Вы находитесь на странице: 1из 13

Pembangunan Bisa Timpang

Selasa, 8 Juni 2010 | 03:12 WIB Jakarta, Kompas - Pemberian dana alokasi program percepatan dan pemerataan pembangunan daerah pemilihan justru akan mempertajam ketimpangan pembangunan. Sebagian besar dana akan menumpuk di Jawa yang relatif maju, sedangkan Indonesia timur yang miskin memperoleh sedikit. Dengan alokasi dana Rp 15 miliar per anggota Dewan Perwakilan Rakyat, total dana yang harus disiapkan mencapai Rp 8,4 triliun. Dari total itu, 54,64 persen di antaranya akan dialokasikan untuk Pulau Jawa. Pasalnya, sebanyak 306 anggota DPR berasal dari enam provinsi di Jawa. Jika dihitung, dana alokasi yang diperoleh anggota DPR dari Jawa mencapai Rp 4,59 triliun. Adapun Sumatera yang memiliki 120 kursi DPR hanya memperoleh dana Rp 1,8 triliun (21,42 persen). Dengan demikian, 76,06 persen dana alokasi pembangunan daerah pemilihan malah menumpuk di kawasan Indonesia bagian barat. Bandingkan dengan wilayah Sulawesi dan Indonesia bagian timur yang pembangunannya lebih tertinggal dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian barat. Dengan 67 anggota DPR, kawasan Sulawesi dan Indonesia bagian timur hanya akan mendapat Rp 1,005 triliun (11,96 persen). Itu pun alokasi paling besar tersedot untuk Sulawesi, yakni Rp 705 miliar. Adapun Maluku hanya memperoleh Rp 105 miliar dan Papua Rp 195 miliar. Bali dan Nusa Tenggara dengan 32 anggota DPR hanya menyedot Rp 480 miliar (5,7 persen), sedangkan Kalimantan yang memiliki 35 anggota DPR memperoleh Rp 525 miliar (6,25 persen). Dana aspirasi ini akan menimbulkan rentetan persoalan di kemudian hari, khususnya di daerah. Kalau saya dari daerah tertinggal, tentu akan marah jika dana aspirasi ini disetujui, kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, Senin (7/6). Daerah-daerah tertinggal di wilayah timur yang sebenarnya membutuhkan anggaran besar untuk membangun infrastruktur malah hanya menerima kurang dari 10 persen total dana. Bagaimana infrastruktur daerah tertinggal seperti Papua akan terbangun jika dana yang ada dibagikan seperti ini? katanya.

Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis menilai, jika dana aspirasi itu disetujui untuk dianggarkan pada APBN 2011, akan terjadi penjarahan keuangan negara yang dilegalkan. Pengalokasian dana itu tidak ada dasar hukumnya dan menghina akal sehat publik. Dana aspirasi itu, menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin, rentan dikorupsi dan lebih mengarah pada bagi-bagi uang. Kajian sementara kami menyimpulkan, dana aspirasi ini mirip Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Jawa Timur, lebih banyak ke arah bagi-bagi uang, kata Jasin di Gedung KPK, Jakarta, Senin. Jasin mengatakan, KPK tengah melakukan kajian serius perihal dana itu. Sulit dipahami Secara terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Rusli Ridwan, mengatakan, usulan dana alokasi itu sulit dipahami. Pemberian dana alokasi daerah pemilihan itu justru tak akan bisa mempercepat pemerataan pembangunan, seperti alasan Partai Golkar. Pemerataan pembangunan bisa diwujudkan dengan program pembangunan pedesaan. Pendapat senada diungkapkan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Shiddiq. Apa betul bisa memeratakan pembangunan di daerah, pasti akan beda jauh antara Jawa dan luar Jawa, katanya. Menurut dia, DPR hanya bisa melakukan politik anggaran. DPR harus dapat mendorong pemerintah agar memperbesar anggaran pembangunan di daerah tertinggal. Anggota Komisi II DPR, Arif Wibowo, dari Fraksi PDI-P Jawa Timur IV, menegaskan, keinginan memberikan kewenangan bagi setiap anggota DPR berupa disposisi program ke masing-masing daerah pemilihan sebesar Rp 15 miliar per tahun itu tidak boleh dilanjutkan. Anggaran yang ada sebaiknya digunakan untuk memperkuat kapasitas anggota DPR dalam melaksanakan tugas, peran, dan fungsinya. Oleh karena itu, usulan tersebut ditolak sejumlah parpol. Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz di Jakarta, Senin, menegaskan, partainya menolak usulan dana itu, sesuai arahan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. Menurut Irgan, penolakan itu dilakukan dengan pertimbangan tugas DPR sesungguhnya adalah dalam bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran. DPR tidak memiliki tugas teknis dalam penempatan program yang merupakan domain pemerintah.

