Вы находитесь на странице: 1из 24

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1.
1.

Landasan Teori Definisi Tuberkulosis Paru TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau bacilli ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur (Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization 2008).
2.

Etiologi Tuberkulosis Paru TB adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikobakteri patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price & Wilson 2006).
3.

Epidemiologi Tuberkulosis Paru Berdasarkan Lembar Fakta TB (2008) terdapat sekitar 9.2 juta kasus baru

TB dan kira-kira 1.7 juta kematian karena TB pada tahun 2006. Perkiraan insidensinya adalah 9.2 juta kasus baru TB pada tahun 2006. Diperkirakan 1,7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB pada tahun 2006, termasuk mereka yang 5

juga memperoleh infeksi HIV (200.000). India, Cina dan Indonesia berkontribusi lebih dari 50% dari seluruh kasus TB yang terjadi di 22 negara dengan beban berat TB: Indonesia menempati peringkat ke-3 setelah India dan Cina. Gambar 1. Posisi TB Indonesia di Dunia (Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization 2008)

Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipe kasus TB dan Kasus baru TB Paru BTA Positif dan kematian kasus TB dapat dilihat di tabel1. Berdasarkan tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari. Tabel 1. Angka Prevalensi, Insidensi dan Kematian TB Indonesia (WHO 2009) Kasus TB Per tahun Insidensi senua Tipe TB Prevalensi semua tipe TB Insidensi kasus baru TB paru BTA Pos Kematian 626.867 809.592 282.090 1990 Per 100.000 343 443 154 Per hari 1.717 2.218 773 Per tahun 528.063 565.614 236.029 2009 Per 100.000 228 244 102 Per hari 1.447 1550 647

168.956

92

463

91.369

39

250

4.

Patogenesis dan Patologi Tuberkulosis Paru Penyakit TB ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB

kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama. Penyebar penyakit TB sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit TB. Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga kurang lebih 2 jam tegantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada saluran pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus manapun; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil TB akan membentuk suatu fokus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil TB tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi. Basil TB yang masuk tadi akan mendapatkan perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung kepada pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau belum (Djojodibroto 2009).
5.

Gejala Tuberkulosis Paru Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau

lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Departemen Kesehatan RI 2007).
6.

Cara Penularan Tuberkulosis Paru Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau

bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Departemen Kesehatan RI 2007). Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA. Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3- 0,6/um. Tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1. M. tuberculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I,4. Varian African II, 5. M. bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan epidemiologi. Sebagian dinding kuman terdiri dari asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomanannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkhohol) sehingga disebut BTA dan kuman juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit TB aktif. Didalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi dari

bagian lain, sehingga bagian apical merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Amin & Bahar 2007).
7.

Diagnosis Tuberkulosis Paru Berdasarkan Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis (2007).

Diagnosis penyakit TB adalah sebagai berikut :


a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).


b. Diagnosis TB pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman

TB BTA. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit. 8. Pemeriksaan Dahak Mikroskopik Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis dan menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SewaktuPagi-Sewaktu (SPS) (Departemen Kesehatan RI 2007). :
a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.

10

9.

Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut (Departemen Kesehatan RI 2007) :
a. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB BTA positif.
b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti : pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). 10. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux) Teknik standar (tes mantoux) adalah dengan menyuntikkan tuberkulin (PPD) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit tuberkulin secara intracutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alcohol. Biasanya dianjurkan memakai spuit tuberkulin sekali pakai dengan ukuran jarum suntik 26-27 G. jarum yang pendek itu dipegang dengan permukaan yang miring diarahkan keatas dan ujungnya dimasukkan kebawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6- 10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antar 48-72 jam sesudah penyuntikkan dari reaksi harus dibaca dengan periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah harus ditekuk. Harus dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan millimeter, pengukuran harus dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah. Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi dapat ditentukan dengan inpeksi dan palpasi (meraba daerah tersebut

