Вы находитесь на странице: 1из 12

Pemeliharaan 1 kali seminggu. Dosis awal kadang-kadang diulang setiap 4-5 minggu.

Cara lain dengan infuse kontinyu 1/gm2/hari selama 5 hari dan diulang setiap 3-4 minggu. Penyesuaian dosis harus dilakukan bila ada efek samping hematologic atau gastrointestinal.

b. Sitarabin Sitarabin ialah suatu nukleosid sintetik yang merupakan analog pirimidin. Berbeda dengan nukleosid alami, gugus gulanya bukan ribose atau deoksiribosa melainkan arabinosid. Dalam tubuh, sitarabin diubah menjadi derivate nukleosid trifosfat (ara-CTP) yang menghambat enzim DNA polymerase dan di-inkorporasikan ke dalam DNA polymerase dan di-inkorporasikan ke dalam DNA, sehingga terjadi terminasi pembentukan rantai DNA. Efek ini terjadi pada fase S dalam siklus sel. Sitarabin efektif untuk induksi dari remisi leukemia mielositik akut pada orang dewasa maupun anak, dan untuk limfoma non-Hodgkin dalam kombinasi dengan obat lain. Untuk leukemia limfositik akut pada anak, obat ini merupakan pilihan kedua. Obat ini juga berguna dalam krisis blastik leukemia mieositik kronik. Remisi umumnya berlangsung selama 3 bulan dan bila diberikan terapi penunjang dapat berlangsung 5-8 bulan. Untuk leukemia mieositik akut bisa dikombinasi dengan dokso-rubisin atau daunorubisin dan tioguanid. Karena masa paruh sitarabin pendek toksi-sitasnya lebih tergantung dari interval dan lamanya pemberian daripada dosis totalnya. Pemberian yang paling efektif ialah secara infuse kontinu atau suntikan beberapa kali sehari. Efek samping utama ialah terhadap sumsum tulang berupa leucopenia dan trombositopenia, sekali timbul anemia dan megaloblastosis. Leukosit menurun setelah 24 jam dengan nadir pada hari ke 7 dan 9. Gangguan fungsi hati ditandai dengan peninggian SGOT. Pengobatan optimal hanya dapat diberikan, bila transfusi trombosit dimungkinkan. Penggunaan selama kehamilan tidak dibenarkan, karena kemungkinan terjadinya efek teratogenik.

Sediaan dan posologi. Bubuk steril 100 dan 500 mg sitabirin serta pelarutnya tersedia untuk pengunaan parental. Dosis IV ialah 100-200 mg/m2/24 jam dalam infuse kontinyu selama 5-7 hari. Biasanya dalam kombinasi dengan antraksilin dan tioguanin. Bila pada masa akhir pengobatan tidak terlihat efek antileukemia maka

regiman tersebut dapat diulangi. Jika masih belum terlihat respons yang diharapkan, perlu ditambahkan obat lain dalam regimen pengobatan pasien. Dosis tinggi IV, 2-3 g/m2 sebagai infuse selama 1 jam tiap (10) jam dengan jumlah total 12 dosis. Dosis pemeliharaan pada leukemia akut diberikan 50 mg/m2 SK tiap minggu. Dosis intratekal untuk leukemia meninggeal ialah 50-100 mg dalam 10 mL garam faal yang diberikan 1-3 kali seminggu.

c. Gemsitabin Sebelum menjadi bahan aktif, gemsitabin mengalami fosforilasi oleh enzim deoksisitidin kinase dan kemudian oleh nukleosida kinase menjadi nukleotida di-dan trifosfat yang dapat menghambat ribonukleotida trifosfat yang penting untuk sintesis DNA. Gemsitabin trifosfat secara langsung dapat berinkorporasi ke dalam DNA dan menyebabkan terminasi pembentukan rantai DNA. Gemsitabin banyak digunakan untuk non small cell lung camcer (NSCLC) dan kanker buli-buli. Efek samping utama adalah supresi sumsum tulang. Efek samping non hematoogik antara lain flu-like syndrome, asthenia dan gangguan funsi hati. Jarangjarang terjadi pneumonitis interstisial yang responsive terhadap steroid. Kadangkadang terjadi hemolytic uremic syndrome (HUS) yang memerlukan penghentian pengobatan. Obat ini merupakan radiosensitizer yang kuat sehingga tidak boleh digunakan bersama radioterapi. Dosis : 1-1,2 g/m2, infuse selama 30 menit, pada hari 1,8 dan 15 dengan siklus 28 hari

