Вы находитесь на странице: 1из 15

I LAPORAN PENELITIAN I

Klonidin Intratekal 15 mcg Untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal pada Pasien Bedah Sesar
Chlonidine 15 mcg Intrathecal as Preven on in Incidence of Post Spinal Anesthesia Shivering on Caesarea Surgery
Nurul Ulfah Hayatunnisa

ABSTRACT Background: The aim of this study is to know whether klonidin 15 mcg intrathecal can prevent incidence of shivering in pregnant woman who undergoing caesarea surgery with spinal anesthesia. Methods: In this double blind study, 178 parturi ons women with physical status ASA I-II undergoing caesarean sec on using spinal anesthesia in Emergency Opera ng Theatre and Central Surgery Installa on of Cipto Mangunkusumo Hospital were included in this study. Subarachnoid anaesthesia was performed in all paents. Those parturi ons women were randomly divided into two groups. One group received bupivacaine 0.5%H 10 mg with adjuvant morphin HCL 0,1mg and chlonidine 15 mcg intrathecal and the other received bupivacaine 0.5%H 10 mg with adjuvant morphin HCL 0,1mg and NaCl 0.9% 0.1cc intrathecal. We observed incidence and degree of shivering at 5 minutes interval un l 90 minutes. Tympanic temperature, hemodynamic parameter and adverse reac oon were recorded at 15 minutes interval un l 90 minutes during the periopera ve period. Results: There was signicant dierence (p=0,000) incidence of shivering between two groups. In chlonidine groups 4 parturi ons had shivering (4.49%), while in control groups 33parturi ons (37,08%) had shivering. There was signicant dierence (p=0,000) between two groups in degree of shivering. In chlonidine groups the degree of shivering more lower than control groups. The decrease in core temperature in chlonidine groups more lower than control groups (p<0,005). There were no signicant dierence in nausea, vomitus and ephedrin used between two groups. Conclusions: Addi on of 15 mcg chlonidine intrathecal signicantly reduce the incidence and degree of shivering in the parturi ons women undergoing caesarean sec on using spinal anesthesia. Keywords: Spinal anesthesia , Shivering, chlonidine intrathecalx ABSTRAK
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 1

Latar belakang : Peneli an ini bertujuan untuk mengetahui apakah klonidin 15 mcg dapat mencegah kejadian menggigil pada wanita hamil yang menjalani bedah caesarea dengan anestesia spinal. Metode : Seratus tujuh puluh delapan wanita hamil yang menjalani bedah caesarea menggunakan anestesia spinal di Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Bedah Pusat Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo dengan status sik ASA I-II dan dipilih secara acak. Pasien kemudian dibagi menjadi dua kelompok : kelompok klonidin (A) dengan kelompok kontrol (B), masingmasing terdiri atas 89 sampel. Kelompok A mendapat Bupivacain 0.5% H 10 mg, Morn 0.1 mg dan klonidin 15 mcg intratekal, kelompok B mendapat Bupivacain 0.5% H 10 mg, Morn 0.1 mg dan NaCl 0.9% 0.1cc intratekal,. Parameter yang diukur, yaitu kejadian menggigil, derajat menggigil, perubahan suhu in , perubahan hemodinamik serta efek samping yang diobservasi selama 90 menit. Hasil : Didapatkan perbedaan bermakna (p=0,000) antara kejadian menggigil yang terjadi diantara kedua kelompok, kelompok yang mendapatkan klonidin intratekal mengalami kejadian menggigil sebanyak 4 pasien (4.49%), sedangkan kelompok kontrol sebanyak 33 pasien (37,08%). Derajat menggigil juga dinilai pada kedua kelompok, dimana kelompok klonidin derajat menggigil yang terjadi lebih rendah dari kelompok kontrol (p=0.00), serta pada kelompok klonidin ditemukan penurunan suhu lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p<0,005). Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian efek samping mual, muntah dan pemakaian efedrin pada kedua kelompok. Kesimpulan : Penambahan klonidin 15 mcg inNurul Ulfah Hayatunnisa Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi FKUI RS-UPN-CM, Jakarta

Klonidin Intratekal untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal I Chlonidine

Intrathecal as Prevention in Post- Spinal Anesthesia Shivering

tratekal menurunkan secara bermakna terhadap kejadian serta derajat menggigil pada wanita hamil yang menjalani bedah caesarea dengan anestesia spinal. Kata kunci : Anestesia spinal, menggigil, klonidin intratekal PENDAHULUAN Perkembangan obat obat dan tehnik anestesia membawa anestesia itu sendiri tumbuh dan berkembang terus menerus. Se ap tehnik anestesi yang digunakan mempunyai efek samping. Salah satu efek samping yang sering dijumpai pasca anestesia baik dengan anestesia umum maupun regional adalah menggigil. Menggigil menyebabkan pasien merasa dak nyaman bahkan nyeri akibat regangan bekas luka operasi, serta dapat meningkatkan kebutuhan oksigen.1,2,3 Menggigil dapat meningkatkan tekanan intrakranial, tekanan intraokular serta mengganggu ibu dalam proses persalinan. Selain itu menggigil juga menimbulkan gambaran artefak pada monitor pasien sehingga dapat mengganggu pemantauan pasien. 1,2,4,5,6 Kejadian menggigil pasca anestesia dilaporkan berkisar 5-65% pada pasien yang menjalani anestesia umum dan sekitar 33-56,7% pada pasien yang menjalani anestesia neuroaksial.1,2,7 Menurut Bha acharya dkk,8 menggigil terjadi pada 40 % yang mengalami pemulihan dari anestesia umum, 50 % pada pasien dengan suhu in tubuh 35,5C dan 90% pada pasien dengan suhu in tubuh 34,5C. Sementara kejadian menggigil pasca analgesia spinal bervariasi. Kelsaka dkk,9 mendapatkan sekitar 36%, Roy dkk,10 mendapatkan sekitar 56,7%, Sementara Sagir dkk11 dan Honarmand dkk12 mendapatkan sekitar 60%. Menggigil pasca anestesia dapat diatasi dengan beberapa cara atau pendekatan. Pendekatan yang ditempuh dapat berupa nonfarmakologis menggunakan konduksi panas, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap sistem regulasi tubuh terhadap hipotermia atau dapat juga menggunakan pendekatan farmakologis dengan obat-obatan2. Obat yang sering dipakai untuk mengatasi menggigil antara lain pe din, klonidin, dan tramadol. Sampai saat ini sudah banyak peneli an untuk mengatasi menggigil pasca anestesia spinal, namun kebanyakan di antaranya adalah menggunakan jalur intravena. Belum banyak peneli yang melakukan peneli an obat-obat yang diberikan melalui jalur intratekal. Dengan melakukan pencegahan terhadap menggigil sebelum hal itu terjadi, akan mencegah mbulnya kerugian kerugian seper tersebut diatas dan yang pen ng pasien dak akan sempat merasakan pengalaman menggigil yang memberikan rasa dak nyaman bahkan nyeri akibat regangan luka bekas operasi.3 Sedangkan keuntungan penggunaan jalur intratekal pada pencegahan menggigil adalah dosis obat yang digunakan lebih sedikit dan mempunyai kerja yang lebih lama. Dengan demikian diharapkan efek samping yang terjadi lebih minimal.32

