasil dalam pembangunan antara lain dikarenakan pemilihan strategi yang tepat, yaitu strategi yang lebih mengutamakan

Fisibilitas Proyek LNG Donggi-Senoro Ditinjau dari Aspek Ekonomi dan Politik (Noekent: 24 31)

competitive advantage daripada comparative advantage. Terdapat tiga tahap pembangunan yang dilakukan oleh negara. Tahap pertama, menggunakan sumber daya alam untuk melakukan pembangunan. Tahap kedua, pembangunan dilakukan melalui investment driven economies, dimana pada tahap ini peningkatan produktivitas dari faktor-faktor sumber daya berasal dari investasi. Dan pada tahap ketiga menggunakan innovation driven economy atau suatu kondisi dimana pembangunan dengan menciptakan produk dan jasa dengan nilai tambah yang unik melalui inovasi dan peningkatan produktivitas. Tahap ketiga pembangunan yang dilakukan suatu negara sependapat dengan hasil penelitian Ciptono (2006). Dalam penelitiannya terhadap 40 perusahaan minyak bumi dan gas yang memiliki 140 SBU (strategic business unit) di Indonesia,dihasilkan temuan korelasi yang sigifikan antara strategi inovasi dengan kinerja non keuangan. Untuk perusahaan pada level upstream, kinerja non keuangan diproksikan dengan tingkat produktivitas dan pada level downstream, kinerja non keuangan diproksikan dengan reliabilitas operasional. Industri minyak bumi dan gas adalah salah satu industri yang sarat dengan teknologi baik di level upstream maupun downstream. Di lain pihak, pengelolaan industri ini oleh pemerintah membutuhkan kecermatan karena menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga memiliki kepentingan terbesar terhadap keamanan pasokan LNG, mengingat program konversi minyak tanah ke gas yang dicanangkan pemerintah membutuhkan kepastian pasokan gas yang pasti. Pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral berkeras bahwa proyek LNG Donggi-Senoro harus menyelesaikan enam persyaratan yang diajukan pemerintah sebagai syarat persetujuan. Enam persyaratan yang diajukan pemerintah kepada konsorsium LNG DS, yaitu : 1. Harga jual gas yang rendah dikaitkan dengan JCC di bawah US$ 70 per barel; Penetapan harga yang sangat rendah (predatory prices) dalam tender diduga dilakukan oleh Mitsubishi Corporation (sebagai pemegang saham mayoritas PT DS) melalui artificial offering (penawaran pura-pura ) pada saat tender proyek hilir LNG Senoro. Beberapa bukti yang diajukan,

antara lain berupa penetapan harga gas, dari yang semula sekitar 3,8 dolar AS per mmbtu dengan asumsi harga minyak dunia 35 dolar AS barel (di saat tender), menjadi menjadi 2,8 dolar AS per mmbtu dengan asumsi harga minyak 40 dolar AS per barel. 2. Revisi rencana pengembangan; 3. Permintaan persetujuan dari pemegang saham; 4. Kepastian memasok gas dalam negeri; Konsorsium akan memenuhi kewajiban pemenuhan gas dalam negri (domestic market obligation/DMO). Saat ini, konsorsium sedang melakukan kegiatan eksplorasi di dua lapangan, yaitu Senoro 6 dan Cendana 2 untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri 5. Klarifikasi terkait tuduhan persaingan tidak sehat; Berdasarkan hasil rapat KPPU tanggal 10 Juni 2009, akhirnya diputuskan laporan praktek persaingan usaha yang tidak sehat dalam proyek LNG DS yang dilaporkan oleh PT LNG Energi Utama (LEU) dimasukkan dalam buku daftar penghentian laporan karena tidak cukup bukti. Anggota KPPU, menjelaskan jika nantinya ada bukti baru, maka laporan tersebut dapat ditindak lanjuti sebagi kasus baru. "Tadinya ada dugaan penyimpangan terhadap pasal 20, 21, dan 22 UU No.5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, tapi setelah diuji ternyata tidak ada pelanggaran (Inilah.com, Juni 2009). 6. Pemilihan proyek hilir. KEBIJAKAN MAKROEKONOMI PEREKONOMIAN TERBUKA Tujuan atau sasaran ekonomi terpenting dari berbagai negara adalah (1) keseimbangan internal; (2) keseimbangan eksternal; (3) tingkat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang cukup tinggi namun tidak berlebihan serta (4) suatu distribusi pendapatan yang relatif merata di kalangan seluruh penduduk (Salvatore, 1997:209). Istilah keseimbangan internal mengacu pada kondisi full employment (pencapaian kondisi pendayagunaan segenap faktor produksi secara penuh) atau kondisi yang mendekati situasi ideal tersebut. Keseimbangan tersebut juga diharapkan mampu menciptakan stabilitas
27

