Вы находитесь на странице: 1из 12

ARTIKEL ILMIAH

PREVALENSI CACING PADA KAMBING GUNUNG (Ammotragus lervia) DI KEBUN BINATANG SURABAYA (KBS)

Oleh : SAVINA ALI 060710050

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011

PREVALENSI CACING PADA KAMBING GUNUNG (Ammotragus lervia) DI KEBUN BINATANG SURABAYA (KBS) PREVALENCE OF HELMINTH IN BARBARY SHEEP (Ammotragus lervia) AT SURABAYAS ZOO
Savina Ali 1), Setiawan Koesdarto 2), Soetji Prawesthirini 3) 1) Mahasiswa, 2) Bagian Parasitologi, 3) Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRACT

The purpose of this study were to know the prevalences of helminth at Surabayas zoo. This
research were used three method (natif, sedimentation, and centrifugal flotation). The result were Haemonchus contortus, Oesophagostomum columbianum, Fasciola hepatica, Trichuris ovis and

Strongyloides papillosus worm eggs. All the datas were calculated by prevalences formula. The result were revealed that prevalence of helminth in Barbary sheeps stool were 62,78%.
Key words : Barbary Sheep, Helminth, and Surabayas zoo.

Menyetujui untuk dipublikasikan dengan Savina Ali , Surabaya, 22 Februari 2011.


Surabaya, 22 Februari 2011 Mahasiswa: Menyetujui Dosen Pembimbing I: Menyetujui Dosen Pembimbing II:

(Savina Ali) NIM. 060710050 Menyetujui Dosen Terkait I:

(Prof. Dr. H. Setiawan Koesdarto, drh., M.Sc.) NIP. 1952 0528 1578 0310 02 Menyetujui Dosen Terkait II:

(Soetji Prawesthirini, drh., SU) NIP. 1951 0703 1978 0320 01 Menyetujui Dosen Terkait III:

(Dr. Kusnoto, drh., M.Si) NIP. 1963 1003 1997 0210 01

(Dr. Soeharsono, drh., M.Si) NIP. 1961 0402 1988 0310 03

(Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP) NIP. 1962 0828 1989 0320 01

PREVALENSI CACING PADA KAMBING GUNUNG (Ammotragus lervia) DI KEBUN BINATANG SURABAYA (KBS) Savina Ali 1), Setiawan Koesdarto 2), Soetji Prawesthirini 3) Parasitologi, 3) Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

1) Mahasiswa, 2) Bagian

Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya angka prevalensi infeksi cacing di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Pada penelitian ini menggunakan tiga metode pemeriksaan feses (natif, sedimentasi sederhana, dan pengapungan Fulleborn). Hasil identifikasi yang dapat diperoleh antara lain telur cacing Haemonchus contortus, Oesophagostomum columbianum, Fasciola hepatica, Trichuris ovis dan Strongyloides papillosus. Pengolahan data diatas menggunakan rumus prevalensi. Hasil yang diperoleh dari perhitungan prevalensi cacing pada kambing gunung di KBS sebesar 62,78%. Kata kunci : Kambing gunung, Cacing, dan Kebun Binatang Surabaya.

PENDAHULUAN Keaneka ragaman satwa liar merupakan bagian dari sumber daya alam. Satwa liar perlu dilindungi dan dilestarikan dari kepunahan, agar tidak menjadi satwa langka. Kelangkaan satwa liar diantaranya disebabkan oleh, perburuan satwa guna upacara adat, konsumsi, predator, pertarungan antar spesies, penyakit infeksius, dan berbagai alasan lain yang berdampak negatif bagi pelestarian satwa. Kegiatan pelestarian satwa yang hampir punah masih memiliki berbagai macam kendala, antara lain perbedaan cuaca, perubahan pola hidup, ransum tidak sesuai dengan lambung, lingkungan pemeliharaan tidak terawat, dan pakan yang terkontaminasi. Kendala dalam pelestarian satwa sangat berpengaruh terhadap kondisi tubuh satwa, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Penyakit tersebut, salah satunya yang disebabkan oleh cacing (McCoy et al., 2008).
3