Para prak si anestesi sudah sejak lama mulai mencari alterna f penggan opioid sebagai an menggigil yang lebih mudah dan aman. Apalagi akhir akhir ini penggunaan opioid yang nggi membuat persediaan opioid semakin terbatas. Klonidin salah satu obat yang sering digunakan untuk mengatasi menggigil, bukanlah nama yang asing bagi prak si kedokteran. Obat yang tadinya dikenal hanya sebagai penurun tekanan darah ternyata punya banyak sisi yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Klonidin kini juga dipergunakan sebagai ajuvan sedasi, bahkan untuk memperpanjang waktu blok anastesi. Selain itu ternyata Klonidin juga mempunyai efek an menggigil yang belum di eksplorasi lebih lanjut. Sudah ada beberapa peneli an klonidin yang diberikan melalui intravena sebagai an menggigil, tetapi peneli an klonidin yang diberikan secara intratekal untuk tujuan an menggigil belum ada. Kalaupun ada penelian tentang pemberian klonidin intratekal, biasanya tujuan peneli annya adalah untuk memperpanjang blok dari anestesia, sedangkan kejadian menggigil ada dicatat dalam beberapa peneli an tanpa dijadikan kesimpulan. Oleh karena itu disini dicoba dilakukan peneli an untuk menggunakan efek klonidin sebagai an menggigil intratekal pada wanita yang menjalani prosedur operasi bedah cesarea. Diluar negeri telah dilakukan peneli an oleh Sia A.T.H tahun 2000 di Singapore yang bertujuan untuk mencari dosis op mal penambahan klonidin intratekal, serta efek penambahan klonidin 0, 15, 30 mcg pada bupivakain dan sufentanil intratekal pada analgesia persalinan. Dan didapatkan klonidin menghasilkan analgesia yang lebih lama dan berkualitas, onset lebih cepat, blok sensori lebih nggi sedangkan efek samping seper sedasi dan hipotensi lebih sering terjadi pada penambahan klonidin 30 mcg. Serta didapa juga kejadian menggigil lebih rendah pada penambahan klonidin 15 mcg. Sehingga disimpulkan dosis op mal penambahan klonidin pada bupivakain dan sufentanil intratekal adalah 15 mcg.13 Di sentral pendidikan FKUI-RSUPNCM, pernah dilakukan peneli an dengan pemberian obat intravena untuk mengatasi menggigil pasca anestesia. Goerge dkk pada tahun 1999 membandingkan keefek fan antara klonidin 2ug/kg dengan meperidin 0,35 mg/kg intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesia. Pada penelian tersebut didapatkan hasil kekerapan menggigil dari kelompok meperidin sebesar 58% dan klonidin sebesar 25%,serta efek samping mual muntah meperidin intravena sebesar 27%.153 Peneli an lain yang dilakukan oleh Zairi. S dkk pada tahun 2002 yang membandingkan pemberian meperidin 0,35 mg dan klonidin 1 ug/kg pasca anestesia spinal menunjukkan hasil kekerapan menggigil pada kelompok klonidin sebesar 20,9% dan meperidin 39% serta efek mual muntah yang di mbulkan sebesar 16,3%.16 Berdasar dari beberapa peneli an diatas, penulis mencoba untuk melakukan pengamatan terhadap kejadian dan derajat menggigil pada pasien bedah cesarea yang mendapat anestesia spinal dengan menggu-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 2

NURUL ULFAH HAYATUNNISA

nakan bupivakain ditambah dengan morn 0,1 mg dan klonidin 15 mcg intratekal yang akan dibandingkan dengan pemberian bupivakain ditambah dengan morn 0,1 mg dan NaCl 0.9% 0,1cc sebagai kelompok kontrol. TINJAUAN PUSTAKA Menggigil pasca ndakan anestesia merupakan komplikasi yang umum dijumpai pada anestesia modern. Post Anesthe c Shivering (PAS) didenisikan sebagai suatu fasikulasi otot rangka di daerah wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang berlangsung lebih dari 15 de k. PAS terjadi pada 5-65% pasien yang menjalani anestesia umum dan lebih kurang 33% pasien dengan anestesia regional.2 Beberapa faktor risiko yang memungkinkan mbulnya menggigil pascaoperasi antara lain hipotermia intraopera f, reeks spinal, berkurangnya ak vitas simpa s, supresi adrenal, pengeluaran pirogen, nyeri dan alkalosis metabolik. Diantara semua faktor risiko tersebut hipotermia merupakan penyebab menggigil yang paling sering dijumpai.1,2 Gangguan pengaturan suhu pada anestesia spinal lebih berat terjadi dibandingkan dengan anestesia epidural.20 Pada peneli an Kurz A dkk tahun 1993 mengenai respon termoregulasi selama anestesia spinal dilaporkan terjadinya penurunan ambang vasokonstriksi dan ambang menggigil yang bermakna (0,5%) dibanding pasien yang dak dilakukan anestesia spinal.21 Diduga terdapat 3 fase yang dapat mendasari terjadinya hipotermia pada pasien dengan anestesia spinal23,24 1. Redistribusi panas internal dari kompartemen sentral ke perifer. 2. Mekanisme keseimbangan produksi panas dengan hilangnya panas. 3. Berubahnya nilai ambang vasokontriksi dan nilai ambang menggigil. Ke nggian blok spinal yang tercapai berhubungan langsung dengan ambang menggigil pasien sehingga semakin nggi blok yang dihasilkan maka semakin turun ambang menggigil pasien. Leslie K dkk.25 Menggigil pasca anestesia merupakan mekanisme kompensasi tubuh yang dapat juga menimbulkan efek samping yang merugikan. Efek samping yang terjadi antara lain rasa dak nyaman bahkan nyeri yang dirasakan pasien dan juga dapat menghambat penyembuhan luka operasi akibat regangan jahitan luka.26 Menggigil Denisi Menggigil Menggigil pascaanestesia (Post Anesthe c Shivering/PAS) didenisikan sebagai suatu fasikulasi otot rangka di daerah wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang berlangsung lebih dari 15 de k. Meng-

gigil terjadi jika suhu daerah preop k hipotalamus lebih rendah daripada suhu permukaan tubuh. Jaras eferen menggigil berasal dari hipotalamus posterior yang berlanjut menjadi middle forebrain bundle. Pada menggigil yang terjadi pasca anestesia spinal (PAS) memang sedikit sulit dibedakan dengan tremor pasca operasi (post opera ve tremor/POT) yang merupakan suatu cetusan yang serupa dengan PAS. Pada POT, gerakan involunter dak selalu didahului dengan keaadaan hipotermia, sehingga dalam keadaan pasien normotermia juga dapat mengalaminya. Biasanya hal ini berhubungan dengan sisa kadar gas anestesia yang masih ada dalam tubuh. Tremor pasca operasi dapat dibedakan dengan PAS melalui pemeriksaan EMG (gambar 5 dan gambar 6).48

Gambar 5. Pola menggigil yang normal dengan gambaran waxing-and-waning 4-8 kali/menit.34

Gambar 6. Tremor pasca anestesia dengan gambaran elektromiogram tampak gelombang dengan frekuensi 5-7 Hz.34 Menggigil pada neuroaksial Seper yang telah disinggung di awal njauan pustaka, terdapat beberapa faktor risiko yang memungkinkan mbulnya menggigil pascaoperasi antara lain hipotermia intraopera f, reeks spinal, berkurangnya ak vitas simpa s, supresi adrenal, pengeluaran pirogen, nyeri dan alkalosis metabolik.1,2,4 Mekanisme menggigil pada anesthesia neuroaksial maupun anestesia umum hampir sama yaitu hipotermia akibat redistribusi panas tubuh dari kompartemen in ke kompartemen perifer.1,2,4 Blok neuroaksial selain menghambat pen-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 3

Klonidin Intratekal untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal I Chlonidine

Intrathecal as Prevention in Post- Spinal Anesthesia Shivering

gaturan suhu pusat juga menghambat ak vitas simpa s perifer dan saraf motorik perifer yang menghambat terjadinya vasokontriksi dan menggigil. Ambang respon untuk vasokontriksi pada individu normal cukup bervariasi yaitu sekitar 35,30,40C21, 36,5+0,60C49, 36,8+0,40C2 dan ambang menggigil sekitar 35,70,40C2, 35,1+0,20C21 serta 36,2+0,50C49. Anestesia spinal dan epidural menurunkan ambang respon vasokontriksi dan menggigil sekitar 0,60C lebih nggi dari anestesia umum. Ambang respon vasontriksi pada anestesia spinal sekitar 36,70,30C2, 35,20,50C21, 36,60,30C49 dan ambang respon menggigil sekitar 35,50,50C2, 34,80,20C21 serta 35,80,60C49. Selain karena hipotermia, menggigil pada neuroaksial juga karena reek spinal itu sendiri.1,2,4 Sama seper anestesia umum, proses menggigil pada anestesia neuroaksial setelah didahului oleh hipotermia in , respon vasokontriksi pada bagian tubuh di atas ke nggian blok dan mempunyai gambaran pada elektromiogram yang sama, tetapi hipotermia selama anestesia neuroaksial dak menimbulkan sensasi dingin. Hal ini disebabkan persepsi dingin tergantung pada masukan dari reseptor dingin di kulit, sedangkan vasodilatasi yang mbul pada anestesia neuroaksial akan meningkatkan suhu kulit, sehingga masukan dari reseptor suhu didaerah ini akan menimbulkan persepsi hangat meskipun terjadi menggigil.1,2,6 Efek Samping Menggigil Menggigil mengakibatkan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat dan juga meningkatkan produksi karbondioksida2,27. Meningkatnya kebutuhan metabolisme pada pasien menggigil dapat mengakibatkan komplikasi pada pasien yang memiliki pintas intrapulmonal, curah jantung yang terbatas dan cadangan respirasi terbatas23. Menggigil meningkatkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular2,23. Kadar katekolamin plasma darah akan meningkat pada pasien yang menggigil50. Gangguan jantung berupa iskemia otot jantung dapat terjadi pada pasien yang menggigil50. Menggigil juga dapat mengakibatkan rasa nyeri pada luka operasi karena terjadi rengangan pada luka operasi50. Penatalaksanaan menggigil Cara ideal untuk mencegah mbulnya menggigil pascaanetesia adalah mempertahankan keadaan normotermia setepat mungkin mendeka 360C, namun karena variasi individual dari suhu in tubuh yang begitu besar dan sensi tas sistem termoregulasi yang berbeda maka sulit untuk melakukan hal tersebut. Menggigil pascaanastesia dapat dioba dengan memanaskan / menghangatkan permukaan kulit, sebab sistem termoregulasi lebih sensi f terhadap input peningkatan suhu kulit. Penatalaksanaan menggigil pascaanestesia secara farmakologi saat ini dengan mempergunakan berbagai macam obat intravena, yaitu pe din (25 mg), kloni-

din (75 150 g), dan tramadol (0,5 -2 mg/kg).51 METODOLOGI PENELITIAN Peneli an ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda untuk mengetahui perbedaan kejadian menggigil pasca anestesia spinal antara pasien seksio seksaria yang mendapat Klonidin 15 mcg intratekal (kelompok klonidin) dengan yang mendapat penambahan NaCl 0,9% 0,1 cc (kelompok kontrol), serta apakah penambahan klonidin 15 mcg pada bupivakain 0,5% 10 mg dan morn 0,1 mg intratekal dapat secara bermakna mengurangi kejadian dan derajat menggigil pasca anestesia spinal.

