Вы находитесь на странице: 1из 65

ANALISIS JURNAL ASUHAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA, MENOPAUSE DAN KASUS ASUHAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA,

MENOPAUSE Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan

Disusun oleh : Kelompok 7 Viga Dwi Fatra Bonita Martha Diana Shafiah Ferstia Fatmahmurnihati Husnul Khotimah Febri Annisa Nuurjanah

PROGRAM D4 KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat illahi rabbi, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Analisis Jurnal Asuhan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, Menopause Dan Kasus Asuhan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, Menopause. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan. Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu penulis mohon bantuan dari para pembaca. Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.

Bandung, November 2012

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1 Latar Belakang................................................................................................1 1.2 Tujuan .............................................................................................................3 1.3 Metode Penulisan ...........................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4 2.1 Kesehatan Reproduksi Remaja .......................................................................4 2.1.1 Permasalahan Kesehatan Reproduksi Remaja .......................................5 2.1.2 Hak Reproduksi Remaja ........................................................................7 2.1.3 Pengetahuan Dasar Yang Perlu Diberikan Pada Remaja .......................9 2.1.4 Perkembangan Psikososial ...................................................................11 2.1.5 Program Kesehatan Reproduksi ...........................................................13 2.1.6 Penanggulangan Masalah Remaja........................................................15 2.2 Menopause ....................................................................................................16 2.2.1 Definisi .................................................................................................16 2.2.2 Tanda Dan Gejala .................................................................................17 2.2.3 Tahapan Menopause.............................................................................17 2.2.4 Perubahan Pada Wanita Menopause ....................................................18 2.2.5 Dampak Kesehatan Fisik Dan Psikis ...................................................19 2.2.5.1 Keluhan Fisik ...........................................................................19 2.2.5.2 Keluhan Psikis..........................................................................21 2.2.6 Upaya Menangani Menopause .............................................................22 2.2.7 Pengobatan Menopause ........................................................................23 2.2.8 Asuhan Pada Wanita Menopause .........................................................27 2.2.9 Konseling Menopause ..........................................................................27 BAB III JURNAL KASUS DAN PEMBAHASAN ...........................................29 3.1 Kasus Kesehatan Reproduksi Remaja ...........................................................29 3.2 Pembahasan Kasus Kesehatan Reproduksi Remaja......................................29

3.3 Kasus Menopause..........................................................................................41 3.4 Pembahasan Kasus Menopause.....................................................................41 3.5 Kaitan Dengan 4 Aspek ................................................................................49 BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................58 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................59 LAMPIRAN JURNAL

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masa remaja menurut World Health Organitation (WHO) merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa; berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun. Masa remaja terdiri pada masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja, (14-17 tahun). Pada masa remaja, banyak terjadi perubahan biologis, psikologis, maupun sosial.Tetapi umumnya proses pematangan fisik terjadi lebih cepat dari proses pematangan kejiwaan (Psikososial) (Huang et al., 2007). Seorang anak remaja tidak lagi didapat sebagai anak kecil, tetapi belum juga dianggap sebagai orang dewasa. Disatu sisi ia ingin bebas dan mandiri, lepas dari pengaruh orang tua, disisi lain pada dasarnya ia tetap membutuhkan bantuan, dukungan perlindungan orang tuanya (Guzmdn et al., 2004). Orang tua sering tidak mengetahui atau memahami perubahan yang terjadi sehingga tidak menyadari bahwa anak mereka telah tumbuh menjadi seorang remaja, bukan lagi anak yang selalu dibantu (Fellinge et al., 2009). Orang tua menjadi bingung menghadapi labilitas emosi dan perilaku remaja, sehingga tidak jarang terjadi konflik diantara keduanya. Adanya konflik yang berlarut-larut merupakan stresor bagi remaja yang dapat menimbulkan berbagai pemasalahan yang komplek baik fisik,

psikologik maupun sosial termasuk pendidikan. Kondisi seperti ini apabila tidak segera di atasi dapat berlanjut sampai dewasa dan dapat berkembang ke arah yang lebih negatif. Antara lain dapat ditimbulkan gangguan masalah maupun pada

kejiwaan dari yang ringan sampai berat. Apalagi

kenyataannya perhatian masyarakat lebih terfokus pada upaya meningkatkan kesehatan fi sik semata, kurang memperhatikan faktor non fisik (intelektual, mental emosional dan psikososial). Padahal faktor tersebut merupakan penentu dalam keberhasilan seorang remaja di kemudian hari (Lilian et al., 2008).

Menurut WHO masa remaja dalah usia 10 19 tahun. Pada fase tersebut terjadi perubahan yang amat pesat baik dalam fase biologis dan hormonal, maupun bidang psikologis dan sosial. Dalam proses dinamika ini dapat dikemukakan ciri remaja yang normal adalah sebagai berikut: 1) Tidak terdapat gangguan jiwa (psikopatologi) yang jelas atau sakit fisik yang parah, 2) Dapat menerima perubahan yang dialami, baik fisik maupun mental dan sosial, 3) Mampu mengekpresikan perasaanya dengan luwes serta mencari penyelesaian terhadap masalahanya, 4) Remaja mampu mengendalikan diri sehingga dapat membina hubungan yang baik dengan orang tua, guru, saudara, dan teman-temannya, 5) Merasa menjadi bagian dari satu lingkungan tertentu dan mampu memainkan perannya dalam lingkungan tersebut.1 Remaja selama masa pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan perhatian dan pengawasan yang baik terkait dengan permasalahan kesehatan reproduksi. Kemudahan akses informasi, memungkinkan remaja untuk berperilaku bebas dan menyimpang. Pengaruh informasi global (seperti paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses oleh remaja akan menstimulasi remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan yang tidak sehat seperti merokok, minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat, perkelahian antar remaja atau tawuran (Iskandar, 1997). Kebiasaan-kebiasaan tersebut secara kumulatif akan mempercepat usia awal seksual aktif remaja serta mengantarkan remaja pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi. Hal ini dikarenakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, sehingga memerlukan pembinaan dari berbagai pihak termasuk bidang kesehatan.2 Jika perubahan yang dialami oleh remaja tidak ditangani dengan baik, akan berakibat buruk terhadap kesehatan reproduksi dari remaja itu sendiri. Selain masalah pada remaja, masalah yang terjadi pada saat menopause juga perlu diperhatikan. Secara umur, orang yang mengalami menopause memiliki umur yang lebih mapan dan memiliki pengalaman hidup yang lebih banyak. Akan tetapi, kurangnya pengetahuan tentang pelayanan kesehatan reproduksi

menopause pun menjadi salah satu faktor kurangnya tingkat kesadaran tentang kesehatan reproduksi menopause. Di dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut tentang Asuhan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja.

1.2 Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dalam pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui dan mengerti tentang Analisis Jurnal Asuhan Pelayanan Kesehatan Remaja, Menopause dan Kasus Asuhan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, Menopause Tujuan Khusus Tujuan Khusus dari pembuatan makalah ini adalah agar: 1. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang Tinjauan Teori Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja. 2. Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang Tinjauan Teori Tentang Menopause 3. Mahasiswa dapat menganalisis Jurnal Kasus Kesehatan Reproduksi Remaja dan Diakaitkan Dengan 4 Aspek. 4. Mahasiswa dapat menganalisis Jurnal Kasus Menopause dan Dikaitkan Dengan 4 Aspek.

1.3 Metode Penulisan Metode penulisan yang kami gunakan adalah studi pustaka atau literature dari buku yang kami ambil untuk sumber informasi terbaru, selain itu kami juga menggunakan Prana Luar dimana kami menggunakan internet untuk searching dan browshing yang berhubungan dengan tugas Asuhan Kebidanan yang berjudul Analisa Jurnal Asuhan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, Menopause Dan Kasus Asuhan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, Menopause.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesehatan Reproduksi Remaja Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat di sini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan, namun juga sehat secara mental dan sosial budaya. Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan infomasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksi. Pengetahuan dasar yang perlu diberikan kepada remaja agar mereka mempunyai kesehatan reproduksi yang baik adalah sebgai berikut : Pengenalan mengenai sistem, proses, dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja). Perlunya remaja mendewasakan usia menikah serta bagaimana

merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginan dirinya dan pasangan. Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi. Bahaya narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) juga minuman keras (miras) pada kesehatan reproduksi. Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya. Kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif. Hak-hak reproduksi.3 Remaja merupakan masa peralihan masa anak-anak ke masa dewasa. Perubahan tingkat kedewasaan remaja tidak terlepas dari fungsi reproduksi, yang mana kesehatan reproduksi merupakan bagian dari fungsi reproduksi itu

sendiri. Perilaku kesehatan reproduksi remaja (KRR) saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Hasil sebuah studi menyatakan bahwa lebih dari 500 juta remaja usia 10-14 tahun hidup di negara berkembang, rata-rata pernah melakukan hubungan suami isteri (intercourse) pertama kali di bawah usia 15 tahun (Sedlock, 2000; US Bureau of The Cencus, 1998). Data lain menunjukkan bahwa kurang lebih 60% kehamilan yang terjadi pada remaja di negara berkembang adalah tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) serta kurang dari 111 juta kasus infeksi menular seksual diderita oleh kelompok usia di bawah 25 tahun (WHO/UNFPA/UNICEF, 1999). Setiap 5 menit remaja di bawah usia 25 tahun terinfeksi HIV (Annual Report 2001, IPPF). Program antisipasi peningkatan masalah kesehatan reproduksi remaja menjadi sangat penting mengingat sampai tahun 2000, penduduk berusia remaja meningkat menjadi sekitar 43,65 juta orang. Selain itu, visi Departemen Kesehatan tentang Pola Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja belum memberikan hasil yang memuaskan, komitmen Pemerintah pada International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo tahun 1994 tidak berjalan sistematis dan menyeluruh, cenderung terdapat peningkatan masalah kesehatan reproduksi remaja. Oleh karena itu target pelayanan kesehatan reproduksi remaja Indonesia Sehat tahun 2010 yaitu menurunkan prevalensi permasalahan remaja menjadi diragukan.4 2.1.1 Permasalahan Kesehatan Reproduksi Remaja Remaja dalam masa perkembangannya terjadi perubahan, baik secara biologis, psikologis maupun sosial, yang umumnya pematangan fisik terjadi lebih cepat dari proses pematangan kejiwaan atau psikososial (Depkes RI, 2000). Perubahan alamiah dalam diri remaja sering berdampak pada permasalahan remaja yang cukup serius. Triswan (2007) mengemukakan perilaku remaja saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya kasuskasus seperti aborsi, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS di kelompok remaja.

