Вы находитесь на странице: 1из 5

Civil Society dan Demokrasi di Indonesia

Posted on September 2, 2009. Filed under: Ruang Publik | Kaitkata:Civil Society, ideologi, negara | Sejarah civil society pada awalnya merupakan konsep sekuler karena adanya penentangan ilmuwan pada kekuasaan gereja (yang absolut) di abad pertengahan. Kemudian berlanjut pada lahirnya sikap liberal yang mengakui hak-hak individu untuk mengartikulasikan otonomisasi di setiap pilihan-pilihan hidupnya. Akibat adanya sikap liberal ini maka ia membutuhkan ruang umum (public sphere) dan jaminan hukum (law) serta public discourse. Karena itu, berbicara civil dengan segala variannya tentu meniscayakan adanya lahan atau ruang (sebagai basis kognitif) dan nilai-nilai (sebagai basis petunjuk dan harapan), serta tentu saja kesiapan rasional yang argumentatif. Lahan civil society sendiri dapat berupa negara (law-governed state) atau kesepakatankesepakatan rasional masyarakat. Sementara nilai-nilai (values) dapat berasal dari agama (religi), suku (tribal), ras, etnos, ideologi, dan pengetahuan. Dengan demikian, apabila berbicara civil society, kita harus menyepakati adanya sikap mengambil jarak yang sama terhadap berbagai nilai, untuk menyetujui adanya nilai bersama yang baru dan universal (common good), untuk kemudian dipatuhi. Di samping juga dijamin oleh undang-undang dengan ciri terbentuknya hukum secara adil dan sederajat secara menyeluruh. Dengan demikian apabila kita berbicara civil society tidak mungkin berbicara hanya di tingkat nilai-nilai. Sebab, nilai-nilai pada hakikatnya serba hadir. Sehingga bisa datang dari mana dan dapat dipunyai oleh siapa saja. Tetapi, nilai-nilai itu tidak dapat direalisasikan sejauh tidak ada lahan dan jaminan. Karena itu lahan dan cara penegakan (jaminan/undang-undang yang dipatuhi) menjadi sama pentingnya. Apabila pembicaraan civil society hanya menyertakan salah satu dari dua prasyarat tersebut sesungguhnya timpang dan mem-by pass dari civil society yang sesungguhnya.

Pilkada Langsung, Demokrasi Dan Kemunculan Civil Society


Posted on Juli 10, 2009. Filed under: Ruang Publik | Kaitkata:Civil Society, Pilkada, Propinsi, Skenario Politik | Oleh Drs HM Karsayuda SM MHI Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 sebagai tindak lanjut dari UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah beberapa lalu, menjawab sinyalemen mengenai ketidakpastian waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung pertama di negeri ini. Sinyalemen digelarnya pilkada langsung pada Juni 2005 di beberapa propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia termasuk di Kalsel, telah menemukan argumentasi yuridisnya dalam PP tersebut. Pilkada langsung oleh sebagian kalangan dianggap akan menjadi terapi bagi lahirnya suatu pemerintahan yang lebih baik, dibanding pemerintahan yang dihasilkan UU No 22/1999. Sebagaimana disadari bersama, pergantian kekuasaan yang dilandasi UU No 22/1999 banyak menghasilkan kecurangan. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, posisi DPRD sebagai institusi tunggal penyelenggara pilkada pada saat itu berdasarkan UU No 22/1999 mempunyai hak relatif penuh untuk menentukan siapa yang berhak menjadi kepala daerah dan wakilnya. Sayangnya kekuasaan sangat besar yang dimiliki DPRD ini tidak diikuti adanya lembaga pengawasan yang cukup kuat untuk mengontrol proses pilkada tersebut. Akhir dari proses ini adalah banyaknya kasus politik uang yang hampir menyertai seluruh proses pergantian kekuasaan di daerah kala itu. Kedua, intervensi parpol pusat terhadap parpol di daerah dalam menentukan calon yang diajukan partai bersangkutan. Dalam konteks ini kita tentu masih ingat kasus intervensi DPP PDIPerjuangan pada beberapa pilkada, seperti di Jawa Tengah yang berbuntut dicopotnya Mardijo dari jabatannya sebagai ketua DPD PDI-Perjuangan setempat. Ketiga, adanya intervensi pemerintah pusat terhadap proses pilkada kala itu. Berdasarkan pasal 40 ayat (3) UU No 22/1999 pemerintah pusat diberikan wewenang untuk mengesahkan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dipilih dan ditetapkan DPRD. Dalam praktiknya, pemerintah pusatdapat untuk tidak mengesahkan pasangan calon terpilih tersebut. Dalam konteks terakhir ini menarik, melihat kasus Alzier Dianis Thabrani sebagai Gubernur Lampung terpilih yang tidak disahkan oleh Presiden Megawati saat itu. Rentetan problemantika di atas diharapkan dapat dijawab oleh pilkada langsung yang akan digelar Juni mendatang. Pertanyaannya adalah,apakah pilkada langsung akan dengan serta merta menjawab problemantika tersebut, atau jangan-jangan hanya akan menjadi isapan jempol belaka?

