Вы находитесь на странице: 1из 12

Oleh Irwan Meilano Pertanyaan yang sering saya dapatkan pada saat survei di lapangan yaitu "dapatkah anda

memprediksi gempabumi ?" Saya biasanya menjawab pertanyaan antusias tersebut dengan, "ya bisa". Saya jabarkan lebih detail lagi "dalam bulan ini mungkin ada gempa magnitud 5 di pulau Jawa" atau "dalam 100 tahun ke depan mungkin ada gempa magnitud 8 di pantai barat Sumatra". Jawaban tersebut saya berikan karena saya mengetahui secara statistik di pulau jawa terdapat 2-4 gempa magnitud 5 setiap bulannya. Dan di Sumatra hampir setiap 100 tahun terdapat gempa magnitud diatas 8 pada segmen yang berlainan. Tetapi seandainya pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan "kapan tepatnya gempa dengan magnitud 8 tersebut akan terjadi ?" maka jawaban saya sederhana saja. Sangat ironi bahwa suatu hal yang paling diharapkan dari peneliti gempabumi, yaitu memprediksi kapan terjadi gempabumi, merupakan hal yang paling tidak dapat mereka lakukan. Dikarenakan para peneliti yang memiliki otoritas dalam riset gempabumi tidak dapat memberikan informasi pasti kapan terjadinya gempabumi. Menyebabkan banyak orang yang berusaha melakukan prediksi gempabumi sendiri. Mereka yang tidak memiliki dasar ilmu kebumian memadai, dan hanya berbekal pencarian informasi melalui situs internet, menyebarkan berita-berita kemungkinan terjadinya gempabumi pada masyarakat luas. Yang terjadi kemudian adalah kepanikan-kepanikan di masyarakat. Yang terbaru adalah isu akan terjadinya gempa pada tanggal 25 Juli 2006 yang disebarkan melalui SMS di Jakarta. Jalan panjang riset prediksi gempabumi Pada awal tahun 1970, usaha untuk memprediksi gempabumi berkembang dengan pesat di Jepang, Rusia, Cina dan Amerika. Target utama dari penelitian prediksi gempabumi yaitu untuk menentukan dengan teliti, kapan, dimana dan seberapa besar gempabumi akan terjadi. Para peneliti berharap untuk memberikan informasi ramalan terjadi gempabumi seperti meramal kondisi cuaca. Jepang telah memulai penelitian prediksi gempabumi sejak tahun 1892, satu tahun sesudah gempabumi Nobi menghancurkan Jepang Tengah. Saat itu dibentuk oleh kerajaan sebuah komite investigasi gempabumi yang bertugas mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan prediksi gempabumi seperti: kenaikan suhu dibawah tanah, kemiringan tanah, variasi kemagnetan, perilaku binatang dan sebagainya. Program yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan menghabiskan dana lebih dari 1.4 milyar dolar Amerika pada tahun 1999, berakhir dengan kekecewaan karena tidak ada satupun gempabumi yang berhasil diprediksi di Jepang pada rentang tersebut. Terutama sesudah gempabumi besar Kobe yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa, serta menghancurkan wilayah Hanshin dan Awaji. Para peneliti gempabumi mendapatkan kritikan yang tajam atas ketidakmampuan mereka dalam memberikan peringatan