Di Indonesia setiap bulannya kira-kira 15 juta remaja yang berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta remaja melakukan aborsi dan hampir 100 juta terinfeksi PMS yang dapat disembuhkan terjadi pada remaja. Hasil pengkajian komunitas di 11 RW (RW 01 sampai dengan RW 11) di Kelurahan Tugu Tahun 2010 melalui 96 angket tentang kesehatan reproduksi menunjukkan hasil perilaku remaja dalam pacaran 30,2% remaja melakukan pegangan tangan, 15,6% remaja melakukan pelukan dengan tangan di luar baju, 5,2% remaja melakukan pelukan dengan tangan di dalam baju, 9,4% remaja sudah bercumbu bibir, 6,3% remaja sudah meraba-raba dalam pacaran, 1% remaja sudah melakukan petting, dan 2,1% remaja melakukan hubungan badan 1 kali sebulan. Perilaku seksual menunjukkan: 10,4% remaja melakukan onani 1 kali sebulan, 8,3% remaja melakukan masturbasi 1 kali sebulan, 20,8% remaja mengkhayal fantasi seksual 1 kali sebulan, 13,5% remaja menggunakan media fantasi seksual 1 kali sebulan, 15,6% pengetahuan perilaku seksual remaja kurang, 6,3% sikap perilaku seksual remaja kurang, dan 94,8% perilaku seksual remaja kurang.2 Permasalahan yang banyak dihadapi para remaja adalah permasalahan kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi sendiri dapat diartikan sebagai suatu kondisi sehat yang bukan saja bebas dari penyakit atau kecacatan, namun sehat baik secara mental maupun sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Angka kejadian remaja melakukan hubungan seksual sebelum menikah, kehamilan yang tidak diharapkan, angka pengguna narkoba, angka pengidap PMS/HIV-AIDS, serta kasus-kasus aborsi di kalangan remaja menunjukan gejala yang cukup mengkahawatirkan. Berikut ini merupakan penyebab terjadinya hal-hal tersebut. Berdasarkan hasil survey dasar yang dilakukan oleh BKKBN Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa 83% remaja tidak tahu tentang konsep kesehatan reproduksi yang benar, 61,8% tidak tahu

persoalan di sekitar masa subur dan masalah haid, 40,6% tidak tahu risiko kehamilan remaja, dan 42,4% tidak tahu tentang risiko PMS. Remaja tidak memperoleh infomasi yang cukup dan benar tentang kesehatan reproduksi. Penelaahan terhadap 35 penelitian yang dilakukan di Negara maju dan berkembang menyimpulkan, pendidikan seksual berbasis sekolah tidak menyebabkan terjadinya hubungan seksual lebih dini, juga tidak menyebabkan bertambahnya kegiatan seksual remaja. Sebaliknya justru berdampak pada penundaan kegiatan seksual dini. Remaja belum menyentuh pelayanan kesehatan reproduksi (informasi, konseling, pelayanan medis) karena terhambat oleh beberapa faktor seperti belum tersedianya pelayanan kondisi geografis, ekonomis, dan psikologis, petugas yang akrab dengan remaja dan kurangnya informasi tempat pelayanan. Hasil survey menunjukan bahwa 97,2% remaja menyatakan butuh pusat konsultasi kesehatan remaja dan 65,3% mereka mengharapkan pusat konsultasi berada juga di desa.3 2.1.2 Hak Reproduksi Remaja Hak remaja atas kesehatan reproduksi ini mulai diakui secara Internasional pada konsekuensi hak-hak anak pada tahun 1989 dan kemudian dilanjutkan pembahasanya sebagai bagian dari ICPD yang diadakan lima tahun kemudian. Sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994, maka hak-hak reproduksi meliputi : 1. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi 2. Hak mendapat pelayanan dan kesehatan reproduksi 3. Hak untuk kebebasan berfikir dan membuat keputusan tentang kesehatan reproduksinya 4. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak 5. Hak untuk hidup dan terbebas dari risiko kematian karena kehamilan, kelahiran dan masalah jender

6. Hak atas kebebasan dan pelayanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi 7. Hak untuk bebas dari penganiayan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi 8. Hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi 9. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan dalam reproduksisnya 10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga 11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam berpolitik yang bernuansa kesehatan reproduksi 12. Hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan reproduksi Sebagai tindak lanjut, hak reproduksi remaja di bahas sangat mendalam pada International Youth Forum yang diadakan di Den Haag, Negeri Belanda. bulan Febuari 1999 dan diikuti oleh 132 peserta remaja dari seluruh dunia. Forum ini secara khusus menekankan perlunya keikutsertaan remaja dalam seluruh kebijakan politis yang

mempengaruhi kehidupan mereka. Bagi remaja hak reproduksi yang harus dipahami adalah : Akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. mengingat di banyak negara kesehatan reproduksi diprioritaskan bagi pasangan suami istri sedangkan remaja kurang mendapatkan perhatian. Oleh karena itu remaja mempunyai hak atas pelayanan kesehatan reproduksi yang tidak menghakimi, rahasia menyeluruh serta mudah diakses bagi seluruh rahasia dan semua golongan. Hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa ada diskrminasi jender. Remaja berhak untuk memperoleh informasi atas kesehatan reproduksinya, baik dari pendidikan formal maupun non formal. Perkawinan hanya dapat dilakukan oleh dua orang yang secara sadar memang mengiginkannya, dan bebas dari paksaan pihak lain. Oleh

karena

itu

pernikahan

dini

yang

berdampak

buruk

bagi

perkembangan remaja terutama remaja perempuan, dalam hal pendidikan, kemandirian ekonomi serta kesehatan fisik maupun psikis harus dihapuskan. Kelahiran dan kontrasepsi, mengingat secara fisik maupun psikologis remaja belum cukup matang untuk melahirkan. Kelahiran di kalangan remaja mengakibatkan tingginya angka kematian ibu melahirkan. Oleh karena itu remaja, mempunyai hak untuk mendapatkan akses informasi dan pelayanan kontrasepsi dan pelayanan pra dan pasca melahirkan bagi remaja tanpa memandang status perkawinan. Sehubungan adanya tingkat kematian yang tinggi karena aborsi yang tidak aman, dalam hal KTD yang membahayakan kehidupan remaja, maka remaja berhak untuk terhindar dari risiko ini dan mendapatkan akses terhadap pelayanan yang aman. Infeksi menular seksual. Remaja putri lebih rentan terhadap infeksi menular seksual, sehubungan dengan adanya faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, seperti adanya kekerasan dan eksploitasi seksual, kurangnya pendidikan termasuk pendidikan seksual dan kurangnya akses terhadap kontrasepsi dan pelayanan kesehatan reproduksi. Kekerasan seksual, remaja berhak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari ketakutan dan ancaman kekerasan seksual yang dilakukan baik oleh sesama remaja sendiri maupun oleh orang dewasa.5 2.1.3 Pengetahuan Dasar Yang Perlu Diberikan Kepada Remaja

Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja)

Mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginannya dan pasangannya

Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi

Bahaya penggunaan obat obatan/narkoba pada kesehatan yreproduksi Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif

Hak-hak reproduksi

2.1.4 Perkembangan Psikososial

2.1.5 Program Kesehatan Reproduksi Remaja Program kesehatan reproduksi remaja sebagai suatu program kesehatan dalam suatu organisasi juga akan dipengaruhi oleh lingkungan luar yang kemungkinan akan berdampak negatif terhadap perkembangan organisasi dalam mencapai tujuannya. Faktor dari lingkungan luar organisasi tersebut, kemungkinan akan memiliki dampak negatif dan cenderung menjadi penghambat untuk pengembangan pembinaan kesehatan remaja khususnya kesehatan reproduksi yaitu: 1) Sebagian besar masyarakat dan keluarga di Indonesia belum memiliki kesadaran yang baik tentang pentingnya kesehatan reproduksi remaja. Hal ini dikarenakan nilai dan budaya keluarga dan masyarakat yang masih mengganggap tabu dan malu untuk membicarakan kesehatan reproduksi pada anaknya; 2) Era globalisasi dengan informasi komunikasi dan teknologi yang besar baik melalui media cetak maupun elektronik akan sangat diikuti dengan kemudahan para remaja dalam mengakses sumber informasi apapun yang remaja yang inginkan termasuk informasi kesehatan reproduksi. Hal ini belum tentu diimbangi dengan program

selektifitas yang dibutuhkan bagi remaja sesuai dengan nilai dan budaya yang ada di keluarga dan masyarakat; 3) Isu dan tren penyakit secara umum adalah IMS, HIV/AIDS, merokok dan penggunaan NAPZA banyak beredar di kehidupan remaja.

Gambar 1. Diagram fish bone tentang masalah manajemen pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja Rumusan Masalah Manajemen Pelayanan Keperawatan Komunitas Analisis fish bone tentang manajemen pelayanan kesehatan remaja khususnya kesehatan reproduksi remaja berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa masalah masalah manajemen pelayanan keperawatan komunitas pada aggregate remaja dengan kesehatan reproduksi. Masalah manajemen yang teridentifikasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Belum optimalnya PKPR yang terbentuk berhubungan dengan motivasi sekolah untuk melaksanakan PKPR masih rendah. 2. Belum adanya pengarahan dan bimbingan dalam supervisi ke tingkat sekolah dalam PKPR berhubungan dengan pengelola program

remaja memiliki beban kerja tambahan program lainnya dan belum adanya anggaran untuk kegiatan tersebut. 3. Belum ada perencanaan screening risiko remaja masalah kesehatan reproduksi berhubungan dengan belum ada format untuk deteksi dini tumbang kesehatan reproduksi remaja. 4. Peer conselor dan peer educator yang terbentuk tidak dapat melanjutkan kegiatan program PKPR secara mandiri berhubungan dengan SDM peer conselor dalam PKPR kurang, dan tidak ada pedoman bagi peer educator dan peer conselor dalam melakukan PKPR mandiri. 5. Belum terkoordinasinya kegiatan PKPR di sekolah dan masyarakat berhubungan dengan alur komunikasi tidak berjalan efektif, keterlibatan orang tua atau masyarakat tidak ada, dan rapat koordinasi antara dinas kesehatan, puskesmas, kelurahan dan sekolah belum dilakukan terkait dengan pelaksanaan program PKPR yang dilakukan di sekolah. 6. Kegiatan pembinaan kesehatan remaja khususnya kesehatan

reproduksi belum menjadi fokus utama arah kebijakan bidang kesehatan dalam renstra 2006-2010 Dinas Kesehatan Depok berhubungan dengan tidak ada indikator jangka pendek dan jangka panjang program PKPR dan kurangnya kerjasama dengan lintas sektor dan lintas program pada pelaksanaan PKPR.2 2.1.5 Penanggulangan Masalah Remaja Penanggulangan masalah remaja perlu pendekatan khusus, agar remaja dapat menceritakan masalah yang dihadapi. Selama ini peranan teman sepergaulan sangat mendukung terjadinya perubahan pada diri mereka. Teman yang salah akan menjadikan remaja yang sedang berada dalam tahap perkembangan menjadi salah pula. Oleh karena itu penanggulangan dengan memperbaiki teman sepergaulan menjadi sangat penting.4

2.2 Menopause 2.2.1 Definisi Menopause berasal dari dua kata men=haid dan pause=berhenti, yaitu suatu kurun waktu (masa) bagi wanita untuk mendapatkan haidnya yang terakhir. Bagi sebagian besar wanita menopause ini terjadi diantara usia 45-55 tahun akan tetapi kadang-kadang, meski jarang , dapat terjadi secara dini yaitu pada usia sekitar 30 tahun. Bagaimanapun juga, berhentinya menstruasi merupakan salah satu tanda dari sekelompok gejala-gejala yang terjadi pada tubuh wanita pada saat saat sebelum dan sesudah menopause.6 Menopause merupakan suatu bagian dari proses penuaan pada wanita, termasuk penuaan sistem reproduksi yang menyebabkan seorang wanita tidak lagi mendapat haid.7 Penurunan kadar Estrogen, menyebabkan periode menstruasi yang tidak teratur, dan ini dapat dijadikan petunjuk terjadinya menopause. Ada tiga periode menopause, yaitu : 1. Klimakterium, yaitu merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium. Biasanya masa ini disebut juga dengan pramenopause, antara usia 40 tahun, ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur, dengan perdarahan haid yang memanjang dan relative banyak. 2. Menopause, yaitu saat haid terakhir atau berhentinya menstruasi, dan bila sesudah menopause disebut pasca menopause bila telah mengalami menopause 12 bulan sampai menuju ke senium, umumnya terjadi pada usia 50 tahun-an. 3. Senium adalah periode sesudah pasca menopause, yaitu ketika individu telah mampu menyesuaikan dengan kondisinya, sehingga tidak mengalami gangguan fisik, antara usia 65 tahun.6

2.2.2 Tanda Dan Gejala Menopause merupakan tahap yang normal dalam kehidupan. Dampaknya pada kesehatan baru mulai terlihat ketika angka harapan hidup wanita meningkat pesat di atas dekade ke-6. Secara fungsional, menopause dapat dianggap sebagai sindrom kehilangan estrogen. Keadaan ini diketahui dengan berhentinya menstruasi dan pada mayoritas wanita, timbul tanda dan gejala seperti hot flushes (rasa panas), insomnia, atrofi vagina, pengecilan payudara, dan penurunan elastisitas kulit.8 2.2.3 Tahapan Menopause 1. Pramenopause Fase pramenopause adalah fase antara usia 40 tahun dan dimulainya fase klimakterium. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur, dengan perdarahan haid yang memanjang dan jumlah darah haid yang relatif banyak, dan kadang-kadang disertai nyeri haid (dismenorea). Pada wanita tertentu telah timbul keluhan vasomotorik dan keluhan sindrom prahaid atau sindrom pramenstrual (PMS). Perubahan endokrinologik yang terjadi adalah berupa fase folikular yang memendek, kadar estrogen yang tinggi, kadar FSH juga biasanya tinggi, tetapi dapat juga ditemukan kadar FSH yang normal. Fase luteal tetap stabil. Akibat kadar FSH yang tinggi ini dapat terjadi perangsangan ovarium yang berlebihan (hiperstimulasi) sehingga kadang-kadang dijumpai kadar estrogen yang sangat tinggi. 2. Perimenopause Perimenopause merupakan fase peralihan antara pramenopause dan pascamenopause. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur. Pada kebanyakan wanita siklus haidnya >38 hari, dan sisanya <18 hari. Sebanyak 40% wanita siklus haidnya anovulatorik. Meskipun terjadi ovulasi, kadar progesteron tetap rendah sedangkan kadar FSH, LH, dan estrogen sangat bervariasi.

