Вы находитесь на странице: 1из 6

Demokrasi di Indonesia

Demokratisasi di Indonesia telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut justru memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Uraian lebih lanjut mengenai bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat. Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.

PROSES DEMOKRATISASI DI MALAYSIA Malaysia Sebelum Tahun 1970 Ketika Malaysia Merdeka tahun 1957 , konstitusinya memakai model demokrasi Inggris. Pemerintah bertanggungjawab kepada Parlemen Nasional yang dipilih setiap lima tahun sekali. Secara relatif ada keterbukaan politik dengan tampilnya banyak partai yang menjadi peserta pemilu. Meski begitu pembatasan tertentu diterapkan dalam kebebasan berpolitik. Selama jaman penjajahan diundangkan undang-undang "negara dalam keadaan bahaya" karena meningkatnya kegiatan kaum oposisi nasionalis dan kaum Komunis, yang membolehkan penggunaan kekuatan sesuai dengan konstitusi baru. Tetapi waktu undang-undang tersebut dicabut tahun 1960-an, muncul pengabsahan baru undang-undang yang sudah dicabut dalam bentuk "the Internal Security Act (ISA) yang memberikan wewenang kepada penguasa secara preventif dapat menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi gerakan kaum kiri, Komunis dan komunalis serta musuh-musuh negara lainnya. Ketika Malaysia merdeka, pemberontakan Komunis sudah berhasil dipatahkan, meskipun gerakannya terus berlanjut (Khong 1980, Stubbs 1989). Gerakan Komunis didukung oleh orangorang Cina yang menjadi anggota Persatuan Dagang dan para penghuni gelap lahan-lahan pertanian. Partai secara potensial merupakan wahana untuk menumbuhkan kembali ekspresi orang Cina dari kelas bawah yang kecewa atas penerapan sanksi yang dijustifikasi dengan mengatasnamakan ISA. Bagi masyarakat Malaysia, penerapan ISA merupakan justtifikasi jangka panjang untuk pembatasan kebebasan berdemokrasi. Jadi, sistem politik yang dilaksanakan di Malaysia merupakan campuran antara karakter demokratik dan otoriter. Sementara perwakilan politik dari setiap komunitas dalam kerangka demokrasi merupakan alat pengawasan tensi komunal. Pemerintah percaya bahwa penggunaan kekuasaan dapat menekan gerakan Komunis dan mencegah konflik komunal agar tidak meluas dan membahayakan pemerintah.

Politik Dalam Masyarakat Majemuk Politik Malaysia yang didominasi kaum elite masyarakat Melayu (Voys 1975, Means 1976, Milne dan Mauzy 1978, Bedlington 1978). Pada awal abad ini Pemerintah kolonial Inggris mendirikan sekolah-sekolah untuk merekrut kelas pegawai dari kaum Aristokrat dan anggota kelas ini di kemudian hari mengisi eselon tinggi birokrasi sesudah kemerdekaan (Khasnor 1984). Orang Melayu yang berpendidikan Inggris juga direkrut menjadi polisi dan angkatan bersenjata meski ada juga yang berasal dari penduduk non-Melayu., tetapi posisi puncak tetap diisi oleh orang Melayu. Mereka memegang kontrol terhadap birokrasi, polisi, angkatan bersenjata. Kelompok elite Melayu juga mendirikan sayap politik the United Malays National Organisation (UMNO).

Kebanyakan dari generasi pertama pemimpin UMNO berasal dari kaum elite adminstratif yang berpendidikan Inggris yang telah lama menjadi pegawai pemerintah kolonial. Partai UMNO yang didirikan tahun 1946 sesuai dengan rencana pemerintah Inggris untuk menciptakan