Hal senada disampaikan Ketua Fraksi PDI-P Tjahjo Kumolo. Cukup dengan uang reses Rp 40 juta yang diterima anggota dewan. (DPR) juga menerima uang konstituen, katanya. Pada 1 Juni 2010, Tjahjo sempat meminta pemerintah tidak terburu-buru menolak gagasan itu. Setelah didiskusikan di fraksi, kami memutuskan menolak, katanya. Budiman Sudjatmiko, anggota Fraksi PDI-P, menambahkan, keberadaan dana aspirasi patut ditolak karena berpotensi menjadi praktik korupsi secara bersama para anggota DPR. Tahun 2014, jangan-jangan harus didirikan LP khusus anggota DPR, tuturnya. Sekjen PKS Anis Matta mengakui dana aspirasi justru melebarkan ketimpangan. Pasalnya, lebih dari 50 persen anggota DPR dari daerah pemilihan di Jawa. Anis menegaskan, PKS sudah menyatakan penolakan atas gagasan dana aspirasi, dalam rapat Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi partai pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu juga PAN. Ketua PAN Bima Arya Sugiarto menuturkan, partainya menolak gagasan itu. Dia berharap Partai Golkar tidak memaksakan usulan itu di Setgab dan menghargai sikap partai lain yang menolak. Proposal Golkar itu akan makin mencoreng wajah DPR, ucapnya. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyatakan setuju jika DPR mengusulkan program pembangunan di daerah pemilihan. Namun, pelaksanaan program itu tetap dilakukan pemerintah. Kami tak setuju jika anggota DPR mengelola dana PBN untuk daerah pemilihannya, ujar Anas. J Kristiadi, pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies, mengatakan, pemerintah tidak perlu berkompromi dengan kekuatan parpol.

Prihatin Indonesia Timur Tertinggal


Kamis, 7 Oktober 2010 | 16:51 WIB PALU, KOMPAS.com - Ketua DPR RI Marzuki Alie menyatakan, perkembangan Indonesia bagian timur yang masih tertinggal jika dibandingan dengan wilayah barat merupakan soal yang membuat dirinya prihatin. "Infrastruktur di wilayah timur seperti bandara, jalan, atau jembatan kurang memadai sehingga perkembangan daerahnya berjalan lamban," kata Marzuki Alie saat menghadiri seminar nasional mahasiswa, di Palu, Kamis.

Saya ingin wilayah timur Indonesia bisa maju dan berkembang seperti wilayah barat sehingga tidak terjadi lagi ketimpangan. Oleh karena itu, kata Marzuki, begitu menjadi Ketua DPR RI pada 2009, dia segera melakukan kunjungan kerja pertama ke Maluku. "Saya ingin wilayah timur Indonesia bisa maju dan berkembang seperti wilayah barat sehingga tidak terjadi lagi ketimpangan," katanya. Dia juga mengaku siap membantu pembangunan wilayah timur Indonesia melalui pemberian anggaran yang sesuai. "Semuanya bisa dibicarakan, dan saya ikhlas jika memang