dini. Bahkan 112 tahun sesudah program prediksi gempa dicanangkan di Jepang, dengan lebih dari 1200 alat GPS (Global Positioning System) serta ribuan sensor seismik, para peneliti Jepang tetap gagal untuk menemukan secuil bukti yang bisa dijadikan dasar untuk memprediksi gempa di daerah Tokachi-Hokkaido magnitud 8 pada 26 Desember 2003. Mengapa gempabumi sulit untuk diprediksi? Bumi yang kita tinggali ini terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan yang paling dalam yaitu bagian inti yang sangat padat. Kemudian lapisan inti dilapisi oleh mantel yg lebih ringan, dan bagian luarnya dilapisi lagi oleh lapisan kerakbumi yang kaku. Sedangkan mantel walaupun keras tapi tidak kaku dan masih bisa dibengkokan bersifat visco-elastis. Karena panas mantel bergerak bersirkulasi dan membentuk arus konveksi. Pelan tapi pasti, mantel panas ini menggerakan juga lapisan diatasnya. Yaitu lapisan kerak atau lempeng dengan jumlah lusinan yang membentuk muka luar dari bumi kita. Skala waktu dari proses arus konveksi di dalam mantel yaitu 100 juta tahun (10 pangkat 8). Padahal instrumentasi seismik baru dimulai sekitar 150 tahun lalu, dan lebih intensifnya kira-kira 30 tahun lalu. Sehingga kekurangan data untuk menjelaskan seluruh proses dalam siklus gempabumi yaitu dalam orde jutaan tahun. Pengetahuan manusia mengenai gempabumi baru seujung kuku saja. Sebagai perbandingan dalam ramalan cuaca, apabila kita mempunyai 150 tahun data pengamatan taifun, maka paling tidak kita akan punya informasi 150 siklus dari taifun. Sehingga memungkinkan kita untuk memprediksi kedatangan taifun pada tahun mendatang. Berbeda dengan gempabumi yang siklusnya hanya didapatkan dari satu atau dua kejadian saja. Para ilmuman gempabumi di seluruh dunia, masih berdebat apakah waktu, tempat dan magnitud gempabumi dapat diprediski dengan teliti. Beberapa topik perdebatan misalnya elektronik signal (EM) sebelum gempa, konsep dari self-organized critically (SOC), awan yang muncul saat gempa, evaluasi statistik dan lain sebagainya. Keberhasilan Cina pada tahun 1975 yang mengevakuasi 120 ribu warganya dua hari sebelum gempabumi dengan magnitud 7.3 menghantam Haicheng, dianggap sebagai kebetulan saja. Karena gempabumi di Haicheng diawali oleh gempa-gempa kecil. Padahal jarang sekali gempabumi besar diawali oleh gempa kecil (foreshock). Satu tahun kemudian gempabumi dengan magnitud 7.8 mengakibatkan 250 ribu korban jiwa di kota Tangshan, tanpa diawali gempa kecil dan fenomena awal lainnya. Dan sesudah itu tidak pernah ada evakuasi warga di belahan dunia manapun beberapa saat sebelum gempabumi. Apakah riset gempabumi hanya jalan di tempat? Penelitian gempabumi dalam beberapa tahun belakangan ini telah menghasilkan penemuan yang signifikan. Mekanisme dan proses terjadinya gempabumi yang beberapa tahun belakangan masih merupakan misteri kini telah dapat dijabarkan dengan lebih

baik. Hampir setiap hari di jurnal-jurnal utama gempabumi dapat ditemui penemuan yang tidak terduga sebelumnya. Efek dari pergeseran tanah akibat gempabumi yang mungkin terjadi pada suatu bidang sesar, saat ini telah dapat diprediksi dengan sangat teliti, sehingga memungkinkan para insinyur untuk membangun bangunan dengan ketahanan yang diperlukan. Begitu pula dengan prediksi gempabumi dalam jangka yang panjang telah membantu perencana kota, untuk menghidari pembangunan pada wilayah yang rawan bencana gempabumi, serta studi mitigasi gempabumi. Saat ini beberapa negara maju termasuk Jepang tengah mengembangkan sistem peringatan dini terhadap bahaya gempabumi. Sistem ini berdasarkan pada kemampuan untuk mengestimasi dengan sangat cepat dan akurat posisi gempabumi dan kekuatan gempabumi berdasarkan kedatangan gelombang awal gempabumi (gelombang P). Gelombang P merupakan gelombang yang tercepat tetapi memiliki efek merusak yang rendah. Kemampuan mendeteksi cepat gelombang ini memberikan waktu beberapa detik bagi instalasi energi nuklir untuk mematikan reaktornya, menghentikan laju kereta cepat, memberikan peringatan pada warga untuk berlindung beberapa saaat sebelum gelombang yang lebih merusak datang. Perlunya cetak biru riset gempabumi Terjadinya rentetan gempabumi besar di Sumatra dan Jawa, mengingatkan kita untuk sesegera mungkin membuat cetak biru penelitian gempabumi di Indonesia. Belajar dari pengalaman Jepang dan Amerika yang telah memulai riset gempabumi ratusan tahun lalu, cetak biru yang penelitian gempabumi di Indonesia harus berproyeksi pada prediksi jangka panjang dari gempabumi. Juga pendidikan pada masyarakat untuk memahami potensi gempabumi di wilayahnya, serta upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan yang mungkin ada bila gempabumi terjadi. Sehingga tidak ada lagi kepanikan akan isu-isu prediksi gempabumi. Cetak biru tersebut, harus terukur, realistis dan melibatkan instansi penelitian terkait serta perguruan tinggi. Beberapa prioritas penting dalam cetak biru penelitian gempabumi di Indonesia yaitu: 1. Menyiapkan peta bahaya gempabumi yang terintegrasi. Didalam peta tersebut mencakup hasil terbaru dari pemetaan sesar aktif, studi probabilitas terjadinya gempabumi berdesarkan data pergerakan tanah, prediksi dari besarnya pergerakan tanah akibat gempabumi berkaitan dengan kekuatan struktur bangunan, dan penataan wilayah. 2. Meningkatkan kemampuan pengamatan gempabumi pada wilayah- wilayah tertentu, dengan menambah jumlah stasiun seismik serta station GPS. 3. Menyiapkan sistem informasi gempabumi dan peringatan dini terhadap tsunami. Sistem ini harus memberikan informasi seketika pada masyarakat bila