3. Menopause Pada fase ini jumlah folikel yang mengalami atresia makin meningkat, sampai suatu ketika tidak tersedia lagi folikel yang cukup. Produksi estrogen pun berkurang dan tidak terjadi haid lagi yang berakhir dengan terjadinya menopause. Oleh karena itu, menopause diartikan sebagai haid alami terakhir, dan hal ini tidak terjadi bila wanita menggunakan kontrasepsi hormonal pada usia perimenopause. Diagnosis menopause merupakan diagnosis

retrospektif. Bila seorang wanita tidak haid selama 12 bulan, dan dijumpai kadar FSH darah >40 mIU/ml dan kadar estradiol <30 pg/ml, telah dapat dikatakan wanita tersebut telah mengalami menopause. 4. Pasca menopause Pada fase ini ovarium sudah tidak berfungsi sama sekali, kadar estradiol berada antara 20-30 pg/ml, dan kadar hormon gonadotropin biasanya meningkat. Pada wanita pascamenopause masih saja dapat dijumpai jenis steroid seks lain dengan kadar yang normal di dalam darah. Ternyata, ovarium wanita pascamenopause masih memiliki kemampuan untuk mensintesis steroid seks. Sel-sel hilus dan korteks ovarium masih dapat memproduksi androgen, estrogen, dan progesteron dalam jumlah tertentu. Selain itu, jaringan tubuh tertentu, seperti lemak, uterus, hati, otot, kulit, rambut, dan bahkan bagian dari sistem neural sumsum tulang (bone marrow) memiliki kemampuan mengaromatisasi androgen menjadi estrogen. Kelenjar adrenal merupakan sumber androgen utama bagi wanita

pascamenopause. 2.2.4 Perubahan Pada Wanita Menopause


1. Perubahan organ reproduksi

Ovarium dan uterus lambat laun mengecil dan endometrium mengalami atrofi. Walaupun demikian, uterus masih tetap dapat bereaksi terhadap estrogen. Epitel vagina juga menipis dan apus

vagina memperlihatkan gambaran campuran (spread pattern). Mamma mulai menjadi lembek dan proses ini berlangsung terus sampai masa senium.
2. Perubahan Hormon

Penurunan fungsi ovarium menyebabkan berkurangnya kemampuan ovarium untuk menjawab rangsangan gonadotropin. Keadaan ini akan mengakibatkan terganggunya interaksi hipotalamus-hipofisis. Pertama-tama terjadi kegagalan fungsi korpus luteum. Kemudian, turunnya produksi steroid ovarium menyebabkan berkurangnya reaksi umpan balik terhadap hipotalamus. Keadaan ini meningkatkan produksi FSH dan LH. Dari kedua gonadotropin ini, ternyata yang paling mencolok peningkatannya adalah FSH. Oleh karena itu, peningkatan kadar FSH merupakan petunjuk hormonal yang paling baik untuk mendiagnosis sindrom klimakterium.
3. Perubahan vasomotorik

Perubahan ini dapat muncul sebagai gejolak panas (hot flushes), keringat banyak, rasa kedinginan, sakit kepala, desing dalam telinga, tekanan darah yang goyah, berdebar-debar, susah bernafas, jari-jari atrofi dan gangguan usus.
4. Perubahan Emosi

Perubahan emosi muncul dalam bentuk mudah tersinggung, depresi, kelelahan, semangat berkurang, dan susah tidur.9 2.2.5 Dampak Kesehatan Fisik Dan Psikis 2.2.5.1 Keluhan fisik 1. Hot flushes (gejolak rasa panas) Terjadi pada sekitar 75% wanita meopause, hot flushes nokturnal sering membangunkan wanita dari tidurnya dan dapat mengakibatkan gangguan tidur yang berat atau insomnia. Sebagian besar wanita merasakan sensasi tekanan pada kepala mereka yang diikuti rasa panas atau terbakar. Sensasi ini dimulai dari daerah kepala atau leher

dan meluas ke seluruh tubuh. Keringat seringkali dapat menyertai gejolak panas ini. 8 2. Kekeringan vagina Kekeringan vagina terjadi karena leher rahim sedikit sekali mensekresikan lendir. Penyebabnya adalah kekurangan estrogen yang menyebabkan liang vagina menjadi lebih tipis, lebih kering, dan kurang elastis. Alat kelamin mulai mengerut dan timbul rasa sakit saat buang air kecil ataupun saat berhubungan seksual. 7 3. Perubahan kulit Perubahan pada kulit yang disebabkan oleh kekurangan estrogen dapat menyebabkan perburukan sistem pertahanan kulit, sehingga mudah terkena penyakit kulit (dermatosis). Terlihat peningkatan kejadian psoriasis dan eksema pada usia perimenopause.6 4. Pertumbuhan rambut di wajah dan tubuh Bertambahnya pertumbuhan rambut pada wajah dan tubuh dapat terjadi akibat menurunnya kadar estrogen dan efek androgen dalam sirkulasi yang tidak seimbang. 10 5. Perubahan pada mulut dan hidung Seperti pada kulit, kekurangan estrogen juga menyebabkan perubahan mulut dan hidung. Selaput lendirnya berkerut, aliran darah berkurang, terasa kering, dan mudah terkena gingivitis. Kandungan air liur juga mengalami perubahan.6 6. Kerapuhan tulang Hilangnya masa tulang pada wanita sebenarnya dimulai pada usia 30-an. Keadaan ini terjadi lebih cepat saat menopause. Kehilangan masa tulang yang paling cepat terjadi dalam 3-4 tahun pertama setelah menopause. Gejala ini lebih cepat pada wanita yang merokok dan yang sangat kurus. Tempat yang paling sering menjadi lokasi fraktur

akibat osteoporosis adalah korpus vertebra, femur bagian atas, humerus, iga, dan lengan bagian distal. Osteoporosis yang disebabkan oleh defisiensi estrogen yang

berkepanjangan meliputi penurunan kuantitas tulang tanpa perubahan pada komposisi kimianya. 8 7. Nyeri otot dan sendi Banyak wanita menopause mengeluh nyeri otot dan sendi. Pemeriksaan radiologi umumnya tidak ditemukan kelainan. Sebagian wanita, nyeri sendi erat kaitannya dengan perubahan hormonal yang terjadi. Timbulnya osteoartrosis dan osteoartritis dapat dipicu oleh kekurangan estrogen, karena kekurangan estrogen menyebabkan kerusakan matriks kolagen dan dengan sendirinya pula tulang rawan ikut rusak.6 8. Penyakit Bagi wanita begitu memasuki usia menopause akan timbul berbagai macam keluhan yang sangat mengganggu dan beberapa tahun setelah menopause, angka kejadian patah tulang, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, dan kanker usus besar meningkat.6 2.2.5.2 Keluhan Psikis Telah lama diketahui, bahwa steroid seks sangat berperan terhadap fungsi susunan saraf pusat, terutama terhadap perilaku, suasana hati, serta fungsi kognitif dan sensorik seseorang. Dengan demikian, tidak heran bila terjadi penurunan sekresi steroid seks, timbul perubahan psikis yang berat dan perubahan fungsi kognitif. Kurangnya aliran darah ke otak menyebabkan sulit berkonsentrasi dan mudah lupa. Akibat kekurangan hormon estrogen pada wanita pascamenopause, akan timbul keluhan seperti mudah tersinggung, cepat marah, dan perasaan tertekan.

Kejadian depresi dijumpai sama pada laki-laki dan perempuan. Karena kejadiannya meningkat pada usia

klimakterium dan pospartum serta pemberian estrogen dan progesteron dapat menghilangkan/mengurangi keluhan

tersebut, maka kekurangan steroid seks dapat dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi. Depresi sering juga ditemukan beberapa hari menjelang haid pada wanita usia reproduksi. Perasaan tertekan, nyeri betis, mudah marah, mudah tersinggung, stres, dan cepat lelah merupakan keluhan yang sering dijumpai pada wanita usia klimakterik dan pada wanita usia reproduksi dengan keluhan sindrom prahaid. Penyebab depresi diduga akibat berkurangnya aktivitas serotonin otak. Estrogen menghambat aktivitas enzim

monoamin oksidase (MAO). Enzim ini mengakibatkan serotonin dan noradrenalin menjadi tidak aktif. Kekurangan estrogen menyebabkan terjadinya peningkatan enzim MAO. Terbukti, bahwa wanita pascamenopause yang diberi estrogen terjadi penurunan aktivitas MAO dalam plasmanya. Pemberian serotonin-antagonis pada wanita pascamenopause dapat menghilangkan keluhan depresi.6 2.2.6 Upaya Menangani Menopause Pola Makan yang Tepat dan Aktivitas Fisik yang Cukup Kehilangan estrogen pada wanita menopause menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit jantung dan osteoporosis. Karena itu pengaturan asupan gizi sangat berpengaruh untuk mempertahankan kondisi tubuh yang maksimal. Aktivitas fisik yang cukup dapat mengurangi keluhan-keluhan yang terjadi pada wanita menopause (WHO, 2007). Selain itu, akupuntur juga dapat menolong untuk mengurangi
10

ketidaknyamanan

yang

disebabkan

oleh

menopause.

Alternatif lain yang dapat dicoba dilakukan adalah yoga. Yoga dapat menyeimbangkan perubahan hormonal, mengurangi keluhan fisik dan psikis, memperkuat tulang dan mencegah kerapuhan tulang, mencegah penyakit jantung, serta meningkatkan daya tahan tubuh.11 Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Kebutuhan kalori dan zat gizi harus cukup 2. Makanan yang tinggi serat dan rendah lemak 3. Makanan yang tinggi kalsium dan zat besi 4. Vitamin 5. Hindari kafein, kopi, alkohol, minuman bersoda, rempah-rempah,

dan makanan berlemak. Kopi dan alkohol dapat menghambat absorbsi kalsium.10 2.2.7 Pengobatan Menopause Kepada semua pasien perlu dijelaskan bahwa keluhan yang dialami tersebut adalah akibat kekurangan hormone estrogen. Meskipun pasien tidak ada keluhan, maka jelaskan bahwa dampak jangka panjang kekurangan estrogen adalah meningkatnya kejadian osteoporosis, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, dan kanker usus besar. Oleh karena itu, satu-satunya pengobatan yang tepat adalah dengan penambahan hormone estrogen dari luar, yang dikenal dengan penambahan hormone replacement therapy (HRT), atau istilah dalam bahasa Indonesia adalah terapi sulih hormone (TSH). Terapi sulih hormon atau HRT (Hormon Replacement Therapy) merupakan pilihan untuk mengurangi keluhan-keluhan yang timbul pada wanita yang mengalami menopause.6 Atas dasar bahwa keluhan-keluhan tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan hormon estrogen, maka pengobatan pilihan utama adalah pemberian substitusi estrogen dengan ketentuan tidak menderita tumor yang bergantung estrogen (estrogen dependent), misalnya miom uterus.