Persatuan Malaysia (Malayan Union) yang terdiri dari sembilan negara dan dua koloni kerajaan di semenanjung. Di bawah persatuan Malaya mereka akan kehilangan status istimewa mereka dan penduduk non-Melayu akan memperoleh hak sama sebagai warga negara Meski UMNO telah mapan sebagai organisasi ekslusif untuk memper-juangkan kepentingan Melayu, para pemimpinnya segara menyadari bahwa lingkungan khusus masyarakat Melayu secara imperative diterima di kalangan mereka tetapi mereka harus memberikan pengertian terhadap pemimpin non-Melayu yang moderat. Pemerintah Inggris tidak ingin memerdekakan Malaya yang tidak akan menjamin stabilitas dan kepentingannya di masa depan. Khususnya, pemerintah Inggris percaya bahwa suatu pemerintahan Melayu tidak akan dapat mengatasi pemberontakan Komunis, terutama yang didukung Cina. Sekurang-kurangnya dalam pemilihan umum mereka mendukung UMNO untuk bekerjasama dengan kelompok non-Melayu (Horowitz 1985). Meski secara formal UMNO menyatakan akan membawa bangsa Melayu ke sektor ekonomi modern, tetapi ia lebih konkern terhadap pemeliharaan status quo hubungan rasial yang harmonis . Partai ini bersikap moderat terhadap issu rasial, dibanding Partai Pan Islam Melayu (PMIP atau Pan-Malayan Islamic Party , yang dalam bahasa Melayu Parti Islam se-Malaysia =PAS). Platform PAS yang kesukuan dan agamis) mengekloitir kelemahan UMNO yang ingin mengindentikkan dengan suku bangsa non-Melayu , membuat langkah drastis sehingga posisi Malaya yang dibiayai non-Melayu. PAS menggunakan para pejabat dan para guru untuk mengerahkan massa pendukungnya, yang biasanya datang dari wilayah utara dan timurlaut yang terdiri dari para petani miskin yang kurang di-perhatikan dalam program pembangunan yang disponsori UMNO.

Sistem politik didominasi secara relatif oleh homogenitas kaum elite Melayu. Figur kepemimpinan UMNO, terdiri dari para birokrat, ahli hukum, dan anggota angkatan bersenjata ser-ta polisi yang punya kesamaan ni-lai, orientasi, latar belakang pendidikan dan gaya hidup. Kaum bumiputera ini pada umumnya punya hubungan dengan kelas atas, sementara yang lain, yang belatarbelakang kelas menengah bawah telah direkrut ke dalam kelompok elit sesudah mereka menerima pendidikan berbahasa Inggris untuk memantapkan pandangan dan gaya hidup agar dapat masuk ke dalam status barunya. Tetapi kaum elite Melayu tidak memerintah sendirian saja. Para pemimpin yang berasal dari penduduk non-Melayu masuk ke dalam lingkungan peme-rintahan melalui persekutuan: bebe-rapa tokoh senior mempunyai kedu-dukan di birokrasi yang dialokasikan untuk kaum non-Melayu, dan bebe-rapa tokoh mereka masuk ke dalam angkatan bersenjata dan polisi serta menduduki jabatan tinggi. Selebihnya banyak kebijakan pemerintah yang menguntungkan kaum non-Melayu, terutama di bidang ekonomi yang diduduki orang Cina dari kelas atas (Funston 1980).

Sistem politik yang berkarakter gabungan sosialisme dan nasionalisme (Funston 1977). Model ini mengutamakan stabilitas masyarakat plural melalui integrasi tingkat elite masyarakat yang diwakili oleh para pemimpinya. Di bawah sistem perse-kutuan ini, para pemimpin UMNO, MCA dan MIC bertemu untuk mencapai kompromi dalam penyelesaian berbagai masalah daripada berkampanye dengan mengumpulkan masa yang dapat meningkatkan sentimen antar komunal.

Meskipun pelaksanaan fungsi sistem ini lancar tetapi menuntut tidak hanya menuruti kemauan suatu kelompok elit untuk berkompromi tentang issue komunal tetapi juga kemampuan untuk mendapatkan dukungan dan keya-kinan dari komunitas yang respektif. Sejak merdeka tahun sampai pemilu 1969, orang-orang Cina mendukung Persekutuan mereka kecuali ketika MCA tidak lagi memperjuangkan kepentingan mereka. Dari sudut pandang orang Melayu, UMNO berhasil menjadi partai utama bagi kelompoknya. Tetapi di tahun 1969 mulai kehilangan pendukungnya. Mulai tahun 1969, fondasi sistem ini menjadi amat tidak stabil. Alasan merosotnya peran gaya persekutuan terletak dalam pembangunan sosial-ekonomi sesudah periode kemerdekaan. Tahun 1960 merupakan tahun me-ningkatnya ketegangan sosial dan merupakan ancaman munculnya konflik komunal. Negoisasi kelompok elite pada jaman pra kemerdekaan pada tahun 1956 dan 1957 telah mencapai pemahaman bahwa orang Melayu akan mendapatkan hak-hak politiknya. Pada saat yang sama posisi ekonomi orang non-Melayu tak akan menimbulkan gangguan, dan mereka diijinkan untuk memelihara budaya dan tradisinya. Hal itu difahami bahwa dalam jangka panjang akan meningkatkan tingkat ekonomi orang Melayu dan dapat mengembangkan identitas nasional dengan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Sementara itu prinsip-prinsip dasar pemahaman itu diterima secara luas pada tahun 1957. Di tingkat bawah pelaksanaan kebijakan tersebut telah meningkatkan ketegangan antara kelompok Melayu dan non-Melayu tidak sesuai dengan hasil kompromi di tingkat elit.

