Вы находитесь на странице: 1из 29

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1.

Word Of Mouth

2.1.1 Definisi Word of mouth

Kebanyakan proses komunikasi antar manusia adalah melalui WOM. Setiap orang setiap hari berbicara dengan yang lainnya. Saling tukar pikiran, saling tukar informasi, saling berkomentar dan proses komunikasi yang lainnya. Konsumen banyak melihat iklan-iklan di media massa setiap harinya maka konsumen tersebut melindungi dirinya dari serangan begitu banyak iklan dengan lebih mendengarkan teman atau sumber lain yang mereka percayai. Hal ini terjadi karena informasi dari teman akan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari iklan. Informasi yang diperoleh dari orangtua lebih bernilai dan dapat dipercaya dibandingkan dari brosur. Dalam hal ini pengaruh individu lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh informasi dari iklan. Pada umumnya, seseorang lebih menghormati teman dan oleh karena itu teman lebih dapat dipercaya. Lebih jauh dari itu, informasi dari teman, tetangga, atau keluarga akan mengurangi risiko pembelian, sebab konsumen terlebih dahulu bisa melihat dan mengamati produk yang akan dibelikannya dari teman, tetangga atau keluarga. Selain itu informasi yang diperoleh berdasarkan word-of-mouth communication juga dapat mengurangi pencarian informasi. Word of mouth, atau biasa disingkat WOM, menurut WOM Marketing Association (WOMMA), merupakan usaha meneruskan informasi dari satu konsumen

ke konsumen lain (www.WOMma.com, 2007). Sedangkan WOM Marketing menurut WOMMA, adalah memberikan pelanggan alasan untuk membicarakan produk dan layanan, dan memudahkan pembicaraan tersebut terjadi. WOM Marketing adalah seni dan ilmu membangun komunikasi yang baik dan saling menguntungkan dari konsumen-ke-konsumen maupun konsumen ke produsen. Secara sederhana WOM adalah bahwa informasi apapun terkait produk dapat disebarkan dari orang yang satu ke orang yang lain. Brown et al (2005) dalam Harsasi (2006) mendefinisikan WOM sebagai informasi tentang suatu target objek yang dipindahkan dari satu individu ke individu lain yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui media komunikasi. Sedangkan menurut WOM Marketing Association (WOMMA) WOM adalah usaha pemasaran yang memicu konsumen untuk membicarakan, mempromosikan, merekomendasikan hingga menjual merek kepada calon konsumen lainnya. Steffes dan Burgee (2008) mengemukakan bahwa WOM adalah segala macam bentuk komunikasi informal yang diarahkan pada konsumen-konsumen lain mengenai kepemilikan, penggunaan atau karakteristik barang-barang tertentu dan juga penjualannya. Sweeney et al (2006) mengemukakan bahwa pada intinya, WOM adalah proses pengaruh personal antara pengirim dan penerima dalam komunikasi interpersonal yang mana dapat mengubah perilaku maupun pikiran si penerima. Putri (2007), mengartikan word-of-mouth seperti buzz, yaitu obrolan murni di tingkat konsumen yang menular, tentang orang, barang atau tempat (infectious

chatter; genuine, street level excitement about a hot new person, place or thing). Atau secara lebih umum obrolan tentang brand. Adapun Kotler (2001) mendefinisikan WOM sebagai suatu komunikasi interpersonal tentang produk diantara pembeli dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sementara Harrisson dan Walker dalam Harsasi (2006) mendefinisikan WOM sebagai informasi informal dari satu orang ke orang lain antara seorang pembawa pesan nonkomersial tentang apa yang dirasanya dengan penerima terhadap suatu produk, organisasi, jasa, dan merek. WOM diyakini memiliki efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan iklan biasa, karena WOM berasal dari informan yang lebih dipercaya oleh konsumen dan kebanyakan berasal dari kelompok orangorang terdekatnya. WOM menjadi bagian penting dalam studi pemasaran mengingat bahwa komunikasi dalam WOM mampu mempengaruhi keputusan pembelian konsumen (Noviandra, 2003 dalam Harsasi, 2006). di sisi lain, kekuatan WOM juga bertambah mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senang berinteraksi dan berbagi dengan sesamanya termasuk masalah preferensi pembelian. WOM mampu menyebar begitu cepat bila individu yang menyebarkannya juga memiliki jaringan yang luas. WOM adalah suatu sarana komunikasi pemasaran yang efektif, murah, dan kredibel (Kertajaya, 2007). WOM juga penting karena esensi pemasaran adalah mempromosikan dengan meyakinkan untuk kemudian diakhiri dengan keputusan