dibutuhkan," ujar politisi asal Partai Demokrat itu. Dia juga mengaku siap menerima undangan atau permintaan dari masyarakat wilayah timur Indonesia untuk memberikan pandangannya atau sekadar membagi pengalaman. "Kalau memang ada waktu kosong pasti saya bisa hadir," katanya. Dia mengatakan, pembangunan di Indonesia selama ini harus dievaluasi. "Pembangunan harus lebih terarah supaya tercapai kesejahteraan masyarakat," kata Marzuki. Menurut dia, salah satu faktor yang menghambat pembangunan adalah maraknya pemekaran daerah. Selama 10 tahun terakhir terdapat lebih 200 daerah yang mekar. "Semua itu menyerap dana APBN yang besar sehingga dana yang sedianya untuk pembangunan menjadi berkurang," ujarnya. Dia menyatakan pemerkaran harus dimoratorium supaya pembangunan bisa maksimal. "Usulan pemekaran jangan jadi proyek sehingga menguntungkan pihak-pihak tertentu," kata Marzuki. Dia juga mengaku tidak heran adanya sejumlah anggota tim pemekaran pada sebuah daerah masuk penjara karena tidak bisa mempertanggungjawabkan keuangan.

Kesenjangan Indonesia Barat-Timur Kian Lebar


Jumat, 8 Oktober 2010 | 03:20 WIB

Pengunjung mengamati produk olahan sotong yang dikeringkan pada stan Pemerintah Kabupaten Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dalam acara Kawasan Timur Indonesia (KTI) Expo dan Forum 2010 di Celebes Convention Center, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (7/10). Aneka makanan olahan dari sotong ini dijual seharga Rp 20.000 per buah.

MAKASSAR, KOMPAS - Kebijakan otonomi daerah yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun belum memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan di kawasan timur Indonesia. Kesenjangan pembangunan infrastruktur dengan kawasan barat Indonesia kian lebar karena implementasi kebijakan itu belum optimal. Demikian diungkapkan Kepala Subbidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kuswiyanto pada acara Kawasan Timur Indonesia (KTI) Expo dan Forum 2010 di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (7/10). Berdasarkan data Bappenas, nilai investasi, baik dari penanaman modal asing maupun dalam negeri, tahun 2009 yang lebih dari 20 miliar dollar AS hanya 18 persen yang tertanam di KTI. Sementara kontribusi sektor industri di KTI secara nasional 12,25 persen dari sekitar 10.000 sektor industri di Tanah Air. Indikator itu menunjukkan ketimpangan signifikan mengingat luas KTI 68 persen dari luas Indonesia. Sebenarnya persoalan utama lambannya pembangunan di KTI karena lemahnya interaksi ekonomi antardaerah, tutur Kuswiyanto. Ia mencontohkan, pertumbuhan pesat yang dialami Sulsel tidak diikuti daerah di sekitarnya, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, hingga Papua. Dengan adanya otonomi daerah, setiap kepala daerah justru berlomba-lomba meminta bantuan proyek yang sama kepada pemerintah pusat, katanya. Beberapa kepala daerah di KTI juga belum memiliki kesadaran untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kesulitan perizinan Iskandar Aminsyah (45), pengusaha di bidang ketenagalistrikan, mengaku tertarik membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Sulteng. Namun, ia mengurungkan niatnya setelah tak kunjung mendapat izin dari pemerintah daerah. Begitu pula dengan Syarief Burhan (48) yang batal berinvestasi pada pembangunan saluran irigasi di Papua. Pemerintah pusat sebenarnya telah berupaya mempercepat proses pembangunan di KTI dengan mendirikan badan usaha milik negara, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dua tahun lalu. Tujuannya, membantu pengusaha lokal dalam pembiayaan proyek pembangunan infrastruktur, seperti jalan, kelistrikan, irigasi, dan transportasi. Namun, kesempatan itu belum direspons pengusaha lokal dengan baik. (riz)