DINAMIKA MANAJEMEN, Vol. 1, No. 1, Nopember 2009

atau kemantapan tingkat harga. Sedangkan istilah keseimbangan eksternal merujuk pada keseimbangan neraca pembayaran. Suatu negara sangatlah sulit untuk dapat dikatakan mengalami keseimbangan internal dan eksternal karena pencapaiannya terkadang mengorbankan peran satu sama lain. Sebagai contoh adalah peran pemerintah dalam proyek LNG Senoro-Donggi melalui enam persyaratan yang diajukan kepada konsorsium Pertamina-Medco-Mitsubishi. Pemerintah sangat berkepentingan dalam penetapan harga jual LNG kepada pembeli asing dikarenakan proses pembelian baru berlangsung di tahun 2013, sehingga banyak sekali eksposure yang mungkin terjadi pada interval waktu tersebut. Menurut Salvatore (1997:211), pemerintah harus mencegah pergeseran (peningkatan) relatif lebih lanjut dari permintaan agregat terhadap tingkat full employment, demikian pula sebaliknya pada kasus under employment dimana pemerintah harus mencegah penurunan relatif lebih lanjut dari permintaan agregat demi terpeliharanya tingkat harga yang stabil dan terkendali. Walau pemerintah tidak mengeluarkan biaya sepeser pun dalam proyek LNG Donggi-Senoro, namun pemerintah memiliki tugas untuk mencegah terjadinya full/ under employment yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas harga LNG baik di tingkat domestik maupun internasional. Lebih lanjut Salvatore (1997:213) menjelaskan bahwa investasi domestik oleh suatu perusahaan diharapkan menimbulkan imbasan (spill over) teknologi yang bermanfaat bagi para produsen atau perusahaan domestik lainnya, sehingga bisa dimanfaatkan untuk memperbesar keuntungan bagi perekonomian domestik. Hal ini tercermin dari persyaratan pemerintah ketiga yang meminta revisi atas rencana pengembangan kegiatan usaha hulu dan hilir. Dalam kaitan transaksi berjalan dengan negara lain (terutama Jepang sebagai negara asal investor), setiap negara memiliki pilihan instrumen kebijakan antara lain kebijakan untuk mengontrol harga-harga atau berbagai elemen ekonomi lainnya secara langsung (direct control). Kebijakan ini bisa berupa pemberlakuan tarif, kuota atau berbagai restriksi lainnya terhadap arus perdagangan dan permodalan

internasional yang seringkali dimaksudkan untuk meredam lonjakan inflasi domestik (Salvatore 1997:215). Menurut Tinberger (1952) dalam Salvatore (1997:215), setiap negara bisa menerapkan berbagai kebijakan secara serentak dalam jumlah yang sama dengan jumlah tujuan yang hendak diraihnya. Jadi, seandainya negara memiliki dua tujuan yang saling berbeda, maka ia dapat menerapkan dua instrumen kebijakan pula untuk menjangkau kedua tujuan tersebut secara penuh. Di sisi lain, harus diingat bahwa setiap jenis kebijakan berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap keseimbangan internal maupun eksternal negara yang bersangkutan sehingga perlu diingat bahwa masing-masing kebijakan memiliki pasangan tertentu dan harus digunakan secara bersamaan dengan kebijakan pasangannya demi mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara lebih efektif. Dalam kaitannya dengan proyek LNG SenoroDonggi, pemerintah berusaha merumuskan bentuk kebijakan penetapan harga gas menggunakan batas atas dan batas bawah dengan maksud untuk membuat kisaran harga lebih rasional yang berbeda dengan usulan konsorsium yang mengunakan dua slope tanpa membatasi pergerakan harganya. MENGUKUR RISIKO POLITIK Risiko politik (political risk) dapat didefinisikan sebagai eksposur terhadap perubahan nilai suatu investasi atau posisi kas yang diakibatkan oleh tindakan pemerintah (Samuels, 1993 dalam Kuncoro, 1997). Dengan kata lain, risiko politik merupakan campur tangan pemerintah terhadap jalannya perekonomian yang menimbulkan dampak, baik mupun buruk, terhadap value suatu perusahaan (Shapiro, 1992 dalam Kuncoro, 1997). Menurut Kuncoro (1997), setidaknya ada dua pendekatan yang apda umumnya dipakai untuk menganalisis resiko politik, yaitu dari perspektif negara (country risk analysis) dan dari perspektif perusahaan (micro risk analysis). Untuk mengukur resiko politik yang dihadapai Konsorsium LNG Donggi Senoro, dapat digunakan perspektif perusahaan yang dicerminkan oleh ciri-ciri khas operasional dan finansialnya. Dari sisi operasional, untuk kegiatan strategis yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat, maka besar