Peneli an ini dilakukan di Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Bedah Sentral RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Peneli an akan dilakukan segera setelah mendapat persetujuan dari pani a tetap Penilai E k, peneli an FKUI dan persetujuan tertulis dari pasien yang telah mendapat penjelasan. Populasi yang akan diikutsertakan pada penelian ini adalah pasien yang akan menjalani operasi bedah cesarea berencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo dan operasi emergensi di Instalasi Gawat Darurat RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan anestesia spinal. Sampel didapatkan dengan random sampling.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 4

NURUL ULFAH HAYATUNNISA

Tabel 1. Karakteris k subyek peneli an

Tabel 2. Kejadian menggigil pada kelompok klonidin dan kelompok kontrol pasca anestesia spinal.

Tabel 3. Derajat menggigil pada kelompok klonidin dan kelompok kontrol pasca anestesia spinal

Tabel 4. Perubahan suhu membran mpani kelompok klonidin dan kelompok kontrol

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 5

Klonidin Intratekal untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal I Chlonidine

Intrathecal as Prevention in Post- Spinal Anesthesia Shivering

Tabel 5. Kecenderungan suhu membran mpani terhadap derajat menggigil pada waktu yang sama antara kelompok klonidin dan kelompok kontrol

Tabel 6. Perbandingan tekanan darah sistolik antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol

Tabel 7. Perbandingan tekanan darah diastolik antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol

Tabel 8. Perbandingan frekuensi nadi antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol

Tabel 9. Efek samping mual-muntah antara kelompok klonidin dan kelompok kontrol

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 6

NURUL ULFAH HAYATUNNISA

Setelah mendapat persetujuan medis, pasien disiapkan untuk dilakukan ndakan anestesia. Dilakukan randomisasi sederhana menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang mendapat Klonidin 15 mcg intratekal atau kelompok kontrol. Obat percobaan atau plasebo diambil dengan spuit 1cc tanpa diencerkan, disiapkan oleh ahli anestesiologi yang dak ikut dalam pengamatan peneli an dan diberikan kepada ahli anestesiologi lain yang dak mengetahui isi obat yang akan melakukan ndakan dan pengamatan dalam peneli an. Wanita hamil dak mendapat obat premedikasi sebelumnya. Dilakukan pemasangan alat monitor EKG, oksimetri denyut dan NIBP. Dilakukan pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi dan suhu membran mpani. Suhu ruangan operasi dipertahankan antara 200C-230C (Nader El Gamal dkk) dengan mengatur suhu AC dan suhu ruangan dilihat melalui termometer ruangan. Suhu membran mpani diukur dengan cara memasukkan alat ukur melalui meatus akus kus eksterna pada kedalaman 1-1,5 cm. Sebelum dilakukan anestesia spinal, dilakukan coloading dengan Ringer Laktat yang disimpan pada suhu ruangan (20-23C) sebanyak 10cc/kgbb dalam 10 menit. Dijaga sterilitas cairan infus dengan cara melakukan desinfeksi menggunakan alkohol pada tempat penusukan selang infus untuk mencegah kontaminasi dengan agen yang bersifat pirogen. Dilakukan persiapan ndakan anestesia menggunakan jarum spinal 27G pe Quincke dengan analge k lokal Bupivakain Hiperbarik 0,5% sebanyak10 mg dan ajuvan morn HCl 0,1 mg dan obat percobaan sebanyak 0,1 ml. Wanita hamil diposisikan lateral dekubitus kiri atau duduk. Dilakukan ndakan asepsis dan an sepsis sebagaimana mes nya. Dilakukan anestesia spinal dengan lokasi penusukan jarum spinal pada sela vertebra segmen L4-L5 atau L3-L4. Setelah LCS keluar dilakukan aspirasi untuk meyakini bahwa LCS mengalir bebas dan dimasukkan bupivakain 0,5% 10 mg (2cc), morn 0,1 mg dan klonidin 15 mcg/kg pada kelompok klonidin dan bupivakain 0,5% 10mg (2cc), morn 0,1 dan NaCl 0,9% 0,1cc pada kelompok kontrol. Dilakukan anestesia spinal dengan mengusahakan ke nggian blok spinal antara vertebra torakal 6 sampai torakal 4. Saat dilakukan analgesi spinal dengan ajuvan obat percobaan, dihitung sebagai k nol (T0). Segera setelah dilakukan anestesia spinal pasien diposisikan terlentang. Dilakukan test ke nggian dengan cara pin prick test. Kemudian segera dilakukan pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi dan suhu membran mpani. Diberikan suplemen oksigen melalui kanul hidung 2 liter/menit. Wanita hamil ditutupi dengan 1 lapis kain yang menutupi dada, lengan atas dan daerah diluar lapangan operasi. Apabila terjadi penurunan tekanan darah >20% dari nilai dasar, diberikan efedrin 5 mg dan bila masih kurang dapat dilakukan pemberian ulang efedrin dan dilakukan pencatatan jumlah efedrin yang diberikan. Dilakukan observasi kejadian menggigil dan penilaian derajat menggigil serta pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi dan suhu membran mpani ap lima menit sampai menit ke-90 dimulai dari T0 menurut skala dari Crossley dan

Mahajan, dicatat intensitasnya. Bila pasien menggigil dengan minimal derajat 2, obat dinyatakan dak efek f, dan pasien diberikan pe din 25 mg IV serta selimut penghangat. Apabila pasien mengalami kesakitan pada saat operasi diberikan dosis emergensi yaitu fentanyl 25 g. Apabila pasien mengalami mual atau muntah diberikan ondansetron dengan dosis 4 mg. Setelah operasi selesai, dilakukan pencatatan lama operasi, jumlah perdarahan yang terjadi dan jumlah cairan yang diberikan. Kemudian pasien dilanjutkan observasi di ruang pulih sampai menit 90 setelah T0. Dilakukan pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi dan suhu membran mpani. Diukur suhu ruang pulih. Dilakukan juga pencatatan efek samping mual, muntah. Dinilai regresi sensorik dan dicatat pada menit keberapa pasien mulai merasa nyeri. (<T10). Data yang telah direkam dimasukkan dalam tabel induk dan setelah diolah, disajikan dalam bentuk prosentase (%) atau rerata (SD). Untuk menguji perbedaan dua variabel numerik dalam satu kelompok dan perbedaan rata-rata dua kelompok digunakan t-test. Bila distribusinya dak normal digunakan uji Mann-Whitney. Untuk menganalisa data yang berskala kategorikal digunakan uji chi-square. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah 5%, ar nya bila p < 0,05 maka perbedaan tersebut dinyatakan bermakna secara sta s k dan bila p > 0,05 maka perbedaan tersebut dinyatakan dak bermakna secara sta s k. HASIL PENELITIAN Telah dilakukan peneli an untuk mengetahui kejadian dan derajat menggigil pada pasien bedah cesarea dengan anestesia spinal yang mendapat klonidin 15 mcg intratekal dan pasien yang mendapatkan NaCl 0,9% 0,1 cc sebagai kontrol. Peneli an dilakukan terhadap 178 pasien yang dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 89 pasien pada kelompok klonidin dan 89 pasien pada kelompok kontrol. Kelompok klonidin menggunakan bupivakain 0,5% 10 mg, morn 0,1 mg dan klonidin intratekal 15mcg dan kelompok kontrol menggunakan bupivakain 0,5% 10 mg, morn 0,1 mg dan NaCl 0,9% 0,1cc sebagai kontrol. Berdasarkan penghitungan secara sta s k yang dilampirkan di tabel 1, sebaran sampel untuk semua parameter pengukuran pada kedua kelompok dak memiliki perbedaan bermakna sehingga faktor yang memungkinkan terjadinya bias dapat dianggap ada karena kedua kelompok iden k. Berdasarkan data di tabel 2, dari peneli an ditemukan kejadian menggigil di kelompok kontrol = 34/89 x 100% = 38,20% Sementara kejadian menggigil di kelompok klonidin = 2/89 x 100% = 2,25%. Karena nilai P<0.05 maka terdapat perbedaan kejadian menggigil yang bermakna secara sta s k antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol. Waktu pengukuran derajat menggigil adalah pra dan pascaanestesia spinal, pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60,75 dan 90. Pada kelompok klonidin terlihat