terjadi gempabumi, serta perhitungan pemodelan waktu dan tinggi tsunami. 4. Mempromosikan pendidikan gempabumi pada masyakarat, baik melalui kurikulum pendidikan, selebaran informasi dalam bentuk buku, poster, komik ataupun iklan layanan masyarakat. Irwan Meilano. Peneliti tamu di Research Center for Seismology, Volcanology and Disaster Mitigation, Nagoya University, Japan, JSPS-Posdoctoral Fellow. Dosen di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB)

Jika anda belajar ilmu kebumian, anda akan tahu bahwa sebaran pusat gempa global dapat diprediksi dan bahkan sudah dipetakan, namun tidak satupun gempa yang dapat diprediksi secara tepat, sampai ke jam, menit, detik, dan juga magnitudonya. Untuk gempa Tangshan 1976, saya sudah beberapa kali mendengar maupun membaca tentang itu. memang gempa tersebut adalah bencana dengan jumlah korban jiwa terbanyak sepanjang sejarah umat manusia. gempa tersebut sebenarnya konon sudah diprediksi oleh para ahli gempa China pada zaman itu. tapi seperti yang anda tahu, waktu kejadian dan kekuatan gempa tetaplah misteri. para ahli gempa dapat meramal gempa dari kecepatan pergerakan kerak bumi, yang satuannya hanya dalam beberapa sentimeter per tahun. jika tekanan pada kerak bumi di suatu daerah diperkirakan sudah melewati batas elastisitas batuan, maka gempa dapat terjadi pada daerah itu kapan saja. mengenai naik-turunnya muka air pada sumur penduduk, saya kira itu belum tentu ada kaitannya dengan pertanda gempa. berubahnya muka air itu biasa, tergantung curah hujan, permeabilitas tanah, maupun porositas batuan. tapi kejadian gempa bisa saja merombak kestabilan air tanah secara tiba-tiba, yang menyebabkan tanah retak atau bahkan amblas karena kehilangan air sebagai penahan kestabilan tanah. artinya, gempa dapat mempengaruhi air tanah hanya setelah gempa itu terjadi. kalau perkara binatang yang seakan-akan punya indera ke-6 yang dapat mendeteksi gempa, saya kira belum pernah ada penjelasan ilmiah soal itu. memang, binatang akan lari dari lokasi gempa sebelum gempa itu terjadi, baik vulkanik maupun tektonik. itulah anugerah Tuhan untuk binatang, dan manusia patut iri soal itu karena tidak pernah bisa "merasakan" gempa dengan nalurinya. saya harap anda mengerti dengan bahasa saya (yang sudah saya usahakan sesederhana mungkin). ohya, maaf karena saya baru bisa membalas sekarang. maklum, saya cukup sibuk walaupun akhir pekan.sungguh menarik ulasan anda... saya bukan ahli geofisika atau pingin jadi ahli geofisika sih, tapi dari segi pengetahuan umum saya sungguh tertarik sekali pembahasan anda nih.mumpung ada anda yg berkecimpung di keahlian ini, bolehkah saya bertanya lebih lanjut tentang gempa: apakah gempa bisa di deteksi sebelum terjadi? masalahnya gini, setau saya, saya pernah baca gempa tidak bisa di deteksi dahulu sebelum terjadi... tapi setelah saya baca dari artikel wikipedia tentang gempa di tangshan 1976 menarik sekali, koq gempa bisa ada tanda-tanda awalnya? binatangpun bisa ada feeling, padahal itu kan gempa tektonik bukan vulkanik, kalo