4.2.3. ANALOG PURIN Merkaptopurin (6-MP, purinetol) dan 6-tioguanin (6-TG), 6- Merkaptopurin (6-MP, purinetol) dan 6-tioguanin (6-TG), digunakan untuk pengobatan leukemia dan bekerja sebagai analog purin (santin dan guanin). Kedua obat ini merupakan substrat dari hipoxantin guanine fosforibosil tranferase (HGPRT). Dalam tubuh masing-masing mengalami konversi menjadi 6-tioguanosin-5monofosfat (6-tioGMP) dan 6-tioinosin -5-monofosfat (T-IMP) T-IMP menghambat sistesis de novo basa purin. Pembentukan ribosil-5-monofosfat dan konversi IMP menjadi adenine dan guanine juga dihambat. Efek samping yang sering timbul adalah supresi sumsum tulang yang timbul perlahan-lahan. Anemia, granulositopenia dan trombositopenia terjadi setelah beberapa minggu. Anoreksia, mual dan muntah terjadi pada 25%, tapi diare dan

stomatitis jarang terjadi. Ikterus dan peningkatan enzim hati terjadi pada sepertiga pasien yang mendapat 6-MP, dan umumnya pulih setelah penghentian obat.

Kinetik Setelah pemberian per oral, merkaptopurin mengalami absorpsi yang tidak lengkap. Obat ini mengalami metabolisme lintas awal (first-pass metabolism) oleh xantin oksidasi di hati. Biovalitabilitas oral bervariasi dari 10-50% dan menurun bila diberi bersama makanan. Biovailabilitas meningkat bila diberikan dalam kombinasi dengan metotreksat. Dosis: Dosis oral merkaptopurin adalah 50-100 mg/m2 dan disesuaikan dengan hitung lekosit dan trombosit.

4.3 PRODUK ILMIAH 4.3.1. ALKALOID VINKA a. Vinkristin dan vinblastin Vinkristin bersama dengan vinblastin merupakan alkaloid murni dari tanaman vinca rosea. Obat ini terutama beguna pada leukemia limfoblastik akut dan leukemia sel induk (stem cell); limfomamalignum (penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin dan limfoma Burkitt) dan neopalsma pada anak (neuroblastoma, rabdomiosarkoma tumor Wilims, sarcoma Ewing dan retinoblasma). Vinkristin sering digunakan dalam kombinasi dengan anti kanker ain karena jarang menyebabkan depresi hematologic; bila digunakan sebagai obat tunggal cepat menimbulkan relaps. Baru-baru ini dilaporkan adanya fenomena pleotroic drug resistance, yaitu terjadinya resistensi silang terhadap berbagai obat dengan struktur berbeda setelah terpajan terhadap obat tertentu. Fenomena ini juga mengenai alkaloid vinka. Peda selsel tumor yang menunjukan fenomena ini, terjadi peningkatan sistesis glikopretin_P yang berperan untuk transport keluar sel. Akibatnya kadar sitotoksik dalam sel tidak tercapai. Verapamil, suatu antagonis kalsium, secara ekperimental dapat mengatasi resistensi jenis ini. Pemberian vankristin sebagai obat tunggal pada leukemia limfoblastik akut pada anak memberikan remisi lengkap pada 50-60% kasus dalam 3-4 minggu. Dalam kombinasi dengan prednisone remisi meningkat sampai 90%, sebanding yang dicapai