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 7

Klonidin Intratekal untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal I Chlonidine

Intrathecal as Prevention in Post- Spinal Anesthesia Shivering

derajat menggigil 2 sebanyak 1,12% (1 orang) dan derajat menggigil 3 sebanyak 1,12% (1 orang), sementara derajat 4 dak ditemukan. Sedangkan pada kelompok kontrol terlihat yang paling banyak adalah derajat menggigil 2 sejumlah 30,33% (27 orang), kemudian derajat 3 sejumlah 7,87% (7 orang) sedangkan derajat 4 dak ditemukan. Karena nilai P<0,05 maka terdapat perbedaanderajat menggigil yang bermakna secara sta s k antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol pada se ap waktu pengukuran. Pada tabel 4 dibawah ini dapat dilihat perubahan suhu membran mpani kedua kelompok perlakuan (kelompok klonidin dan kelompok kontrol). Tampak hasil pengukuran suhu pada kedua kelompok cenderung menurun tetapi, suhu membran mpani kelompok klonidin sedikit lebih nggi daripada kelompok kontrol, dengan rata rata 36,235C, sementara pada kelompok kontrol rata rata 36,176C. Pada kedua kelompok bila dilakukan perbandingan antara sebelum dan sesudah perlakuan maka terlihat adanya penurunan suhu membran mpani. Suhu sebelum spinal kedua kelompok terlihat dak berbeda bermakna secara sta s k, tetapi mulai suhu menit ke-5 terlihat perbedaan bermakna secara sta s k. Berdasarkan penghitungan uji sta s k, hasil yang diperoleh adalah terdapat perubahan yang bermakna antara suhu kedua kelompok (p<0,05) pada semua waktu pengukuran setelah perlakuan. Dari tabel distribusi ini terlihat kecenderungan, bahwa semakin rendah suhu membran mpani semakin nggi derajat menggigil yang ditemukan. Dan kecenderungan ini terlihat pada kedua kelompok perlakuan. Pada peneli an ini dicatat perubahan hemodinamik yang terjadi sebelum dan sesudah perlakuan (menit 0, 5, 10, 15, 30, 45, 60, 75 dan 90). Parameter yang diukur adalah tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan nadi. Dari tabel 6 secara sta s k dak ada perbedaan bermakna perubahan tekanan darah sistolik antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol sebelum dilakukan spinal, tetapi setelah dilakukan spinal terdapat perbedaan bermakna secara sta s k antara kedua kelompok perlakuan tersebut ( kelompok klonidin lebih rendah). Dari tabel 7 secara sta s k dak ada perbedaan bermakna perubahan tekanan darah diastolik antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol sebelum dilakukan spinal, tetapi setelah perlakuan terdapat perbedaan bermakna secara sta s k antara kedua kelompok perlakuan tersebut ( kelompok klonidin lebih rendah). Dari tabel 8 secara sta s k dak ada perbedaan bermakna perubahan frekuensi nadi antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol sebelum dilakukan spinal, tetapi setelah dilakukan spinal terdapat perbedaan bermakna secara sta s k antara kedua kelompok perlakuan tersebut ( kelompok klonidin lebih rendah). Pada peneli an ini efek samping yang dicatat adalah mual-muntah pascaanestesia spinal. Mual

muntah yang terjadi pada kelompok klonidin tercatat ada 7 orang (6,98%) dan pada kelompok kontrol tercatat ada 11 orang (10,08%). Karena nilai p>0,05 maka kejadian mual muntah pada kedua kelompok secara sta s k dak bermakna. PEMBAHASAN Dari hasil peneli an terlihat bahwa penambahan klonidin 15 mcg dalam bupivakain 0,5%H 10mg dan morn 0,1 mg intratekal memberikan hasil yang lebih baik dalam mengurangi kejadian menggigil dibanding dengan kontrol pasca anestesia spinal. Secara keseluruhan kejadian menggigil pada kelompok klonidin lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Kejadian menggigil pada kelompok klonidin berjumlah 2pasien (2,25%), dibandingkan kelompok kontrol sebanyak 34 pasien (38,2%), perbedaan ini bermakna secara sta s k karena p<0,05 (lihat tabel 2). Hal ini sejalan dengan hasil penemuan Sia13 dan Paech14 yang menyatakan rendahnya kejadian menggigil pada pasien yang mendapat tambahan klonidin intratekal. Sia13 yang dalam peneli annya menggunakan klonidin 15 mcg dan 30 mcg mencatat kejadian menggigil lebih rendah pada kelompok yang mendapat klonidin 15 mcg intratekal dari pada klonidin 30 mcg intratekal. Sementara Paech14 menyatakan dengan lebih spesik, yaitu kejadian menggigil pada kelompok klonidin 6% vs 31% dengan kelompok non klonidin, yang dak berbeda jauh dengan hasil peneli an ini yaitu kelompok klonidin 2,25% dan kelompok kontrol 38,2%. Sebaliknya ada satu peneli an lain yang memberikan hasil yang berbeda. Jeon70 menyatakan bahwa pemberian klonidin intratekal dak dapat mengurangi kejadian mengggil pascaanestesia spinal. Pada peneli annya Jeon membandingkan antara pemberian klonidin intravena (1mcg/kgbb 5 menit sebelum perlakuan spinal), klonidin intratekal (150 mcg) dan kontrol, dengan hasil 8% menggigil pada kelompok intravena, 34% menggigil pada kelompok intratekal dan 40% menggigil pada kelompok kontrol. Peneli an Jeon memberikan hasil demikian dimungkinkan oleh beberapa hal, yaitu perbandingan yang dilakukan adalah antara intravena dan intratekal. Kemungkinan kedua adalah, klonidin intravena sudah diberikan 5 menit sebelum perlakuan spinal sehingga sudah bekerja terlebih dahulu daripada efek spinalnya. Kemungkinan ke ga, karena klonidin bersifat dose dependent sebagai an menggigil,66,67 Klonidin dose dependent sebagai an menggigil terlihat dari beberapa peneli an terdahulu. Terdapat perbedaan hasil antara pemberian intravena dan intratekal, yaitu pada pemberian klonidin intravena terlihat makin besar dosis, makin cepat klonidin menghen kan menggigil. Delauney66 menunjukkan pemberian 75 mcg klonidin intravena menghen kan menggigil dalam 2 menit. Joris67 menyatakan klonidin 75 mcg intravena menghen kan menggigil dalam 5 menit dan klonidin 150 mcg