28

Fisibilitas Proyek LNG Donggi-Senoro Ditinjau dari Aspek Ekonomi dan Politik (Noekent: 24 31)

kemungkinan suatu proyek akan diambil alih oleh pemerintah. Kerentanan perusahaan tergantung pada besar kecilnya perusahaan itu sendiri, posisi kepemilikan, tingkat teknologi dan atau tingkat integrasi vertikal dengan afiliasi lain. Umumnya, semakin tinggi manfaat yang dirasakan bagi perekonomian negara tuan rumah dan makin mahal penggantiannya dengan perusahaan lokal, maka semakin rendah tingkat resiko bagi investor asing. Madura (1989) dalam Kuncoro (1997:389) menyebutkan, setidaknya ada dua faktor utama yang diperhitungkan dalam pendekatan mikro yaitu variabel politik dan keuangan. Variabel politik meliputi pertama, hubungan investor dengan pemerintah negara tuan rumah (Medco-Mitsubishi vs Pemerintah Indonesia). Medco adalah perusahaan yang memimpin pasar eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia sejak tahun 1992. Eksplorasi LNG DS adalah salah satu proyek raksasa untuk meningkatkan cadangan LNG Medco yang akan memperkuat posisi perusahaan di level upstream. Mitsubishi Corporation sebagai pemegang saham mayoritas dalam konsorsium DSLNG dengan 51% (dibanding Pertamina yang hanya 29%) justru lebih menunjukkan besarnya kepentingan Jepang di proyek raksasa ini. Jepang memang menaruh perhatian penuh terhadap proyek gas Donggi Senoro, sebab suksesnya proyek ini sangat penting bagi Jepang untuk mengamankan pasokan energinya. Apalagi, proyek ini ditandatangani SBY dengan PM Jepang Shinzo Abe di Istana Negara pada 20 Juni 2007. Saat itu, Indonesia dan Jepang menyepakati kerja sama pengembangan empat proyek energi dan kelistrikan di Indonesia yang salah satunya proyek gas LNG DS. Dengan kesepakatan itu, proyek ini mendapat bantuan pinjaman Official Development Asistance (ODA) Jepang, yang mana hulu mendapat pinjaman ODA Jepang senilai US$366 miliar dan US$474 miliar, sedangkan untuk hilir senilai US$1,167 miliar. SWOT ANALYSIS Strenght 1. Kegiatan eksplorasi gas Donggi akan dapat menaikkan cadangan gas dari 1,4 triliun kaki kubik menjadi 1,4 triliun kaki kubik dimana hal ini