oleh kombinasi prednisone-meto-treksat atau dengan merkaptopurin dan prednisone yang diberikan sebulan sekali. Efek samping khusus ialah menyangkut sistem saraf. Hilangnya reflek tendo yang dalam, ataksia, foot drop, slapping gait dan menyusutnya otot. Yang terkena lebih dulu ialah otot dorsofleksor tangan dan pergelangan tangan dan otot ekstensor kaki. Gangguan saraf otonom dapat berupa konstipasi dan nyeri abdominal. Gangguan saraf otak berupa ptosis, diplopia dan paralisis abdusens juga dilaporkan terjadi. Alopesia terjadi pada lebih dari 20% pasien, sedangkan mual dan muntah jarang terjadi. Toksisitas ini meningkat pada gangguan fungsi hati. Reaksi diatas dapat terjadi pada orang dewasa terutama pasien usia lanjut yang cenderung menderita toksisitas neuromuscular dan pasien dengan gangguan fungsi hati. karena reaksi obat lebih sering terjadi vinkristin diberikan dalam dosis terbagi, dianjurkan pemberian dosis tunggal perminggu. Obat ini bersifat iritatif sehingga harus dijaga tidak terjadi ektravasasi. Neurotoksisitas merupakan pembatas utama pemberian vinkristin.

Sediaan dan posologi . vinkristin tersedia dalam vial berisi larutan 1,2, dan 5 ml yang mengandung 1 mg/mL zat aktif untuk penggunaan IV. Dosis pada anak 2 mg/m2 diberikan satu kali seminggu. Prednisone diberikan 40 mg/m2 sehari. Setelah tercapai remisi dosis boleh diturunkan sampai seperenam dosis semula. Untuk pasien dewasa diberikan dosis 1,4-2 mg/m2 ditambah prednison. Remisi dapat dipertahankan dengan pemberian metotrekstat atau merkatopurin 75-90mg/m2 sehari sebagai dosis tunggal. Dosis harus ditetapkan secara individual karena atas keamanannya sempit. Hilangnya reflek tendon dalam bukan petunjuk untuk menghentian terapi tetapi bila timbul gejala neuropati parifer berupa kelemahan otot tungkai pengobatan harus dihentikan.

b. Vinorelbin Vinorelbin alkaloid semisintetik dengan mekanisme kerja identik dengan vinkristin dan vinblastin dengan akibat hambatan mitosis. Vinorelbin aktif terhadap kanker paru jenis non-small cell dan pada kanker payudara. Efek samping obat ini antara lain mielosupresi berupa netropenia. Selain itu juga dilaorakan efek samping

mual, muntah, peningkatan enzim hati,neurotoksisitas, dan SIADH (syndrome of inappropriate antidiurectic secretion).

43.2. TAKSAN Peklitaksel dan Dosetaksel Paklitaksel merupakan alkaloid yang berasal dari tanaman Taxus baccata. Obat ini berfungsi sebagai racun spindle (mitotic spindle poison) dengan cara berikatan dengan mikrotubulus yang menyebabkan polimerisasi tubulin. Efek ini menyebabkan terhentinya proses mitosis dan pembelahan sel kanker. Paklitaksel aktif terhadap tumor padat seperti tumor ovarium, payudara, tumor paru sel kecil dan non sel kecil, tumor leher dan kepala, asofagus, prostat, buli-buli dan sarcoma Kaposi pada pasien AIDS. Paklitaksel mengalami metabolisme oleh sitokrom P-450 dihati dan hampir 80% obat ini diekresi melalui feses. Oleh karena itu perlu penyesuaian dosis pada gangguan fungsi hati. Efek samping yang sering terjadi adalah reaksi alergi ( 5%) yang dapat dikurangi dengan pemberian deksametason, difenhidramin, dan antagonis H2. Efek samping lain antara lain depresi sumsum tulang dan neuropati perifer. Dosetaksel merupakan taksan semisintetik dengan mekanisme kerja, indikasi, dan metabolism yang identik dengan paklitaksel.