Pengobatan dapat dilakukan dengan cara pemberian estrogen saja, terutama estrogen lemah seperti estriol, selama 21 hari berturutturut disusul dengan masa istirahat selama 7 hari. Selama masa istirahat itu perlu diperhatikan apakah keluhan-keluhan telah hilang atau menetap. Jika keluhannya hilang maka pengobatan dapat dihentikan, tetapi jika tidak berubah maka pengobatan dilanjutkan. Namun demikian, mengingat bahwa estrogen juga dapat mempengaruhi payudara dan mungkin dapat menimbulkan keganasan. Maka sangat dianjurkan untuk selalu menggabungkan pengobatan estrogen itu dengan progesteron. Pemberian estrogen beberapa tahun ternyata dapat menurunkan kejadian patah tulang sebesar 50-60%, dan mencegah terjadinya penyakit jantung koroner sebesar 40-50%. Atas dasar ini dianjurkan untuk memberikan estrogen sejak awitan masa

perimenopause. Estrogen dapat diberikan 8-10 tahun, bahkan bila perlu bisa sampai 30-40 tahun. Sediaan estrogen tidak diberikan jika ditemukan keadaan berikut :
a. Tromboemboli, penderita penyakit hati, kolelitiasis b. Sindrom Dubin Johnson-Rotor (gangguan sekresi bilirubin) c. Riwayat ikterus dalam kehamilan d. Karsinoma endometrium, karsinoma mamma, riwayat gangguan

penglihatan, anemia berat


e. Varises berat, tromboflebitis f.

Penyakit ginjal Syarat minimal yang harus dipenuhi sebelum pemberian estrogen

dimulai adalah: a. Tekanan darah tidak boleh tinggi b. Pemeriksaan sitologik (uji Pap) normal c. Besar uterus normal (tidak ada miom uterus) d. Tidak ada varises di ekstremitas bawah e. Tidak terlalu gemuk f. Kelenjar tiroid normal

g. Kadar normal: Hemoglobin, kolesterol total, HDL, trigliserida, kalsium, dan fungsi hati h. Nyeri dada, hipertensi kronik, hiperlipidemia, diabetes melitus perlu dikonsultasikan lebih dahulu ke spesialis penyakit dalam. Perlu diketahui bahwa tidak semua keluhan yang ada dapat dihilangkan hanya dengan pemberian substitusi hormonal (estrogen dan progesteron). Semua faktor yang dapat menimbulkan keluhan seorang pasien perlu dipelajari terlebih dahulu, seperti faktor psikis, sosiobudaya, atau memang hanya terdapat kekurangan estrogen. Jika ada, maka keluhan-keluhan tersebut diatasi sesuai dengan penyebabnya. Bilamana telah diputuskan untuk melakukan substitusi estrogen, maka pemberiannya harus lebih dahulu dimulai dengan estrogen lemah (estriol) dan juga dimulai dengan dosis rendah. Pemberian estrogen lemah pada umumnya tidak perlu digabung dengan progesteron. Pada pemakaian jangka panjang, pengaruhnya terhadap endometrium dan payudara sangat lemah, sehingga jarang terjadi perdarahan maupun keganasan. Tetapi penggunaan estrogen jenis lain, seperti etinil estradiol maupun estrogen konjugasi perlu digabung dengan progesteron.12

Penatalaksanaan klimakterium menopause

Klimakterium menopuase

Tanpa Gejala Klinis

Disertai Gejala Klinis

Psikologis Siap menerima secara alami Tanpa Keluhan Takut tua/tak menarik Sukar tidur Emosional, cepat tersinggung dan cepat marah Depresi

Psikosomatik Kardiovaskuler : Hot flushes, Night sweats, Berdebar Keuhan fisik : Vagina kering, Dispaurenia, Kulit kering, Mudah infeksi (Sististis, vaginitis), Tumor jinak (Kista ovarium, Mioma uteri, Polip), Keganasan genitalia (Serviks, Korpus uteri, Ovarium, Tuba karsinoma, Mama karsionoma)

Pengobatan Menopause /Senium : Tanpa pengobatan Psikologis - Psikoanalisis - Keharmonisan keluarga - Psikologis supporting Keluhan psikosomatik : sesuai dengan penyebabnya Hormonal pengganti : perhatikan syarat/kontraindikasi Observasi

2.2.8 Asuhan Pada Wanita Menopause Kepada semua pasien perlu dijelaskan bahwa keluhan yang dialami tersebut adalah akibat kekurangan hormone estrogen. Meskipun pasien tidak ada keluhan, maka jelaskan bahwa dampak jangka panjang kekurangan estrogen adalah meningkatnya kejadian osteoporosis, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, dan kanker usus besar. Oleh karena itu, satu-satunya pengobatan yang tepat adalah dengan penambahan hormone estrogen dari luar, yang dikenal dengan penambahan hormone replacement therapy (HRT), atau istilah alam bahasa Indonesia adalah terapi sulih hormone (TSH). Bila pasien memutuskan untuk mau menggunakan TSH, maka jelaskan kepada pasien berapa lama TSH harus digunakan. Jelaskan, bahwa pemberian TSH bertujuan untuk menghilangkan keluhan serta untuk mencegah dampak jangka panjang akibat kekuranan estrogen, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Untuk pencegahan dampak jangka panjang, maka TH harus digunakan 5-10 tahun, bahkan bila dianggap perlu harus digunakan sisa hidup wanita. Selama penggunaan TSH apat terjadi perdarahan lucut atau perdarahan bercak. TSH dapat merangsang nafsu makan, sehingga apat terjadi

kenaikan berat badan. Pasien harus benar-benar paham tentang TSH, dan bila pasien masih ragu-ragu untuk menggunakan TSH, maka berikan waktu lagi bagi pasien untuk berpikir. Keputusan terbaik ada di tangan pasien. 2.2.9 Konseling Menopause Bila pasien memutuskan untuk mau menggunakan TSH, maka jelaskan kepada pasien berapa lama TSH harus digunakan. Jelaskan, bahwa pemberian TSH bertujuan untuk menghilangkan keluhan serta untuk mencegah dampak jangka panjang akibat kekuranan estrogen, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Untuk pencegahan dampak jangka panjang, maka TH harus digunakan

5-10 tahun, bahkan bila dianggap perlu harus digunakan sisa hidup wanita. Selama penggunaan TSH apat terjadi perdarahan lucut atau perdarahan bercak. TSH dapat merangsang nafsu makan, sehingga apat terjadi kenaikan berat badan. Pasien harus benar-benar paham tentang TSH, dan bila pasien masih ragu-ragu untuk menggunakan TSH, maka berikan waktu lagi bagi pasien untuk berpikir. Keputusan terbaik ada di tangan pasien.

BAB III JURNAL KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Kasus Kesehatan Reproduksi Remaja Seorang pria 21-tahun, melakukan pengobatan untuk ketergantungan alkohol dan tembakau, yang dilarikan ke IGD dalam waktu 12 jam setelah konsumsi alkohol dan tembakau. Dugaan ditambah dengan 10 tablet baclofen (20 mg). Pada saat masuk IGD, denyut jantungnya adalah 76 x/ menit, tekanan darah 158/70 mm Hg, laju pernapasan adalah 40/min dan O2 adalah kurang dari 80%. Glasgow Coma Scale (GCS) nya adalah 3/15, bilateral (B / L) pupil melebar, refleks tendon dalam yang cepat dan B / L plantars yang ekstensor. Krepitasi Bilateral terdengar pada auskultasi dada. Ia diintubasi dan memakai ventilasi mekanis. Hasil tes fungsi ginjal adalah: S. Urea 33 mg / dl, S. Kreatinin 1,3 mg / dl, S. Sodium 138 meq / l, S. Kalium 4,4 meq / l, tes fungsi hati dan gas darah arteri analisis (pada ventilasi mekanik) yang normal. GCS pasien tersebut tidak menunjukkan perbaikan dalam 12 jam ke depan sehingga ia menjalani dua sesi hemodialisis dengan mesin hemodialisis Fresenius pada beberapa hari berturut-turut. Setelah dialisis, sensorium membaik secara dramatis dan ia berhasil diekstubasi. Ia menjalani penilaian kejiwaan dan konseling untuk pemberhentian penggunaan alkohol dan tembakau. 3.2 Pembahasan Kasus Kesehatan Reproduksi Remaja Baclofen [4-amino-3-(4-klorofenil)-asam butanoic) adalah turunan lipid-larut y-aminobutyric acid (GABA). Ini bertindak sebagai

neurotransmitter inhibisi terutama untuk mengurangi kejang, bersama dengan beberapa aktivitas supraspinal. Hal ini umumnya digunakan dalam kondisi seperti spastisitas, disfungsional saluran kemih, myoclonus palatal, dan neuralgia trigeminal. Baru-baru ini digunakan untuk yang mengalami kecanduan alkohol dan tembakau. Baclofen diserap dengan cepat setelah 6985% diekskresikan tanpa perubahan dalam urin dan 15% dimetabolisme oleh hati. Pasien mengalami somnolen adalah antara 4,5 dan 6,8 jam pada subyek

sehat. Baclofen adalah lipofilik, 30% dari obat yang terikat protein, dan dapat menembus penghalang darah-otak. Manifestasi umum dari toksisitas baclofen adalah perubahan tingkat kesadaran, hipotonia, hipotensi, bradikardia, sakit perut, mual, dan muntah, gejala tersebut biasanya tidak akan muncul ketika baclofen dihentikan. Beberapa studi telah mencatat bahwa hemodialisis dapat meringankan gejala klinis overdosis baclofen dan mempersingkat waktu pemulihan pada pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal. protein yang mengikat Rendah (31%) dan volume distribusi rendah (2,4 l / kg) menyebabkan eliminasi baclofen yang efektif dengan dialisis. Lipscomb et al., Mencatat bahwa eliminasi serum mungkin tidak mencerminkan tingkat eliminasi yang lambat dari sistem saraf pusat. Difusi tertunda saat melintasi penghalang darah ke otak, diperkirakan untuk memperhitungkan pemulihan klinis perlu beberapa jam. Pada laporan sebelumnya, dokumen manajemen dari overdosis baclofen memerlukan langkah-langkah, dukungan dan ventilasi mekanis. Hemodialisis dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD). Ini adalah kasus pertama yang dilaporkan di mana hemodialisis diterapkan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Meskipun dapat dikatakan bahwa pasien ini akan membaik secara spontan dari waktu ke waktu, akan lebih bermanfaat bila durasi ventilasi mekanis berbanding lurus dengan tingkat obat serum baclofen setelah dikonsumsi. Hemodialisis dalam hal ini menyebabkan peningkatan kesadaran pasien. Selanjutnya, kinetika eliminasi diubah dalam kasus-kasus dengan dosis kronis. Jumlah tablet, dosis harian dan konsumsi kronisitas tidak dapat dinilai pada pasien ini. Tes untuk memastikan tidak tersedia tingkat serum baclofen dengan kinetika eliminasi tidak dapat dihitung dalam kasus ini.13 Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya yang kemudian dikenal dengan NAPZA yakni Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Narkotika, baik itu jeni heroin (putauw), shabushabu, maupun jenis lainnya, akan berdampak pada kesehatan tubuh. Banyak penyalahgunaan atau ketergantungan putauw terkena penyakit menakutkan