11

dengan jari tangan). Tidak adanya indurasi sebaiknya dicatat sebagai 0 mm bukan negatif. Interpretasi tes kulit menunjukkan adanya berbagai tipe reaksi. daerah indurasi sebesar 5 mm atau lebih dianggap reaksi positif pada kelompok tertentu dan mencerminkan adanya sensitifitas yang berasal dari infeksi dengan basil. Daerah indurasi yang diameternya sebesar 10 mm atau lebih juga diklasifikasikan positif pada kelompok tertentu, sedangkan indurasi sebesar 15 mm atau lebih adalah positif pada semua orang dengan faktor resiko TB yang tidak diketahui. Reaksi positif terhadap tes tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun, tes ini adalah alat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna untuk menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat (Price & Wilson 2006).
11. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

Berdasarkan Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis (2007) a. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena
1) TB adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak

termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.


2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. b. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif a) Sekurang-kurangnya dua dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya

BTA positif.
b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.


c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

TB positif.
d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

12

2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan pengobatan. c. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
1) TB Paru BTA Negatif Foto Toraks Positif

(dipertimbangkan)

oleh

dokter

untuk

diberi

Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2) TB Ekstra-paru

a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. d. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1)

Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2)

Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3)

Kasus Setelah Putus Berobat (Default )

13

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
4)

Kasus Setelah Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5)

Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6)

Kasus Lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
12. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Berdasarkan Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis (2007). Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Tabel 2. Jenis dan Sifat OAT (Departemen Kesehatan RI 2007) Jenis OAT Isoniazid (H) Rifampicin (R) Pyrazinamide (Z) Streptomycin (S) Ethambutol (E) Sifat Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakteriostatik

Prinsip - prinsip pengobatan tuberkulosis :


a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan

14

gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap Intensif (awal)

Pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
13. Panduan OAT yang Digunakan di Indonesia

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa OAT-KDT. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

efektifitas obat dan mengurangi efek samping.


2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya

resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

15

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat

menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien . 14. Panduan OAT dan Peruntukannya a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif. c. Pasien TB ekstra paru.

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Tabel 3. Dosis OAT KDT Kategori 1 (Departemen Kesehatan RI 2007) Berat Badan Tahap Intensif 56 hari Tahap Lanjutan 3 kali RHZE (150/75/400/275) seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT 3 tablet 2 KDT 4 tablet 2 KDT 5 tablet 2 KDT

30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg 71 kg

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: a. Pasien kambuh b. Pasien gagal Tabel 4. Dosis OAT KDT Kategori 2 (Departemen Kesehatan RI 2007) Berat Badan Tahap Intensif tiap (150/75/400/275) + S Selama 56 hari 2 tab 4 KDT + 500 mg Streptomisin inj. 3 tab 4 KDT + 750 mg Streptomisin inj. 4 tab 4 KDT + 1000 mg Streptomisin inj. 5 tab 4 KDT + 1000 mg Streptomisin inj. hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400) Selama 20 minggu 2 tab 2 KDT + 2 tab Etambutol 3 tab 2 KDT + 3 tab Etambutol 4 tab 2 KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 2 KDT + 5 tab Etambutol

30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg 71 kg 15.

Selama 28 hari 2 tab 4 KDT 3 tab 4 KDT 4 tab 4 KDT 5 tab 4 KDT

Pengawas Minum Obat

16

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO (Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis 2007).

a. Persyaratan PMO 1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. 2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama sama dengan

pasien 5) Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. b. Tugas seorang PMO
1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. 3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan. 4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. 5) Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. c. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: 1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan

17

2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur 3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya 4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) 5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

meminta pertolongan ke UPK


16. Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru

Berdasarkan Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis (2007) a. Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. b. Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. c. Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. d. Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Putus berobat.

Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Berikut akan dijelaskan tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur. Tabel 5. Tatalaksana Pasien Putus Berobat (Departemen Kesehatan RI 2007) Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan Lacak pasien Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Tindakan-1 Tindakan-2 Bila hasil BTA Lanjutkan pengobatan sampai seluruh Lacak pasien negative atau dosis selesai Diskusikan dan TB ekstra paru

18

Lama Lanjutkan pengobatan pengobatan sampai sebelumnya seluruh dosis selesai kurang dari 5 bulan Lama Kategori-1: pengobatan mulai kategori-2 sebelumnya Kategori-2: lebih dari 5 rujuk, mungkin bulan kasus kronik Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default) Bila hasil BTA Pengobatan dihentikan, pasien Periksa 3 kali negative atau diobservasi bila gejalanya semakin parah dahak SPS TB ekstra paru perlu dilakukan pemeriksaan kembali Diskusikan dan SPS atau biakan cari masalah Bila satu atau Kategori-1 Mulai kategori-2 Hentikan pengobatan sambil lebih hasil BTA positif menunggu hasil Kategori-2 Rujuk, mungkin pemeriksaan dahak kasus kronik f. Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 17. Efek Samping Obat dan Penatalaksanaannya Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala (Departemen Kesehatan RI 2007). Tabel 6. Efek Samping Ringan OAT (Departemen Kesehatan RI 2007) Efek samping Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni Penyebab Rifampisin Pyrazinamid INH Penatalaksanaan Semua OAT diminum malam sebelum tidur Beri Aspirin Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari Tidak perlu diberi apaapa, tapi perlu penjelasan kepada pasien

cari masalah Periksa 3 kali dahak SPS dan lanjutkan pengobatan sementara menunggu hasil

Bila satu atau lebih hasil BTA positif

Rifampisin

Tabel 7. Efek Samping Berat OAT (Departemen Kesehatan RI 2007)

19

Efek samping Gatal dan kemerahan kulit Tuli Gangguan keseimbangan Ikterus tanpa penyebab lain Bingung dan muntahmuntah (permulaan ikterus karena obat) Gangguan penglihatan Purpura dan renjatan (syok)

Penyebab Semua jenis OAT Streptomisin Streptomisin Hampir semua OAT Hamper semua OAT Etambutol Rifampisin

Penatalaksanaan Ikuti petunjuk penatalaksanaan di bawah Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati Hentikan Etambutol Hentikan Rifampisisn

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit: Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka

pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
b. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas

atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas.

20

c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,

misalnya pirazinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh
d. Pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniazid

atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniazid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat. 18. Ketidaksembuhan Penderita dinyatakan tidak sembuh (ketidaksembuhan) bila hasil

pemeriksaan ulang dahak paling sedikit dua kali berturut-turut tetap positif pada akhir pengobatan fase intensif atau fase awal. Artinya BTA tidak mengalami konversi pada dua bulan awal pengobatan. Angka ketidaksembuhan adalah penentuan penderita baru tuberkulosis BTA positif yang tidak sembuh dibagi dengan penderita baru tuberkulosis BTA positif yang diobati. Ketidaksembuhan penderita tuberkulosis tak lebih dari 15% dengan perhitungan sebagai berikut. Jumlah penderita Baru TB Paru BTA Positif yang tidak sembuh Jumlah penderita baru TB paru BTA (+) yang diobati
19.

X 100%

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Drop Out Menurut Siswanto, Hariyanto, dan Abijono (1998) faktor-faktor yang

mungkin menjadi penyebab masih banyaknya penderita tuberkulosis yang tidak patuh minum obat, bahkan menghentikan pengobatan sebelum waktunya, yaitu :
a. Faktor ketidaktahuan (ignorance)

Hal ini mungkin disebabkan karena pendidikan rendah, atau bila berpendidikan tinggi disebabkan ketidaktahuannya. Hal ini menjadi tugas tenaga kesehatan bersama pemerintah untuk memberikan motivasi dan penerangan kepada masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan dalam

21

berobat.

Biasanya

seorang

penderita

tuberkulosis

menghentikan

pengobatannya karena merasa penyakitnya telah sembuh, missal tidak ada batuk darah, nafsu makan meningkat, dan berat badan ada peningkatan.

b. Faktor kemiskinan (poverty)

Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah relatif murah, namun masih banyak diantara penduduk Indonesia terutama yang bermukim di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan bila ada yang sakit. Bila ada yang sakit dalam keadaan yang sudah sangat parah mereka baru pergi ke puskesmas atau rumah sakit pemerintah untuk berobat.
c. Faktor kepercayaan (belief)