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 8

NURUL ULFAH HAYATUNNISA

Gambar 8. Jumlah kejadian menggigil pada kelompok klonidin dan kontrol sesuai waktu pengukuran. intravena menghen kan menggigil seke ka. George15 menggunakan klonidin 2 mcg/kgbb intravena dengan hasil kejadian menggigil 25% pada kelompok klonidin vs 58% pada kelompok pe din. Zairi16 yang menggunakan klonidin 1 mcgkgbb intravena memberikan hasil kejadian menggigil 20,9% pada kelompok klonidin vs 39.5% pada kelompok pe din. Sementara klonidin secara intratekal diduga memberikan efek an menggigil pada dosis kecil. Karena dari beberapa peneli an yang menggunakan klonidin intratekal dosis kecil terlihat kejadian menggigil justru rendah. Pada peneli an Sia13 yang menunjukkan kejadian menggigil pada kelompok klonidin 15 mcg intratekal terjadi pada 2 dari 15 orang dan pada kelompok klonidin 30mcg intratekal terjadi pada 4 dari 15 orang. Juga pada peneli an Paech14 yang juga menggunakan klonidin intratekal dosis kecil (15mcg, 30mcg, 45mcg) dinyatakan kejadian menggigil 6% pada kelompok klonidin vs 31%. Juga pada peneli an ini yang menggunakan klonidin intratekal dosis kecil (15 mcg) didapa kejadian menggigil 2,25% pada kelompok klonidin dan 38,2% pada kelompok kontrol. Selanjutnya terlihat kejadian menggigil antara kelompok klonidin dan kelompok kontrol mulai berbeda pada menit ke 10 sampai menit ke 90, hanya pada menit 5 dak ada perbedaannya (lihat Gambar 8). Hal ini mungkin karena setelah menit ke 10, walau anestesia spinal mulai bereaksi, diduga efek dari klonidin sudah bekerja sehingga kelompok klonidin menunjukkan kejadian menggigil yang rendah bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Bila dianalisa lebih jauh, anestesia neuroaksial mengganggu pusat pengaturan termoregulasi otonom sesuai dengan nggi atau penyebaran blok saraf yang terjadi. Hipotermia yang terjadi pada anestesia neuroaksial disebabkan karena ga mekanisme yaitu fase pertama : redistribusi panas tubuh, fase kedua : kehilangan panas yang melebihi produksi panas dan fase ke ga : inhibisi pusat regulasi suhu.42 Kurang dari 30 menit pertama adalah fase redistribusi dimana terjadi distribusi panas yang besar dari in tubuh ke perifer yang menyebabkan terjadinya hipotermi. Anestesia spinal akan menurunkan ambang menggigil pasien yang linier dengan jumlah dermatom yang mengalami blok, sementara secara teori klonidin dapat menghambat transmisi sinyal termal aeren pada ngkat korda spinalis dan menurunkan ambang menggigil pada sentral termoregulator.67 Dengan demikian walaupun terjadi hipotermi tetapi dak sampai melewa ambang menggigil. Pada fase ini klonidin terlihat memberikan efek yang bermakna dibanding control (lihat gambar 8). Pada waktu lebih dari 30 menit dapat dikatakan masuk pada fase kedua dimana terjadi kehilangan panas yang melebihi produksi panas. Pada fase ini penurunan suhu masih tejadi walaupun dengan grak yang linier dan pada satu k akan melewa ambang menggigil. Dari teori dinyatakan klonidin menurunkan ambang menggigil pada sentral termoregulator67, sesuai dengan peneli an ini klonidin justru terlihat menurunkan ambang menggigil. Pada tabel 5 terlihat suhu pada kelompok klonidin justru lebih rendah dari pada kelompok kontrol baru bisa menimbulkan menggigil, maka walaupun terjadi penurunan suhu, menggigil tetap dak terjadi. Hal ini didukung oleh pernyataan hosman dkk, yang menyatakan klonidin menurunkan suhu in tubuh yang dapat menim-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 9

Klonidin Intratekal untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal I Chlonidine

Intrathecal as Prevention in Post- Spinal Anesthesia Shivering

Gambar 9. Jumlah derajat menggigil pada kelompok klonidin dan kontrol.

bulkan kejadian menggigil. Dengan demikian walaupun anestesia spinal akan menghambat pembentukan panas tubuh terutama di bawah bagian yang ter-blok serta terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kejadian hipotermi maupun menggigil pada fase ini,(antara lain suhu ruang operasi, lama operasi, dan morfometri pasien) kejadian menggigil pasien pada kelompok klonidin tetap lebih rendah (lihat gambar 8). Sementara kejadian menggigil pada kelompok kontrol semakin meningkat yang mencapai jumlah menggigil terbanyak pada menit ke-45, mungkin karena paparan faktor faktor penyebab hipotermi. Namun sebagai data tambahan dak ditemukan hubungan yang bermakna secara sta s k antara penurunan suhu membran mpani dengan kejadian menggigil. Setelah menit ke 45 terlihat penurunan jumlah menggigil pada kelompok kontrol, hal ini diduga karena faktor yang mempengaruhi kejadian hipotermi sudah mulai berkurang (operasi sudah hampir selesai, area operasi sudah mulai ditutup, atau bahkan operasi sudah selesai sehingga pasien sudah berada di ruang pulih) sementara fase kedua masih berlangsung, sehingga menggigil masih tetap ditemukan (lihat gambar 8). Dengan demikian, walaupun suhu ruang operasi semakin rendah atau waktu operasi semakin panjang atau lapisan lemak tubuh pasien yang pis akan meyebabkan kejadian menggigil yang semakin besar, klonidin masih memberikan efek yang bermakna dibanding dengan kontrol, karena klonidin menekan jalur eferen yang bertanggung jawab terhadap mbulnya menggigil.67 Hal ini terlihat dari hasil peneli an yaitu pada 30 menit yang kedua di kelompok klonidin hanya ditemukan 2 orang (1 orang pada menit ke-45 dan 1 orang pada menit ke 75) yang menggigil sementara pada kelompok kontrol terdapat 32 orang (4 orang pada menit ke-30,

15 orang pada menit ke-45, 8 orang pada menit ke-60, 4 orang pada menit ke-75 dan 1orang pada menit ke-90) yang menggigil. Derajat menggigil yang ditemukan pada peneli an ini mempunyai perbedaan yang bermakna antara kelompok klonidin dan kelompok kontrol. Dari seluruh kejadian menggigil, derajat 2 terjadi pada 27 orang pada kelompok kontrol dan 1 orang pada kelompok klonidin. Derajat 3 terjadi pada 7 orang pada kelompok kontrol dan 1 orang pada kelompok klonidin. Derajat 4 sebagai derajat menggigil pertama kali, dak ditemui, baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok klonidin. Perbedaan ini bermakna secara sta s k (p<0,05). Derajat menggigil yang digunakan pada penelian ini menggunakan skala dari Crossley dan Mahajan. Berdasarkan skala tersebut derajat menggigil dilihat dari tanda tanda klinis: Derajat 0: dak ada menggigil; Derajat 1: piloereksi atau vasokonstriksi perifer; Derajat 2: akvitas muskuler pada satu grup otot; Derajat 3: ak vitas muskular pada lebih dari satu grup otot tetapi dak terlihat menggigil secara umum; Derajat 4: ak vitas muskular 40 secara umum di seluruh tubuh.69 Tetapi pada peneli an ini menggigil mulai dihitung dari derajat 2 dengan per mbangan bahwa derjat menggigil 2 mulai menimbulkan gangguan pada pasien. Dari Gambar 9 terlihat derajat menggigil ternggi yang pertama kali muncul pada kedua kelompok adalah derajat 3 namun sebagai data tambahan, derajat menggigil ter nggi yang terjadi pada kelompok kontrol adalah derajat 4 (ditemui 3 orang yang derajat menggigilnya meningkat dari derajat 3 menjadi derajat 4) sementara pada kelompok klonidin adalah derajat 3 (1 orang). Dengan demikian derajat menggigil yang terjadi pada kelompok klonidin lebih ringan daripada kelompok kon-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 10

NURUL ULFAH HAYATUNNISA

trol. Hal ini mungkin karena mekanisme kerja klonidin di sentral, dimana klonidin menurunkan ambang menggigil di sentral termoregulator, menghambat transmisi sinyal termal aferen sehingga walau terjadi hipotermi dak terjadi menggigil dan juga menekan jalur eferen yang bertanggung jawab terhadap mbulnya menggigil.67 Derajat menggigil diduga berkaitan dengan rendahnya suhu membran mpani. Pada tabel 4 terlihat hasil pengukuran suhu membran mpani kedua kelompok cenderung menurun tetapi suhu membran mpani kelompok klonidin masih lebih nggi dengan rata rata 36,235C, sementara pada kelompok kontrol rata rata 36.176C. Bila diteli , suhu membran mpani kelompok klonidin turun tetapi pada kelompok klonidin hanya ditemui 2 orang yang menggigil, berbeda dengan kelompok kontrol yang suhu membran mpaninya turun tetapi yang menggigil 34 orang (lihat tabel 2), hal ini menunjukkan bahwa klonidin menurunkan ambang menggigil di sentral termoregulator, sehingga walaupun suhu membran mpani kelompok klonidin menurun tetapi menggigil dak terjadi. Selanjutnya tabel 5 memperlihatkan kecenderungan semakin rendah suhu membran mpani, semakin nggi derajat menggigil. Pada kelompok klonidin derajat menggigil 2, suhu membran mpaninya adalah 36,10 sementara pada kelompok kontrol berkisar 36,42 0,36 (lihat tabel 5). Pada derajat menggigil 3, suhu membran mpani kelompok klonidin adalah 36,0 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 36,18 0,2 (lihat tabel 5). Pada kelompok klonidin dak ditemui yang menggigil sampai derajat 4, mungkin dikarenakan walau suhu membran mpaninya turun, tetapi ambang menggigilnya juga turun dan rata rata suhu membran mpaninya 36,235C, sehingga bila pada kelompok kontrol dengan suhu 36,13 0,31 sudah terjadi derajat menggigil 4, pada kelompok klonidin mungkin diperlukan suhu yang jauh lebih rendah untuk menimbulkan derajat menggigil 4. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa klonidin menurunkan suhu tubuh mulai terjadinya menggigil.68 Suhu membran mpani kelompok klonidin yang lebih nggi dari kelompok kontrol diduga ikut berperan dalam menyebabkan rendahnya derajat menggigil yang terjadi serta sedikitnya kejadian menggigil pada kelompok klonidin. Tetapi hal ini masih memerlukan peneli an lebih lanjut. Belum diketahui pas mekanisme yang menyebabkan suhu membran mpani pada kelompok klonidin lebih nggi dari pada kelompok kontrol. Perbandingan Kejadian dan Derajat Menggigil Dari peneli an didapatkan data deskrip f yang menggambarkan distribusi kejadian dan derajat menggigil dalam menit. Pada Gambar 10, terlihat perbedaan kejadian derajat menggigil 1 antara kelompok klonidin dan kelompok kontrol mulai menit ke-5 (akan tetapi pada peneli an ini derajat menggigil 1 dak dihitung sebagai menggigil karena dianggap belum menimbulkan gangguan pada pasien).

