Вы находитесь на странице: 1из 14

A.

Pendahuluan Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Ulama hadits Bukhari dan Muslim telah membuat kriteria dan persyaratan penerimaan riwayat yang ketat. Persyaratan itu dikenal di kalangan ulama hadits, seperti tersebut dalam kitab-kitab musthalah al-hadits. Bahkan, kriteria buatan Bukhari dan Muslim diakui canggih oleh semua ulama. Itu sebabnya hadits riwayat kedua ulama tersebut dipandang sahih. Para ulama pun menyebut kitab karya Bukhari-Muslim dengan Shahihayn (Dua Kitab Hadits Sahih). Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua metoda ilmiah dalam periwayatan hadits yang baku, merupakan jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang ilmuilmu agama. Metoda tersebut menerangkan keadaan perawi hadits, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if) periwayatannya. Dengan itu kita dapat mendeteksi para pendusta, yang membuat hadits palsu. Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak. Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak. Metoda tersebut tidak dimiliki oleh kaum Rafidhah. Bahkan mereka menolaknya, sebab metoda periwayatan Sunni itu menghukum mereka sebagai pendusta yang membuat hadits-hadits palsu, seperti diakui oleh ibn Abil Hadid. Karena itu, kaum Rafidhah menetapkan tiga kriteria penerimaan riwayat, seperti dijelaskan ibn Taymiyah berikut ini: 1. Perawi hadits Rafidhah harus ma'shum. Maksudnya, harus imam yang ma'shum. 2. Perawi hadits tidak perlu menyebutkan sanad atau silsilah periwayatan. Tetapi ia cukup berkata, "Rasulullah bersabda," tanpa menyebutkan sanad atau dari siapa dan dari siapa. 3. Kesepakatan turun-temurun dari para Imam yang Dua belas. Menurut kaum Rafidhah, apa saja yang diriwayatkan oleh salah seorang dari imam yang Dua belas, bukan keseluruhan mereka, itu sudah merupakan kesepakatan mereka semua. Alasannya, seorang imam adalah ma'shum, terbebas dari kesalahan.

Adab Muhaddits Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits serta menyebarluaskannya ketengah-tengah masyarakat, maka seorang muhaddits sudah selayaknya menjadi teladan, bersifat jujur terhadap apa yang disampaikannya, dan mengamalkan hadits pada dirinya sendiri sebelum memerintahkannya pada orang lain. Hal-Hal Utama yang Menjadi Adab Muhaddits 1. Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitas. 2. Memberi perhatian yang amat besar terhadap penyebarluasan hadits, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam rangka meraih pahala yang melimpah. 3. Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya. 4. Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits. Anjuran-Anjuran Jika Hendak Menghadiri Mejelis 1. Bersuci, merapikan diri, dan menata jenggot 2. Duduk dengan tentang dan penuh perhatian sebagai penghormatan terhadap hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. 3. Menghadap kepada seluruh peserta majelis serta tidak menaruh perhatian hanya pada orang-orang tertentu dengan melalaikan peserta yang lain. 4. Membuka dan menutup majelis dengan pujian kepada Allah Taala serta shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Usia Seseorang Sehingga Layak Untuk Menyampaikan Hadits Dalam hal ini ada perbedaan pendapat: 1. Ada yang berpendapat usia lima puluh tahun. Ada pula yang mengatakan usia empat puluh tahun. 2. Pendapat yang benar adalah ketika seseorang sudah memiliki kemampuan dan sanggup membentuk majelis hadits, berapa pun usianya. Kitab yang Populer 1. Al-Jami li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabi As-Sami, karya Khatib Al-Baghdadi. 2. Jamiu Bayani Al-Ilmi wa Fadhilihi wa ma Yanbaghi I Rawayatihi wa Hamlihi, karya Ibnu Abdil Bar.

Adab Penuntut Ilmu Hadits Adab yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu hadits yaitu berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan adab muhaddits, dan ada juga yang khusus bagi penuntut ilmu hadits. Adab yang Bersekutu Dengan Adab Muhaddits 1. Meluruskan niat dan ikhlas hanya kepada Allah Taala dalam menuntut ilmu hadits. 2. Bersikap hati-hati terhadap tujuannya menuntut ilmu hadits yang bisa menjerumuskannya pada motivasi keduniawian. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan untuk Allah Taala, dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian, maka pada hari Kiamat tidak akan memperoleh harumnya wangi surga. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah) 3. Mengamalkan hadits yang didengarnya. Adab yang Berlaku Khusus Bagi Penuntut Ilmu Hadits 1. Senantiasa meminta taufik, arahan, kemudahan, dan pertolongan Allah Taala dalam hal hafalan hadits dan pemahamannya. 2. Selalu memperhatikan hadits secara komprehensif dan mengerahkan seluruh upaya untuk meraihnya. 3. Memulai dengan mendengar dari para guru yang paling utama di negerinya, baik dalam hal sanad, ilmu, maupun agamanya. 4. Memuliakan gurunya dan orang-orang yang mendengarkannya serta senantiasa menghormatinya. 5. Sifat malu dan sombong hendaknya tidak menghalanginya untuk terus mendengar dan mendapatkan ilmu, meskipun berasal dari orang yang lebih muda atau kedudukannya lebih rendah. 6. Berusaha memahami hadits yang telah ditulis. Oleh karena itu, ia harus rela melelahkan dirinya tanpat mengenal waktu. 7. Dalam hal mendengar, menghafal, dan memahaminya, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, lalu Sunan Al-Kubra Baihaqi. Setelah itu bersandar pada kitab-kitab musnad dan jawami, seperti Musnad Imam Ahmad, Al-Muwatha Imam Malik, termasuk kitab Ilal seperti Ilal Daruquthni. 8. Sedangkan kitab yang memuat nama-nama perawi adalah Tarikh Kabir Imam Bukhari, begitu juga Jarh wa Tadil Ibnu Abi Hatim, Diabthu Al-Asma Ibnu Makula. Kitab yang membahas hadits gharib adalah kitab An-Nihayat Ibnu Katsir.