yakni HIV/AIDS. Penggunaan jarum suntik yang tidka steril dan cenderung bergantian akan berdampak pada penularan virus HIV/AIDS. Ironisnya hal ini justru dialami oleh kalangan remaja. Peningkatan kasus narkoba (NAPZA) ternyata juga menimbulkan dampak yang berbahaya. Akibat mengkonsumsi NAPZA, seseorang dapat dikucilkan dari lingkungan keluarga, masyarakat, hingga Negara. Seorang pecandu NAPZA dapat mengakibatkan overdosis bahkan yang lebih mengerikan adalah terjangkit HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya.1 Kasus penyalahgunaan narkoba menunjukkan angka yang meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah menyebutkan angka resmi penyalahgunaan narkoba sebanyak 0,065% dari jumlah penduduk yang 200 juta jiwa atau sama dengan 130.000 orang (BAKOLAK INPRES 6/71, tahun 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Hawari, dkk (1998) menyebutkan bahwa angka sebenarnya adalah sepuluh kali lipat dari angka resmi (dark number = 10), atau dengan kata lain bila ditemukan satu orang penyalahguna narkoba, artinya ada 10 orang lainnya yang tidak terdata secara resmi. Dengan tingginya peredaran narkoba di Indonesia maka tinggi pula kasus penyalahgunaan narkoba serta ketergantungan terhadap narkoba. Keadaan yang lebih memprihatinkan adalah kasus penyalahgunaan narkoba 90% terjadi pada usia anak/remaja. Pada usia tersebut remaja dalam usia sekolah baik SLTP, SLTA, dan mahasiswa yang notabene merupakan aset negara sebagai generasi penerus. Di dalam penelitian lain oleh Hawari dkk. (1998) dari pasien penyalahguna/ketergantungan narkoba jenis opiat (heroin) ditemukan angka kematian (mortality rate) mencapai angka 17,16%. Mereka yang mengalami komplikasi medik berupa kelainan paru 53,73%, gangguan fungsi hati 55,10%, dan hepatitis C 56,63%, sedangkan yang terinfeksi HIV 33,33% (Hawari,dkk, 2000).14 Pada masa remaja, banyak terjadi perubahan biologis, psikologis, maupun sosial.Tetapi umumnya proses pematangan fisik terjadi lebih cepat

dari proses pematangan kejiwaan (Psikososial) (Huang et al., 2007). Seorang anak remaja tidak lagi didapat sebagai anak kecil, tetapi belum juga dianggap sebagai orang dewasa. Disatu sisi ia ingin bebas dan mandiri, lepas dari pengaruh orang tua, disisi lain pada dasarnya ia tetap membutuhkan bantuan, dukungan perlindungan orang tuanya (Guzmdn et al., 2004). Orang tua sering tidak mengetahui atau memahami perubahan yang terjadi sehingga tidak menyadari bahwa anak mereka telah tumbuh menjadi seorang remaja, bukan lagi anak yang selalu dibantu (Fellinge et al., 2009). Orang tua menjadi bingung menghadapi labilitas emosi dan perilaku remaja, sehingga tidak jarang terjadi konfl ik diantara keduanya. Adanya konflik yang berlarut-larut merupakan stresor bagi remaja yang dapat menimbulkan berbagai pemasalahan yang komplek baik fisik,

psikologik maupun sosial termasuk pendidikan. Kondisi seperti ini apabila tidak segera di atasi dapat berlanjut sampai dewasa dan dapat berkembang ke arah yang lebih negatif. Antara lain dapat ditimbulkan masalah maupun pada

gangguan kejiwaan dari yang ringan sampai berat. Apalagi

kenyataannya perhatian masyarakat lebih terfokus pada upaya meningkatkan kesehatan fi sik semata, kurang memperhatikan faktor non fisik (intelektual, mental emosional dan psikososial). Padahal faktor tersebut merupakan penentu dalam keberhasilan seorang remaja di kemudian hari (Lilian et al., 2008). Masa remaja dapat dibagi 3 (tiga) tapan yaitu masa remaja awal, remaja pertengahan, dan remaja akhir. Ciri yang paling nyata dari masa remaja dalah mereka cepat tinggi. Selama masa kanak-kanak, anak perempuan, dan laki-laki secara fisik tampak mirip kecuali hanya perbedaan genetalia. Perkembangan remaja terdiri secara fisik, psikososial, dan moral. Sigmund freud menyebutkan masa remaja sebagai periode di mana libido atau energy seksual, yang tetap laten selama bertahun-tahun masa para remaja, dihidupkan kembali. Dorongan seksual dicetuskan oleh androngen tertentu, seperti testoteron yang mempunyai kadar lebih tingi selama masa remaja dibandingkan dengan masa manapun di dalam hidupnya. Puncak

dorong dorongan seksual pada laki-laki terjadi antara usia 17 dan 18 tahun. Masa remaja awal melepaskan dorongan libido paling sering melakukan mantrubasi, statu cara melepaskan implas seksual (Pastor et al., 2009). Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial, remaja harus menyesuaiakan diri dengan lawan jenis dalam hubungan interpersonal yang awalnya belum pernah ada, juga harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan sekolah dan keluarga (Cederblad, 1999). Apabila remaja tidak dapat mengatasi berbagai stresor yang ada, dapat timbul berbagai kondisi yang negatif seperti cemas, depresi, bahkan dapat memicu munculnya gangguan psikotik. Dampak yang dapat terjadi pada remaja dalam kondisi seperti di atas adalah timbulnya berbagai permasalahan yang kompleks, baik fisik, emosi maupun sosial termasuk pendidikan misalnya dapat timbul berbagai keluhan fisik yang tidak jelas sebabnya ataupun berbagai permasalahan yang berdampak sosial, seperti malas sekolah, membolos, ikut perkelahian antar pelajar, menyalah gunakan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA), dan lain-lain. Apabila tidak segera di atasi, kondisi tersebut dapat berlanjut sampai masa dewasa, dan akan lebih berkembang lagi ke arah yang lebih negatif seperti terbentuknya kepribadian anti sosial maupun kondisi psikotik yang kronis. Diperlukan deteksi dini dan intervensi dini pada remaja yang mengalami gangguan jiwa. Dalam perkembangan normalpun seorang remaja mempunyai

kecenderungan untuk mengalami depresi. Oleh karena itu sangatlah penting untuk membedakan secara jelas dan hati-hati antara depresi yang disebabkan oleh gejolak mood yang normal pada remaja (adolescent turmoil) dengan depresi yang patologik. Akibat sulitnya membedakan antara kedua kondisi di atas, membuat depresi pada remaja sering tidak. Terdiagnosis, bila tidak ditangani dengan baik, gangguan psikiatrik pada remaja sering kali akan berlanjut sampai masa dewasa. Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii, membagi depresi pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder.

Tipe primer: bila tidak ada gangguan psikiatrik sebelumnya, dan tipe sekunder: bila gangguan yang sekarang mempunyai hubungan dengan gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada gangguan depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai lebih banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus asa, mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah, harga diri yang rendah, dan tidak patuh (Cederblad, 1999). Depresi kronis yang dialami sejak masa remaja awal, kemungkinan akan mengalami kelambatan pubertas, terutama pada depresi yang disertai dengan kehilangan berat badan dan anoreksia. Remaja yang mengalami depresi lebih sulit menerima atau memahami tanda-tanda pubertas yang muncul. Perubahan hormonal yang disertai stres lingkungan, dapat memicu timbulnya depresi yang dalam dan kemungkinan munculnya perilaku bunuh diri. Mimpi basah dan mimpi yang berhubungan dengan incest (hubungan seksual antar anggota keluarga), dapat menambah beban rasa bersalah pada remaja yang depresi. Periode menstruasi pada remaja wanita yang mengalami depresi, mungkin terlambat, tidak teratur, atau disertai dengan timbulnya rasa sakit yang hebat dan perasaan tidak nyaman. Mood yang disforik sering nampak pada periode pramenstrual. Remaja wanita yang mengalami depresi mungkin merasa murung (feeling blue), sedih (down in the dump), menangis tanpa sebab, menjadi sebal hati (sulky and pouty), mengurung diri di kamar, dan lebih banyak tidur. Disorganisasi fungsi kognitif pada remaja yang bersifat sementara, menjadi lebih nyata pada kondisi depresi. Pada remaja awal yang mengalami depresi, terdapat keterlambatan perkembangan proses pikir abstrak yang biasanya muncul pada usia sekitar 12 tahun. Pada remaja yang lebih tua, kemampuan yang baru diperoleh ini akan menghilang atau menurun. Prestasi sekolah sering terpengaruh bila seorang remaja biasanya mendapat hasil baik di sekolah, tiba-tiba prestasinya menurun, depresi harus dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penyebabnya. Membolos, menunda menyelesaikan tugas, perilaku yang mudah tersinggung di dalam kelas, tidak peduli terhadap

hasil yang dicapai dan masa depan, dapat merupakan gejala awal dari depresi pada remaja. Pada remaja, kondisi depresi memperkuat perasaan rendah diri. Rasa putus asa dan rasa tidak ada yang menolong dirinya makin merendah kan hatga diri. Pada satu saat remaja yang depresi mencoba untuk melawan perasaan rendah dirinya dengan penyangkalan, fantasi, atau menghindari kenyataan realitas dengan menggunakan NAPZA. Membolos, mencuri, berkelahi, sering mengalami kecelakaan, yang terjadi terutama pada remaja yang sebelumnya mempunyai riwayat perilaku yang baik, mungkin merupakan indikasi adanya depresi. Kebanyakan remaja yang depresi cenderung menyalahgunakan NAPZA, misalnya ganja, obat-obat yang meningkat mood (amfetamin), yang menurunkan mood (barbiturat, tranquilizer, hipnotika) dan alkohol. Akhirakhir ini banyak digunakan heroin, kokain, dan derivatnya, serta halusinogen. Secara umum remaja yang mengalami depresi tidak menunjukkan minat untuk kencan atau mengadakan interaksi heteroseksual. Namun ada juga remaja yang mengalami depresi menjadi berperilaku berlebihan dalam masalah seksual, atau menjalani pergaulan bebas, sebagai tindakan defensif untuk melawan depresinya. Penyalahgunaan Napza di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat. faktor risiko yang dapat diidentifikasi pada remaja penyalahguna NAPZA: 1) Konflik keluarga yang berat, 2) Kesulitan Akademik, 3) Adanya komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lain, seperti gangguan tingkah laku dan depresi, 4) Penyalahgunaan NAPZA oleh orang tua dan teman, 5) Impulsivitas, 6) Merokok pada usia terlalu muda. Semakin banyak faktor risiko yang ada, semakin besar kemungkinan seorang remaja akan menjadi pengguna NAPZA. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) 1993, gangguan yang berhubungan dengan zat termasuk gangguan: ketergantungan, penyalahgunaan, intoksikasi, dan keadaan putus zat. Penyalahgunaan zat adalah penggunaan NAPZA secara patologis (di luar

tujuan pengobatan), yang sudah berlangsung selama paling sedikit satu bulan berturut-turut dan menimbulkan gangguan dalam fungsi sosial, sekolah, atau pekerjaan. Penyalahgunaan NAPZA dapat menimbulkan ketergantungan. Ketergantungan zat mengacu kepada satu kelompok gejala kognitif, perilaku, dan fisiologis yang mengindikasikan seseorang secara terus menerus menggunakan NAPZA dengan teratur dan dalam jangka waktu panjang. Gejala ketergantungan ini dapat berbentuk ketagihan secara fisik atau psikilogis, toleransi, keadaan putus zat, pemakaian yang lebih besar dari yang dibutuhkan, kegagalan untuk menghentikan atau mengontrol penggunaan dan mengurangi aktivitas sosial/pekerjaan karena penggunaan NAPZA. Sebagai tambahan, pengguna NAPZA mengetahui bahwa zat tersebut mengakibatkan gangguan yang nyata, tetapi tidak dapat menghentikannya. Intoksikasi zat mengacu kepada perkembangan yang reversibel, sindrom zat yang spesifik, yang disebabkan oleh penggunaan suatu zat. Harus ada perilaku maladaptif atau perubahan psikilogis yang nyata secara klinis. Keadaan putus zat mengacu kepada sindrom zat spesifik yang disebabkan oleh penghentian atau pengurangan penggunaan NAPZA jangka panjang. Sindrom ini menyebabkan distres atau hambatan yang nyata secara klinis dalam fungsi sosial, sekolah atau pekerjaan. Beberapa indikasi adanya penggunaan NAPZA pada remaja, prestasi akademik yang menurun: sering membolos atau meninggalkan sekolah, sering membuat masalah dengan teman, guru atau murid sekolah lain, sering memakai uang sekolah, mencuri, berhutang atau mengompas penyakit fisik ringan yang tidak spesifik, perubahan sikap dalam hubungan dengan anggota keluarga lain, juga dalam kelompok temannya, lekas marah, tersinggung, sikap kasar, tidak sabar dan egois, perubahan dalam penampilan, perawatan / kebersihan diri, wajah murung, loyo mengantuk, kurang bergairah, acuh tak acuh, sering melamun, disiplin dan sopan santun menurun, pakaian kotor dan lusuh, cara bicara lamban, tak jelas, kadang-kadang cadel, serta banyak merokok. Banyak dari indikator di atas yang terkait dengan awitan (onset) dari depresi, penyesuaian sekolah, atau prodromal dari gangguan psikotik.yang