Masih banyak masyarakat kita lebih percaya kepada dukun daripada kepada tenaga kesehatan. Karena pengaruh dukun dalam masyarakat kita masih sangat besar khususnya daerah pedesaan. Masih banyak masyarakat beranggapan dan percaya bahwa batuk darah merupakan penyakit biasa, sehingga mereka memilih berobat ke dukun untuk menyembuhkan penyakitnya. Mereka percaya bahwa dukun tidak hanya bisa mengobati penyakitnya tetapi juga bisa memberikan perlindungan emosional (emotional security).
d. Faktor ketercapaian (accessibility)

Penyebaran sarana dan fasilitas kesehatan yang tidak merata menyebabkan masih banyak masyarakat yang tidak memanfaatkannya. Hal ini disebabkan karena sulitnya komunikasi serta transportasi untuk mencapai sarana kesehatan, padahal masyarakat tersebut berkemampuan untuk membiayai pengobatan penyakitnya. Dari sulitnya pencapaian ke sarana kesehatan. Masyarakat memilih berobat pada sarana kesehatan yang mudah unutk dicapai. Walaupun masyarakat tersebut memaksakan untuk berobat ke puskesmas, dapat timbul masalah akibat pelayanan yang kurang menyenangkan atau terlalu banyak prosedur dalam menjalani pelayanan kesehatan serta penerimaan petugas kesehatan yang tidak ramah.

22

e. Faktor salah duga (misconception)

Sering kali masyarakat beranggapan bahwa bila berobat atau dirujuk ke rumah sakit pendidikan akan diperlakukan sebagai kelinci percobaan. Padahal anggapan ini tidak semuanya benar. Untuk beberapa hal tidak tertutup kemungkinan dilakukan percobaan tentunya untuk menghasilkan suatu pengobatan yang lebih baik di masa akan datang.
20. Faktor Resiko Terjadinya Drop Out a. Faktor Predisposisi 1) Usia

Menurut Muis (2001), struktur usia merupakan aspek demografis yang penting untuk diamati, karena dapat mencerminkan beberapa nilai seperti pengalaman, pengetahuan, kematangan berfikir, dan kemampuan akan beberapa nilai tertentu. Usia produktif lebih tidak patuh berobat dibandingkan dengan penderita TB paru usia tidak produktif. Hal ini disebabkan usia produktif mempunyai tingkat mobilisasi yang tinggi, karena pada usia ini adalah usia anak sekolah dan usia pekerja produktif sehingga lebih mementingkan atau mengutamakan aktifitasnya daripada penyakit yang dideritanya. Dengan tidak patuhnya berobat pada usia produktif ini menyebabkan resiko terjadinya drop out pada penderita TB paru. 2) Jenis kelamin Dalam studi kepustakaan tentang keteraturan dan kepatuhan berobat dilaporkan bahwa jenis kelamin penderita banyak mempengaruhi status kesehatan. Rata-rata perempuan lebih banyak memeriksakan kesehatannya dibandingkan laki-laki (Notoatmodjo 1993). Dalam penelitian Muis (2001) mengenai kepatuhan penderita TB paru berobat ditemukan laki-laki cenderung tidak patuh untuk berobat dibandingkan wanita. Berdasarkan penelitian tersebut, laki-laki merupakan resiko menjadi DO dalam pengobatan TB paru, hal ini dikarenakan laki-laki sebagai kepala rumah tangga sibuk bekerja atau mencari pekerjaan sehingga melupakan sakit yang dideritanya. 3) Status pendidikan