Upaya Pemerintah dalam melindungi dan melestarikan satwa dengan membentuk sangkar peraga terbuka yang menyerupai habitat alaminya dalam konsep kebun binatang atau taman satwa modern atau kawasan konservasi (Sarjana, 2010). Satwa liar yang dilindungi di KBS salah satunya adalah kambing gunung (Ammotragus lervia). Kambing gunung termasuk kategori perlindungan Appendix 3, ijin diberikan dalam kerjasama internasional yang berhubungan dengan spesies satwa liar berasal dari negara asal (CITES, 1973). Kambing gunung berkerabat antara kambing dan domba. Biasa disebut kambing gunung karena memiliki tempat hidup di daerah bukit batu (pegunungan) yang panas dan kering. Kambing gunung berasal dari Afrika Utara (Candra, 2000). Sukadi (2009, selaku keeper kambing gunung di KBS) kambing gunung hidup secara liar, memiliki kandang yang dikelilingi danau agar kambing gunung tidak melompat keluar. Beberapa pakan yang diberikan pada kambing gunung adalah buah, sayur, rumput, ketela dan pellet yang diletakkan dipermukaan tanah tanpa diberi alas. Perawatan kambing gunung dapat dilakukan dengan pengendalian terhadap agen penyakit, sanitasi kandang dan pemberian pakan berkualitas. Agen penyebab penyakit dapat menyerang satwa antara lain virus, bakteri, parasit dan jamur. Salah satu penyebab penyakit pada kambing gunung yaitu parasit cacing (Williamson and Payne, 1993). Peneguhan diagnosa helmintiasis dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses bertujuan untuk mengetahui adanya telur atau larva cacing. Telur cacing dapat mengkontaminasi pakan, air, dan tanah (Hadidjaja dkk., 1992). Pada pemeriksaan feses kambing gunung di Kebun Binatang Gwangju Uchi (Korea), diketemukan telur cacing kelas Nematoda, genus Trichuris spp. dan Strongyloides spp. (Ho-Seong et al., 2006).

Kontaminasi telur cacing dapat terjadi secara terus-menerus, bersamaan dengan musim penghujan yang akan mempengaruhi kelembaban tanah. Telur cacing yang berada di permukaan tanah mampu bertahan hidup hingga bertemu inang definitifnya (Subekti dkk., 2005). Infeksi telur cacing pada satwa jarang menyebabkan kematian, tetapi penyakit akan berjalan secara kronis sehingga pada satwa dewasa berdampak terhadap menurunnya produksi susu, kualitas daging dan kemampuan kerja, sedangkan pada satwa muda dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat, nafsu makan menurun, dehidrasi, anemia, dan diare (Soulsby, 1994).

METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Departemen Parasitologi (Laboratorium Helmintologi) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, pada Bulan September sampai Oktober 2010. Pengambilan sampel berupa feses segar dilakukan di kandang kambing gunung (Ammotragus lervia) di KBS. Bahan penelitian menggunakan sampel feses kambing gunung masih segar, yang diperoleh dari KBS. Bahan yang digunakan adalah larutan sukrosa 10%, akuades, air bersih (PDAM), dan formalin 5%. Peralatan penelitian yang digunakan adalah mikroskop Olympus tipe CX-21-FSI SN 3L01098, tabung sentrifus, sentrifus Medifus Heraus Sepatech tipe Rerk Nr. EBA-8 D-78532 Hetticlz, rak tabung reaksi, saringan teh plastik, pipet Pasteur 1 ml, batang pengaduk, nampan plastik, gelas obyek Sail Brand cat. no.7101 no.23 ukuran 25,4x76,2 mm, gelas penutup Assistent ukuran 20x20 mm, sendok plastik, gelas plastik, kertas label no.107, kontener feses ukuran r 50, botol plastik ukuran 1000 ml, sarung tangan (hand gloves), kamera dan alat tulis.

Sampel feses diambil dari feses kambing gunung yang masih segar. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 kali (1 kali dalam 1 minggu). Pengambilan feses tidak membedakan jenis kelamin, bobot maupun umur kambing gunung. Feses yang diambil menggunakan sendok plastik dalam kontener feses yang telah dilabel. Sampel feses dimasukkan dalam kontener feses, ditambahkan formalin 5% secukupnya sebagai bahan pengawet feses, agar telur cacing tidak mati dan menetas menjadi larva, segera ditutup agar tidak terkontaminasi (Sosiawati dkk., 2007). Pada kontener feses, sampel diberi label berdasarkan waktu pengambilan (hari, tanggal dan jam), keadaan feses, nama spesies dan kolektor sampel. Sampel feses dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan telur cacing. Pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu natif, sedimentasi sederhana dan pengapungan Fulleborn untuk menemukan telur atau larva cacing dalam feses kambing gunung.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan selama bulan September sampai dengan Bulan Oktober 2010 terhadap 23 ekor kambing gunung yang diambil dari lokasi kandang kambing gunung di KBS menunjukkan bahwa sampel positif mengandung telur cacing sebanyak 62,78%. Total persentase dari prevalensi telur cacing yang menginfeksi kambing gunung di KBS dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Prevalensi Telur Cacing pada Feses Kambing Gunung di KBS Pemeriksaan I II III IV V Positif 7 (46,67%) 10 (55,56%) 9 (75%) 10 (66,67%) 7 (70%) Negatif 8 (53,33%) 8 (44,44%) 3 (25%) 5 (33,33%) 3 (30%) Jumlah 15 (100%) 18 (100%) 12 (100%) 15 (100%) 10 (100%)