pembelian, (Sholihati, 2009). Bahkan menurut Kumar et al (2002) pelanggan yang

paling berharga itu bukanlah pelanggan yang paling banyak membeli, melainkan pelanggan yang paling banyak beraktivitas WOM dan mampu membawa pelanggan yang lain untuk membeli di perusahaan, tanpa memperhatikan banyaknya pembelian yang pelanggan-pelanggan tersebut lakukan sendiri. Kurtz dan Clow dalam Harsasi(2006) membagi 3 sumber darimana WOM berasal, yakni : 1. Personal Sources Meliputi teman, keluarga, maupun rekan kerja. Contohnya dalam memilih restoran favorit, calon konsumen akan bertanya pada keluarga tentang restoran mana yang akan direkomendasikan. 2. Expert Sources Konsumen akan lebih percaya seorang ahli yang memiliki informasi yang dinilai lebih baik dari sumber informasi personal. Contohnya dalam teman atau

menyewa jasa pengacara, meminta pendapat seorang ahli sangat diperlukan. Sumber ini akan lebih bernilai ketika konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan informasi jasa ideal yang harusnya mereka dapatkan.
3.

Derived Source. Digunakan dalam membentuk ekspektasi dan berasal dari sumber ketiga. Contohnya ialah testimony pada iklan yang mengarahkan dan meyakinkan calon kosumen lainnya terkait kehandalan produk yang dikonsumsi.

Jenis-jenis WOM di atas dilihat dari sisi sumbernya, sedangkan bila dilihat dari sifatnya, maka WOM dapat dibagi ke dalam 2 sifat, (Harasi, 2006) ;
1.

Negatif WOM\ Merupakan bentuk WOM yang bersifat negatif dan membahayakan kesuksesan perusahaan. Dikatakan bahaya karena, konsumen yang tidak puas akan menyebarkan ketidakpuasannya tersebut kepada orang lain.

2.

Positive WOM Kebalikan dari WOM negatif, WOM yang positif sangat berguna bagi perusahaan dan memiliki dampak serta efek pada keputusan pembelian konsumen.

Penelitian Februadi dan Kusdibyo dalam Harsasi (2006) yang menunjukkan bahwa WOM negatif mempunyai kekuatan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan WOM yang positif, konsumen cenderung untuk mempercayai WOM negatif karena sifat alaminya yang menghindari resiko (Harasi, 2006). Harasi (2006) bahkan mengungkap hasil temuannya, yang menunjukkan bahwa konsumen yang puas hanya akan menceritakan kepuasannya tersebut hanya pada sekitar 5 orang saja, sebaliknya bila ia tidak puas maka ia akan menceritakan ketidakpuasannya itu pada sekitar 9 orang. Lebih jauh, Kotler dan Keller (2006) bahkan mengungkapkan bahwa konsumen yang puas akan menceritakan kepuasannya hanya pada tiga orang di sekelilingnya saja. Sementara, bila ia tidak puas maka ia akan menceritakannya

pada sebelas orang di sekitarnya. Harsasi (2006) mengungkapkan bahwa jika masing-masing orang tersebut menceritakan hal yang sama kepada orang lain, maka efek WOM akan meningkat secara eksponensial. Kotler (2000) menyatakan bahwa kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Kepuasan konsumen sangat bergantung pada persepsi dan harapan konsumen. Gasperz (dalam Nasution, 2005) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan harapan konsumen, adalah sebagai berikut :
1.

Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan konsumen ketika sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen produk (perusahaan).

2.

Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya.

3.

Pengalaman dari teman-teman, Komunikasi melalui iklan dan pemasaran mempengaruhi persepsi konsumen.

Dari beragam pengertian kepuasan konsumen diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen merupakan tanggapan perilaku, berupa evaluasi atau penilaian purnabeli konsumen terhadap penampilan, kinerja suatu barang atau jasa yang dirasakan konsumen dibandingkan dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan terhadap produk atau jasa tersebut. Hal ini yang dapat menimbulkan kepuasan konsumen, pembelian ulang dan loyalitas. Dan kepuasan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh persepsi dan harapan konsumen terhadap suatu produk atau jasa.