vulkanik ok lah binatang2 akan lari turun gunung, bisa ada feeling dari asap, getaran dan lava... tapi kalo gempa tektonik? Bacaan di wikipedia ini membuat pengetahuan saya tentang gempa sedikit berubah, dulu saya kira gempa tidak bisa dideteksi dulu / tidak ada early signs, tapi ternyata ada gempa tektonik yang dicatat ada early signs? bagaimana pandangan anda sebagai ahli geofisika mengenai ini? bila ternyata ahli2 geofisika sendiri masih belum ada jawaban tentang ini, ok lah, bila tidak ada jawabannya, tidak apa2, hehehe.... sekedar curiousity saya saja. gempa bumi merupakan salah satu bahan kajian saya di kuliah. saya jadi tertarik untuk me-reply pesan ini.soal gempa yang akan terjadi di sumatera barat, sebenarnya isu itu sudah muncul sejak lama (sebelum gempa bengkulu), dan para pakar gempa bumi di ITB sudah mengkonfirmasi hal tersebut. artinya, gempa tersebut memang mungkin saja akan terjadi. apalagi didukung dengan studi pergerakan kerak bumi. namun, kapan terjadi dan seberapa besar kekuatan gempa tersebut? walahualam. tapi tentang kekuatan gempa, saya mau berbagi sedikit analisis. kekuatan gempa dipengaruhi oleh ukuran kerak bumi yang terdeformasi (patah). artinya, makin besar patahan yang terjadi, maka makin besar pula magnitudo gempanya. sebagai pembanding, gempa aceh tahun 2004 silam dengan magnitudo 8,9 (versi BMG) telah mengakibatkan patahan kerak bumi sepanjang lebih dari 1000 km mulai dari nias sampai laut andaman.untuk memicu gempa dengan magnitudo di atas 9, maka patahan yang terjadi haruslah minimal seukuran dengan yang gempa aceh tersebut. dan menurut saya, setelah mempelajari kondisi tektonik di sumatera, patahan sepanjang itu kemungkinannya sangat kecil terjadi di sumatera. jadi, kalaupun memang akan terjadi gempa di sumatera barat, paling2 cuma sebesar gempa bengkulu kemarin, yang membangkitkan tsunami setinggi 1 meter (di media massa dikatakan tidak ada tsunami karena dampak tsunami yang cuma 1 meter tidak signifikan). informasi yang mengatakan akan terjadi gempa besar di sumatera saya kira cenderung dilebih-lebihkan dan tidak memperhatikan kondisi tektonik Indonesia. Indonesia memang negara yang berbaring di atas sumber gempa dahsyat. sampai 77x7 turunan pun akan selalu ada gempa di Indonesia. tapi jika kita melihat sisi positifnya, kondisi inilah yang memungkinkan ditemukannya minyak bumi di Indonesia. Allah memang maha bijaksana. kalau ada yang kurang paham, saya minta maaf. saya sendiri tidak mengerti ekonomi atau kedokteran. yah, memang keanekaragaman itu indah. hehehe Analisa Teoritis Gempa Bumi; Belajar dari Bencana Aceh Analisa Teoritis Gempa Bumi; Belajar dari Bencana Aceh Oleh: M Hajianto POSISI geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Kepulauan Indonesia termasuk dalam wilayah Pacific Ring of Fire (deretan gunung berapi Pasifik), yang bentuknya melengkung dari utara Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara hingga ke Sulawesi Utara. Kepulauan Indonesia juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh 3 gerakan, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian barat, Gerakan Sistem

pinggiran Asia Timur dan Gerakan Sirkum Australia. Kedua faktor tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi. Kondisi geologi Indonesia yg merupakan pertemuan lempeng-lempeng tektonik menjadikan kawasan Indonesia ini memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks. Selain menjadikan wilayah Indonesia ini kaya akan sumberdaya alam, salah satu konsekuensi logis kekompleksan kondisi geologi ini menjadikan banyak daerah-daerah di Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam. Beberapa diantaranya adalah rawan gempa bumi, tsunami serta rawan letusan gunung api disepanjang ring of fire dari Sumatra, Jawa, Bali, Nusatenggara, Banda, dan Maluku. Namun, bukan berarti pemahaman akan resiko tinggal di daerah dengan kerawanan bencana tinggi ini menjebak kita pada pemikiran sempit bahwa kita sedang menjalani "takdir hitam". Alam selalu bertindak jujur, adil, berjalan dengan aturan, rambu-rambu dan petunjuk, tanda-tanda yang amat jelas bagi yang bersedia memahaminya dengan tawadlu' dan kerendahan hati. Gempa di Aceh yang diikuti tsunami dengan ratusan ribu korban jiwa dan kerugian materi yang tak terhitung, untuk kesekian kalinya menghenyakkan kesadaran dan mengguncang jiwa kita. Gempa yang mulai terjadi hari Minggu (26/12) tersebut sampai saat ini masih terus berkelanjutan dengan gempa-gempa susulannya. Sampai dengan tanggal 29 Desember 2004, sudah tercatat getaran-getaran dengan kekuatan 5-9 Skala Richter sebanyak 40 kali, dan belum jelas terlihat tanda-tanda kapan akan berhenti. Kekuatan gempa yang terjadi di Samudera Hindia, atau berjarak 149 km sebelah barat Meulaboh, NAD, itu terpantau oleh Global Seismic Network sebesar 8,2 Mw (Moment Magnitude). Sementara itu, data seismograf di Pusat Gempa Nasional (PGN) Jakarta menunjukkan bahwa gempa hari Minggu pagi itu berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR). Namun, laporan CNN menyebutkan bahwa kekuatan gempa tersebut mencapai 8,9 SR, sedangkan jaringan televisi BBC merujuk angka 8,5 SR. Gempa ini selain menimbulkan getaran yang kuat juga menyebabkan timbulnya deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi yang berupa penurunan permukaan dasar laut mengakibatkan penjalaran energi kinetik menjadi gelombang tsunami di pantai. Daerah yang rawan tsunami adalah daerah yang berpantai landai dan berupa teluk. Pada daerah teluk, energi gelombang terperangkap hingga naik ke darat. Karakteristik Gempa Bumi Gempa adalah sentakan asli pada kulit bumi sebagai gejala penggiringan dari aktifitas tektonisme maupun vulkanisme dan kadang-kadang runtuhan bagian bumi secara lokal. Yang dapat dirasakan pada saat gempa bumi terjadi adalah getaran bumi tempat kita berada pada saat itu. Bumi bergoyang ke samping dan ke atas. Itulah gelombang gempa yang sampai ke tempat kita. Pada waktu mengalami gempa kita tidak tahu dari mana gempa itu datang, sehingga kita tidak tahu ke arah mana lari harus lari untuk menjauhi sumber gempa.