Tulisan ini mencoba untuk menjawab hal yang sangat mendasar dari pilkada langsung, yaitu demokrasi serta harapan penulis terhadap menggeliatnya civil society di daerah, khususnya Kalsel dalam proses dan pascapilkada langsung mendatang. Langsung Dan Demokrasi Secara harfiah, demokrasi berasal dari kata Demos dan Cratein. Demos berarti rakyat, sedang cratein berarti kekuasaan atau pemerintahan (Sri Soemantri: 1973). Miriam Budiarjo (1983) menyebut demokrasi sebagai pemerintahan yang dikuasai oleh rakyat. Atau dalam adagium yang populer, biasa disebut sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sesungguhnya pemerintahan dalam konteks demokrasi, tidak lebih dari sekadar penerima amanat rakyat untuk mengurus berbagai kepentingan mereka. Menurut Muchsan dengan mengutip the contract theory yang dikemukakan Rousseue, pemerintah adalah suatu badan di dalam negara yang tidak berdiri sendiri, melainkan bersandar kepada rakyat yang berdaulat. Kemauan yang dimiliki pemerintah disebut volonte de corps (suara kelompok), karena pemerintah terdiri atas kelompok manusia tertentu yang dipercaya rakyat. Sedangkan aspirasi rakyat itu sendiri disebut volonte de generale (suara keseluruhan; suara rakyat). Idealnya, volonte de corps ini harus mencerminkan volonte de generale (Muchsan: 2000). Dalam menjalankan relasi antara volente de corps dan volonte de generale, atau hubungan antara pemerintah dengan rakyat, maka pemerintah diberikan berbagai kewenangan untuk merealisasi berbagai kepentingan dan kehendak rakyat tersebut. Pemerintah diposisikan sebagai organ yang memikul tanggungjawab dan kewajiban untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan umum. Dalam kontek ini, peran pemerintah menjadi semakin besar dan kuat yang dibuktikan dengan makin banyaknya campur tangan pemerintah hampir di semua segi kehidupan masyarakat. Bidang kehidupan yang tadinya lepas dari campur tangan pemerintah, misalnya penetapan upah pekerja, menjadi bidang yang menghendaki campur tangan pemerintah. Besar kecilnya upah tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh pemodal, melainkan berdasarkan kebijakan pemerintah. Hal ini semata-mata untuk menjamin, pekerja mendapatkan haknya secara wajar. Semakin banyak tugas dan campur tangan pemerintah dalam wilayah publik, maka akan membuka pintu kesewenang-wenangan pemerintah atas masyarakat. Dalam kondisi demikian, hakikat demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (sangat mungkin untuk) dilupakan. Pemerintah dengan kewenangannya yang begitu besar, lebih memposisikan dirinya sebagai sang pemberi perintah daripada menjadi pelayan bagi masyarakat (public server). Pilkada langsung, dari awal prosesnya ingin mengembalikan kesadaran berdemokrasi ini pada hakikat yang sesungguhnya. Pilkada langsung memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan pelayannya (baca: kepala daerah), yang tentu diharapkan dapat menjadi pelayan masyarakat yang baik, bukan menjadi tukang perintah seperti masa lalu.