WOM sendiri adalah mempengaruhi seseorang dalam berprilaku serta minat pembelian dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh non profesional baik sadar maupun tidak sadar, dimana positif WOM memberikan perhatian yang lebih terhadap suatu produk dan minat beli dibandingkan konsumen yang menerima negatif WOM, karena WOM dikenal sebagai alat yang memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi pilihan para konsumen, dan juga banyaknya perusahaan yang memanfaatkan konsumen yang merasa puas sebagai subjek yang berbicara dengan calon konsumen lainnya. Hasil penelitian ini didapat bahwa suatu media WOM pada suatu produk dapat efektif mempengaruhi suatu perilaku dan minat beli seseorang terhadap produk atau jasa yang memiliki perbedaan tingkat keterlibatan serta suatu informasi WOM dari satu pesan dan satu sumber . Pengaruh WOM berdasarkan perilaku dalam suatu lingkungan yang menunjukkan mengenai perbedaan peranan dalam hubungan sosial yang kuat dan lemah pada fenomena WOM yaitu kekuatan dalam hubungan yang lemah yaitu suatu hubungan yang terjadi dalam suatu hubungan yang kuat atau inti, seseorang yang menjadi rekomendasi adalah seseorang yang mempunyai hubungan dekat atau kuat tetapi suatu hubungan tersebut mempunyai kekuatan yang lemah seperti halnya frekuensi interaksi yang jarang dilakukan dan kekuatan pada hubungan yang kuat suatu hubungan yang terjadi dengan interaksi yang selalu berlangsung sering dilakukan. Penelitian ini menunjukkan beberapa aspek pada perilaku WOM dalam suatu hubungan perspektif akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam penyebaran

WOM dari referral atau orang yang merekomendasikan suatu jasa atau produk yang ditawarkan dengan hubungan pada level perorangan Definisi WOM lainnya dikemukan Emanuel Rosen Keseluruhan komunikasi orang ke orang mengenai suatu produk, jasa, atau perusahaan tertentu pada suatu waktu. Dalam bukunya Emanuel Rosen menjelaskan pula bahwa WOM tidak mempengaruhi semua bisnis dengan cara yang sama, dimana peranan yang dimainkannya dalam bisnis tergantung pada jenis produk:
1.

Exciting products, produk-produk yang menggairahkan seperti buku, piringan hitam dan film

2.

Innovative products, orang membicarakannya baik karena produk-produk ini dapat memberikan manfaat baru baginya dan juga karena orang terkesan oleh kepandaian para penciptannya.

3.

Personal experience products, produk-produk pengalaman pribadi yaitu jika pengalaman pribadi diperlukan untuk menilai produk atau jasa, komentar dan desas-desus dapat diharapkan,seperti hotel, restoren, mobil, dan lain-lainnya.

4.

Complex products, produk-produk yang kompleks, seperti perangkat lunak atau alat kedokteran. Orang akan membicarakannya karena alat-alat ini merupakan kebutuhan untuk mengurangi resiko.

5.

Expensive products, produk-produk yang mahal, seperti computer atau barang-barang elektronik konsumsi, resiko juga yang menjadi faktor utama orang-orang membicarakannya

6.

Observable products, produk-produk yang diamati seperti baju, mobil dan telepon genggam. Orang cenderung membicarakan apa yang mereka lihat. Jika produk tersebut tidak terlihat oleh konsumen, maka kemungkinan mereka kurang untuk membicarakannya.

Jika dilihat dari sifatnya produk jasa PO Sumber Kencono termasuk Personal experience products karena merupakan produk-produk jasa berwujud pengalaman yang menghasilkan komentar pengalaman dan desas-desus.
2.1.2 Aspek - aspek WOM

Dari penjelasan di atas ada 5 aspek yang dibutuhkan untuk word of mouth agar dapat menyebar yaitu : 1. Talkers (Pembicara), yaitu yang pertama dalam elemen ini adalah mengetahui siapa pembicara dalam hal ini, pembicara adalah konsumen yang telah mengkonsumsi produk atau jasa yang telah diberikan, terkadang orang lain cenderung dalam memilih atau memutuskan suatu produk tergantung kepada konsumen yang telah berpengalaman menggunakan produk atau jasa tersebut atau biasa disebut dengan referral pihak yang merekomendasikan suatu produk atau jasa. Talkers (pembicara) berbicara karena mereka merasa senang berbagi cerita atau pengalaman kepada keluarga, teman ,relasi maupun orang yang berada dekat dengan mereka. 2. Topics (Topik9) yaitu adanya suatu word of mouth karena tercipta suatu pesan atau perihal yang membuat mereka berbicara mengenai produk atau