Hasil penelitian dari 23 ekor kambing gunung di KBS yang telah diperiksa menunjukkan sampel positif (62,78%) yaitu ditemukan telur cacing kelas Trematoda dan kelas Nematoda. Identifikasi jenis telur cacing berdasarkan ukuran dan morfologi dari telur cacing (Koesdarto, 2007 dan Kusumamihardja, 1993). Pada hasil identifikasi, diperoleh lima jenis telur cacing yaitu Fasciola hepatica, Strongyloides papillosus, Oesophagostomum columbianum, Haemonchus contortus, dan Trichuris ovis.

Gambar 4.2 Telur cacing Haemonchus contortus. (Pembesaran 100x) Telur berukuran panjang 77,2 m dan lebar 45,3 m.

Gambar 4.3 Telur cacing Oesophagustomum columbianum.(Pembesaran 100x) Telur berukuran panjang 72,2 m dan lebar 41,2 m.

Gambar 4.4 Telur cacing Fasciola hepatica. (Pembesaran 100x) Telur berukuran panjang 130,1 m dan lebar 62,8 m.

Gambar 4.5 Telur cacing Strongyloides papillosus. (Pembesaran 100x) Telur berukuran panjang 47,2 m dan lebar 20,8 m.

Gambar 4.6 Telur cacing Trichuris ovis. (Pembesaran 100x) Telur berukuran panjang 79,1 m dan lebar 38,1 m.
Pada penelitian Levon (1960) terdapat 12 telur cacing pada feses kambing gunung, diantaranya Haemonchus contortus, Trichostrongilus spp., Nematodirus spp., Trichuris spp., Skrjabinema spp., Cooperia spp., dan beberapa kelas Nematoda lainnya. Berdasarkan penelitian Karima (2009) di Mesir dapat diketemukan telur cacing Strongyloides papillosus pada feses kambing gunung. Kimura et al. (2007) Strongyloides spp. adalah infeksi cacing yang sering menyerang pada satwa liar. Pada pemeriksaan feses segar dapat ditemukan telur cacing dengan ciri berdinding tipis yang berisi larva. Induk semang dapat terinfeksi setelah memakan pakan yang mengandung larva infektif. Larva infektif dapat bertahan hidup di lingkungan sampai menemukan induk semang. Menurut Malla et al. (2004) lingkungan yang buruk dan banyaknya satwa pada suatu populasi dapat mempengaruhi penularan infeksi cacing sehingga berpengaruh terhadap tingginya angka prevalensi. Peranan feses dalam penyebaran penyakit cacing sangat besar karena dapat

mengkontaminasi pakan, air dan tanah. Perilaku satwa dapat mempengaruhi terjadinya infeksi cacing yang ditularkan lewat tanah (Malavijitnond et al., 2006). Prevalensi telur cacing Oesophagostomum columbianum tertinggi ditemukan dikandang kambing gunung. Penelitian dilakukan pada musim hujan. Telur cacing ini mampu bertahan
9

hidup meskipun suhu dan kelembaban yang berubah-ubah. Dinding telur yang tebal mampu membuat hidup telur bertahan lebih lama, didukung dengan adanya kelembaban yang tinggi serta curah hujan yang sering membuat telur cacing dapat berkembang dengan sempurna untuk menginfeksi induk semang (Subekti dkk., 2005).