Pada derajat menggigil 2 mulai terdapat perbedaan kejadian menggigil di menit ke-10, karena pada kelompok kontrol sudah mulai ada kejadian menggigil, sementara pada kelompok klonidin hanya ada satu kejadian menggigil di menit ke-45. Pada derajat menggigil 3 terdapat kejadian menggigil di kelompok klonidin pada menit ke-75, sementara kelompok kontrol pada menit ke-30, 45 dan 60 walaupun jumlahnya dak terlalu banyak. Pada kelompok klonidin dak ditemui ada yang menggigil pada derajat menggigil 4, sementara dari data peneli an ditemui 3 orang pada kelompok kontrol yang derajat menggigilnya meningkat dari derajat 3 menjadi derajat 4. Sehingga secara keseluruhan kelompok klonidin lebih rendah kejadian mengigil dan lebih ringan derajat menggigilnya dibanding kelompok kontrol. Dalam hasil peneli an Zairi dkk, terlihat pada kelompok klonidin, derajat menggigil sedang lebih banyak dari pada derajat menggigil berat, jumlah kejadian menggigilnya lebih sedikit serta mulai kejadian menggigil terjadi setelah menit ke 10.16 Hal ini sesuai dengan hasil peneli an ini, dimana klonidin memberikan hasil derajat menggigil yang lebih rendah, kejadian menggigil yang lebih sedikit, serta mulai kejadian menggigil setelah menit ke 10. Walaupun pada peneli an Zairi dkk pemberian klonidin melalui intravena, tetapi efek yang di mbulkan klonidin dak jauh berbeda dengan peneli an ini yang pemberian klonidinnya melalui intratekal. Hanya saja memang peneli an Zairi dkk dak bisa dibandingkan secara menyeluruh dengan peneli an ini karena pada pemberian klonidin intravena membutuhkan dosis yang lebih besar dari pada dosis untuk pemberian klonidin intratekal untuk menghasilkan efek an menggigil. Dalam hal ini Zairi dkk menggunakan klonidin 1mcg/kgbb, sementara peneli an ini menggunakan klonidin15 mcg. Dan juga cara pemberian serta waktu pemberian berbeda jauh antara peneli an Zairi dkk dengan peneli an ini. Seper yang telah disebutkan diatas, sebagai data tambahan, pada kelompok kontrol ditemui peningkatan derajat menggigil dari derajat menggigil 3 menjadi derajat menggigil 4 pada 3 orang, sementara pada kelompok klonidin derajat menggigil paling nggi yang ditemui adalah derajat menggigil 3. Pada peneli an ini, perbandingan kejadian menggigil dan derajat menggigil antara kelompok klonidin dan kelompok kontrol, menunjukkan bahwa kejadian menggigil pada kelompok klonidin jauh lebih sedikit serta derajat menggigil yang lebih ringan daripada kelompok kontrol. Dan perbedaan kejadian menggigil maupun derajat menggigil ini bermakna secara sta s k (lihat tabel 2 dan 3). Hal ini menunjukkan bahwaklonidin dapat mengurangi angka kejadian menggigil pascaanestesia spinal dari 33% -60%1,2,7,9,10,11,12 menjadi 2,25% serta dapat menurunkan derajat menggigil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Efek Samping

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 11

Klonidin Intratekal untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal I Chlonidine

Intrathecal as Prevention in Post- Spinal Anesthesia Shivering

Pada peneli an ini dak didapatkan perbedaan kejadian efek samping yang bermakna antara kelompok klonidin dan kelompok kontrol dalam hal mual muntah. Tidak mudah menganalisa kejadian mual muntah pada peneli an ini karena mual muntah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selama operasi antara lain penurunan tekanan darah secara ba- ba akibat efek anestesia spinal, maupun manipulasi dari ahli bedah. Walaupun dari pencatatan hemodinamik ditemukan perbedaan yang bermakna antara kelompok klonidin dengan kelompok kontrol dalam hal efek hemodinamik, yaitu kelompok klonidin cenderung menunjukkan tekanan darah sistolik, diastolik dan frekuensi nadi yang lebih rendah. Akan tetapi dari data peneli an efek samping mual muntah serta jumlah pemberian efedrin dak ditemukan perbedaan yang bermakna secara sta sk. Ar nya walaupun tekanan darah sistolik, diastolik dan frekuensi nadi pada kelompok klonidin cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi dak menyebabkan perbedaan kejadian mual muntah maupun pemberian efedrin. Hal ini sejalan dengan hasil peneli an Sia13, 14 Paech , Sethi71, Ogun72 dan Van Tuijl73 yang menyatakan dak ada perbedaan bermakna pada kejadian mual muntah antara kelompok klonidin dan kelompok non klonidin. Hasil peneli an ini tentang efedrin juga sesuai dengan hasil peneli an Ogun72 dan Van Tuijl73 yang menyatakan terjadi perubahan hemodinamik tetapi pemakaian efedrin dak berbeda bermakna. Hasil peneli an yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan hemodinamik pada kelompok klonidin tanpa disertai peningkatan penggunaan efedrin juga didukung oleh peneli an Joris67 yang menyatakan terjadi penurunan tekanan arteri rata rata tetapi masih dalam batas otoregulasi dan George15 serta Zairi16 yang menyatakan efek hemodinamik pada kelompok klonidin cenderung lebih rendah tetapi stabil. Dari banyaknya peneli an yang mendukung, terlihat bahwa kestabilan hemodinamik (walau cenderung lebih rendah) serta minimnya efek mual muntah merupakan keuntungan yang ditawarkan oleh klonidin. Tetapi ada satu peneli an yang menyatakan kelompok klonidin menurunkan tekanan darah lebih dari 20% sehingga memerlukan pemakaian efedrin yang lebih banyak.74 Namun ini mungkin dikarenakan penggunaan klonidin intratekal dengan dosis 30 mcg, karena baik Sia13 maupun Paech14 menyatakan makin besar dosis klonidin intratekal, makin besar efek samping yang mbul. Dan Missant74 dak melakukan perbandingan dengan dosis klonidin intratekal yang lebih kecil dari dosis 30 mcg. Walaupun begitu pada peneli an ini, kejadian mual muntah dan penggunaan efedrin masih bisa bias, karena walaupun sudah dikontrol atau diminimalisir tetapi adanya peranan dari ahli anestesilogi maupun manipulasi ahli bedah masih perlu diperhitungkan. Selain itu, efedrin berdasarkan farmakologi dasar ditemukan mempunyai efek menaikan suhu tubuh dan mengakibatkan tremor.75

Tetapi pada peneli an ini kelompok kontrol yang penggunaan efedrin justru lebih banyak daripada kelompok klonidin justru menunjukkan kecenderungan suhu membran mpani yang lebih rendah. Hal ini dapat mendukung bahwa memang klonidin yang berperan dalam membuat suhu tubuh kelompok klonidin cenderung stabil. Sementara efek tremor efedrin bisa menjadi bias dengan kejadian menggigil dikarenakan dalam peneli an ini dak menggunakan EMG untuk membedakan kejadian menggigil tersebut. Walaupun demikian pada kelompok klonidin ternyata juga banyak yang mendapat efedrin tetapi kejadian menggigilnya hanya dijumpai 2,25%. Hal ini juga bisa menjadi data pendukung yang menunjukkan bahwa klonidin sebenarnya memang mempunyai efek an menggigil. Peneli an ini seper telah disebutkan sebelumnya memang masih mempunyai beberapa keterbatasan antara lain, dak menggunakan EMG karena keterbatasan alat dan juga dak dilakukannya pencatatan terhadap ketebalan lemak tubuh karena alat yang dak tersedia dan hal ini jarang dilakukan sebagai salah satu monitor khusus untuk anestesia spinal. Pada peneli an ini juga dak dilakukan pengukuran skala nyeri maupun pencatatan regresi sensorik maupun motorik untuk melihat reaksi tambahan klonidin dalam memperpanjang efek analgesia. Hanya dicatat bahwa nyeri mulai mbul pada kelompok klonidin lebih banyak pada menit ke-60 sampai 90, sementara pada kelompok kontrol nyeri mulai mbul pada menit kurang dari 60 hampir sama banyak dengan menit ke 60-90. Reaksi tambahan klonidin yang lain berupa sedasi juga dak dicatat lebih lanjut dalam peneli an ini, karena bisa bias dengan efek pemakaian benzodiazepin. Diketahui efek sedasi klonidin berpotensiasi secara bermakna bila diberikan bersama dengan benzodiazepin. Namun secara observasi ditemukan pasien terlihat lebih tenang dan mengantuk tetapi mudah dibangunkan. Apakah hal itu dikarenakan efek sedasi klonidin, atau faktor kelelahan atau faktor hilangnya rasa nyeri setelah mendapat anestesia spinal, masih harus digali lebih dalam lagi. Masih banyak lagi hal yang dapat dikaji dan diteli dari klonidin intratekal, maka perlu dilakukan peneli an secara khusus, salah satunya untuk mengetahui efek analgesia dan efek sedasi dari klonidin dosis kecil intratekal. Pemakaian obat-obat anestesia umum seper golongan benzodiazepin seharusnya dicatat karena dapat menjadi salah faktor yang dapat menghasilkan bias pada peneli an ini. SIMPULAN Penambahan klonidin ditemukan dapat menurunkan angka kejadian menggigil pascaanestesia spinal. Kejadian menggigil pada pasien yang mendapat klonidin jauh lebih sedikit. Pada kelompok klonidin, derajat menggigil yang sering adalah derajat menggigil 2 dan derajat menggigil 3 dengan derajat menggigil ter nggi adalah derajat 3. Kelompok pasien yang mendapatkan tamba-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 12