jasa, seperti halnya pelayanan yang diberikan, karena suatu produk mempunyai keunggulan tersendiri, tentang perusahaan , lokasi yang strategis. 3. Tools (alat), yaitu mengetahui pesan atau perihal yang membuat mereka berbicara mengenai produk atau jasa tersebut dibutuhkan suatu alat untuk membantu agar pesan tersebut dapat berjalan, seperti website game yang diciptakan untuk orang-orang bermain, jejaring sosial seperti facebook, twittter dan suatu tempat dan waktu dimana bisa menimbulkan word of mouth seperti komunitas, lingkungan kerja,dan lingkungan sosial, brosur, spanduk, melalui iklan diradio, televisi, dan apa saja alat yang bisa membuat orang mudah membicarakan atau menularkan suatu produk atau jasa kepada temannya. 4. Taking Part (Partisipasi), yaitu suatu partisipasi perusahaan seperti halnya dalam menanggapi respon pertanyaan-pertanyaan mengenai produk atau jasa tersebut dari para calon konsumen dengan menjelaskan secara lebih jelas dan terperinci mengenai produk atau jasa tersebut, melakukan follow up ke konsumen sehingga mereka melakukan suatu proses pengambilan keputusan. 5. Tracking (Pengawasan) setelah suatu alat tersebut berguna dalam proses word of mouth dan perusahaan pun cepat tanggap dalam merespon tanggapan konsumen, perlu pula pengawasan akan word of mouth yang telah ada tersebut yaitu dengan melihat hasil seperti dalam kotak saran

sehingga terdapat informasi banyaknya word of mouth positif atau word of mouth negatif dari para konsumen. Sehingga komunikasi word of mouth yang positif dan negatif akan mempengaruhi sejauh mana pihak lain akan menggunakan produk atau jasa tersebut seperti halnya dalam industri transportasi (industri jasa), apabila seseorang akan memutuskan untuk menggunakan jasa tersebut, seseorang tersebut akan mulai berinteraksi dengan penyedia jasa dan akan merasakan suatu fungsional jasa yang diberikan, maka seseorang tersebut akan menceritakan suatu pengalamannya terhadap suatu jasa yang telah diterima tersebut kepada pihak lain. WOM positif diyakini sebagai sarana yang sangat berharga dalam mempromosikan suatu produk barang dan jasa perusahaan. Sedangkan WOM negatif akan mengurangi suatu promosi akan suatu produk barang dan jasa perusahaan
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi WOM

WOM tidak mempengaruhi semua bisnis dengan cara yang sama, dimana peranan yang dimainkannya dalam bisnis tergantung pada jenis produk:
1.

Exciting products, produk-produk yang menggairahkan seperti buku, piringan hitam dan film

2.

Innovative products, orang membicarakannya baik karena produk-produk ini dapat memberikan manfaat baru baginya dan juga karena orang terkesan oleh kepandaian para penciptannya.

3.

Personal experience products, produk-produk pengalaman pribadi yaitu jika pengalaman pribadi diperlukan untuk menilai produk atau

jasa,komentar dan desas-desus dapat diharapkan,seperti hotel, restoren, mobil, dan lain-lainnya.
4.

Complex products, produk-produk yang kompleks, seperti perangkat lunak atau alat kedokteran. Orang akan membicarakannya karena alat-alat ini merupakan kebutuhan untuk mengurangi resiko.

5.

Expensive products, produk-produk yang mahal, seperti computer atau barang-barang elektronik konsumsi, resiko juga yang menjadi faktor utama orang-orang membicarakannya

6.

Observable products, produk-produk yang diamati seperti baju, mobil dan telepon genggam. Orang cenderung membicarakan apa yang mereka lihat. Jika produk tersebut tidak terlihat oleh konsumen, maka kemungkinan mereka kurang untuk membicarakannya.

Ada 3 motivasi yang membuat banyak orang membicarakan sebuah produk barang atau jasa yaitu perasaan suka karena suatu fungsi, perasaan bangga menjadi pengguna suatu produk barang atau jasa karena suatu nilai dan yang terakhir adalah merasa terhubung satu sama lain dan merasa menjadi satu keluarga pengguna produk yang sama.
2.1.4 Proses Word Of Mouth Communication

Komunikasi word of mouth tak bisa terjadi tanpa proses, dimulai dari sumber sampai tujuan. pendapat Sutisna (2002). Dalam pandangan tradisional, proses komunikasi word of mouth dimulai dari informasi yang disampaikan melalui media masa, kemudian diinformasikan atau ditangkap oleh pemimpin opini yang

mempunyai pengikut dan berpengaruh. Informasi yang ditangkap oleh pemimpin opini kepada pengikutnya melalui komunikasi dari mulut ke mulut. Bahkan secara lebih luas model itu juga memasukan penjaga informasi (gatekeeper) sebagai pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Model komunikasi word of mouth yang lebih luas digambarkan oleh Sutisna (2002;191) sebagai berikut:

gatekeep er Media massa Pemimpin opini pengiku t

Sumber : Sutisna, perilaku konsumen & komunikasi pemasaran (2002;192) 2.2. Brand loyalty
2.2.1