Pembangunan politik di Malaysia te-lah mengesampingkan latarbela-kang pertumbuhan ekonomi yang mantap, yang antara tahun 1957 - 1970 hanya naik 25 % (Jomo, 1986). Tetapi meningkatnya kemakmuran tidak me-rata ke seluruh kelompok masya-rakat. Data yang tersedia menun-jukkan bahwa selama periode itu pendapatan yang paling tinggi naik 10 persen dibanding kenaikan income rata-rata 51 persen sementara 40 persen kelompok lain pendapatannya turun 13 persen (Snodgrass, 1980).

Ketidakadilan menimbulkan dispari-tas komunal. Perbandingan yang timpang antara penduduk non-Melayu dan Melayu di sektor tradi-sional pedesaan berbanding tiga ban-ding satu, sedang di sektor modern baik di perkotaan dan pedesaan lima banding dua. Ketimpangan ini juga tanpak ketika penduduk Melayu bekerja di sektor modern, mereka berada di tingkat bawah karena tidak punya ketrampilan yang memadai. Konsentrasi penduduk Melayu pada jabatan-jabatan yang produktifitas-nya rendah menyebabkan ketimpang-an kemakmuran antar komunal. Orang Melayu mengharapkan UMNO membela kepentingan mereka tidak hanya di bidang politik tetapi juga memajukan ekonomi mereka. Pada tahun 1960 pemerintah mulai memperhatikan kepentingan ekonomi orang Melayu. Tetapi pada tahun 1969 problematikanya adalah keterbelakangan dan kemiskinan mereka. Kebutuhan mereka semakin meningkat sejalan tingkat hidupnya yang meningkat.

Selama tahun 1960-an, ketegangan antar komunal mencapai titik didih. Masuknya Singapura kedalam federasi baru Malaysia tahun 1963 amat berpegaruh terhadap keseimbangan yang tidak

direncanakan itu. Radikalisme Cina Singapura bergabung dan menambah jumlah etnik yang sudah ada menjadi 42%, seimbang dengan pertambahan penduduk bumiputera dengan masuknya Sabah dan Serawak. Pemimpin muda yang dinamik dari PAP Singapura mengendalikan diri untuk tidak terlibat dalam politik di semenanjung. Namun mereka simpati terhadap kepemimpinan konservatif MCA yang secara efektif dapat melindungi kepentingan orang Cina di seme-nanjung. Kampanye PAP " Malaysia untuk Malaysia" disambut hangat oleh banyak orang Melayu, tetapi orang Melayu menyadari tantangan pada tahun 1957 untuk memahami kelemahan orang Melayu dalam politik. Kesenjangan antara PAP dan persepsi sekutu tentang masa depan Malaysia menjadi tak terjembatani sehingga menyulut konflik terbuka. Akhirnya Perdana Menteri mendepak Singapura ke luar dari federasi tahun 1965. Keputusan itu diambil untuk mengembalikan dominasi politik Melayu yang tak dapat ditawar-tawar lagi.