Persoalan Kesehatan di Indonesia Timur Tertinggal


Selasa, 25 Januari 2011 | 06:32 WIB

Bidan desa berperan penting dalam peningkatan kesehatan reproduksi perempuan dan kesehatan anak. Keberadaan bidan desa seperti Ros di kawasan Baduy Luar, Kanekes, Lebak, Banten, tergantung dari inisiatif pemda. JAKARTA, KOMPAS.com Separuh dari jumlah ibu melahirkan di Indonesia bagian timur masih mempertaruhkan nyawa lebih besar. Pasalnya, sekitar separuh persalinan belum ditolong tenaga kesehatan yang kompeten, seperti bidan atau dokter. Persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan di daerah seperti Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua masih minim atau di bawah 60 persen. Sebagai gambaran, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan pada bayi berusia 0-11 tahun di Maluku Utara hanya 26,6 persen, Maluku sebesar 48,7 persen, Sulawesi Tengah 50,3 persen, Papua Barat 54,3 persen, Kalimantan Tengah 56,4 persen, dan Papua 57 persen. Padahal, cakupan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan indikator yang digunakan untuk menggambarkan persentase persalinan yang aman. Jika ibu mengalami komplikasi persalinan, penanganan atau pertolongan pertama pada rujukan dapat segera dilakukan. Target MDGs Dalam paparan Menteri Kesehatan yang dibacakan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawati, Senin (24/1/2011), penurunan angka kematian ibu merupakan target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang membutuhkan kerja keras dalam pencapaiannya. Pada 2015, ditargetkan angka kematian ibu menurun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Situasi saat ini, angka kematian ibu masih 228 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini tak lepas dari pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil yang masih di bawah target. Bahkan, disparitas antarwilayah masih tinggi. Di Yogyakarta, misalnya, pertolongan oleh tenaga kesehatan sudah 98 persen (terbaik). Selain itu, persalinan yang dilakukan di rumah juga relatif masih tinggi.

Jaminan persalinan bagi 2,5 juta ibu hamil yang akan segera dimulai diharapkan dapat membuka akses ke fasilitas dan tenaga kesehatan sehingga menurunkan angka kematian ibu nantinya, ujar Sri dalam acara seminar nasional bertema Peran Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Kegiatan itu diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia. Selain itu, untuk daerah tertinggal dan terpencil, pemerintah akan mengadakan peningkatan fasilitas di 99 puskesmas dan jaringannya, penempatan tenaga kesehatan sebanyak 2.445 orang di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan. Dalam makalah, Subandi Sardjoko selaku Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan, pencapaian target penurunan angka kematian ibu tidak mudah karena banyaknya variabel terkait. Beberapa faktor di antaranya ialah akses, tenaga terbatas, dan kesadaran akan kesehatan ibu yang masih rendah turut memengaruhi, ujar Fitriyah dari Bappenas yang membacakan makalah Subandi. Salah satu variabel penting lainnya ialah keterlibatan dan partisipasi ibu dalam pengambilan keputusan. Selama ini, perempuan tidak punya hak untuk menentukan hendak melahirkan di mana, akan punya anak kembali atau tidak, tuturnya. Tidak sepenuhnya keputusan berada di tangan ibu menyebabkan terlambatnya ibu mendapatkan pertolongan. Untuk itu, diperlukan partisipasi ibu melalui pendidikan kesehatan reproduksi, suami siaga, dan masyarakat untuk membantu jika suami sedang tidak di rumah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus berperan karena penurunan angka kematian ibu merupakan indikator daerah kesehatan masyarakat. (INE)

Masih Ada 128 Desa Tertinggal di Intim


Senin, 8 Februari 2010 | 15:22 WIB MAKASSAR, KOMPAS.COM- Daerah tertinggal yang ada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) hingga kini mencapai 70 persen atau 128 daerah dari 183 daerah tertinggal di seluruh Indonesia. Pemerintah menempuh kebijakan intervensi untuk mengatasi hal tersebut.