4.3.3. EPIPODOFILOTOKSIN Etoposid dan teniposid Podofilotoksin diekstraksi dari tanaman podophyllum peltatum, yang sejak lama digunakan oleh orang Indian untuk efek emotik, katartik, dan anti helmintik. Dua dari sekian banyak derivatnya digunakan sebagai anti tumor untuk leukeumia pada anak, kanker paru jenis sel kecil, tumor testis, penyakit Hodgkin, dan limfoma sel besar. Etopopsid dan teniposid membentuk kompleks tersier dengan

topoisomerase II dan DNA sehingga mengganggu penggabungan kembali DNA yang secara normal dilakukan oleh topoisomerase,. Enzim tetap terikat pada ujung bebas DNA dan menyebabkan akumulasi potongan-potongan DNA. Selanjutnya terjadi kematian sel. Sel pada siklus S dan G2 sangat sensitive terhadap obat ini. Sel-sel yang resisten menunjukkan ampilifikasi gen mdr-1 yang menjadi glikoprotein- P untuk

mekanisme efluks berbagai zat dari se; mutasi atau penurunan ekspresi topoisimerase II, atau mutasi pada gen supresor p53 yang menetukan proses apoptosis. Farmakokinetik. Pada pemberian per oral, absorpsi etoposid barvariasi dengan rata-rata 50%. Setelah pemberian IV tercapai kadar puncak 30g/mL. eliminasi bersifat bifasik dengan waktu paruh antara 6-8 jam. Kira-kira 40% obat akan diekresi secara utuh dalam urin. Pada pasien gangguan fungsi ginjal, dosis harus disesuaikan berdasarkan beratnya gangguan fungsi. Pada gangguan fungsi hati, hipoalbuminemia dan hiperbilirubinemia cenderung meningkatkan kadar obat bebas, sehingga toksisitas mudah terjadi. Dosis. Untuk karsinoma testis, etoposid diberikan dengan dosis 50-100 mg/m2, IV selama 3 hari berturut-turut, atau 50 mg/hari per oral untuk 21 hari. Pengobatan umumnya diulang dengan siklus 3-4 minggu. Pada pemberian IV obat harus

diinfuskan pelan-pelan selama 30-60 menit untuk menghindari risiko hipotensi dan bronkospasme. Selain untuk kanker testis dan paru, etoposid juga digunakan untuk limfoma non-hodgkin, leukemia mielositik akut, dan sarcoma Kaposi. Tenoposid diberikan secara intraverna. Obat ini menunjukka kinetika multifasik. Waktu paruh bervariasi dari 4 jam, 10 jam dan 40 jam. Lebih kurang 45% obat diekresi melalui urin, tapi berbeda denga etoposid, 80% ditemukan dalam bentuk metabolit. Efek samping etoposid dan teniposid antara lain lekopenia, dengan nadir pada hari ke 10-14 dan pemulihan setelah 3 minggu. Trombositopenia terjadi lebih jarang dan biasanya tidak berat.. mual, muntah, stomatitis, dan diare terjadi pada kira-kira 15% pemakaian IV, dan ada 55% pemakaian per oral. Alopesia yang reversible juga sering terjadi. Hepatotoksisitas terjadi pada pemberian dosis besar.

4.3.4. KAMPTOTESIN Irinotekan dan topotekan Irinotekan merupakan bahan alami yang berasal dari tanaman Camptotheca acuminata yang bekerja menghambat topoisomerase I, enzim yang bertangggung jawab dalam proses pemotongan dan penyambungan kembali rantai tunggal DNA. Hambatan enzim ini menyebabkan kerusakan DNA. Irinotekan merupakan pro drug yang dalam hepar mengalami konversi menjadi metabolit SN-38 yang merupakan penghambat poten topoisomerase I.

konversi ini dikatalisis oleh karbosiltransferase. Berbeda dengan topotekan, eliminasi

irinotekan terutama terjadi melalui feses dan empedu, dan penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati. Irinotekan diindikasikan sebagaimonoterapi lini kedua pada kanker kolorektal metastatic yang gagal dalam pengobatan fluorourasil, dan sebagai terapi lini pertama bila digunakan dalam kombinasi dengan fluorourasil dan leukovorin. Mielosupresi dan diare merupakan efek samping utama irinoekan. Diare terjadi dalam dua bentuk; diare segera terjadi dalam 24 jam yang berkaitan dengan efek kolinergik, dan responsive terhadap pengobatan dengan atropine. Fase kedua terjadi setelah 3-10 hari yang dapat berat sampai menimbulkan gangguan elektrolit. Topotekan diindikasikan untuk karsinoma ovarium lanjut yang gagal dengan pemberian platinum. Juga diindikasikan sebagai obat lini kedua untuk kanker paru jenis sel kecil. topotekan dieliminasi melalui ginjal. Diperlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