Ada tiga gelombang gempa yaitu: Gelombang longitudinal yaitu gelombang gempa yang merambat dari sumber gempa ke segala arah dengan kecepatan 7 - 14 km per detik. Gelombang ini pertama dicatat dengan seismograf dan yang pertama kali dirasakan orang di daerah gempa, sehingga dinamakan gelombang primer. Gelombang Transversal yaitu gelombang yang sejalan dengan gelombang primer dengan kecepatan 4 - 7 km per detik, dinamakan juga gelombang sekunder. Gelombang panjang atau gelombang permukaan, yaitu gelombang gempa yang merambat di permukaan bumi dengan kecepatan sekitar 3,5 - 3,9 km per detik. Gelombang inilah yang paling banyak menimbulkan kerusakan. Getaran gempa ada yang horizontal dan ada yang vertikal, sehingga alat pencatatnya juga ada macamnya. Seismograf horizontal terdiri atas massa stasioner yang digantung pada tiang dan dilengkapi engsel di tempat massa itu digantungkan serta jarum di bagian bawah massa itu. Jika ada gempa massa itu tetap diam (stasioner) sekalipun tiang dan silender di bawahnya ikut bergetar dengan bumi. Akibatnya terdapat goresan pada silender berlapis jelaga. Goresan pada silender itu berbentuk garis patah yang dinamakan seismogram. Pada seismograf vertikal, massa stationer digantung pada pegas, yang berfungsi untuk menormalkan gravitasi bumi. Pada waktu getaran vertikal berlangsung, tempat massa itu digantung dan silender alat pencatat ikut bergoyang, namun massa tetap stationer, sehingga terdapat seismogram pada alat pencatat. Di sebuah stasiun gempa dipasang dua seismograf horizontal yang masing-masing berarah timur-barat dan utara-selatan. Dengan dua seismograf ini tercatat getaran berarah timur-barat dan utara-selatan, sehingga dari resultannya petugas dapat menentukan arah episentrum. Dibantu oleh sebuah seismograf vertikal yang dipasang bersama kedua seismograf tadi, dapat ditentukan letak episentrum gempa tersebut. Untuk mencatat getaran yang lemah, diperlukan seismograf yang sangat peka. Namun, getaran yang terlalu kuat membuat seismograf tidak mampu membuat catatan, karena tangkai alat pencatat bisa mengalami kerusakan. Untuk menentukan lokasi episentrum terhadap suatu tempat, dapat digunakan beberapa cara, diantaranya: >> Menggunakan beberapa tempat yang terletak pada satu homoseista. >> Menggunakan tiga seismograf yang ditempatkan di sebuah statiun gempa. >> Menggunakan tiga tempat yang telah diketahui jarak episentralnya. Jarak episentarum dapat dihitung dengan menggunakan Rumus Laska sebagai berikut: ( = {(S - P) - 1') x 1 megameter