sesuai dengan target produksi 2012 (menurut data Lembaga Minyak dan Gas Bumi); 2. Medco Energy E&P adalah pemimpin pasar eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia dengan asset di negara Amerika Serikat, Timur Tengah dan asia Tenggara, termasuk Indonesia. Terkait dengan pengelolaan lapangan gas Donggi Senoro oleh joint operating body (JOB) Pertamina-Medco EP Tomori Sulawesi, pihak Medco mampu mengembangkan lapangan tersebut hanya dengan investasi dari swasta. Direktur Proyek PT Medco Energi mengajukan opsi yang terbaik untuk komersialisasi dari lapangan marginal dan telantar 28 tahun di Sulawesi Tengah, murni investasi swasta tanpa membebani negara, tanpa cost recovery di downstream sesuai dengan ketentuan dan aturan kontrak bagi hasil dan aturan pemerintah yang lain. Weaknesses 1. Tidak terdapat titik temu antara konsorsium dengan pemerintah dalam hal metode penetapan harga gas Donggi. Pemerintah bersikeras menggunakan patokan batas atas dan bawah (floor price dan ceiling price), sementara konsorsium menggunakan metode dua slope; 2. Skala ekonomis yang memenuhi perhitungan investasi menurut konsorsium adalah pada harga US$2,4, melebihi harga tersebut akan merugikan investasi, padahal pemerintah menganggap harganya belum sesuai nilai keekonomiannya. Opportunity 1. Calon pembeli gas Donggi, yaitu Kansai Electric Power dan Chubu Electric Power memiliki hubungan baik dengan anggota konsorsium (terutama Pertamina), walau batas persetujuan proyek telah berakhir tetapi kesempatan perpanjangan head of agreement tidak menjadi harga mati; 2. Proyek LNG DS berpotensi menghasilkan penerimaan negara US$8,4 miliar selama 15 tahun (dengan asumsi harga JCC US$80 per barel dan harga gas US$7,4 per juta Btu).

DINAMIKA MANAJEMEN, Vol. 1, No. 1, Nopember 2009

29

Threat 1. Kegagalan proyek berpotensi mengganggu hubungan bilateral Indonesia-Jepang. Hal ini tercermin dari Surat Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kojiro Shiojiri, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 19 Maret 2009 yang menyatakan bahwa kegagalan proyek LNG Donggi-Senoro tidak hanya berdampak pada hubungan bisnis sektor energi tetapi juga pada keseluruhan kerja sama investasi kedua negara; 2. Pada tahun 2013, Qatar akan masuk ke pasar LNG sebanyak 40 juta ton; 3. Pembeli gas Donggi mulai menjajaki pengganti gas Donggi ke Papua Nugini dan Australia dikarenakan hingga Bulan Mei 2009, pemerintah belum memberikan persetujuan harga. 4. Terkatung-katungnya proyek kilang LNG Donggi Senoro juga berkaitan dengan adanya kepentingan asing selain Jepang. Negeri tetangga, Australia, melalui PT LNG Energi Utama (LEU) juga menginginkan pembangunan kilang ada di tangannya. LEU adalah perusahaan bentukan perusahaan gas asal Australia, LNG International Pty Ltd, dan perusahaan lokal, PT Maleo Energi Utama. Untuk calon pembeli gas Donggi Senoro, LEU mengklaim telah menggandeng Osaka Gas dari Jepang. PENUTUP Setelah kita mengidentifikasi resiko politik beserta analisis kekuatan-kelemahan-kesempatanpeluang (SWOT Analysis), pertanyaan yang mungkin muncul adalah bagaimana mengatasinya ? Menurut Shapiro (1992) dalam Kuncoro (1997), setidaknya ada dua langkah yang dapat dilakukan yaitu perencanaan pra-investasi dan kebijakan operasi. Perencanaan pra-investasi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu penghindaran (avoidance), asuransi, negosiasi lingkungan dan struktur investasi. Mencermati inkonsistensi pemerintah yang tercermin dari pernyataan para pejabat, maka tindakan penghindaran oleh Konsorsium PertaminaMedco-Mitsubishi adalah tindakan yang paling logis dilakukan. Semua investasi memiliki resiko, tetapi yang penting adalah mengidentifikasi resiko agar
30