Demikian diungkapkan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faizal Zaini dalam sambutannya untuk membuka Diskusi Nasional Pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang Berbasis Sumber Daya dan Kontribusinya Untuk Pembangunan Nasional di Makassar, Senin (8/2/2010). Diskusi ini diadakan oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti), Forum Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta Harian Kompas. "Kesenjangan tersebut diperparah dengan sebaran penduduk Indonesia di bagian timur yaitu hanya 20 persen, sedangkan sisanya di wilayah barat," ujar Helmy. Penduduk dikategorikan miskin di Kawasan Timur Indonesia mencapai 25 persen, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu 16 persen. Pemerintah menempuh kebijakan intervensi seperti pembangunan infrastruktur serta penetapan kawasan produksi seperti Nusa Tenggara Barat untuk komoditas sapi ternak atau Maluku dengan komoditas rumput laut.

Menteri Malaysia Ajari Indonesia Bangun Desa Tertinggal


Senin, 16 Februari 2009 | 14:11 WIB

Batas negara Indonesia dan Malaysia di Desa Aji Kuning, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, hanya berupa patok sederhana dan di atasnya terdapat plang nama jalan. Di sebelah kiri plang nama jalan tersebut merupakan wilayah Indonesia, sedangkan di sebelah kanannya merupakan wilayah Malaysia. Batas negara tersebut persis memotong rumah penduduk. JAKARTA, SENIN Menteri Kemajuan Luar Bandar dan Pembangunan Wilayah Malaysia Tan Sri Muhammad mengatakan, pembangunan kawasan tertinggal termasuk di perbatasan harus diawali infrastruktur. Sebab, jika hanya disediakan lahan saja justru mengakibatkan daerahnya akan semakin tertinggal dari sebelumnya. "Pembangunan harus ekosentris, menyediakan infrastruktur baru penggemblengan sumber daya manusia (SDM)," kata Tan ketika menjadi pembicara kunci dalam seminar "Masalah Pembangunan di Perbatasan: Upaya Pengentasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat" di LIPI Jakarta, Senin (16/2).

Tan mengatakan, pembangunan daerah tertinggal di Malaysia dimulai dengan membangun jalan, terutama akses menuju kota. Selanjutnya, pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, komunikasi, termasuk adanya pasar sebagai salah satu tempat perputaran ekonomi. "Ini juga untuk menjamin hasil daerah dapat disalurkan segera keluar wilayahnya," tambah Tan. Di samping itu, warga yang akan menjadi tulang punggung daerah tersebut diberikan modal sesuai potensi alam dan manusianya. Mengenai anggaran dalam pembangunan infrastruktur, pinjaman melalui pihak asing melalui pemerintah sangat penting dengan didahului perencanaan yang matang. Sebelum daerah tertinggal mampu mandiri, pemerintah juga harus memberi uang saku belanja dalam jangka waktu yang ditetapkan. Hal ini untuk menjaga dan masyarakat semakin terpacu membangun daerahnya tanpa terus disumbang. "Program ini amat berjaya dan negara dengan sendirinya tercabut dari putaran ganas kemiskinan," tambah Tan. Fokus pembangunan di kawasan Malaysia timur (Sarawak), lanjut Tan, saat ini dinilai cukup dan akan dikhususkan kembali ke wilayah barat. Sejak merdeka tahun 1957, kini Malaysia tinggal menyisakan 6.000 desa yang tertinggal dari 14.693 desa yang ada.