( = jarak episentrum S - P = Selisih waktu antara gelombang primer dan sekunder yang dicatat pada seismograf dalam satuan menit. 1' = Satu menit merupakan pengurangan tetap. 1 megameter = 1000 kilometer Ada beberapa macam skala gempa yang digunakan untuk mengetahui berapa besar intensitas getaran gempa, di antaranya Skala Mercalli, Skala Derossiforel, Skala Omori, Skala Cancani dan Skala Richter Tsunami Tsunami adalah istilah dalam bahasa Jepang yang pada dasarnya menyatakan suatu gelombang laut yang terjadi akibat gempa bumi tektonik di dasar laut. Magnitudo Tsunami yang terjadi di Indonesia berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang Tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai. Berdasarkan Katalog gempa (1629-2002) di Indonesia pernah terjadi Tsunami sebanyak 109 kali, yakni 1 kali akibat longsoran (landslide), 9 kali akibat gunung berapi dan 98 kali akibat gempa bumi tektonik. Yang paling mungkin dapat menimbulkan tsunami adalah gempa yang terjadi di dasar laut, kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo gempa lebih besar dari 6,0 skala Richter, serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau sesar turun. Gempa yang menimbulkan tsunami sebagian besar berupa gempa yang mempunyai mekanisme fokus dengan komponen dip-slip, yang terbanyak adalah tipe thrust (Flores 1992) dan sebagian kecil tipe normal (Sumba 1977). Gempa dengan mekanisme fokus strike slip kecil sekali kemungkinan untuk menimbulkan tsunami. Ancaman gempa tsunami berada sepanjang pertemuan lempeng mulai dari timur Kepulauan Maluku, selatan Nusat Tenggara dan Jawa, hingga barat Sumatera. Umumnya gempa subduksi di laut yang berkekuatan minimal 6,2 Skala Richter sudah dapat menimbulkan gelombang tsunami. Namun yang lebih kecil dari itupun dapat mengakibatnya gelombang pasang tergantung lokasinya dan pola subduksi serta topografi dasar laut. Kata tsunami baru populer di Indonesia sejak terjadinya bencana tsunami di Flores, 12 Desember 1992. Dapat dimaklumi kalau tsunami belum dipahami secara benar. Tsunami seringkali disalahartikan sebagai gelombang pasang (tidal wave). Padahal sangat berbeda artinya. Gelombang pasang terjadi karena adanya gaya tarik bulan terhadap bumi. Sedangkan tsunami, berasal dari bahasa Jepang tsu dan nami yang arti harfiahnya adalah gelombang di pelabuhan, terjadi karena adanya gangguan impulsif pada air laut akibat terjadinya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba. Penyebabnya dapat berasal dari tiga sumber, yaitu: Gempa, letusan gunung api, dan longsoran yang terjadi di dasar laut.

Dari ketiga penyebab timbulnya tsunami, gempa merupakan penyebab utama. Besar kecilnya gelombang tsunami sangat ditentukan oleh karakteristik gempa yang menyebabkannya. Gempa-gempa yang paling mungkin dapat menimbulkan tsunami adalah gempa yang terjadi di dasar laut, kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo lebih besar dari 6.0 Skala Richter (SR), serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau sesar turun. Gempa-gempa semacam ini biasanya terjadi pada zona subduksi, zona bukaan, dan zona sesar. Kecepatan penjalaran gelombang tsunami berkisar antara 50 km sampai 1.000 km per jam. Pada saat mendekati pantai kecepatannya semakin berkurang karena adanya gesekan dasar laut. Sedangkan tinggi gelombang tsunami justru akan bertambah besar pada saat mendekati pantai. Tinggi gelombang tsunami mencapai harga maksimum pada pantai berbentuk landai dan berlekuk seperti teluk dan muara sungai. Pada pantai semacam ini, tinggi gelombang tsunami dapat mencapai puluhan meter. Sebagai contoh, gempa Flores 1992 dengan magnitudo 6.8 SR secara teoritis akan menghasilkan gelombang tsunami setinggi satu sampai dua meter di episenter gempa. Namun pada saat tiba di pantai Flores gelombang tsunami mencapai ketinggian maksimum sekitar 24 meter. Dari tahun 1900 sampai 1996 setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia. Lima belas di antaranya terjadi di kawasan timur Indonesia yang memang dikenal sebagai daerah seismotektonik aktip dan kompleks. Tsunami tersebut diakibatkan oleh aktivitas kegempaan yang terdapat pada zona-zona seismmotektonik aktip seperti zona subduksi, zona bukaan, dan zona sesar yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Lima bencana tsunami (Banda 1938, Sigli 1967, Bandanaira 1975, Sumba 1977, dan Banyuwangi 1994) diakibatkan aktivitas zona subduksi Sunda-Banda yang terletak memanjang dari kepulauan Andaman sampai ke laut Banda. Aktivitas zona sesar naik yang terletak memanjang dari utara Bali sampai ke Alor menghasilkan tiga tsunami di Ende 1908, Larantuka 1982, dan Flores 1992. Tsunami-tsunami yang terjadi di Tinambung 1967, Sulteng 1968, Majene 1969, dan Mamuju 1984 diakibatkan aktivitas zona bukaan yang terletak di Selat Makassar. Aktivitas zona sesar Palu-Koro dan sesar Sorong yang melalui Palu, utara Pulau Buru sampai ke selatan Biak telah mengakibatkan empat bencana tsunami yang terjadi di Teluk Tomini 1938, Sana Maluku 1965, Sanana Maluku, 1975 dan Toli-Toli 1996. Bencana tsunami yang terjadi di Indonesia diakibatkan gempa-gempa dangkal dan kuat yang terjadi di dasar laut. Gempa-gempa tersebut mempunyai kedalaman bervariasi antara 13 sampai 95 km, magnitudo 5.9 sampai 7.5 SR, intensitas gempa antara VII sampai IX dalam skala MMI (Mo-dified Mercalli Intensity), dan jenis pensesaran gempa yang dominan adalah sesar naik.

Tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara tempat sampai 24 meter, dengan magnitudo tsunami berkisar antara 1.5 sampai 4.5 dalam skala Imamura. Sementara itu jangkauan gelombang tsunami ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai. Riset tentang tsunami dapat dibagi menjadi tiga bidang utama. Pertama, riset yang ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi pusat gempa dan karakteristik gempa yang mempunyai potensi menimbulkan tsunami. Bidang ini merupakan kajian Ilmu Seismologi. Kedua, riset yang diarahkan untuk membuat model penjalaran tsunami dan prediksi tinggi gelombang tsunami pada saat mencapai pantai. Riset semacam ini merupakan kajian Ilmu Oseanografi. Ketiga, riset yang ditujukan untuk mencari cara-cara yang tepat dalam pemantauan tsunami dan perlindungan pantai terhadap bahaya tsunami. Riset semacam ini memerlukan keahlian dalam bidang Seismologi, Oseanografi, dan Teknik Sipil. Perkembangan riset tsunami di Indonesia masih dalam tahap permulaan. Kegiatan riset secara agak serius baru dimulai sejak terjadinya bencana tsunami di Flores tahun 1992. Saat ini ada enam instansi yang terlibat serius dalam riset tsunami, yaitu BMG, BPPT, LIPI, PPPG Bandung, UK Petra Surabaya, dan ITB. Instansi yang aktif melakukan riset bidang pertama adalah BMG, LIPI, PPPG, dan ITB. Tiga instansi, yaitu BPPT, LIPI, dan ITB secara serius melakukan riset bidang kedua. Sedangkan riset bidang ketiga dilakukan oleh BMG, LIPI, UK Petra, dan ITB. Hambatan utama dalam riset, seperti yang biasa dijumpai di Indonesia, adalah minimnya jumlah ilmuwan dan fasilitas yang tersedia. Dari belasan jumlah ilmuwan yang aktip melakukan riset hanya ada dua ilmuwan yang thesis kesarjanaannya khusus tentang tsunami. Kurang tertariknya ilmuwan melakukan riset tsunami mungkin dikarenakan kegiatan ini secara ekonomi tergolong "kering", walaupun fenomena sunami sendiri berkaitan dengan sesuatu yang "basah" yaitu air laut. Fasilitas untuk pemantauan, baik untuk pemantauan gempa sebagai sumber penyebab tsunami maupun pemantauan gelombang tsunami, juga masih dirasa sangat kurang. Idealnya untuk tiap jarak 100 km di sepanjang pantai yang ada di kepulauan Indonesia diletakkan satu alat pemantau gempa dan gelombang. Yang ada saat ini tidak lebih dari 50-an alat pemantau gempa dan 20-an alat pembantu gelombang. Hambatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah masih kurangnya koordinasi dan komunikasi di antara pusat-pusat kegiatan riset tsunami yang ada di Indonesia. Secara teoritis tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisis karakteristik gempa. Dalam waktu sekitar 20 sampai 30 menit dapat ditentukan apakah suatu gempa dapat menyebabkan tsunami atau tidak. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang pantai. Ide inilah yang mendasari didirikannya pusat sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Warning System) dibeberapa negara Pasifik.