harus diperhatikan adalah tetap menjaga komunikasi yang terbuka dengan remaja yang diduga menggunakan NAPZA. Disini terdapat hubungan antara penggunaan NAPZA dengan perilaku risiko tinggi, termasuk penggunaan senjata tajam, perilaku bunuh diri, pengalaman seksual yang dini, mengemudikan mobil dengan risiko tinggi, menyukai musik keras (heavy metal), dan pemujaan/ritual agama yang menyimpang, walaupun tidak ada hubungan langsung dengan penggunaan NAPZA, namun adanya perilaku seperti di atas patut diwaspadai.15 Problem utama remaja yang disinyalir berkaitan dengan kesehatan mental danterkait dengan perilaku nakal adalah merokok, penyalahguna napza, alkohol, danobat-obatan. Ketiganya berkaitan dan seringkali menjadi satu kesatuan problem yangserius. Penyalahguna napza amat memprihatinkan karena sebagian besar dideritaoleh generasi muda yang umumnya berusia 1524 tahun, dan banyak yang masihaktif di SMP, SMA, maupun perguruan tinggi. Secara umum pengguna pertamaNAPZA diawali pada anak yang relatif muda (Purwandari 2007). Subjek mantan penyalahguna napza menyatakan bahwa teman sebagai salahsatu objek lekat anak yang dapat mempengaruhi perilaku, dalam hal ini adalahpenyalahgunaan napza, yang tergolong bentuk delinquency (Purwandari 2007).Seperti yang dikatakan oleh Hircshi (dalam Mason & Windle, 2002) dengan teoribonding-nya yang menyatakan bahwa objek lekat anak adalah peers (teman),sekolah, dan keluarga. Keluarga pada anak rentang 11-19 tahun kurang mempunyai kelekatan yang tinggi, sehingga anak lebih dekat dengan temannya apabila dibandingkan dengan keluarga. Penyalahguna napza yang sedang menjalani program rehabilitasi di sebuahlembaga memiliki sejumlah alasan untuk merasionalisasi penggunaan napza, sepertimenambah keberanian dan kreativitas, menghindari masalah, frustrasi, kesepian, ataumemenuhi rasa ingin tahu (Purwandari, 2005). Ikutikutan teman prosentase palingbesar sebagai alasan mereka.16

Faktor Risiko yang Terbukti Berpengaruh Terhadap Penyalahgunaan Narkoba 1. Pergaulan Teman Sebaya Pergaulan dengan teman pengguna narkoba dalam penelitian ini merupakan variabel yang paling berhubungan dengan kejadian

penyalahgunaan narkoba, baik secara mandiri maupun bersama-sama. Risiko untuk terjadinya penyalahgunaan narkoba pada remaja yang mempunyai teman pengguna narkoba mencapai 46 kali dibandingkan dengan remaja yang tidak mempunyai teman pengguna narkoba. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hawari (1990) yang membuktikan bahwa pengaruh teman kelompok sebaya mempunyai andil 81,3% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan narkoba. Pada penelitian ini distribusi kasus menurut kelompok umur adalah remaja dan dewasa muda dengan rentang umur 21-30 th (72%) serta pertama kali mendapatkan narkoba rata-rata pada tingkat sekolah menengah atas. Jika dilihat dari rata-rata umur kasus dalam penelitian ini mendapatkan narkoba untuk pertama kalinya pada usia remaja maka sesuai dengan teori bahwa faktor utama seseorang terkena narkoba adalah teman kelompok sebaya. Hasil di atas mendukung penelitian oleh Gerstein and Green (1993) serta Kumpfer et al (1998) yang menyebutkan bahwa pada remaja faktor risiko yang paling signifikan berpengaruh terhadap penyalahgunaan narkoba adalah pergaulan dengan teman pengguna narkoba sedangkan pada kelompok yang lebih muda (umur 13-16 th) maka faktor risiko yang paling berpengaruh adalah keluarga. 2. Kesibukan Orang Tua >14 Jam/Hari Kesibukan orang tua >14 jam/hari dalam penelitian ini juga merupakan variabel yang sangat berhubungan dengan kejadian

penyalahgunaan narkoba, baik secara mandiri maupun bersamasama. Risiko untuk terjadinya penyalahgunaan narkoba pada remaja yang

mempunyai orang tua sibuk >14 jam/hari mencapai 20 kali dibandingkan dengan remaja yang mempunyai orang tua sibuk <14 jam/hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yatim (1990) yang membuktikan bahwa kesibukan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempunyai andil bagi terjadinya penyalahgunaan narkoba pada remaja. Karena kesibukan orang tua di luar rumah baik di pekerjaan atau aktivitas masing-masing sehingga pulang larut malam mengakibatkan waktu untuk anak berkurang, sehingga perhatian untuk anak juga kurang. Akan tetapi jika dilihat kenyataan pada saat ini bahwa ratarata kesibukan orang tua di luar rumah terutama yang tinggal di perkotaan adalah > 14 jam per hari maka hasil penelitian ini menjadi tidak relevan dengan kenyataan saat ini. Kesibukan tersebut bukan karena tidak mau mengurusi keluarga akan tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang pada gilirannya adalah untuk kesejahteraan keluarga juga. Jadi orang tua yang kesibukannya > 14 jam per hari tidak dapat disalahkan sepenuhnya sebagai faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan Narkoba pada anak-anaknya asalkan sisa waktu sepulang kerja betul-betul digunakan untuk berkomunikasi secara efektif dengan keluarga. Hasil sebagaimana tersebut di atas mungkin disebabkan karena sebagian besar (80%) kelompok kasus berasal dari kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Semarang yang mana sebagian besar penduduknya adalah pekerja dengan tingkat kesibukan yang cukup tinggi (> 14 jam per hari), karena tuntutan ekonomi di kota lebih tinggi dari di desa sehingga membuat suami dan istri samasama bekerja. 3. Penggunaan Waktu Luang Dalam penelitian ini, penggunaan waktu luang dengan kegiatan yang negatif juga merupakan variabel yang juga sangat berhubungan dengan kejadian penyalahgunaan narkoba, baik secara mandiri maupun bersama-sama. Risiko untuk terjadinya penyalahgunaan narkoba pada

remaja yang mengisi waktu luang dengan kegiatan yang negatif mencapai 15 kali dibandingkan dengan remaja yang mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif. Kegiatan negatif disini sebagai contoh adalah pergi ke diskotik, bergerombol dengan anak-anak nakal sehingga berisiko diajak serta oleh teman-teman lain melakukan kegiatan yang tidak benar seperti mabok, judi dan lain sebagainya yang pada akhirnya membawanya ke dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Sebaliknya apabila waktu luang diisi dengan kegiatan positif seperti olah raga, belajar kelompok atau kegiatan ekstra kulikuler sekolah lainnya akan terhindar dari kasus penyalahgunaan narkoba karena di samping menghasilkan pola pikir yang positif juga tidak ada kesempatan bertemu dengan teman sebaya yang sudah menggunakan narkoba lebih dulu. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hawari (1990) yang membuktikan bahwa kegiatan dan pergaulan merupakan salah satu faktor yang mempunyai andil bagi terjadinya penyalahgunaan narkoba pada remaja. Karena kegiatan dan pergaulan dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan sehingga sulit melepaskan diri. Beberapa penelitian yang dikembangkan oleh National Institute on Drug Abuse (NIDA), National Institutes of Health Bethesda, Maryland sejak tahun 1997 merekomendasikan bahwa banyak cara untuk mencegah seseorang terjerumus ke kasus penyalahgunaan Narkoba. Cara tersebut dimulai dari keluarga seperti ikatan yang kuat di dalam keluarga, pengawasan orang tua, penyertaan keluarga dalam kegiatan sekolah hingga kegiatan yang sifatnya prefentif di tingkat sekolah seperti kompetensi antar siswa, kegiatan sosial di sekolah sampai ke gerakan anti Narkoba. Dengan kegiatan-kegiatan yang positif tersebut sekaligus akan terhindar dari pengaruh teman kelompok sebaya yang menggunakan Narkoba.14

3.3 Kasus Menopause Profil Keluhan utama : 50-tahun wanita G3P2012 : Prolaps

Riwayat penyakit sekarang : Pasien telah dilihat untuk pemeriksaan ginekologi tahunan dan diberitahu bahwa kandung kemih dan rahim telah "jatuh ke bawah." Pasien menyangkal jaringan exteriorized, tekanan panggul, atau nyeri panggul. Dia melaporkan buang air kecil tujuh kali per hari dan satu kali setiap malam. Dia menyangkal adanya inkontinensia berhubungan dengan batuk, bersin, atau urgensi. Dia tidak melaporkan sembelit ringan yang merespon pelunak feses. Dia melaporkan aktif secara seksual dengan pasangannya tanpa keluhan. Office evaluation: Pemeriksaan panggul Q-tip tes Stress test Kekuatan otot panggul Manajemen: Manajemen yang terkandung direkomendasikan sebagai pasien ini tanpa gejala. Konseling harus mencakup diskusi dengan pasien bahwa dalam beberapa prolaps wanita akan meningkat meskipun jangka waktu tidak jelas. Dianjurkan diet sehat, berpantang dari merokok, dan latihan kegel secara teratur untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Follow-up: Pasien melakukan dengan baik dengan latihan Kegel berencana untuk kembali untuk re-evaluasi jika prolaps menjadi gejala atau jika ia timbul keluhan kemih atau tinja. : Tahap I prolaps sistokel dan rahim : 45 derajat : Negatif : 3/5

3.4 Pembahasan Kasus Menopause Hasil dari pemeriksaan pada kasus tersebut bahwa pasien mendapati terkena Prolapse Cystocele dengan karakteristik yang menurun perpindahan prolaps anterior kandung kemih dan terdapatnya di segmen vagina anterior.

Dapat diketahui bahwa dari pemeriksaan panggul didapatkan prolaps cystocele dengan stage 1 yang dapat di diagnosis dari tabel quantifikasi prolaps organ panggul.

Dalam pemeriksaan dicantumkan bahwa hasil dari Q-tip test adalah 45 derajat yang artinya terdapat tanda bahwa terjadi hipermobilitas uretra pada pasien tersebut. Faktor risiko dari kasus ini adalah di karenakan adanya muscular dystrophy yang bisa terjadi oleh sebab persalinan pervaginam. Dan dapat terjadi di karenakan pasien tersebut sudah perimenopause, sebanyak 50% wanita dewasa pada usia lebih dari 40 terkena prolaps organ panggul dan diantara insidensi dan prevalensi diketahui meningkat dengan usia. Untuk prolapsus dengan tanpa gejala pengobatan nonmedisnya bisa disarankan untuk hidup sehat seperti diet, olahraga, dan tidak merokok itu adalah promosi kesehatan untuk pengaruh dan kekuatan dari jaringan fibromuscular. Dan dapat melakukan latihan otot dasar panggul yang akan menurunkan kecepatan dari memburuknya prolaps. Prolaps organ panggul (POP) adalah tonjolan atau herniasi struktur panggul seperti kandung kemih, usus, atau rahim ke saluran vagina akibat kelemahan atau kerusakan pada struktur dukungan panggul. Ini mungkin berhubungan dengan ketidaknyamanan panggul serta gangguan seksual, kencing, dan defecatory. Sebanyak 50% dari wanita dewasa di atas usia 40 dipengaruhi oleh prolaps organ panggul dan diantara insidensi dan prevalensi diketahui meningkat dengan usia. Selain itu, seorang wanita membawa risiko seumur hidup 11% dari menjalani operasi untuk prolaps atau inkontinensia urin pada usia 80. Banyak wanita memiliki tanda-tanda kelemahan dasar panggul dan pemeriksaan ginekologi rutin selama prolaps organ panggul. Dalam sebuah studi multicenter pengamatan yang dilakukan di Amerika Serikat, prevalensi prolaps organ panggul pada wanita berusia 18-83 dengan stadium I atau lebih adalah 76% dan ada 38% peningkatan risiko POP dengan setiap dekade usia maju. Di masa lalu, prolaps digambarkan oleh struktur dianggap berada dibelakang tonjolan vagina seperti sistokel, rectocele, atau enterokel (Tabel 1). Penggunaan istilah-istilah telah putus asa karena tidak