Perekonomian Tanpa Pemerataan Bisa Memicu Kekacauan Sosial


Senin, 26 Oktober 2009 | 19:32 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Perekonomian yang tumbuh tanpa pemerataan dapat memicu terjadinya kekacauan sosial. Tanpa pemerataan, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi yang kemudian dapat memicu konflik. Hal tersebut disampaikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Irwan Gusman dalam sambutannya membuka "Seminar Strategi Pengembangan Ekonomi Berbasis Sumber Daya Nasional untuk Kedaulatan dan Kemakmuran Rakyat", Senin (26/10) di Jakarta. "Pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang seimbang. Perubahan struktural terus terjadi pada perekonomian Indonesia, akan tetapi perubahan yang terjadi menghasilkan adanya ketimpangan antarsektor yang kemudian menumbuhkan struktur ekonomi yang rapuh," kata Irwan dalam sambutannya.

Ketimpangan ekonomi salah satunya dipicu masih tingginya tingkat pengangguran. Guru Besar Ilmu Ekonomi Unila (Universitas Lampung) Bustanul Arifin mengatakan bahwa tingkat pengangguran tahun 2009 sebesar 8,1 persen atau menurun dari angka 2007 yaitu sebesar 9,1 persen. Namun, secara rata-rata tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi dan diperkirakan akan meningkat lagi akibat krisis global. "Terdapat ketimpangan yang semakin parah, di mana masyarakat mampu dan kaya menikmati porsi yang lebih dari kenaikan pendapatan, sementara mereka yang miskin harus puas dengan porsi yang semakin mengecil dari kenaikan pendapatan yang ada," kata Bustanul. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Presidium ICMI Muslimin Nasution memaparkan dalam makalahnya tentang kondisi tenaga kerja pada tahun 2008. Dengan jumlah angkatan kerja yaitu sebesar 111,5 juta, 102 juta orang bekerja. Sementara 9,5 juta lainnya menganggur. Dari 102 tenaga kerja yang bekerja, 37 juta di antaranya adalah tenaga kerja formal dan 65 juta merupakan tenaga kerja informal.

Presiden: Pembangunan untuk Semua


Suhartono | Rabu, 19 Agustus 2009 | 08:32 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Untuk siapakah pembangunan? Apakah untuk manusia atau manusia untuk pembangunan. Apakah pembangunan hanya untuk sekelompok orang tertentu saja?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dilontrakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengawali pidato sebagaimana salinan yang diterima Kompas tentang pembangunan nasional dalam perspektif daerah di hadapan sidang paripurna khusus DPD RI Jakarta, Rabu (19/8), yang diberi judul "Pembangunan untuk Semua atau Development for All". Menurut Presiden, pembangunan untuk semua adalah negara tidak membeda-bedakan, dan setiap warga negera memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. "Oleh karena itu, negara harus memastikan agar tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan. Terlebih lagi pada saat kita memaknai kemerdekaan dalam kebersamaan," ujar Presiden.

Enam strategi Presiden mengatakan, paradigma pembangunan untuk semua hanya dapat dilakukan dengan menerapkan enam strategi dasar pembangunan. Pertama, adalah strategi pembangunan inklusif yang menjamin pemerataan keadilan serta mampu menghormati dan menjaga keberagaman rakyat Indonesia. Kedua, pembangunan untuk semua harus berdimensi kewilayahan yang berarti pemerintah terus mendorong setiap daerah untuk mengembangkan keunggulan kompratif dan kompetiif setiap daerah. Strategi ketiga adalah menciptakan integrasi ekonomi nasional di era globalisasi. Adapun strategi keempat, yang juga kunci dari keberhasilan pembangunan untuk semua, yaitu pengembangan ekonomi lokal di setiap daerah guna membangun ekonomi domestik yang kuat secara nasional. Starategi kelima, yaitu keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan. Adapun strategi terakhir adalah pembangunan yang menitikberatkan pada kemajuan kualitas manusia demi mencapai pembangunan untuk semua. Prasyarat Presiden mengatakan, keberhasilan paradigma pembangunan untuk semua itu memerlukan sejumlah prasyarat. Selain perbaikan kemakmuran dan kualitas hidup rakyat secara merata, juga sangat ditentukan oleh tersedianya dan dibangunnya berbagai infrastruktur mendasar.