Yang menjadi persoalan di Indonesia adalah tenggang waktu tersebut hanya berkisar antara 10 sampai 50 menit saja karena jarak antara pusat gempa dan garis pantai tidak lebih dari 200 km. Ini berbeda dengan di negara-negara Pasifik yang tenggang waktunya dapat mencapai satu sampai tiga jam. Akibat terbatasnya waktu untuk menyampaikan informasi dan fasilitas komunikasi yang belum memadai, sangat mungkin terjadi informasi belum sampai sementara gelombang tsunami telah menyapu pantai. Untuk mengatasi kesulitan tersebut di atas, kesiapsiagaan merupakan jawaban yang paling tepat. Di antaranya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. >> Pertama, identifikasi daerah rawan tsunami. >> Kedua, penyuluhan kepada penduduk dan aparat terkait di daerah rawan tsunami. >> Ketiga, proteksi pada pantai. Di antaranya membuat jalur hijau 200 meter dari garis pantai yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang dan melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. >> Keempat, menetapkan letak pemukiman berada di belakang jalur hijau sehingga terlindung dari ancaman gelombang. Kalaupun terpaksa dibangun di dekat pantai, rumah yang baik adalah rumah panggung dengan bagian bawah kosong untuk memungkinkan gelombang lewat. >> Kelima, membuat dasar hukum yang kuat bagi upaya pengaturan tata guna lahan di daerah pantai. Belajar dari bencana yang terjadi di Aceh ini, menurut Dr Nanang T. Puspito, Kepala Laboratorium Seismotektonik Jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB, ada beberapa hal yang mungkin sudah saatnya kita perhatikan secara serius untuk mengantisipasi bencana serupa di masa mendatang. >> Pertama, perlunya riset gempa dan tsunami secara total. Usulan semacam ini mungkin kedengarannya kedaluwarsa. Namun, memang harus dikampanyekan terus menerus untuk menarik perhatian pemerintah. >> Kedua, perlunya sistem penyuluhan yang efektif bagi masyarakat. Penyuluhan ini di antaranya berisikan tentang apa dan bagaimana gempa dan tsunami terjadi, dan cara-cara untuk menghindar dari bencana. Penyuluhan dapat dilakukan melalui televisi sesering mungkin. Atau dapat juga dilakukan melalui poster-poster yang dipasang di tempattempat umum pada daerah-daerah rawan gempa dan tsunami. >> Ketiga, untuk mendukung usulan pertama dan kedua, perlu dibentuk suatu lembaga atau setidaknya kelompok kerja yang mempunyai kewenangan dan kemampuan yang besar. Lembaga atau kelompok kerja semacam ini bekerja all out dalam bidang riset dan penyebaran informasi.

>> Keempat, perlunya membentuk zona proteksi tsunami di sepanjang pantai yang rawan terhadap tsunami. Zona proteksi ini berupa jalur hijau selebar sekitar 200 meter. Jalur hijau ini sebaiknya adalah jenis tumbuhan yang tidak terlalu tinggi tetapi beranting dan berdaun lebat. Jangan berupa pohon kelapa karena terbukti pohon kelapa tidak dapat menahan atau memecahkan gelombang tsunami. >> Kelima, barangkali perlu diadakan latihan praktis atau simulasi menghadapi bencana. Simulasi ini di antaranya meliputi cara-cara untuk menghindar dari bencana, memberi pertolongan pada korban, dan rehabilitasi daerah bencana. Simulasi ini akan berdaya guna maksimal kalau melibatkan semua pihak yang terkait, baik masyarakat maupun aparat. Apa yang harus dilakukan sebelum, saat dan sesudah gempa bumi? >> Sebelum terjadi gempa bumi * Mengenali apa yang disebut gempa bumi * Memastikan bahwa struktur dan letak rumah anda dapat terhindar dari bahaya * yang disebabkan gempabumi (longsor, liquefaction dan lain-lain) * Mengevaluasi dan merenovasi ulang struktur bangunan anda agar terhindar bahaya gempabumi * Kenali lingkungan tempat anda bekerja dan tinggal * Memperhatikan letak pintu, lift serta tangga darurat, apabila terjadi gempabumi, sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung. >> Belajar melakukan P3K * Belajar menggunakan Pemadam Kebakaran * Mencatat Nomor Telepon Penting yang dapat dihubungi pada saat terjadi gempabumi * Persiapan Rutin pada tempat anda bekerja dan tinggal * Perabotan (Lemari, Cabinet, dan lain-lain) diatur menempel pada dinding (dipaku/ diikat dan lain-lain) untuk menghindari jatuh, roboh, bergeser pada saat terjadi gempa bumi. * Menyimpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah pecah,

Вам также может понравиться