4.3.5. ANTIBIOTIKA a. Daktinomisin ( aktinomisisn D) Daktinomisin merupakan antibiotic anti tumor yang berarasal dari jamur streptomyces. Obat ini berikatan kuat dengan DNA untai ganda dengan cara berinteraksi antara pasangan basa guaninsitosin yang berdekatan. Akibatnya terjadi hambatan sintesis RNA yang dependent DNA . Daktinomisin terutama digunakan untuk tumor pada anak seperti tumor Wilm, rabdomiosarkoma, dan penyakit trofoblas gestasioanl.

b. Doksorubisin Doksorubisin (adriamisin) diisolasi dari streptomyces peuceutius var. caesius, dan bersamadaunorubisin termasuk antibiotic antrasiklin. Regresi sel kanker terjadi setelah pemberian obat ini dalam kombinasi dengan berbagai sitostatik lain pada leukemia limfositik dan mielositik akut, tumor Wilms, neurobiastroma, sakoma osteogenik dan sarcoma jaringan lunak; karsinoma mama, bronkogenik, sel transisional kandung kemih, ovarium, endometrium, serviks, prostate, dan testislimfoma Hodgkin dan limfoma non- Hodgkin: karsinoma skuamosa leher dan kepala dan hepatoma. Efek toksiknya meliputi sistem hematopoetik, jantung, kulit dan pencernaan.

Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan jantung atau depresi hemopoetik yang berat. Gangguan pada jantung dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemberian IV dan mungkin bertahan beberapa minggu, meliputi perubahan elektrokardiografi yaitu takikardia sinus, pendataran gelombang T , depresi segmen ST dan aritmia lain. Perubahan ini umumnya bersifat reversible. Payah jantung akut dilaporkan terjadi setelah pemberian 550mg/m2 yang merupakan batas pemberian total maksimal. Depresi sumsum tulang berupa leucopenia berat juga sering terjadi. Pemberian darah harus dilakukan secara rutin termasuk pemeriksaan trombosit dan eritrosit. Fungsi hati juga harus diawasi selama pengobatan dengan pemeriksaan SGOT, SGPT, alkali fosfatase dan bilirubin. Alopesia biasanya bersifat reversible. Stomatitis dan esofagitis sering terjadi dan dapat mengakibatkan terjadinya ulserasi.

Sediaan dan posologi. Doksorubisin tersedia sebagai bubuk sebanyak 10, 20 dan 50 mg, dan diberikan bersama infuse garam fisiologis atau dekstrosa 5% untuk mencegah ekstravasasi. Ekstravasasi dapat menyebabkan nekrosis dan selulitis. Larutan yang disuntikkan harus diencerkan dengan NaCl menjadi larutan 2 mg/mL. larutan ini stabil selama 24 jam dalam suhu ruang dan 48 jam dalam lemari es. Dosis IV dewasa; 60-75 mg/m2 diberikan sebagai suntikan tunggal setiap 3 minggu sampai dosis total tidak melebihi 550 mg/m2 . alterntif lain ialah 20 mg/m2 setiap minggu. Cara yang terakhir ini lebih disukai untuk pemberian pada anak. Apabila ada gangguan hati dosis dikurangi 25-75% baik pada anak maupun pada dewasa. Setelah radiasi daerah mediastinal dosis harus dikurangi menjadi 400mg/m2. Dosis total yang diberikan harus diturunkan bila sebelumnya telah diberikan ( atau diberikan bersamaan) dengan antineoplastik tertentu misalnya siklofosfamid.

c. Bleomisin bleomisin merupakan sekelompok glukopeptida yang dihasilkan dari streptomyces verticillus. Efek sitotoksinya berdasarkan hambatan sintesis DNA. Obat ini memperlihatkan efek paliatif pada beberapa karsinoma sel skuamosa kulit, leher, dan kepala ( selaput lender bukal, lidah, tonsil danfaring) serta karsinoma paru; demikian juga pada karsinoma di testis, serviks dan esophagus serta limfoma malignum.