Prasyarat berikutnya menurut presiden adalah menghilangkan hambatan-hambatan yang memacetkan proses dan program pembangunan atau the bottlenecking. Lima kunci sukses Adapun pembangunan untuk semua hanya dapat dicapai dengan penguasaan dan ketersediaan lima kunci kesuksesan, yaitu strategi dan program yang inklusif merata dan berkeadilan yang diwujudkan dengan kepemimpinan yang efektif dan bertanggung jawab, baik di pusat maupun di daerah. Presiden menyatakan, kunci kesuksesan yang kedua adalah kebersamaan dan sinergi positif di antara semua komponen bangsa. Kunci sukses ketiga adalah pembangunan yang mendapat dukungan luas dari masyarakat. Pendek kata, pembangunan untuk semua harus

memberdayakan rakyat sebagai pelaku aktif dalam proses pembangunan yang memerdekakan. Selanjutnya, ujar Presiden, kunci kesuksesan keempat adalah integritas dan etika profesionalisme para pemimpin dan pelaku pembangunan. Dan akhirnya, kunci sukses pembangunan untuk semua adalah lingkungan dalam negeri yang kondusif.

Ibu Kota Wajib Dipindahkan


Hindra Liu | Glori K. Wadrianto | Kamis, 29 Juli 2010 | 08:46 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Lagi, wacana pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa kembali bergulir. Keruwetan yang sungguh tak terperikan di Jakarta sebagai ibu kota negara melatarbelakangi munculnya wacana ini. Saat ini, tak kurang 59 persen populasi di Indonesia terpusat di Pulau Jawa, yang luasnya hanya 6,8 persen dari total daratan di Indonesia. Kemacetan pun telah menjadi pemandangan lazim di Jakarta, utamanya pada pagi dan sore hari. Diperkirakan, kerugian material akibat kemacetan di DKI Jakarta mencapai Rp 17,2 triliun per tahun, atau nyaris setara dengan anggaran belanja dan pendapatan DKI Jakarta setiap tahunnya. Data dari Tim Visi Indonesia 2033 juga menyebutkan, tak kurang 80 persen industri terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal ini menimbulkan pembangunan yang tak merata serta kesenjangan antara Pulau Jawa dan non-Jawa. "Menurut saya, ibu kota itu wajib dipindahkan," tegas Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo, Rabu (28/7/2010), kepada Kompas.com. "Tak ada (gubernur) yang mampu. Sudah sekian gubernur, tetap sama saja kok," tambah anggota Fraksi PDI-P ini. Ketika dibangun oleh Belanda, sambung Ganjar, Jakarta hanya didesain menampung sekitar dua hingga tiga juta penduduk. Seiring dengan perkembangan zaman, kini tak kurang 10 juta orang memadati Jakarta setiap harinya. Pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa, sambung Ganjar, dinilai mampu merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah. Hal senada ini disampaikan Direktur Kemitraan untuk Tata Pemerintahan yang Lebih Baik Wicaksono Sarosa, yang juga pemerhati isu-isu perkotaan. "Selama ini, kegiatan ekonomi di

Jakarta hanya mendorong kemajuan segelintir daerah saja, seperti Jawa Barat dan Banten," ujar Wicaksono, mengutip penelitian Profesor Budi Reksosudarmo. Usulan pemindahan ibu kota juga disampaikan pemerhati lingkungan hidup, A Sonny Keraf, yang juga dosen Universitas Atma Jaya Jakarta. "Banyak negara melakukan itu dan berhasil mengatasi kemacetan di ibu kota negaranya," kata Sonny dalam tulisannya yang berjudul "Pindahkan Ibu Kota" di Harian Kompas edisi Rabu (28/7/2010). Pemindahan ibu kota, terutama ke Indonesia bagian timur, dinilai menjadi sebuah langkah dan peluang pemerataan pembangunan di kawasan tersebut. Ini memberi kesempatan yang lebih besar bagi berkembangnya wilayah luar Jawa.

Вам также может понравиться