selalu tertentu yang benar-benar ada organ di tonjolan. Segmen vagina yang terkena dampak, seperti prolaps dinding anterior atau posterior. Oleh karena itu, prolaps organ panggul menjadi diagnosis yang lebih umum di kalangan wanita perimenopause, mengakibatkan meningkatnya kebutuhan layanan disfungsi dasar panggul. Meskipun bukan kondisi yang mengancam jiwa, prolaps organ panggul dapat menyebabkan gejala menyedihkan dasar panggul, menyebabkan menurunnya kualitas hidup, dan penarikan dari kegiatan sosial. Faktor Risiko Etiologi yang tepat dari prolaps organ panggul tidak jelas namun diyakini multifaktorial. Persalinan, persalinan pervaginam operatif, dan paritas meningkat dianggap sebagai faktor risiko terkuat untuk berkembanya prolaps. Prolaps sering berkaitan dengan peregangan, tekanan, dan trauma

neuromuscular yang berhubungan dengan melahirkan dan persalinan pervaginam. Meskipun kurang umum, prolaps tidak terjadi pada wanita yang belum memiliki anak. Ini peran yang menyoroti genetika dan etnis dalam kecenderungan wanita untuk mengembangkan prolaps. Bertambahnya usia dan indeks massa tubuh juga dianggap berhubungan dengan peningkatan risiko prolaps organ panggul. Selain itu, kondisi yang meningkatkan tekanan intraabdomen seperti batuk kronis, konstipasi kronis atau angkat berat dapat meningkatkan risiko eveloping prolaps organ panggul. Histerektomi sebelumnya juga telah terlibat mungkin karena kubah vagina tidak disambungkan ke kompleks ligamentum uterosakral dan kardinal pada saat histerektomi. Hal ini membantu untuk mengatur faktor risiko dalam kategori berikut: predisposisi, menghasut, mempromosikan, dan decompensating. Seperti tercantum dalam Tabel 2, beberapa faktor tumpang tindih kategori. Meskipun redisposing faktor-faktor seperti ras, genetika, gangguan sintesis kolagen, dan struktur, serta gangguan neuromuskuler bawaan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko prolaps, tidak ada metode saat ini untuk menyaring individu normal bagi mereka yang akan terus mengembangkan gejala POP. Berpotensi faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah cara persalinan,

obesitas, sembelit kronis, operasi panggul sebelumnya, merokok, dan deplesi estrogen. Namun, modifikasi satu atau lebih faktor risiko belum terbukti secara signifikan mengurangi kejadian gangguan ini. Hal ini menunjukkan POP yang mungkin hasil dari interaksi yang kompleks dari beberapa faktor. Organ Panggul Prolaps di Perimenopause Menopause merupakan salah satu faktor risiko yang lebih

kontroversial untuk prolaps organ panggul. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa peningkatan POP dengan usia, namun tidak jelas apakah penipisan estrogen atau proses penuaan yang mengarah ke degenerasi jaringan fibromuskular adalah penyebab cacat anatomis dan fungsional yang berhubungan dengan POP. Ada beberapa bukti bahwa perempuan pada periode perimenopause memiliki peningkatan insiden POP. Samuelsson et al. (1999) melakukan penelitian cross sectional dari 641 wanita berusia 20 sampai 59 dari distrik layanan kesehatan primer di Swedia dan menunjukkan bahwa perempuan di usia perimenopause kelompok (40 sampai 59 tahun) memiliki prevalensi yang lebih tinggi POP (45% sampai 55%) bila dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Temuan dari peningkatan risiko POP pada periode perimenopause telah dikonfirmasi oleh orang lain memeriksa perempuan dalam rentang usia yang sama. Dengan demikian, Luber et al. (2001) menunjukkan tingkat sebanding konsultasi untuk prolaps organ panggul di seluruh rentang usia pada wanita usia 30-89 menunjukkan bahwa wanita perimenopause yang lebih muda memiliki kemungkinan yang sama untuk mengembangkan gejala-gejala signifikan yang terkait dengan POP dibandingkan dengan wanita yang lebih tua. Lang et al. (2003) mencatat bahwa tingkat estradiol rendah serum dan nilai reseptor estrogen dalam ligamen uterosakral dari wanita premenopause secara signifikan terkait dengan prolaps organ panggul. Meskipun, pengganti estrogen telah terbukti meningkatkan kulit konten kolagen total dan indeks pematangan sel epitel vagina, tidak ada bukti bahwa mengobati wanita peri-atau postmenopause dengan estrogen mengurangi risiko atau keparahan prolaps organ panggul . Bahkan, hasil dari Health Initiative Perempuan (WHI) studi tidak

menunjukkan penurunan kejadian POP pada wanita pascamenopause diobati dengan HRT selama enam tahun. Namun, HRT dapat mengurangi kebutuhan untuk operasi untuk gangguan dasar panggul (prolaps organ panggul termasuk) mungkin sebagai akibat dari perbaikan gejala dari gangguan terkait dasar panggul

Pencegahan Tidak ada strategi pencegahan yang diterbitkan berhasil untuk prolaps organ panggul. Hal ini masuk akal untuk mengasumsikan bahwa gaya hidup modifikasi seperti berhenti merokok, menjaga BMI normal, mengobati sembelit kronis, menghindari angkat berat berulang-ulang, dan diet yang sehat akan mengurangi beberapa faktor POP. Selain itu, menghindari faktor risiko yang berhubungan dengan persalinan vagina seperti kala II memanjang, persalinan bayi makrosomia, atau persalinan vaginam operatif (misalnya, penggunaan forsep) dibayangkan akan mengurangi risiko POP. Namun, karena ada juga risiko yang terkait dengan operasi caesar dan terutama ulangi bedah sesar untuk persalinan berikutnya, kita harus melanjutkan dengan hatihati sebelum membuat rekomendasi umum dari operasi caesar elektif untuk mencegah gangguan dasar panggul. Selanjutnya, sebagian besar wanita yang memiliki kelahiran vagina tidak berkembang gejala POP dan kehamilan itu sendiri mungkin terkait dengan perkembangan prolaps. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan strategi pengurangan risiko yang efektif yang akan mencegah prolaps organ panggul pada wanita.17

3.5 Kaitan Dengan 4 Aspek 1. Kebutuhan Masyarakat a) Kesehatan Reproduksi Remaja Kesadaran remaja dan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja masih kurang. Akan tetapi, dalam kesehatan reproduksi remaja, masyarakat khususnya para remaja membutuhkan pelayanan yang lebih khusus untuk menangani tentang masalah yang sering terjadi pada remaja. Masih kurangnya pelayanan khusus yang menangani remaja di fasilitas kesehatan menyebabkan remaja bingung jika mengalami masalah. Tidak hanya remaja, orang tua pun perlu bantuan tenaga kesehatan dalam pelayanan khusus kepada remaja berkaitan dengan kurangnya pengetahuan orang tua tentang kesehatan reproduksi remaja dan ketidaktahuan orang tua cara memberikan pendidikan

kesehatan reproduksi remaja kepada anaknya. Walaupun banyak buku yang memuat tentang kesehatan reproduksi remaja dan kemajuan teknologi yang memungkinkan remaja dapat mencari sendiri informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, akan tetapi remaja dapat menjadi salah tanggap dengan informasi tersebut jika tidak dibarengi dengan konseling dan bimbingan terutama jika remaja ingin bertanya terhadap sesuatu yang tidak dimengerti tentang kesehatan reproduksi remaja. Kebutuhan masyarakat ini adalah sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang khusus menangani masalah yang terjadi pada kesehatan reproduksi remaja. Dalam keadaan sehat maupun sakit para remaja perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif. Pelayanan kesehatan bagi remaja sebaiknya terpisah dengan pelayanan lainnya. Pelayanan tersebut memerlukan keterlibatan yang penuh dari para remaja sendiri, orang tua, petugas kesehatan yang profesional dan masyarakat. Selama ini perhatian masyarakat hanya tertuju pada upaya peningkatan kesehatan fisik remaja semata tapi kurang memperhatikan faktor non-fisik. Kurangnya perhatian pada faktor non-fisik dapat menyebabkan seorang remaja hanya sehat fisiknya saja, namun secara psikologis rentan terhadap stres (tekanan hidup). Pada hakekatnya inti pelayanan kesehatan kepada remaja meliputi: 1. Bimbingan yang berlanjut untuk mencegah terjadinya morbiditas baru 2. 3. Melakukan pemeriksaan rutin untuk memantau kesehatan mereka Menilai dan memantau proses biologis pubertas remaja dengan berbagai keluhan yang mungkin timbul. 4. Klinik kesehatan juga berfungsi sebagai sarana deteksi dini dan mengatasi masalah perilaku beriko tinggi remaja yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Hal yang perlu diperhatikan dari klinik remaja adalah tersedianya petugas kesehatan yang menaruh perhatian penuh untuk membantu remaja yang mempunyai masalah kesehatan jiwa dan raga. Di Klinik Kesehatan dapat dilakukan skrining masalah remaja tentang kehidupan di rumah, tingkat pendidikan, masalah seksualitas, penyalahgunaan narkoba, pelayanan kesehatan raga dan penyuluhan. Petugas kesehatan dalam melakukan pendekatan kepada remaja harus bersikap empati, menghindari sikap curiga, sehingga mampu memberikan jaminan kerahasiaan seperti remaja. Saat ini masih sedikit klinik khusus kesehatan remaja, sehingga para remaja yang memiliki masalah psikososial diperiksakan kepada dokter ahli jiwa psiakater terdekat. Peran Puskesmas yang kini sudah mengakar di masyarakat bisa dikembangkan untuk mempunyai divisi khusus yang menangani permasalahan remaja. Pembentukan klinik kesehatan remaja agaknya bisa menjadi solusi mengatasi makin tingginya remaja yang terkena penyakit infeksi seksual menular dan penyakit lain akibat

penyalahgunaan narkoba. Melalui klinik khusus tersebut, remaja bisa mengungkapkan persoalannya tanpa takut-takut guna dicarikan solusi atas masalahnya tersebut. b) Menopause Dengan melihat kondisi di Indonesia, banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang menopause. Karena rendahnya pendidikan di masyarakat, tenaga kesehatan juga kurang merangkul masyarakat mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam upaya kesehatan. Seperti melakukan promotif dan preventifnya. Sehingga masyarakat di Indonesia belum menyadari akan pentingnya menopause, dan menganggap menopause sebagai suatu peristiwa alamiah biasa, yang harus dijalani oleh semua perempuan. Proses penuaan, tidak dianggap sebagai hilangnya kecantikan, tetapi sebagai proses pematangan untuk menjadi manusia bijaksana. Masih banyak daerah di Indonesia, yang

menganggap bahwa status perempuan Lansia mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat. Upaya kesehatan terdiri atas dua unsur utama, yaitu upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan. Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi

timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. Upaya kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan. Konseling menopause dapat dilakukan di praktek dokter atau di Klinik Menopause. Tim konseling, tidak hanya terdiri dari anggota yang berorientasi biomedik saja, seperti dokter, bidan, perawat, dan teknisi laboratorium, tetapi juga mereka yang berorientasi psikososial, seperti konselor, psikolog atau psikiatri, sosiolog dll. Tetapi pelayanan kesehatan yang mengacu pada kesehatan pada masa menopause belum cukup memadai. Kebutuhan masyarakat saat ini adalah sarana pelayanan kesehatan. Kurangnya sarana pelayanan mengakibatkan masyarakat lebih cenderung datang ke tenaga kesehatan jika keadaan kesehatannya sudah parah. 2. Demografi a) Kesehatan Reproduksi Remaja Demografi sangat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi remaja. Untuk di desa terpencil, fasilitas kesehatan bisa didapatkan, akan tetapi dengan jarak tempuh yang jauh. Saat ini, ada program kesehatan reproduksi remaja yang khusus menangani kesehatan reproduksi remaja. Program ini biasanya bekerjasama dengan sekolah dalam menanganai masalah kesehatan reproduksi remaja. Akan tetapi,