supaya resiko bisa dikelola secara intelektual. Ini dilakukan dengan cara mempertimbangkan secara hati-hati, investasi di negara yang iklim politiknya relatif tidak stabil. Persoalan utamanya adalah seberapa besar resiko politik dapat ditoleransi oleh perusahaan dan mampukah keuntungan yang dihasilkan menutupnya ? Pertanyaan di atas dapat diselesaikan, salah satunya dengan cara mengubah rasio manfaat berbanding biaya (benefit cost analysis). Mengubah rasio B/C dapat dilakukan dengan meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan. Akibatnya, pemerintah negara tuan rumah pun akan memperoleh keuntungan juga. Seandainya perusahaan (PT. Donggi Senoro LNG) diambil alih pemerintah, maka keuntungan yang dicapai tidak akan sebesar kalau perusahaan tersebut ditangani konsorsium sendiri. Konsorsium dapat meningkatkan manfaat-manfaat dari perusahaan afiliasi yang terletak dalam suatu negara. Misalnya meningkatkan program-program R&D, mengadakan pelatihan bagi karyawan lokal dan para manajer. Jadi seandainya pemerintah hendak mengambil alih perusahaan, maka pemerintah membutuhkan biaya yang besar, misalnya pengendalian teknologi (terutama pada kegiatan hulu/ upstream activity), sehingga pad gilirannya pemerintah tidak tertarik. Sebagai jalan akhir, maka Konsorsium LNG Donggi Senoro bisa mengadaptasi strategi Hoskins (1970) dalam Shapiro (1992) dalam Kuncoro (1997), dalam kaitannya dengan konfrontasi antara konsorsium dengan pemerintah, yaitu : 1. Negosiasi yang rasional Perusahaan membujuk agar pemerintah merevisi tindakannya. Tujuannya adalah menjaga hubungan baik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang. Mengingat Jepang adalah tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia setelah Amerika Eropa. Konsorsium dapat menunjukkan bukti adanya manfaat ekonomi di masa mendatang maupun konsekwensi logis yang berkaitan dengan dimulainya pelaksanaan proyek LNG Donggi Senoro 2. Menggunakan kekuatan Konsorsium yang terdiri dari perusahaan berkelas dunia (Medco-Mitsubishi) dapat njuk gigi dengan cara menggunakan kekuatan yang

Fisibilitas Proyek LNG Donggi-Senoro Ditinjau dari Aspek Ekonomi dan Politik (Noekent: 24 31)

dimiliki, misalnya menghentikan komponen vital atau keahlian manajemen yang berkaitan dengan teknologi di level upstream maupun downstream 3. Legal Remedies Jikalau kedua usaha di atas dirasa tidak berhasil, maka pihak konsorsium dapat membawa permasalahan ini ke jalur hukum, baik melalui pengadilan setempat atau pengadilan/arbitrase internasional. Sebagai penutup, dengan mengutip salah satu pernyataan Direktur Medco Energy (sebagai investor), bahwasanya pemerintah akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil yang lebih ekonomis dari produksi gas di Donggi Senoro. Dengan menjual gas Donggi Senoro dalam bentuk LNG ke Jepang, maka nilai ekonomi yang didapatkan akan lebih besar dibanding menjualnya dalam bentuk pupuk atau untuk pasokan gas dalam negeri (Aziz, 2009). Untuk itu, skenario produksi gas Donggi Senoro yang paling menguntungkan pemerintah adalah dengan menyuplai gas untuk DSLNG dengan Japan Crude Coktail (JCC) USD 70 per barel, maka harga gasnya sekira USD 6,16 per MMBTU. Sementara, untuk alokasi gas domestik, harga dihitung dengan Indonesia Crude Price (ICP) USD 70 per barel dan harga gas USD 3,17 per MMBTU dan alokasi gas

untuk petrokimia diambil dari Senoro sebanyak 70 MMSCFD. Dengan skenario ini pemerintah diperkirakan akan mendapatkan pendapatan sebesar USD 6,4 miliar. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Proyek Gas Donggi-Senoro Terancam. Koran Tempo. 31 Maret. ---------. 2009. Purnomo Berkeras Proyek Donggi Belum Penuhi Persyaratan. Koran Tempo. 1 April 2009. ---------. 2009. Pemerintah Tolak Revisi Harga Gas Donggi. Koran Tempo. 13 Mei. Aziz, Rahmat. 2009. Membaca Kepentingan Capres di Donggi Senoro. IEW, 26 June Ciptono, Wakhid Slamet. A Sequential Model of Innovation Strategy Company Non-Financial Performance Links. GM International Journal of Business Vol.8, No.2 May-August 2006. Dominick Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Penerbit Erlangga, Jakarta. Edisi Kelima Jilid 2. Kuncoro, Mudrajad. 1996. Manajemen Keuangan Internasional. BPFE, Yogyakarta. Porter, Michael E. 1998. Competitive Advantage.

DINAMIKA MANAJEMEN, Vol. 1, No. 1, Nopember 2009

31

Вам также может понравиться