Periode Singapura menjadi anggota federasi Malaysia yang melibatkan non-Melayu tahun 1957 secara prinsip ditentang orang Melayu. Konstitusi tahun 1957 yang membolehkan untuk terus menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Melayu secara resmi selama sepuluh tahun. Suasana ini menimbulkan ketegangan untuk mendepak Singapura. Karena adanya desakan orang Melayu untuk menggunakan bahasanya sebagai nasional yang sudah digunakan sampai 31 Agustus 1967. Kampanye itu yang didukung secara luas oleh orang Melayu, termasuk banyak tokoh masyarakat di UMNO, tetapi diten-tang keras oleh MCA dan MIC sebagai partai oposisinya orang nonMelayu. Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman, mengusulkan kompromi yang isinya tetap menggunakan "bahasa Melayu" sebagai ba-hasa nasional disamping itu masih diperbolehkan memakai bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Meski ditentang oleh orang non-Melayu undangundang tentang Bahasa Nasional lolos juga (Vasil 1972). Undang-undang tersebut banyak didukung oleh orang Melayu, tetapi di UMNO sendiri, faksi pembelot tidak mempercayai kepemimpinan Abdul Rahman lagi dan menimbulkan kerusuhan rasial 13 mei 1969.

Demokrasi Singapura Singapura menjadi sebuah negara yang merdeka pada tanggal 5 Agustus 1955. Sebelumnya Singapura bergabung dengan Malaysia menjadi sebuah negara federal (negara bagian Malaysia tahun 1953-1955). Karena konflik politik, akhirnya Singapura keluar dari federasi Malaysia. Hal ini terjadi pada tahun 1955. Ketika itu orang-orang Melayu mempunyai program Malay for Malayu, membuat Singapura yang 75% penduduknya etnis Tionghua tersinggung dan ingin membentuk negara sendiri. Sistem pemerintahan Singapura adalah sistem demokrasi parlementer dengan model westminder. Presiden adalah kepala negara. Sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri (prime minister). Parlemen dibagi menjadi dua kamar: Kongres atau Majelis Tinggi dan Majelis Rendah (House of Low) yang semula mempunyai 81 anggota. Pemilihan anggota parlemen dilaksanakan 4 tahun sekali. Anggota parlemen memilih PM. Sedangkan PM sebagai kepala pemerintahan membentuk kabinet berdasarkan rangking dan mendapat persetujuan dari pemerintah. Sampai tahun 1991, secara seremonial pemilihan

presiden dilakukan setelah pengisian anggota parlemen. Di dalam konstitusi Singapura, diamanatkan untuk melakukan pemilihan langsung terhadap posisi presiden. Jadi kekuasaan seorang presiden semakin kuat (The Encyclopedia Britannica. Log, Cit, hal. 769-788). Dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat bangsa yang demokratis, peran rakyat di arena politik nasional, melalui pembentukan sebuah pemerintahan, ditempuh melalui pemilihan umum. Dalam pemilu tersebut, rakyat memilih wakil-wakilnya untuk memerintah. Negara yang mempunyai jumlah penduduk statis (4 juta jiwa) itu terdiri dari 75% etnis China, 15% Melayu, 5 % India. Panggung politik Singapura tetap didominasi oleh People Action Party/Partai Aksi Rakyat (PAP), partai yang didirikan oleh mantan PM Lee Kuan Yew. PAP merupakan the ruling party. Kubu oposisi baru bisa memperoleh kursi di parlemen pada pemilu 1981. Ketika itu Partai Pekerja mampu memasukkan kadernya lewat pemilu susulan.

Dalam setiap pemilu, negara ini menggunakan sistem distrik dalam setiap pesta demokrasi. Pemikiran politik Lee Kuan Yew mampu menciptakan strong governance, yakni bagaimana membuat sistem politik memberikan ruang terhadap reformasi politik memperkuat lembaga presiden, dan memberi jaminan kursi kepada oposisi. Dengan strategi ini, pada satu pihak diharapkan dapat menjamin kestabilan sistem, dan pada sisi lain diharapkan mampu membatasi pengaruh oposisi. Akan tetapi tindakan ini bukan bermakna melakukan liberalisasi politik. Jadi, kubu oposisi tidak berkembang, memang sudah dirancang oleh arsitek politik Singapura. Ada dua alasan mengapa kubu oposisi tidak mampu mempunyai pengaruh yang signifikan dalam kehidupan politik. Pertama, pihak oposisi tidak mempunyai tokoh yang handal dan setara dengan Lee Kuan Yew, Gooh Tjoh Tong, BG Lee. Kedua, kubu oposisi tidak mudah memberikan wacana alternatif, sebab ruang lingkupnya sudah dibatasi.

Вам также может понравиться