23

Tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menyerap dan menerima informasi. Mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi masalah kesehatan dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah sehingga mempengaruhi terhadap keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia (WHO 2002). 4) Status pekerjaan Tuberkulosis juga dapat dihubungkan dengan beberapa penyakit paru akibat kerja, yang terpenting dan paling sering adalah silicosis dan semen. Selain itu juga berhubungan dengan pertambangan emas, tembaga dan tambang batubara. Juga tempat kerja yang mempunyai sirkulasi udara tertutup atau kepadatan dalam satu ruangan bersama (Aditama 2000). Zuraida (1999) Ada hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kegagalan pengobatan tuberkulosis. Penderita tuberkulosis paru yang tidak bekerja mempunyai peluang lebih besar untuk gagal dalam pengobatan, jika dibanding penderita yang bekerja. 5) Pengetahuan Berdasarkan penelitian Muis (2001) mengenai kepatuhan berobat penderita TB paru dikemukakan bahwa penderita TB paru dengan pengetahuan kurang cenderung tidak patuh berobat dibandingkan dengan penderita yang mempunyai pengetahuan baik. Dari hasil penelitian tersebut, penderita dengan pengetahuan TB paru yang rendah cenderung beresiko untuk terjadi DO dalam pengobatan TB parunya. Hal ini disebabkan karena penderita TB paru yang pengetahuan tentang penyakit TB paru rendah kurang memahami serta kurang mengerti mengenai penyakit yang dideritanya sehingga penyakit yang dideritanya dianggap penyakit yang tidak diperlukan penanganan yang baik dan serius.
b. Faktor Pendukung

1)

Jarak Jarak adalah jauhnya perjalanan yang harus ditempuh oleh penderita dari rumah ke tempat pelayanan kesehatan. Menurut Azwar (2000) keterjangkauan tempat pelayanan kesehatan dengan rumah

24

penderita, apabila mudah dicapai akan memberikan kepuasan bagi penderita. Suatu mutu pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila tempat pelayanan tersebut mudah dicapai oleh pemakai jasa pelayanan, sedangkan menurut Oesman (2000) dari hasil penelitiannya mengenai kepatuhan berobat penderita TB paru pada fase intensif, dikemukakan jarak yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan menyebabkan ketidak patuhan penderita untuk berobat. Dengan demikian kemungkinan penderita TB paru yang rumahnya jauh dari tempat pelayanan kesehatan beresiko terjadinya DO dalam pengobatan TB parunya, karena penderita TB paru tersebut memerlukan waktu yang lama untuk mencapai temapt pelayanan kesehatan. Juga memerlukan biaya yang besar untuk transportasi 2) Ketersediaan obat Dari hasil penelitian Muis (2001) mengenai kepatuhan berobat penderita TB paru, ketersediaan obat di pelayanan kesehatan mempengaruhi kepatuhan penderita TB paru untuk berobat. Dalam hal ini apabila ketersediaan obat di puskesmas tidak memadai atau kurang dapat menyebabkan terjadinya DO penderita TB paru yang berobat 3) Ketersediaan biaya Ketersediaan biaya adalah biaya yang diperlukan bagi penderita TB paru baik langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan selama menjalani pengobatannya. Menurut Azwar (2000) keterjangkauan biaya agar disesuaikan dengan kemampuan pemakai jasa pelayanan, hal ini mempengaruhi kepuasan dari pemakai jasa pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Rozali (2000) mengenai keteraturan berobat penderita TB paru menunjukkan bahwa ketersediaan biaya pengobatan mempengaruhi keteraturan berobat penderita TB paru, dalam hal ini apabila penderita TB paru tidak mempunyai biaya untuk pengobatannya kemungkinan dapat terjadi DO pada pengobatannya. 4) Efek samping obat Berdasarkan hasil penelitian Muis (2001) mengenai kepatuhan berobat penderita TB paru, bahwa penderita TB paru yang merasakan

25

adanya efek samping cenderung untuk tidak patuh berobat dibandingkan dengan yang tidak merasakan adanya efek samping, dikarenakan penderita TB paru dalam pengobatannya memerlukan waktu yang lama serta minum OAT dalam jumlah yang banyak sehingga ada yang merasakan perasaan yang tidak enak selama minum OAT tersebut, dengan demikian adanya efek samping obat selama pengobatannya merupakan resiko bagi terjadinya DO pada penderita TB paru. 5) Persepsi pengalaman pelayanan petugas kesehatan Dari hasil penelitian yang dilakukan Oesman (2000) menyatakan bahwa peran petugas yang baik mempengaruhi kepatuhan untuk berobat dengan teratur penderita TB paru, hal ini tentunya apabila pelayanan petugas tidak baik dapat merupakan ketidaksenangan penderita TB paru untuk berobat secara teratur sehingga menjadi ketidakteraturan pengobatan penderita TB paru dan dapat menyebabkan terjadinya DO pada penderita tersebut.
c. Faktor Penguat