walaupun sudah ada program kesehatan reproduksi remaja, kegiatan tersebut terbentur dengan belum terkorrdinasinya kegiatan program keseahtan reproduksi remaja di sekolah dan masyarakat berhubungan dengan alur komunikasi tidak berjalan efektif, keterlibatan orang tua atau masyarakat tidak ada, dan rapat koordinasi antara dinas kesehatan, puskesmas, kelurahan dan sekolah belum dilakukan terkait dengan pelaksanaan program kesehatan reproduksi remaja yang dilakukan di sekolah., anggaran dana yang kurang, dan kurangnya SDM tenaga kesehatan yang bertindak sebagai Peer conselor dan peer educator. b) Menopause WHO memperkirakan proyeksi jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia pada 2025, adalah 414% dibandingkan dengan tahun 1990. Ahli demografi memproyeksikan pada masa mendatang di Indonesia terdapat banyak wanita karir yang berumur 35 tahun keatas hidup sendiri. Kecendrungan populasi perempuan menopause di Indonesia semakin tinggi. Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) perempuan Indonesia yang memasuki menopause sebesar 7,4% dari populasi pada tahun 2000. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat menjadi 11% pada tahun 2005 dan akan naik lagi sebesar 14% atau sekitar 30 juta orang pada tahun 2015. Peningkatan populasi perempuan menopause pada umumnya akan disertai berbagai tingkat dan jenis permasalahan yang kompleks yang berdampak pada peningkatan masalah kesehatan perempuan menopause tersebut. 3. SDM Kesehatan a) Kesehatan Reproduksi Remaja SDM kesehatan yng berfokus dalam pelayanan kesehatan reproduksi remaja masih kurang. Keterbatasan sumber daya dapat berdampak pada penyelenggaraan kegiatan manajemen pelayanan yang tidak baik (Azwar, 1996). Kegiatan manajemen pelayanan masih bias terselenggara dengan baik meskipun dengan keterbatasan sumber

daya, melalui pembagian tugas dan peran yang jelas serta garis komando yang jelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Marquis dan Houston (2000) yang menyatakan bahwa melalui fungsi

pengorganisasian, seluruh sumber daya yang dimiliki oleh organisasi (manusia maupun bukan manusia) seharusnya dapat dipadukan dan diatur seefisien mungkin untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah melalui pengoptimalan fungsi kader kesehatan dan kelompok sebaya.2 b) Menopause Adapun hambatan yang saat ini masih terjadi dalam memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat, keterbatasan tenaga kesehatan yang kurang memadai dan kurangnya fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan terhadap menopause, sehingga masyarakatpun dirasa kurang banyak mendapatkan informasi dan pelayanan yang semestinya tentang menopause. Bidan sebagai tenaga kesehatan berperan aktif dalam upaya promotif dan preventif menopause.18 4. Kebijakan Pemerintah a) Kesehatan Reproduksi Remaja Di Indonesia, remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi. Pengetahuan dasar yang perlu diketahui remaja adalah: Pengenalan mengenai sistem, proses, dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja). Perlunya remaja mendewasakan usia menikah serta bagaimana merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginan dirinya dan pasangan. Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi. tentang menopause. Bidan berperan dalam

memberikan konseling dan mendeteksi dini faktor resiko terjadinya

Bahaya narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) juga minuman keras (miras) pada kesehatan reproduksi. Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya. Kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negative. Hak-hak reproduksi. Di Indonesia, upaya memberikan perlindungan hak-hak

reproduksi masyarakat sudah menjadi kebijakan nasional. Menurut Pedoman Upaya Promosi dan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi yang disusun oleh BKKBN, perlindungan tentang hak-hak reproduksi ini merupakan pencerminan salah satu misi Program Keluarga Berencana Nasional, yaitu langkah mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sejak dimulainya proses pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Hak-hak reproduksi ini dipandang penting artinya bagi setiap individu demi terwujudnya kesehatan jasmani maupun rohani sesuai dengan norma-norma hidup sehat. Sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994, maka hak-hak reproduksi meliputi : 1. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. 2. Hak mendapat pelayanan dan kesehatan reproduksi. 3. Hak untuk kebebasan berfikir dan membuat keputusan tentang kesehatan reproduksinya. 4. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak. 5. Hak untuk hidup dan terbebas dari risiko kematian karena kehamilan, kelahiran dan masalah gender. 6. Hak atas kebebasan dan pelayanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi. 7. Hak untuk bebas dari penganiayan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi.

8. Hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi. 9. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan dalam reproduksisnya. 10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga. 11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam berpolitik yang bernuansa kesehatan reproduksi. 12. Hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan reproduksi Untuk di daerah Depok, kegiatan pembinaan kesehatan remaja khususnya kesehatan reproduksi belum menjadi fokus utama arah kebijakan bidang kesehatan dalam renstra 2006-2010 Dinas Kesehatan Depok berhubungan dengan tidak ada indikator jangka pendek dan jangka panjang program PKPR dan kurangnya kerjasama dengan lintas sektor dan lintas program pada pelaksanaan PKPR. Kebijakan pemerintah tentang kesehatan reproduksi remaja diatur dalam Kebijakan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi Di Indonesia yang berisi tentang: 4.a. Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja 1) Pemerintah, masyarakat termsuk remaja wajib menciptakan lingkungan yang kondusif agar remaja dapat berperilaku sehat untuk menjamin kesehatan reproduksinya. 2) Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas termasuk pelayanan informasi dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. 3) Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan remaja dengan disertai upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang.

4) Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal, dengan memberdayakan pendidik dan pengelola pendidikan pada system pendidikan yang ada. 5) Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakn secara

terkoordinasi dan berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait serta mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan kemandirian remaja. 4.b. Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja 1) Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan kebutuhan proses tumbuh kembang remaja dengan

menekankan pada upaya promotif dan preventif yaitu penundaan usia perkawinan mud dan pencegahan seks pranikah. 2) Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja

dilakukan terpadu lintas program dan lintas sector dengan melibatkan sector swasta serta LSM, yang disesuaikan dengan peran dan kompetensi masing-masing sector bagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pokja Nasional Komisi Kesehatan Reproduksi. 3) Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui pola intervensi di sekolah mencakup sekolah formal dan non formal dan di luar sekolah dengan memakai pendekatan pendidikan sebaya atau peer counselor. 4) Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui penerapan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) atau pendekatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Integratif di tingkat pelayanan dasar yang bercirikan peduli remaja dengan melibatkan remaja dalam kegiatan secara penuh. 5) Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui integrasi materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan

dan

mengembangkan

kegiatan

ekstrakurikuler

seperti:

bimbingan dan konseling, Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). 6) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja di luar sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di masyarakat seperti karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok anak jalanan di rumah singgah, kelompok remaja mesjid/gereja, kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR).19 b) Menopause Dalam permenkes 1464/MENKES/PER/X/2010 menyebutkan bahwa bidan berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dengan memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan Persatuan Menopause Indonesia (PERMI) yang berada di bawah IDI dan mempunyai 12 cabang di seluruh Indonesia, dalam rangka menanggulangi masalah menopause di Indonesia, telah

melaksanakan beberapa program (2001-2004) sebagai berikut : 1. Standarisasi manajemen menopause (2002) 2. Kursus manajemen menopause dan osteoporosis (reguler), tingkat dasar dan lanjut (2002). 3. Penentuan usia menopause dan perubahan perangai hormon reproduksi (2002). 4. Penelitian fitoestrogen dengan pelaksana PERMI Malang. 5. Simposium Nasional Menopause (2003) 6. Panduan Praktis TSH (2004). 7. Pembentukan Klinik Menopause di beberapa cabang. 8. Pembentukan perkumpulan awam menopause (paguyuban) di beberapa cabang.

BAB IV SIMPULAN

Kesehatan reproduksi remaja dan menopauase adalah keadaan dimana terdapat perubahan dikarenakan perubahan hormone. Para remaja dan wanita yang mengalami menopause sering kali mengalami keadaan yang tidak sama dengan biasanya (perubahan pada kondisi tertentu). Sebagai tenaga kesehatan, bidan harus memperhatikan dua keadaan tersebut (kesehatan reproduksi remaja dan menopause) karena fase tersebut adalah fase terjadinya perubahan. Pada saat ini, pelayanan kesehatan reproduksi remaja dan menopause masih diabaikan dikarenakan SDM kesehatan yang kurang dalam pelayanan kesehatan reproduksi remaja dan menopause. Setelah di tinjau dari 4 aspek (aspek kebutuhan masyarakat, aspek demografi, aspek SDM kesehatan, dan aspek kebijakan pemerintah) dapat disimpulkan bahwa perlu peningkatan khusus dalam meningkatkan pelayanan pada kesehatan reproduksi remaja dan menopause, terutama dalam fasilitas kesehatan, SDM kesehatan, dan kebijakan pemerintah yang mengatur lebih khusus tentang pelayanan kesehatan reproduksi remaja dan menopause.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasyid, Anuar. 2010. Efek Sosialisasi Bahaya Narkoba Terhadap Sikap Siswa SMA Muhammadiyah Bangkinang. Jurnal Teroka, Vol.10, No. 2 Agustus 2010 2. Susanto, Tantut. 2010. Analisis Situasi Penerapan Manajemen Pelayanan Keparawatan Kesehatan Komunitas: Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (Adolescent Friendly) Pada Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Aggregate Remaja Di Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Jawa Timur: Departemen Keperawatan Komunitas Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember 3. Effendi F. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta : Salema Medika , 2009. 4. P, Retno Wahyuni, Nur Lailul, Vita Kusuma R, Ikasari Rahmatina, Ferry Efendi. 2005. Penanggulangan Masalah HIV/AIDS, NAPZA, Dan Kesehatan Reproduksi Remaja Dengan Pendekatan Peer Control Group Dari, Oleh, Dan Untuk Remaja Pada Siswa SMA Kotamadya Surabaya. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya 5. http://www.remajaindonesia.org/info/80-remaja-dan-hak-reproduksi.html 6. Badziad, Ali. 2003. Endokrinologi dan Ginekologi. Jakarta : Media Aesculapius 7. Curran, D., 2009. Menopause. Department of Obstetrics and Gynecology, University of Michigan Health Systems 8. Heffner, L.J. and Schust, D.J., 2008. At A Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga 9. Sastrawinata, S., 2008. Wanita dalam Berbagai Masa Kehidupan. Dalam: Hanifa Wiknjosastro, ed. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 10. Rosenthal, Sara M., 2003. Issues Surrounding Natural and Surgical Menopause. In: Rosenthal, M. Sara, ed. The Gynecological Sourcebook. United States of America: McGraw-Hill

11. Francina, S., 2003. Yoga and The Wisdom of Menopause : A Guide to Physical, Emotional, and Spiritual Health at Midlife and Beyond. United States of America: Health Communications, Inc 12. Jacoeb, T.Z., 2008. Endokrinologi Reproduksi pada Wanita. Dalam: Hanifa Wiknjosastro, ed. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 13. http://www.ijp-online.com/article.asp?issn=02537613;year=2011;volume=43;issue=6;spage=722;epage=723;aulast=Dias 14. Rustyawati. 2005. Beberapa Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Penyalahgunaan Narkoba Terhadap Penderita Yang Dirawat Di Panti Rehabilitasi (Studi Kasus Di Semarang Dan Sekitarnya 15. Indarjo, Sofyan. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja. Semarang: Jurnal Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang 16. Purwandari, Eny. 2011. Keluarga, Kontrol Sosial, Dan Strain: Model Kontinuitas Deliquency Remaja. Humanitas, Vol. VIII No. 1 Januari 2011 17. Novi, Joseph M. 2009. Perimenopause Informa Healthcare. USA 18. Hidayat, Ahmad. 2012. Menopause Sebagai Peristiwa Biopsikososial. OBGINSOS RSHS 19. Kebijakan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi Di Indonesia

Вам также может понравиться