Untuk karsinoma testis, respons penyembuhan 30% dan meningkat menjadi 90% bila dikombinasi dengan vinblastin. Ditambah dengan sispalstin, remisi lengkap terjadi dan berlangsung beberapa tahun. Berbeda dengan atikanker lainya obat ini sedikit sekali menyebabkan depresi sumsum tulang untuk mendapatkan remisi. Efek samping terutama mengenai kulit dan selaput lendir berupa hiperestesia dan bengkak dijari dan disusul dengan terjadinya vesikel, hyperkeratosis telapak tangan dan stomatitis. Reaksi demam sering terjadi; sakit kepala, mual dan jarangjarang alopesia juga dapat terjadi. Efek samping yang paling serius dari obat ini ialah toksisitas terhadap paru berupa infiltrasi yang kemudian menjadi fibrosis dengan insiden 5-10%. Reaksi terakhir ini berhubungan dosis total, usia pasien, pemberian antikaknker lain dan pemberian oksigen. Risiko terjadinya toksisitas paru lebih tinggi bila obat ini diberikan pada pasien usia diatas 70 tahun dan pada mereka yang mendapat dosis total lebih dari 400 unit. Pemeriksaan. Pemeriksaan radiologik toraks perlu dilakukan dua minggu sekali dan pengobatan dihentikan bila terjadi tanda toksisitas paru.

Sediaan dan posologi. Bleomisin sulfat terdapat dalam vial berisi 15 unit untuk pemberian IV, IM, atau kadang-kadang SK atau intraarterial. Pengobatan karsioma sel skuamosa, kanker testis dan limfoma dimulai dengan dosis 0,25-0,5 unit/kgBB (10-20 unit/m2), 1-2 kali seminggu. Berhubung dengan kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis, maka 2 dosis pertama diberikan sebanyak 2 unit atau kurang disusul dengan dosis biasa. Untuk penyakit Hodgkin diberikan dosis pemeliharaan 5 unit/minggu setelah dicapai 50% respons.

d. Daunorubisin Daunorubisin menunjukan spectrum aktivitas yang lebih sempit dibandingkan doksorubisin. Obat ini terutama digunakan untuk leukemia mielositik akut. Efek samping mirip dengan doksorubisin. Antara lain kardiotoksisitas yang dapat berakhir dengan gagal jantung. Dapat juga terjadi depresi sumsum tulang, stomatitis, alopesia, gangguan saluran cerna, dan kelainan kulit.

e.Mitoksantron Mitoksantron merupakan antrasena dengan struktur mirip antrasiklin. Obat ini berikatan dengan DNA dan menyebabkan putusnya untaian DNA dengan akibat terhentinya sintesis DNA dan RNA. Indikasi utamanya adalah kanker prostat lanjut yang refrakter terhadap terapi hormonal, limfoma non-Hodgkin derajat rendah, tumor payudara, dan leukemia mielositik akut pada anak dan dewasa. Mitoksantron kurang kardiotoksik dibanding dengan doksorubisin dan daunorubisin.

4.3.6. ENZIM L-Aspzrzginase L-asparaginase adalah enzim yang digunakan untuk pengobatan leukemia limfositik akut pada anak. Enzim ini menyebabkan hidrolisis L-asparagin dalam sirkulasi menjadi asam aspartat dan ammonia. Sel tumor tidak memiliki enzim asparagin sintetase dan memerlukan suplai L-asparagin dari lingkungan. L-asparagin menyebabkan deplesi L-asparagin sehingga sintesis protein dalam sel tumor terhenti. Sebaliknya, sel-sel normal dapat mensintesis sendiri L-asparagin sehingga tidak.kurang peka terhadap efek sitotoksik L-asparaginase. Efek samping utama L-asparaginase adalah reaksi hipersensitivitas berupa demam, menggigil, mual, muntah, urtikaria. Alergi berat dapat menyebabkan bronkospasme, gagal napas, dan hipotensi. Toksisitas lain meliputi perubahan berbagai faktor koagulasi dengan akibat peningkatan risiko perdarahan atau koagulasi. Dapat juga terjadi pankreatifitas dan toksisitas neurologis berupa letargi. bingung, halusinasi dan koma.