Definisi Brand loyalty Loyalty yang dalam bahasa Indonesia diartikan Loyalitas secara harfiah

diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Menurut Schiffman dan Kanuk (2004). Sedangkan brand loyalty atau brand loyalty merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. Ada banyak definisi brand loyalty ditinjau dari berbagai macam sudut pandang. Definisi yang umum dipakai adalah penjelasan bahwa brand loyalty

merupakan suatu preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian pada merek yang sama pada produk yang spesifikasi atau pelayanan tertentu. Loyalitas (Loyalty) Loyalitas menurut Mowen dan Minor (1998) adalah kondisi dimana pelanggan mempunyai sikap yang positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen terhadap merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya dimasa mendatang. Pernyataan yang sama berasal dari Dharmmesta (1999) yang menyatakan bahwa loyalitas menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Hal ini berarti loyalitas selalu berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual. Brand loyalty menunjukkan adanya suatu ikatan antara konsumen dengan merek tertentu dan ini seringkali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari konsumen. Adapun menurut Griffin (2005) prasyarat untuk Pernyataan yang terkait dengan tingkat konsistensi ini juga berasal dari Oliver (1999) dalam Fandi Tjiptono (2006) yang menyatakan, bahwa brand loyalty merupakan komitmen yang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa datang, sehingga menimbulkan pembelian merek atau rangkaian merek yang sama secara berulang, meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi untuk menyebabkan perilaku beralih merek. Mowen (2002:109) mengemukakan bahwa loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan dengan proporsi pembelian. Suatu

merek memberikan serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut kepercayaan, konsistensi, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting baik bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk

mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas (Riana, 2008:187) dalam hal loyalitas diperlukan adanya 2 keterikatan yang dirasakan pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu yaitu pertama tingkat preferensi (seberapa besar keyakinan) pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu dan yang kedua tingkatan differensiasi produk yang dipersepsikan, misalnya seberapa signifikan pelanggan membedakan produk atau alternatif lain. Merek (Brand) Menurut American Marketing Association (Kotler, 2000), merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksud untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau kelompok penjual dan untuk membedakan dari produk pesaing. Menurut Aaker (1991), merek adalah A distinguishing name and/or symbol (such as logo, trade mark, or package design) intended to identify to goods or service of either one seller of a group of seller, and to differentiate those goods or service from those of competitors. Suatu merek pada gilirannya memberi tanda pada konsumen mengenai sumber produk tersebut. Di samping itu, merek melindungi, baik konsumen maupun produsen dari para kompetitor yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak identik. jasa tertentu dari alternative-

Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan keistimewaan, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan jaminan mutu. Akan tetapi, merek lebih dari sekedar simbol. Merek dapat memiliki enam level pengertian (Kotler, 2000) yaitu sebagai berikut : 1. Atribut: merek mengingatkan pada atribut tertentu. Mercedes memberi kesan sebagai mobil yang mahal, dibuat dengan baik, dirancang dengan baik, tahan lama, dan bergengsi tinggi.
2.

Manfaat : bagi konsumen, kadang sebuah merek tidak sekadar menyatakan atribut, tetapi manfaat. Mereka memberi produk tidak membeli atribut, tetapi membeli manfaat. Atibut yang dimiliki oleh suatu produk dapat terjemahkan menjadi mafaat fungsional dan atau emosional. Sebagai contoh: atribut tahan lama diterjemahkan menjadi mafaat fungsional tidak perlu cepat beli lagi, atributmahal diterjemahkan menjadi manfaat emosional bergengsi, dan lain-lain.

3.

Nilai : merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Jadi, Mercedes berarti kinerja tinggi, keamanan, gengsi, dan lain-lain.

4.

Budaya : merek juga mewakili budaya tertentu. Mercedes mewakili budaya Jerman, terorganisai, efisien, bermutu tinggi.

5.

Kepribadian: merek mencerminkan kepribadian tertentu. Mercedes mencerminkan pimpinan yang masuk akal (orang), singa yang memerintah (binatang), atau istana yang agung (objek).

6.

Pemakai: merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Mercedes menunjukkan pemakainya seorang diplomat atau eksekutif.