KESIMPULAN DAN SARAN Melalui penelitian prevalensi infeksi telur cacing pada feses kambing gunung di KBS dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1) Angka prevalensi infeksi cacing pada kambing gunung di KBS sebesar 62,78%. 2) Kambing gunung di KBS terinfeksi cacing Haemonchus contortus, Oesophagostomum

columbianum, Fasciola hepatica, Trichuris ovis dan Strongyloides papillosus pada pemeriksaan feses. Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah 1) Kambing gunung perlu dilakukan terapi (pemberian obat cacing secara rutin yang efektif setiap 2-3 bulan sekali). 2) Pemeriksaan feses secara rutin untuk mendeteksi dini adanya infeksi penyakit cacing. 3) Pakan sebaiknya diberikan pada tempat pakan khusus yang telah disediakan. 4) Jumlah kambing gunung dalam satu kandang diusahakan tidak terlalu padat (kandang dengan luas 100 m2 dapat dihuni satu ekor pejantan dan 5 ekor betina).

UCAPAN TERIMA KASIH Prof. Dr. H. Setiawan Koesdarto, drh., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Ibu Soetji Prawesthirini, drh., SU selaku Dosen Pembimbing Kedua atas saran dan bimbingannya sampai dengan selesainya skripsi ini. Ibu Tri Nurhajati, drh., MS. selaku Dosen Wali yang telah
10

sabar mewakili kedua orang tua penulis saat berada di kampus. Dr. Kusnoto, drh., M.Si., Dr. Soeharsono, drh., M.Si., dan Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP.selaku Dosen Penguji atas kritik dan sarannya sampai selesainya skripsi ini. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D. atas kesempatan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. mengikuti pendidikan di

DAFTAR PUSTAKA Candra, D. 2000. Laporan Praktikum. Taksonomi Hewan II. Mamalia di Kebun Binatang Surabaya. Program Studi Biologi FMIPA II3. Surabaya. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). 1973. Konverensi Perdagangan Internasional Jenis Flora dan Fauna yang Terancam Kepunahan. Hadidjaja, P., S. Margono, A. Sasongko dan R. Rasad. 1992. Dampak Pengobatan, Perbaikan Lingkungan dan Situasi serta Penyuluhan Kesehatan Terhadap Prevalensi Infeksi Ascaris lumbricoides. Parasitologi Indonesia. 5(1):1520. Ho-Seong, C., Sung-Shik, S. and Nam-Yong, P. 2006. Balantidiasis in the Gastric Lymph Nodes of Barbary Sheep (Ammotragus lervia) : an Incidental Finding. J. Vet. Sci. 7 (2): 207209. Karima, M.E. 2009. Studies on Some Gastrointestinal Parasites Affecting Zoo Animals in Alexandria Governorat. Mansoura, Vet. Med. J. (61-70). Vol. XI, No 1. Animal Health Research Institute Alexandria Branch. Mesir. Kimura, Viney, M.E. and B.L. James. 2007. Strongyloides spp. http://www.wormbook.org/chapters/www_genomesStrongyloides/genomesStrongy lgenom.html. [20 mei 2010]. Koesdarto, S., Subekti, S., Mumpuni, S., Puspitawati, H. dan Kusnoto. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner. Edisi 2, Cetakan kedua. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Kusumamihardja, S. 1993. Parasit dan Parasitosis Pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Levon, L. 1960. Desert Bighorn Council Transactions. Volume 4. Las Cruces, New Mexico. Malaivijitnond, S. N. Chaiyabutr, N. Urasopon, and Y. Hamada. 2006. Intestinal nematode parasites of long-tailed macaques (Macaca fascicularis) inhabiting some tourist attraction sites in Thailand. Primates research Unit. 32.73-78.
11

Malla B., J.B. Sherchand, P. Ghimire, B.C.R. Kumar and P. Gauchan. 2004. Prevalence of Intestinal Parasitic Infections and Malnutrition among Children in a Rural Community of Sarlahi, Nepal. Journal of Nepal Health Research Council . Vol. 2: 1-4. McCoy, M. A., Dawson, L. E. R., Carson, A. F. and Edgar, H. W. J. 2008. Parasite Control in Farm AnimalsPresent and Future. Sarjana, I.G.K.W. 2010. Satwa Liar. Gajah Mada Press. Yogyakarta. Sosiawati, S.R., Subekti, S. Koesdarto, S., Puspitawati, H. dan Kusnoto. 2007. Penuntun Praktikum Ilmu Penyakit Helmintologi Veteriner. Edisi 2, Cetakan 3. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Soulsby, E. J. L. 1994. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. British Library Cataloguing Inpublication Parade. London. Subekti, S. Koesdarto S., Kusnoto, Mumpuni, S. dan Puspitawati, H. 2005. Buku Ajar Helmintologi Veteriner. Edisi I Revisi Keempat. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Williamson, G. and W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press. 69- 75.

12

Вам также может понравиться