4.4 HORMON dan ANTAGONIS 4.4.1.HORMON Berbagai hormone steroid digunakan pada pengobatan kanker, antara lain kortikosteroid ( prednisone, deksametason), hormone progestin (hidroksiprogesteron kaproat, medroksipogesteron setat), estrogen (megestrol asetat, dietilstilbestrol, etinil estradiol), dan androgen ( testosterone propionate, fluoksimesteron). Hormone ini umumnya digunakan untuk tumor endometrium, payudara, prostat, dan limfoma. Untuk keterangan rinci tentang hormone ini, pembaca dipersilahkan melihat masing-masing bab terkait.

4.4.2. PENGHAMBAT AROMATASE Aromatase merupakan enzim yang berfungsi pada konversi androstenedion menjadi estrogen. Karena estrogen merangsang tumbuhnya karsinoma payudara, sintesis estrogen di jaringan adipose dapat menjadi sumber utama pertumbuhan karsinoma payudara pada wanita pasca menopause. a.Aminoglutetimid mula-mula digunakan pada karsinoma mammae metastatik pada wanita dengan ekspresi reseptor estrogen dan progesterone yang tinggi. Obat ini juga bermanfaat pada kanker prostat lanjut yang bersifat hormone sensitive.

Aminoglutetimid biasanya diberikan bersama hidrokortison untuk mencegah insufiensi adrenal. Efek samping aminuglutetimid antara lain insufisiensi adrenal, mieosupresi, dan reaksi alergi. b.Anastrozol merupakan inhibitor aromatase non steroid selektif yang tidak memiliki efek penghambatan kortikosteroid adrenal dan tidak menghambat sintesis

mineralokortikoid. Obat ini digunakan sebagai obat lini pertama untuk karsinoma payudara metastatic yang E-R ( estrogen receptor) positif dan yang memburuk

selama pengobatan dengan tamoksifen. Juga digunakan sebagai terapi ajuvan pada stadium awal karsinoma mame yang hormone sensitive. c. Lestrozol juga merupakan inhibitor aromatase non steroid selektif dengan sifatsifat dan indikasi yang sama dengan anastrozol. d. Eksemestan merupakan hormone steroid yang berikatan secara ireversibel dengan aromatase dan menginaktivasi aromatase. Tidak terdapat resistansi silang antara eksemestan dengan penghambat aromatase non steroid. Obat ini diindikasikan untuk pengobatan karsinoma mammae lanjut pada wanita pasca menopause yang mengalami perburukan dengan tamoksifen.

4.5. LAIN- LAIN 4.5.1. HIDROKSIUREA Hidroksiurea, suatu analog urea, bekerja menghambat enzim ribonukleotida reduktase sehingga menyebabkan hambatan sintesisi ribunukleotida trifostat dengan akibat terhentinya sintesis DNA pada fase S. obat ini diberikan per oral dan menunjukkan bioavailabilitas yang mendekati 100%. Indikasi utama hidroksiurea adalah untuk leukemia mielositik kronik dan pengobatan krisi blast pada leukemia mielostik akut. Tapi obat ini juga efektif sebagai ajuvan radioteerapi untuk tumor

daerah leher dan kepala, dan untuk pengobatan trombositosis esensial dan polisetemia vera. Efek samping utama dalah mielosupresi. Selain itu juga menimbulkan mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi. Kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus.

4.5.2. DERIVAT ASAM RETINOAT Tretinoin ( Ali trans-retinoic acids) Tretinoin digunakam pada leukemia promoelositikakut ( LPA) dan dapat menimbulkan remisi pada

Вам также может понравиться