Pada intinya merek adalah penggunaan nama, logo, trade mark, serta slogan untuk membedakan perusahaan-perusahaan dan individu-individu satu sama lain dalam hal apa yang mereka tawarkan. Penggunaan konsisten suatu merek, simbol, atau logo membuat merek tersebut segera dapat dikenali oleh konsumen sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengannya tetap diingat. Dengan demikian, suatu merek dapat mengandung tiga hal, yaitu sebagai berikut. 1. 2. 3. Menjelaskan apa yang dijual perusahaan. Menjelaskan apa yang dijalankan oleh perusahaan. Menjelaskan profil perusahaan itu sendiri.

Suatu merek memberikan serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut kepercayaan, konsisten, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting, baik bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas. Sebaliknya, bagi produsen, merek dapat membantu upaya-upaya untuk membangun loyalitas dan hubungan berkelanjutan dengan konsumen. Brand Loyality (Loyalitas Merek) Berdasarkan beberapa definisi diatas, pengertian brand loyalty dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Shiffman dan Kanuk (2004) dimana brand loyalty merupakan bentuk preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan

pembelian/penggunaan pada merek yang sama pada produk yang spesifik atau kategori pelayanan tertentu sehingga pengukuran brand loyalty akan melibatkan pengukuran sikap (aspek kognitif, afektif, dan konatif serta action/tindakan konsumen terhadap merek). Brand Loyalty bisa didefinisikan sebagai sikap menyenangi terhadap suatu merek yang direpresentasikan dalam pembelian atau penggunaan yang konsisten terhadap merek itu sepanjang waktu Brand loyalty juga merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek yang lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik yang menyangkut harga ataupun atribut lain. Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut meski dihadapkan banyak alternatif merek pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul. Sebaliknya, pelanggan yang tidak loyal pada suatu merek, pada saat mereka melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak didasarkan karena keterikatan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada karakteristik produk, harga, dan kenyaman pemakaiannya serta atribut lain yang ditawarkan oleh merek lain (Durianto, 2001). Terdapat dua pendekatan dalam mempelajari brand loyalty. Pertama pendekatan instrumental conditioning, yang memandang bahwa pembelian yang konsisten sepanjang waktu adalah menunjukkan brand loyalty.

Pendekatan kedua yaitu didasarkan pada teori kognitif. Perilaku itu sendiri tidak merefleksikan brand loyalty. Loyalitas menyatakan komitmen terhadap merek yang mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus menerus. Assael (1992) mengemukakan empat hal yang menunjukkan kecenderungan konsumen yang loyal sebagai berikut: 1. konsumen yang loyal terhadap merek cenderung lebih percaya diri pada pilihannya. 2. konsumen yang lebih loyal mungkin merasakan tingkat risiko yang lebih tinggi dalam pembeliannya. 3. konsumen yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap toko. 4. kelompok konsumen yang minoritas cenderung untuk lebih loyal terhadap merek. Brand Loyalty adalah kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif terhadap merek, mempunyai komitmen terhadap merek, dan bermaksud meneruskan pembeliannya dimasa mendatang. Brand loyalty merupakan faktor yang penting dalam menetapkan nilai dari suatu merek, nilai penting dari merek tersebut dapat meliputi kualitas, bentuk serta kegunaan dari barang dan jasa yang ditawarkan lebih baik dari yang ditawarkan para pesaing.
2.2.2

Aspek - aspek Brand loyalty Schiffman dan Kanuk (2004) menerangkan bahwa aspek brand loyalty terdiri

atas empat macam, yaitu:

1.

Kognitif (cognitive) merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh konsumen. Komponen kognitif ini berisikan persepsi, kepercayaan dan stereotype seorang konsumen mengenai suatu merek. Loyalitas berarti bahwa konsumen akan setia terhadap semua informasi yang menyangkut harga, segi keistimewaan merek dan atribut-atribut penting lainnya. Konsumen yang loyal dari segi kognitif akan mudah dipengaruhi oleh strategi persaingan dari merek-merek lain yang disampaikan lewat media komunikasi khususnya iklan maupun pengalaman orang lain yang dikenalnya serta pengalaman pribadinya.

2.