Daftar Pustaka Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah

Syarat-syarat seorang perawi Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus : 1. Beragama Islam. 2. Baligh. 3. Berakal. 4. Tidak fasiq. 5. Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muruah). 6. Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya. 7. Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya. 8. Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.1[1] Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perawi haruslah memiliki sifat-sifat khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bidah Dan juga seorang perawi, benarbenar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lafadz dan maksudnya, memahami perbedaanperbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat. Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lafadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam. Sifat-sifat hadits yang diterima:
1[1] http://syarat-syarat perawi

Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah SAW.

Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan.

Betul-betul hafal. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.2[2]

B. Cara-cara menerima (tahammul) riwayat Periwayatan anak-anak, orang kafir dan orang fasik Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.3[3] Macam-macam cara menerima riwayat Cara untuk menerima riwayat hadits ada delapan :

2[2] Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma Arif. 1968 3[3] http://cara menerima riwayat

a.

As-Samamin lafa>dzi Al-syaikhi atau mendengar lafadh syaikh (guru) Yaitu mendengar sendiri dari perkataan guru, baik secara didektekan maupun bukan, baik dari hafalannya maupun tulisan, baik guru itu dihadapan tanpa hijab, maupun pakai hijab/tabir. Menurut jumhur ulama, as-samamin lafadhi Al-syaikhi merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam as-sama yaitu :

, ialah seseorang telah mengabarkan kepadaku / kami. , ialah seseorang telah bercerita kepadaku / kami. , ialah saya / kami telah mendengar.

b. Al-Qiraah Ala> asy-Syaikhi atau membaca kepada syaikh. Disebut juga dengan Aradh adalah membaca dengan hafalan. Karena si pembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan guru, baik membacanya sendiri maupun orang lain yang membaca sedangkan dianya mendengarnya. Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.4[4] Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh, apakah dia setingkat dengan as-sama, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih rendah dari assama. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam al-qiraah yaitu :

ialah aku membacakan dihadapannya (guru) ialah dibacakan oleh seseorang di hadapannya (guru) sedangkan aku
mendengarkannya.

, ialah telah mengabarkan, menceritakan padaku secara pembacaan


dihadapannya (guru).

4[4]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Cet.6; Jakarta: Rajawali Pers, 2010.)

Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain. c. Al-Ija>zah Yaitu seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits, baik dengan ucapan atau tulisan. Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Ada beberapa macam ijazah adalah sebagai berikut: Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan, Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya. Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafadh yang digunakan dalam ijazah adalah : ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan),

haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).5[5]

d. Al-Muna>walah atau menyerahkan. Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Al-Muna>walah ada dua macam : 1. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macammacam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari pada as-sama dan al-qiraah. Lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dalam Al-Muna>walah yang disertai dengan ijazah yaitu : 2.

, ialah seseorang telah memberitahukan kepadaku / kami.


Al-Muna>walah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : Ini adalah riwayatku. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dalam Al-Muna>walah yang tidak diiringi ijazah yaitu :

e.

, ialah seseorang telah memberitakan kepadaku / kami.


Muka>tabah} Yaitu seorang guru menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.6[6]
5[5] T. M. Hasbi al-Shiddi>qi, Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadits.

6[6] ibid

Mukatabah ada 2 macam yaitu sebagai berikut : 1. Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah. 2. Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk

meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri. Lafadz-lafadz yang digunakan dalam mukatabah yaitu :

ialah seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat-menyurat. ialah seseorang telah mengkhabarkan kepadaku dengan menulis surat. ialah seseorang telah menulis kepadaku.

f.

Al-Wijdah} (mendapat) Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-wijdah yaitu :

ialah saya telah membaca khat seseorang. ialah kudapati khat seseorang. ialah bercerita padaku sipulan.

g. Al-Washiyyah (mewasiati) Yaitu seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.

Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-washiyyah yaitu :

ialah seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab


yang dia berkata dalam kitab itu, telah bercerita kepadamu sifulan.

h. Al-Ila>m (memberitahu) Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru, dengan tidak mengatakan / menyuruh agar simurid meriwayatkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-Ilam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Lafadz-lafadz yang digunakan dalam al-Ilam yaitu :

ialah seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya, telah berkata


kepadaku.7[7]

C. Cara-cara menyampaikan (ada) riwayat Lafadz-lafadz untuk menyampaikan riwayat. Dapat dikelompokkan menjadi 2: Pertama : Lafadz meriwayatkan hadits bagi para perawi yang mendengar langsung dari gurunya. Lafadz ini tersusun sebagai berikut : a. , adalah saya / kami telah mendengar. Lafadz ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkan tinggi martabatnya, lantaran rawirawinya pada mendengar sendiri, baik berhadapan muka dengan guru tanpa hijab atau berhadapan dengan guru memakai hijab. b. , adalah seseorang telah bercerita kepadaku / kami. Lafadz hadits ini oleh jumhur ulama kadang-kadang dirumuskan dengan : , ,

, , ,
c. , adalah telah mengkhabarkan padaku / kami.
7[7] Fathur Rachman, op, cit.

Lafadz ini oleh para muhaditsin dirumuskan dengan : Menurut Asy-Syafii dan ulama-ulama timur, memberikan lafadz ( untuk rawi yang mendengar langsung dari guru ), dengan ( untuk rawi yang membaca atau menghafal hadits dihadapan guru, lalu guru mengiakan. d. , adalah seseorang memberitahukan kepadaku / kami. Lafadz ini sedikit sekali pemakaiannya. e. f.

, adalah seseorang telah berkata padaku / kami. , adalah seseorang telah menuturkan padaku / kami.
Disamping lafadz-lafadz di atas, terkadang dijumpai rumus atau lafadz sebagai berikut :

berarti berarti
Kedua Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri:

( diriwayatkan oleh), ( dihikayatkan oleh), ( dari), ( bahwasanya). Lafadz ini


sulit untuk menyakininya, kecuali ada qarinah yang lain untuk menguatkan sabda Nabi.8[8] Macam-macam cara meriwayatkan hadits (Al-Ada) a) Riwa>yat al-Aqran Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya umurnya, atau yang seperguruan, yakni sama-sama belajar dari seorang guru, maka periwayatan ini disebut riwayatul Aqran. Faedah mengetahui riwayat ini adalah agar jangan dikira bahwa pada hadits tersebut terdapat kelebihan sanad. b) Riwa>yat al-Mudabbaj Apabila masing-masing mereka yang seteman tersebut, saling meriwayatkan maka periwayatkan yang sedemikian itu disebut riwayatul mudabbaj. Riwayatul mudabbaj lebih
8[8] http://cara menyampaikan riwayat

khusus dari riwayatul Aqran sebab setiap riwayatul mudabbaj termasuk riwayatul Aqran, tetapi tidak setiap riwayatul Aqran termasuk riwayatul mudabbaj. Faedahnya adalah untuk menghindari adanya sangkaan, bahwa penyebutan dua orang rawi yang sekawan tersebut adalah karena silap. c) Riwa>yat al-Akabbir Anil al-shaghi>r Adalah periwayatan hadits seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya dari rawi yang lebih rendah usianya atau lebih sedikit ilmunya yang diperoleh dari seorang guru. Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi pemutarbalikan rawi dan untuk menjauhkan persangkaan kebanyakan orang, bahwa sang guru itu lebih pintar daripada muridnya. Padahal tidak tentu demikian. d) Riwa>yat al-Shahabah an al-Tabiin anish-shahabah Adalah periwayatan seorang sahabat yang diterima dari seorang tabiin, sedangkan tabiin ini menerima dari seorang sahabat pula. e) Riwayat al-Sabiq dan al-Lahiq Apabila dua rawi yang pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian salah seorang dari padanya meninggal dunia, maka riwayat yang disampaikan oleh rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut dengan riwayatul Sabiq. Sedangkan riwayat yang disampaikan oleh orang yang terakhir meninggalnya disebut riwayatul lahiq. Faedahnya adalah untuk menghindari persangkaan, bahwa ada rawi yang dibuang atau untuk mengetahui ketinggian sanad suatu hadits.9[9]

BAB III PENUTUP Kesimpulan

9[9] Ibid.

Jalan menerima hadits (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak. Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh para ulama adalah: As-Sima>, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte. Al-ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang dipakai adalah akhbarana. Al-Ija>zah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana. Al-Muna>walah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana. Al-Kita>bah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah. Ila>m al-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum meninggal. Al-Wija>dah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqi, T. M. Hasbi. Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis. Rahman, fatchur. 1968. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma Arif. Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers. http://referensiagama.blogspot.com http://cara menerima riwayat http://syarat-syarat perawi http://cara meriwayatkan hadits DAFTAR PUSTAKA : Drs, H, Mudassir.2005. Ilmu hadits. Pustaka setia : Bandung. Dr, Wijaya, Utangranu, MA. 1996. ilmu hadits . Gaya media pratama : Jakarta. Prof, Dr. Asy- Syidieqi, teungku M, hasyby. 2009. llmu hadits edisi 3 . pustakariski putra: semarang. http://wikipedia.com. Dr. H. Abdul Majid Khon. 2009. ulumul hadits. Amzah : Jakarta.

Вам также может понравиться