NURUL ULFAH HAYATUNNISA

han klonidin menunjukkan penurunan angka kejadian menggigil serta derajat menggigil yang lebih ringan. Efek samping berupa mual dan muntah dak menunjukkan perbedaan bermakna secara sta s k antara kelompok pasien yang mendapatkan klonidin dengan yang dak. SARAN Klonidin 15 mcg intratekal dapat digunakan sebagai alterna f untuk mencegah mbulnya menggigil pada wanita hamil yang menjalani operasi bedah caesar dengan anestesia spinal di RSCM. Perlu peneli an mul center untuk dapat mengama dan mencatat kejadian yang mungkin terlewa dibanding apabila dilakukan hanya di satu center saja. Perlu mencari dosis op mal klonidin intratekal untuk dapat menurunkan kejadian menggigil lebih rendah. Perlu peneli an lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja klonidin sebagai an menggigil serta penyebab suhu membran mpani pada kelompok klonidin bisa lebih nggi. Perlu dilakukan peneli an lebih lanjut untuk melihat apakah dosis kecil klonidin intratekal dapat efek f menimbulkan sedasi pascaanestesia spinal. Perlu dilakukan peneli an lebih lanjut untuk melihat apakah dosis kecil klonidin intratekal dapat efek f menimbulkan pemanjangan waktu mulai mbulnya rasa nyeri pada pascaanestesia spinal.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

DAFTAR PUSTAKA 16. 1. De Wi e J., Sessler D.I. Periopera ve Shivering: Physiology and Pharmacology. Anesthesiology 2002; 96(2): 467-484 2. Buggy D.J., Crossley A.W.A. Thermoregula on, Mild Periopera ve Hypothermia and Post Anesthe c Shivering. BrJ Anaesth 2000; 84(5):615-628. 3. Roy J.D., et al. Intrathecal Meperidine Decrease Shivering During Cesarean Delivery Under Spinal Anesthesia, Anesthesia Analgesia 2004;98:230-4. 4. Sessler D.I., Mild Periopera ve Hypothermia. New England Journal of Medicine. 1997; 336(24): 173037. 5. Collins V.J. Temperature Regula on and Heat Problem. In: Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Ed.Vincent J. Collins, 1st ed. Bal more: Williams & Wilkins. 1996. P.316-344 6. Sessler D.I. Temperature Monitoring. In: Millers Anesthesia. Ed. Ronald D.Miller, 6th ed. Philadelphia: Elsevier. 2005. P. 1571-1597. 7. Kranke P., Eberhart L.H., Roewer N., Tramer M.R. Pharmacological Treatment of Postopera ve Shivering: A Quan ta ve Systema c Review of Randomized Controlled Trials. Anesthesia Analgesia. 2002; 94: 453-60. 8. Ba acharyaka Pradip K., Ba acharya L., et.al. Post Anesthesia Shivering (PAS): A Review, Indian J. Anaesth, 2003; 47(2): 88-93 9. Kelsaka E., Baris S., Karakaya D., Sarhasan B. Com-

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23. 24.

parison of ondansetron and meperidine for prevenon of shivering in pa ents undergoing spinal anesthesia. Reg Anesth Pain Med 2006; 1: 405 Roy Jean Dennis, et.al Intrathecal Meperidine Decrease Shivering During Cesarean Delivery Under Spinal Anesthesia, Anesth Analg 2004; 98:230-4 Sagir O., Gulhas N., Toprak H., Yucel A., Begec Z., Ersoy O.. Control of shivering during regional anaesthesia: prophylac c ketamine and granisetron. Acta Anaesthesiol Scand 2007; 51(1): 449 Honarmand A., Safavi M.R., Comparison of prophylac c use of midazolam, ketamine, and ketamine plus midazolam for preven on of shivering during regional anaesthesia: a randomized double-blind placebo controlled trial, Br.J. Anaesth, 2008.101(4): 557-56247 Sia A.T.H. Op mal dose of intrathecal clonidine added to sufentanil plus bupivacaine for labour, Can J Anesth 2000,47:9,pp 875-880 Paech Michael J., et al. A Randomized, DoubleBlinded Trial of Subarachnoid Bupivacaine and Fentanyl, With or Without Clonidine, for Combined Spinal/Epidural Analgesia During Labor. Anesth Analg 2002;95:13961401 George Y.W.H., Thaib H.M. Roesli, Harijanto Eddy. Perbandingan Keefek fan Antara Klonidin dengan Pethidin Untuk Pencegahan Menggigil Pasca Anestesia DenganTeknikN2O/O2/enuran. Dalam tesis di FKUI-RSCM, 1999. Samsyuzairi, Harijanto Eddy, Nizar R. Perbandingan Keefek fan Antara Meperidin dan Klonidin Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pada Analgesia Spinal, dalam tesis di FKUI-RSCM,2002 Thaib M. Roesli, Eects of Subarachnoid Clonidine On Spinal Anaesthesia With Hyperbaric Bupivacain. Medical Journal of the University of Indonesia 1994; Vol 3, No.1 M. Tuty Hendrarwarda dkk, Perbandingan Penambahan Klonidin atau Epinefrin pada Analgesia Subaraknoid Menggunakan Lidokain 5% Hiperbarik. Dalam tesis di FKUI-RSCM, 1994 Nugroho Alfan M., Pencegahan Menggigil Pasca Anestesia Spinal Pada Pasien Seksio Sesaria Dengan Pemberian Pethidin Intratekal 0.2 mg/kg bb. Dalam tesis di FKUI-RSCM, 2007 Macintyre P.E., Pavlin E.G., Johen F.D. Eect of Pethdine on Oxygen Consump on, Carbondioxyde Producon and Respiratory Gas Exchange in Postanesthesia Shivering. Anesthesia analgesia. 1987; 66;751-5 Kurz A., Sesler D.I., Et al. Thermoregulatory respon thresholds during spinal anesthesia. Anesthsia Analgesia 1994, 77;721-6. Sessler D.I. Post Anesthe c Shivering. Dalam Miller RD, penyun ng. Anesthesi a ed. IV. New York; Churchil Livingstone Inc. 1994; p. 1363-82. Sessler D.I., Ponte J. Shivering during epidural anesthesia, Anesthesiology 1990;72;816-21. Sessler D.I. Consequences of mild intraopera ve hy-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 13

Klonidin Intratekal untuk Pencegahan Menggigil Pasca-Anestesia Spinal I Chlonidine

