Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
2.1 Definisi dan Etiologi Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Price. 2004) M. tuberculosis merupakan bakteri aerobik, tahan asam, bentuk basil (batang), tipis, biasanya netral pada pengecatan Gram. Dinding selnya terbuat dari lipid yang saling berikatan dengan peptidoglikan yang mendasari, sehingga kurang permeabel. Molekul lain dalam dinding selnya yaitu, lipoarabinomannan yang merupakan interaksi antara host-patogen & memfasilitasi kelangsungan hidup dalam makrofag (PDPI. 2011) 2.2 Patogenesis Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru meliputi : penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel. Banyaknya area fibrosis menyebabkan meningkatnya usaha otot pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan 6
membrane respirasi yang menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah. Tuberkulosis paling sering ditularkan dari pasien infeksi Tuberkulosis ke orang lain melalui droplet nuclei di udara. Hal ini dapat terjadi jika seseorang memiliki Tuberkulosis yang tidak ditangani, pasien yang Tuberkulosis aktif sedang batuk, bersin, membuang ludah, atau tertawa (Staf MayoClinic, 2009). Droplet nuclei tersebut berdiameter antara 1-5 mikrometer & mengandung bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 droplet droplet infektif (Bang, 2009). Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan (GI), & luka terbuka pada kulit (Price, 2005). Kebanyakan infeksi Tuberkulosis terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang mengandung banyak kuman kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price, 2005). Droplet kecil ini cepat kering, yang paling kecil tetap berada dalam udara selama beberapa jam. Ketika mayoritas droplet droplet yang terinhalasi terperangkap di saluran nafas bagian atas & dikeluarkan oleh sel mukosa bersilia, sebuah fraksi (biasanya 10 %) mencapai alveoli (Kasper dkk, 2005). Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak dapat terjadi respon imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak semuanya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus 7
berkembang biak dalam makrofag, & akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan Fokus Primer Ghon (UKK Respirologi PP IDAI, 2005). Nekrosis di bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative padat & seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Kebanyakan fokus primer tidak berkembang menjadi lebih dari 10 mm. namun, terkadang ada yang menjadi lebih besar. Focus yang besar itu dapat memecah ke arah permukaan paru sehingga bahan perkijauan & kuman dapat memasuki rongga pleura. Hal ini tergantung pada status gizi anak baik & tingkat sensitivitasnya terhadap tuberkulin. Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Kelenjar getah bening tersebut terletak di dekat saluran napas (bronkus). Baik kelenjar getah bening maupun saluran napas menjadi semakin besar menuju ke arah pusat (pangkal) paru. Pada anak yang masih sangat kecil, kelenjar getah bening dapat menghimpit & mempersempit saluran napas yang lunaksehingga menyebabkan kolaps dari bagian paru terkait. Ini merupakan mekanisme penyebaran yang sering dijumpai pada anak anak kecil dengan keadaan gizi buruk (Crofton dkk, 2002). Penyebaran ini menyebabkan terjadinya Inflamasi di saluran limfe (limfangitis) & kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis , & limfadenitis dinamakan kompleks primer (UKK Respirologi PP IDAI, 2005). Apa yang terjadi kemudian tergantung dari kemampuan sang anak untuk melawan perkembangbiakan kuman & untuk mengatasi perkijauan yang terjadi. Kemampuan tersebut berbeda beda pada berbagai usia yang 8
paling lemah pada anak yang masih sangat kecil. Kemampuan tersebut juga dipengaruhi oleh keadaan gizi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan kekebalan tubuh. 2.3 Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya 2.3.1 Gejala klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
Gejala respiratorik Batuk 2 minggu Batuk darah Sesak napas Nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala sistemik 9
Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. 2.3.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
10
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadangkadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess
2.3.3 Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan bakteriologik untuk menmukan kuman Tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bhan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkolaveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsy ( termasuk biopsi jarum halus/ BJH)
2.3.4. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular 11
Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan pleura
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) : Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal. 2.3.5. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
12
2.3.6. Uji tuberkulin Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
2.4. Pengobatan Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Obat yang dipakai: Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Streptomisin
o o o o o
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : Kapreomisin Sikloserin PAS (dulu tersedia) Derivat rifampisin dan INH Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan
penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR
Fase intensif 2 bulan 3x/mingg BB Harian RHZE 150/75/4 30-37 38-54 55-70 >71 00/275 2 3 4 5 Harian u RHZ 150/75/4 00 2 3 4 5 RHZ 150/150/5 00 2 3 4 5 Kemungkinan Penyebab
Fase lanjutan Atau 6 4 bulan bulan Haria n RH RH 150/7 150/150 5 2 3 4 5 2 3 4 5 50 1,5 2 3 3 400/1 3x/ming Harian gu EH