Berbagai kasus seperti penggusuran secara paksa, kewajiban membayar biaya tertentu di luar prosedur di berbagai urusan publik, mulai dari pembuatan KTP, izin usaha, bahkan sertifikasi tanah harus dapat diminimalisasi dengan terpilihnya sang pelayan rakyat ala pilkada langsung ke depan. Munculnya Civil Society Harapan munculnya pemerintahan yang demokratis, ditandai dengan adanya kesadaran bahwa pemerintah pada dasarnya hadir untuk rakyat dan bukan sebaliknya, tentu tidak mudah. Pilkada langsung kendati secara esensial merupakan buah pikir dari demokrasi, tentu tidak akan dapat menjamin sepenuhnya proses demokrasi tersebut dapat berjalan secara penuh. Bagaimana pun, pilkada langsung ala UU No 32/2004 masih menimbulkan berbagai polemik. Salah satunya adalah ketentuan mengenai pencalonan calon kepala daerah dan wakilnya oleh parpol. Ketentuan ini dianggap sangat rawan untuk menghadirkan kembali skenario politik uang antara sang calon dengan partai yang mencalonkan. Berikutnya calon yang dicalonkan oleh parpol bisa jadi adalah orang-orang yang tidak dikenal baik oleh masyarakat setempat. Jika hal ini yang terjadi, maka masyarakat akan disuguhkan kandidat kepala daerah yang tidak kalah buruknya dibanding masa lalu. Maka, angan-angan untuk menghadirkan pemerintahan daerah yang demokratis, yaitu pemerintahan daerah yang menempatkan rakyat sebagai parameter kerjanya menjadi utopis. Dalam kondisi demikian, perlu kiranya mendorong masyarakat sebagai kekuatan utama demokrasi untuk turut mengawasai proses pilkada langsung. Masyarakat yang telah diberikan hak untuk memilih dalam pilkada langsung, harus disadarkan bahwa juga memiliki kewajiban mengawasi pilkada tersebut. Dalam hal ini, masyarakat bukan hanya diposisikan sebagai penonton, apalagi sapi perah demokrasi, tetapi menjadi aktor utama dari proses demokrasi lokal yang bernama pilkada langsung. Gagasan untuk menciptakan masyarakat sebagai aktor dari demokrasi ini, yang populer disebut sebagai civil society. Ada beberapa alasan kenapa civil society dapat dimunculkan dalam momentum pilkada langsung ke depan. Pertama, pilkada langsung telah merampas hak relatif penuh DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya menjadi hak masyarakat. Sebagaimana disebutkan di atas, munculnya hak untuk memilih harus diikuti kewajiban mengawasi. Agar yang dipilih tidak seperti memilih kucing dalam karung. Kedua, pengawasan oleh masyarakat pada saat digelarnya pilkada langsung diharapkan dapat mendorong parpol menentukan kandidat kepala daerah dari partainya yang akan diikutkan berkompetisi. Pilihan parpol untuk mencalonkan seseorang dengan memperhatikan track and reccord sang calon di masyarakat harus menjadi pertimbangan utama, jika ingin memenangkan pilkada langsung. Ketiga, civil society yang kuat pada saat pilkada akan memiliki efek dihargainya masyarakat setempat oleh kepala daerah terpilih. Dengan demikian, pascapilkada langsung digelar, sang pemimpin terpilih tidak dengan semaunya melakukan berbagai kebijakan publik yang merugikan masyarakat setempat.

Jika angan-angan munculnya civil society di daerah ini dapat menjadi kenyataan, agaknya tidak berlebihan jika kita menaruh harapan besar pada pemerintahan yang demokratis pascapilkada langsung ke depan. Tetapi sebaliknya, jika pilkada langsung hanya menjadi ritual demokrasi yang ditandai dengan berbondong-bondongnya masyarakat menuju bilik suara, tanpa ada kesadaran mereka adalah pemilik kedaulatan yang sebenarnya yang ditandai dengan keberanian untuk mengawasi serta melakukan verifikasi terhadap calon yang akan dipilih, maka sesungguhnya kita hanya akan menyaksikan suatu drama pergantian kekuasaan yang tidak kalah koruptif, kolutif dan nepotisan, serta akan menghasilkan pemerintahan yang tidak pernah mengindahkan masyarakat dalam mengambil berbagai kebijakan. Siapa pun, terutama kalangan akademisi, aktivis NGO, parpol, ulama, mahasiswa dan segenap elemen di daerah ini tentu tidak menginginkan mimpi buruk tersebut terjadi pascapilkada langsung ke depan. Kita masih punya waktu untuk menggeliatkan civil society ala Kalsel untuk menghadirkan pemerintahan daerah (baik level propinsi, maupun beberapa kabupaten/kota yang menggelar pilkada langsung Juni mendatang) yang menyadari esensi demokrasi, bahwa pemerintah bukan sang pemberi perintah. Tetapi, sebagai penerima perintah dari masyarakatnya. Anggota masyarakat HST, tinggal di Barabai

Вам также может понравиться