Intrathecal as Prevention in Post- Spinal Anesthesia Shivering

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

pothermia. In: Kirby RR editor, Anesthesia 5th ed. New York:Churchill Livingstone Inc; 2000; p1372-78 Leslie K. Reduc on in the Shivering Treshold Proporonal to Spinal Block Height. Anesthesiology 1996; 84(6) : 1327-1331 Chaeli F., Mac Donald I. A. Periopera ve in advertent hypothermia: What do we need to prevent? Birth- JAnesth. 1996,76(5);601-348 Kirby R.R., Gravenstein N. Post opera ve hypothermia. In: Kirby Gravenstein, editor. Clinical anesthesia prac ce. Philadelphia : WB Saunders Co; 1994.p. 100-2. Ganong W.F. Pengaturan sentral Fungsi Visera. Dalam buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Revisi of medical physiology) ed.17. ECG 1998; 14;242-250 Konrad R., Schwarzko G., et al. A Comparison between pethidine, clonidine I and urapidil in treatment of post anesthesia shivering. Anesthesia Analgesia. 2001,92;257-60 Flacke J.W., Flacke W.E. Impaired thermomoregulaon and periopera ve hypothermia in elderly. In: Felts JA ed. Clinics in Anesthesiology. WB Saunders Co. 1986;3:859-73 Bruck K. Thermal balance and regula on of body temperature. In schmidt RF, Thes G, eds. Human physiology Springer verlag, Berlin, 1989;25: 625-42 Stoel ng R.K. Central nervous system. Dalam Stoelting RK, penyun ng Pharmacology and Physiology in anesthe c prac ce. Edisi ke II. J.B.Livinscot company 11991,612-642. Wrench I.J., Singh P., Dennis A.R., Mahajan R.P., Crossley A.W.A. The minimum eec ve doses of pethidine and doxapram in treatment of post anasthe c shivering. Anasthesia 1997; 52: 32-6 Guyton A.C., Hall J.E. Suhu tubuh, pengaturan suhu dan demem. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology) ed 9 terjemahan EGC, 1996,73: 1143-55 Sherwood L. Pengaturan suhu dalam : Sherwood L, editor Fisiologi manusia dari sel ke sistem, ed.2; 1996.p.596-606. Frank S.M., Bea e C. Epidural versus General Anesthesia Ambient Opera ng Room Temperature, and pa ent Age as Predictor of Inadvertent Hypothermia. Anesthesiology 1992; 77(2): 252-257 Just B., Trevien V., Delva E. Preven on of Intraopera ve Hypothermia by pre opera ve Skin Surface Warming. Anesthesiology 1993; 79(2) : 214-218 Kogsayreepong S., Et al. Predictor of core Hypothermia and The Surgical Intensive Care Unit. Anesthesia analgesia 2003; 96(4): 826-833 Frank S.M., et al. Predictor of Hypothermia during Spinal Anesthesia. Anesthesiology 2000;92(5) : 13301334. Flacke W.E., Flacke J.W. Temperature: homeostasis and uninten onal hyppothermia. In: Gravenstein N, Kirby, editor. Complica on in anesthesiology. 2ed e. Philadelphia: Lippincot-Raven; 196.p.117-30.

41. Workhoven M.N. Intravenous uid temperature, shivering and the parturient. Anasthesia analgesia 1986, 65; 496-8.49 42. Arkilic C.F., Akca O., et al. Temperature monitoring and management during neuroaxial anesthesia;an Observa on study. Anesthesia analgesia. 2000,91;6626. 43. Sessler D.I., Todd M.M. Periopera ve Heat Balance. Anesthesiology 2000;92(2):578 44. Sessler D.I., Rubinstein E.H., Moayeri A. Physiologic respon to mild perianethe c hypothermia in humans. Anesthesiology 1991, 75: 594-610. 45. El-gamal N., et al. Age Related Thermoregulatory Differences in a Warm Opera ng Room Environment (Approximately 26C). Anesthesia Analgesia. 2000; 90 : 694-8. 46. Kashimoto S., et al. Compara ve Eect of Ringer Acetate and Lactate Solu ons on Intraopera ve Central and Peripheral temperatures. Journal of Clinical Anesthesia. 1998; 10:23-27. 47. Kurz A., Sessler D.I. Morphometric Inuences on Intraopera ve Core Temperature Changes. Anesthesia Analgesia. 1995; 80 : 562-7. 48. Pauca A.L., Savage R.T., Simson S., Roy R.C. Eect of pethidine, fentanyl and morphine on post-opera ve shivering in man. Acta Anesthesiologica Scandinavica 1984; 28: 138-43. 49. Ozaki M., Kurz A., Sessler D.I., et al, Thermoregulatory Threshold during Epidural and Spinal Anesthesia, Anesthesiology. 1994; 81: 282-288. 50. Wrench I.J., Singh P., Dennis A.R., Mahajan R.P., Crossley A.W.A. The minimum eec ve doses of pethidine and doxapram in treatment of post anasthe c shivering. Anasthesia 1997; 52: 32-6 51. Kurz M., Belani K.G., Sessler D.I., Kurz A., Larson M.D., Marc S., et.al Naloxone, pethidine and shivering. Anesthesiology 1993; 79: 1193-1201 52. Thaib M. Roesli. Penggunaan Klonidin Dalam Klinik Anestesia dalam: Seri Penyegar Anestesiologi 1 ed. Thaib M.Roesli, PP IDSAI, 1994 53. PT.Boehringer Ingelheim. Informasi produk. Catapres injeksi, clonidine hydrochloride; 1994 54. Scheinin M., Schwinn D. The locus ceruleus: site of hypno c ac ons of alpha-2 adrenoreceptor agonist? Anesthesiology 1992; 76:873-875 55. Redmon D.E.Jr., Huang Y.H. The primate locus ceruleus and eects of clonidine on opiate withdrawal. J. Clin Psychiatri, 1982; 43:25-29. 56. Wikimedia Fonda on Inc. Clonidine. Last update 8 Juni 2010 h p://en.wikipedia.org/wiki/ clonidine 57. Riley David, emedicine from WebMD. Toxicity, Clonidine. last update 24 Maret 2009 h p://emedicine. medscape.com/ar cle/819776-overview 8 Jan 200750 58. American Society of Health-System Pharmacists. www.ahfsdruginforma on.com or www.medicinescomplete.com/mc/ahfs/2009/a382243.htm 59. RxList.Inc, The Internet drug index, Last update

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 14

NURUL ULFAH HAYATUNNISA

60.

61.

62.

63.

64.

65.

66.

67.

68.

69.

70.

71.

72.

73.

74.

29 April 2010. h p://www.rxlist.com/catapresdrug.htm Castro MI, Eisenach JC, Pharmacokine cs and dynamics of intravenous, intrathecal and epidural clonidine in sheep. Anesthesiology 1989; 71:418-425 Eisenach J., Detweiler D., Hood D. Hemodynamic and analgesic ac ons of epidurally administered clonidine. Anesthesiology 1993; 78:277-287 Glynn C.J., Jamous M.A., Teddy P.J., Cerebrospinal uid kine cs of epidural clonidine in man. Pain 1992;49:361-367 Gordh T. Jr. Epidural clonidine for treatment of postopera ve pain a er thoracotomy. A double= blind placebo controlled study. Acta Anaesthesiol Scan 1988;32:702-709. Nicolau G., Chen A.A., Johnston C.E., Kenny G.P. Clonidine decreases vasoconstric on and shivering thresholds, without aec ng the swea ng thresholds. Can J Anaesth 1997; 446:636-42 Donald B., Patrick H., Ciaran M. Clonidine at inducon reduces shivering a er general anesthesia. Can J Anaesth 1997; 44:3:263-267 Delaunay L., Bonnet F., Liu N., Beydon L., Catoire P., Sessler D. Clonidine comparably decreases the termoregulatory thresholds for vasoconstric on and shivering in humans. Anaesthesiology 1993;79:470-4 Joris J., Banache M., Bonnet F., Sessler D.I., Lamy M. Clonidine and ketanserin both are eec ve treatment for postanesthe c shivering. Anaesthesiology 1993;79:532-9 Hossman V., Moling T.J.R., Hamilton C.Z., Reid J.L., Dollery C.T. Seda ve and cardiovascular eects of clonidine and nitrazepam, Clin Pharmacol Ther 28:167-176, 1980. Crosky A.W.A., Mahajani R.P. The Intensity of Post Opera ve Shivering is related to axylary temperature. Anesthesia 1994;49:205-207. Jeon Y.T., Jeon Y. S., Kim Y.C., Bahk J.H., Do S.H., Lim Y.J. Intrathecal clonidine does not reduce postspinal shivering. Acta Anesthesiology Scandinavia, 2005;49(10):1509-1513. Sethi B.S., Samuel Mary, Sreevastava Deepak. Efcacy of Analgesic Eects of Low Dose Intratechal Clonidine as Adjuvant to Bupivacaine. Indian Journal of Anaesthesia, 2007;51 (5):415-41951 Ogun Ceile O., Kirgiz E.N., Duman A., Kara I., Okesli S. The Comparison of Intrathecal Isobaric RopivacaineClonidine For Caesarean Delivery. The Internet Journal of Anesthesiology.2008;15(1). h p://www.ispub.com/os a/index.php?xmlFilePath= journal/ija/ vol15n1/intratechal.xml Van Tuijl I., Van Klei W.A., Van der Wer B.M., Kalkman C.J. The Eect of addi on of intrathecal clonidine to hyperbaric bupivacaine on postopera ve pain and morphine requirements a er Caesarean sec on: a randomized controlled trial. Bri sh Journal of Anaesthesia. 2006;97(3):365-70. Missant C., Teunkens A., Vandermeersch E., Van de

Veld M. Intrathecal clonidine prolongs labour analgesia but worsens fetal outcome: a pilot study. Can J Anaesth. 2004;51(7):696-701. 75. Wikipedia Fonda on Inc. Ephedrine. Last update 9 Juni 2010 h p://en.wikipedia.org/wiki/ Ephedrine52.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 15

Вам также может понравиться