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni
Obat diminum malam sebelum tidur Beri aspirin /allopurinol Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mg perhari Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
Rifampisin
Efek samping
Mayor
Kemungkinan Penyeb ab
Tatalaksana
Hentikan obat penyebab
15
Gatal dan kemerahan pada kulit Tuli Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus) Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan) Muntah dan confusion (suspected drug-induced pre-icteric hepatitis) Gangguan penglihatan Kelainan sistemik, termasuk syok dan purpura
Beri antihistamin & dievaluasi ketat Streptomisin dihentikan ganti etambutol Streptomisin dihentikan ganti etambutol Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati Hentikan ethambutol Hentikan Rifampisin
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan :2 RHZE / 4 RH
atau :2 RHZE / 4R3H3 atau :2 RHZE/ 6HE Paduan ini dianjurkan untuk a. TB paru BTA (+), kasus baru b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru) 16
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZ / 4 RH atau : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE TB paru kasus kambuh Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB). TB Paru kasus gagal pengobatan Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1-2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi - Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
17
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal - Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
TB Paru kasus putus berobat Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan,
pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan: 1) Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan
radiologik tidak aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal 2) Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal 18
3)
Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan
klinik dan radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama. Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT
TB Paru kasus kronik Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Kasus - TB paru BTA +, Paduan obat yang diajurkan 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE / 6 HE atau 2RHZE / 4R3H3 -2 RHZES/1RHZE / 5 RHE -2 RHZES lalu sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES/1RHZE / 5R3H3E3 Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat Keteran gan
Kategori I
II
lalai
19
III
BTA lesi
dan keadaan klinik, bakteriologik & radiologik saat ini (lihat uraiannya) atau 2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3 2 RHZ / 4 RH atau 6 RHE atau 2RHZ /4 R3H3 Sesuai uji resistensi (minimal 3 obat sensitif dengan H tetap diberikan) atau H seumur hidup Sesuai uji resistensi + kuinolon atau H seumur hidup
IV
IV
- MDR TB
2.5. Evaluasi Pengobatan Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik o o o o Sebelum pengobatan dimulai Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) Pada akhir pengobatan Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan
uji resistensi
Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: Sebelum pengobatan Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan) 21
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan resistensi. berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
22
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
2.5. Resisten Ganda (Multi Drug Resistance/MDR) Rsistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi : Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu : Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya
yang kurang atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya 23
ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang
menimbulkan kebosanan Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru
TB PARU DENGAN HIV / AIDS Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)
Tabel 7. Indikasi tes darah HIV Kombinasi dari A dan B ( 1 kelompok A dan 1 dari B) A. Berat badan turun drastis TB paru 24
Sariawan / stomatitis berulang Sarkoma kaposi B. Riwayat perilaku risiko tinggi Pengguna NAZA suntikan Homoseksual Waria Pekerja seks Pramuria panti pijat
obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya
karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik
sekali pakai yang steril. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons
terhadap pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat
penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum
25
RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak INH diberikan terus menerus seumur hidup. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman
pengobatan MDR-TB
Waktu Memulai Terapi Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 8)
Tabel 8. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV Kondisi TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB ekstrapulmonal terhadap AOT telah tercapai TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 Mulai terapi OAT. Terapi ARV atau hitung limfosit total < 1200 sel/mm3 dimulai setelah 2 bulan Mulai terapi TB. Jika TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung limfosit total > 1200/mm3 memungkinkan monitor hitung CD4. Mulai ARV sesuai indikasi* setelah terapi TB selesai Rekomendasi Mulai terapi OAT, segera mulai terapi ARV jika toleransi
26
*simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome / pneumonia P. Carinii/ toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo / kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml)
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus) Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-
nukleotida dan inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
27