Afektif (affective), yaitu komponen yang didasarkan pada perasaan dan komitmen konsumen terhadap suatu merek. Konsumen memiliki kedekatan emosi terhadap merek tersebut. Loyalitas afektif ini merupakan fungsi dari perasaan (affect) dan sikap konsumen terhadap sebuah merek seperti rasa suka, senang, gemar, dan kepuasan pada merek tersebut. Konsumen loyal secara afektif dapat bertambah suka dengan merekmerek pesaing apabila merek-merek pesaing tersebut mampu

menyampaikan pesan melalui asosiasi dan bayangan konsumen yang dapat mengarahkan mereka kepada rasa tidak puas terhadap merek yang sebelumnya.
3.

Konatif (conative), merupakan batas antara dimensi loyalitas sikap dan loyalitas perilaku yang direpresentasikan melalui kecenderungan perilaku konsumen untuk menggunakan merek yang sama di kesempatan yang

akan datang. Komponen ini juga berkenaan dengan kecenderungan konsumen untuk membeli merek karena telah terbentuk komitmen dalam diri mereka untuk tetap mengkonsumsi merek yang sama. Bahaya-bahaya yang mungkin muncul adalah jika para pemasar merek pesaing berusaha membujuk konsumen melalui pesan yang menantang keyakinan mereka akan merek yang telah mereka gunakan sebelumnya. Umumnya pesan yang dimaksud dapat berupa pembagian kupon berhadiah maupun promosi yang ditujukan untuk membuat konsumen langsung membeli.
4.

Tindakan (action), berupa merekomendasikan atau mempromosikan merek tersebut kepada orang lain. Konsumen yang loyal secara tindakan akan mudah beralih kepada merek lain jika merek yang selama ini ia konsumsi tidak tersedia di pasaran. Loyal secara tindakan mengarah kepada tingkah laku mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.

2.2.3

Faktor-faktor yang mempengaruhi Brand loyalty Schiffman dan Kanuk (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi

terbentuknya/terciptanya brand loyalty antara lain perceived product superiority (penerimaan keunggulan produk), personal fortitude (keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap merek tersebut), bonding with the product or company (keterikatan dengan produk atau perusahaan) dan kepuasan yang diperoleh konsumen. Jenis produk yang dihasilkan suatu merek juga mempengaruhi brand loyalty.

Pada barang-barang konsumsi sehari-hari (consumer goods) seperti makanan, minuman, sabun, pembersih dan lain sebagainya, konsumen memiliki keterlibatan yang rendah dalam proses pembeliannya. Umumnya para konsumen tidak secara luas mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik tentang merek, dan memutuskan merek apakah yang akan dibeli (Kotler, 2004). Untuk kategori consumer goods tersebut, dalam proses pembeliannya melalui tahapan trial (coba-coba) yang dipengaruhi oleh iklan yang beredar. Setelah melakukan pembelian dan mengalami kepuasan, bila dibandingkan dengan mereklain, maka pembelian produk tersebut akan dilakukan secara berulang. Pembelian berulang ini akan mengarahkan pada brand loyalty (Schiffman dan Kanuk, 2004). Gounaris dan Stathakopoulus (2004) menyatakan bahwa brand loyalty dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Consumer drivers merupakan dorongan-dorongan yang berasal dari dalam diri

konsumen itu sendiri yang terdiri dari :


1.

Aspek demografis yang menyangkut faktor usia dan penghasilan. Hubungan antara usia dengan brand loyalty adalah positif. Semakin bertambah usia seseorang, maka loyalitasnya terhadap merek semakin meningkat. Wright dan Spark (dalam Wood, 2004) menyatakan bahwa brand loyalty yang tinggi terdapat pada individu yang berusia 35-44 tahun. Hal tersebut juga didukung dengan penelitian Murder (2000) yang mengungkapkan bahwa individu berusia 18-34 tahun memiliki brand

loyalty yang rendah. Selanjutnya, Farley (dalam Harton, 1984) mengungkap bahwa jumlah pendapatan individu berhubungan dengan brand loyalty. Individu yang pendapatannya tinggi akan lebih sedikit mencari informasi mengenai harga-harga dari merek lain, sehingga individu tersebut lebih setia terhadap merek yang digunakannya.
2.