1) Adanya pengawas minum obat Dari hasil penelitian Oesman (2000) menyatakan bahwa penderita TB paru yang tidak mempunyai pengawas minum obat berpeluang untuk tidak patuh dalam pengobatan penyakitnya bila dibandingkan dengan penderita TB paru yang mempunyai PMO, hal ini dapat disebabkan penderita TB paru yang tidak mempunyai PMO tidak ada yang mengingatkan harus minum OAT dengan teratur, tidak ada yang mengingatkan kapan harus periksa dahak ulang, serta secara kejiwaan tidak ada yang memberikan perhatian dengan demikian penderita TB paru yang tidak mempunyai PMO beresiko untuk terjadinya DO pada pengobatan TB parunya.
II.2.

Penelitian-Penelitian Sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian Mediana (2001) di Kabupaten Bandung tahun

2001, ditemukan bahwa biaya, efek samping obat, dan jarak berpengaruh terhadap terjadinya kasus TB drop out. Sedangkan umur, jenis kelamin, pendidikan,

26

pekerjaan, dan pengetahuan tidak berpengaruh terhadap terjadinya kasus TB drop out. Penelitian Noviani (2001) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan terhadap kasus putus obat penderita tuberkulosis. Sedangkan keberadaan PMO dan jarak tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya kasus putus obat penderita tuberkulosis. Menurut penelitian Puspitasari (2010) ada 2 variabel yang berpengaruh terhadap putus obat penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita dan pendapatan. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh adalah : usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan jarak. II.3. Kerangka Teori

Faktor Predisposisi 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Status Pendidikan 4. Status Pekerjaan 5. Pengetahuan Ketaatan Pengobatan Faktor Pendukung 1. Jarak 2. Ketersediaan Obat 3. Pendapatan 4. Efek Samping Obat
5. Persepsi Terhadap Pelayanan

Drop out atau putus obat adalah penderita baru TB paru yang tidak mengambil obat lebih dari 1 minggu hingga 2 bulan

Petugas Faktor Penguat 11. Pengawas Menelan Obat

27

Bagan 1. Kerangka Teori II.4. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo 2002). Kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut : VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Faktor Predisposisi 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Status Pendidikan 4. Status Pekerjaan 5. Pengetahuan Faktor Pendukung 6. Jarak 7. Pendapatan Faktor Pendukung 8. Ketersediaan Obat 9. Efek Samping Obat 10. Persepsi Terhadap Pelayanan Petugas Drop out atau penderita baru TB paru yang tidak mengambil obat lebih dari 1 minggu hingga 2 bulan Ketaatan Pengobatan

Faktor Penguat 11. Pengawas Menelan Obat

28

= Variabel diteliti = Variabel tidak diteliti

Bagan 2. Kerangka Konsep Definisi Konsep : 1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru yang membedakan seseorang dengan lainnya, meliputi : umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, pengetahuan dan jarak. 2. Kasus TB drop out adalah penderita baru TB paru yang lalai atau tidak mengambil obat sesuai jadwal yang ditentukan dalam jangka waktu 1 minggu sampai 2 bulan. II.5. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah dugaan sementara atau jawaban sementara atas permasalahan penelitian dimana memerlukan data untuk menguji kebenaran dugaan tersebut (Kountur 2005). Sebagaimana tersebut pada bab sebelumnya, maka hipotesis yang peneliti buat adalah : 1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya kasus TB drop out. 2. Ada hubungan antara usia dengan terjadinya kasus TB drop out. 3. Ada hubungan antara pendidikan dengan terjadinya kasus TB drop out. 4. Ada hubungan antara pekerjaan dengan terjadinya kasus TB drop out. 5. Ada hubungan antara pendapatan dengan terjadinya kasus TB drop out. 6. Ada hubungan antara pengetahuan dengan terjadinya kasus TB drop out. 7. Ada hubungan antara jarak dengan terjadinya kasus TB drop out.

Вам также может понравиться