Aspek psikografis yang menyangkut pengetahuan, pengalaman dan kepribadian konsumen. Faktor psikografis yang mempengaruhi loyalitas konsumen terhadap suatu merek adalah tipe kepribadian individu yang tidak menyukai resiko (risk aversion) dan tipe kepribadian individu yang suka mencari variasi, termasuk merek (variety seeking). Individu yang bertipe kepribadian tidak menyukai resiko akan mempertahankan merek yang telah dipakai meski banyak tawaran untuk berpindah merek. Mereka sangat mencemaskan ketidaknyamanan yang mungkin akan mereka terima jika berpindah merek sehingga loyalitasnya pada suatu merek akan cenderung tinggi. Konsumen yang bertipe kepribadian suka mencari variasi akan berperilaku berkebalikan dari tipe kepribadian sebelumnya. Mereka tidak peduli dengan resiko yang akan mereka hadapi jika harus berpindah merek. Mereka akan selalu memanfaatkan kesempatan untuk mencoba merek-merek baru sehingga loyalitasnya pada suatu merek akan rendah.

b. Brand drivers, merupakan atribut-atribut pada merek yang juga berperan sebagai

komponen karakteristik produk yang memiliki keterikatan emosional dengan konsumen. Karakteristik produk yang dimaksud adalah:
1.

Reputasi merek (brand reputation), yaitu tanda ekstrinsik yang dihubungkan dengan produk. Reputasi merek memberi indikasi kuat terhadap kualitas produk sehingga akan menciptakan loyalitas terhadap merek. Reputasi yang kuat terhadap merek merupakan faktor yang signifikan dalam membangun brand loyalty karena reputasi merek memperkuat persepsi terhadap ekuitas merek. Selain itu, reputasi merek akan memperkuat kebiasaan konsumen untuk menggunakan merek tertentu dan membuat merek tersebut disukai konsumen. Hasilnya, reputasi merek akan menciptakan brand loyalty yang tinggi pada konsumen yang juga akan meningkatkan pangsa pasar (market share).

2.

Ketersediaan merek pengganti (availability of substitute brand). Ketika beberapa produk dipersepsi secara sama oleh konsumen, perbedaan diantara merek tersebut sukar untuk diketahui. Akibatnya, individu tidak memiliki alasan untuk loyal terhadap merek tertentu. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa jika beberapa merek memiliki persepsi yang sama, maka akan memunculkan loyalitas yang rendah. Hal tersebut muncul karena pada saat melakukan pembelian, konsumen tidak menetapkan merek yang akan dibelinya melainkan menentukan beberapa alternatif merek yang dianggap sama oleh konsumen.

c. Social drivers, yaitu lingkungan sosial di sekitar konsumen yang dapat

mempengaruhi sikap konsumen terhadap suatu merek, diantaranya adalah:


1.

Pengaruh kelompok sosial (social group influences). Kelompok social berpengaruh secara langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Suatu kelompok akan menjadi referensi utama seseorang dalam membeli suatu produk. Ketika individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut, besar tidaknya pengaruh dari kelompok referensi tergantung pada mudah tidaknya individu untuk dipengaruhi, kedekatan dengan kelompok, dan tingkat kejelasan produk. Pengaruh kelompok referensi yang kuat dengan mudah dapat mengubah perilaku anggotanya atau calon anggotanya. Dalam keluarga, orang tua yang konsisten dalam memilih merek tertentu akan menyebabkan munculnya positif terhadap merek pada diri anak. Hal ini menyebabkan anak juga ikut memilih merek tersebut dan menjadi loyal.

2.

Rekomendasi teman sebaya (peers recommendation). Selain kelompok referensi, anjuran teman juga dapat mempengaruhi brand loyalty. Pengaruh normatif teman sebaya dan identifikasi terhadap kelompok teman sebaya merupakan petunjuk bagi individu untuk mencari produk, merek, dan toko.

2.2.4 Fungsi Brand Loyalty

Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan: (Darmadi Durianto, 2001:72) :
1) 2) 3) 4)

Reduced marketing costs (mengurangi biaya pemasaran) Trade leverage (meningkatkan perdagangan) Attracting new customers (menarik minat pelanggan baru) Provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan)

2.2.5

Tingkatan Brand Loyalty Dalam kaitannya dengan brand loyalty suatu produk, didapati adanya

beberapa tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan brand loyalty tersebut adalah sebagai berikut :
1)

Switcher (berpindah-pindah) Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apa pun mereka anggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling

nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.
2)

Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan) Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan mereka produk yang dimonsumsikan atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam

mengkonsumsi merek produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli produk yang lain atau berpindah merek terutama jikaperalihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.
3)

Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menganggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan

menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal).
4)

Likes the brand (menyukai merek) Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh perceived quality yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik

5)

Comitted buyer (pembeli yang komit) Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggan sebagai pengguna suatu mereka dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.

2.3.

Kerangka berpikir

2.4.

Hipotesis Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahn

penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006: 71). Sedangkan hipotesis pada penelitian ini yaitu ; Ada pengaruh word of mouth terhadap brand loyalty pada PO Sumber Kencono.

Вам также может понравиться