Вы находитесь на странице: 1из 31

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Kimia analitik adalah cabang ilmu kimia yang berfokus pada analisis material untuk mengetahui komposisi, struktur, dan fungsi kimiawinya. Secara tradisional, kimia analitik dibagi menjadi dua jenis, kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk mengetahui keberadaan suatu unsur atau senyawa kimia, baik organik maupun anorganik, sedangkan analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui jumlah suatu unsur atau senyawa dalam suatu cuplikan. Kimia analitik modern dikategorisasikan melalui dua pendekatan, target dan metode. Berdasarkan targetnya, kimia analitik dapat dibagi menjadi kimia bioanalitik, analisis material, analisis kimia, analisis lingkungan, dan forensik. Berdasarkan metodenya, kimia analitik dapat dibagi menjadi spektroskopi, spektrometri massa, kromatografi dan elektroforesis, kristalografi, mikroskopi, dan elektrokimia. Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada kromatografi, komponen komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran.

Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat. Sekarang ini, kromatografi sangat diperlukan dalam memisahkan suatu campuran senyawa. HPLC didefinisikan sebagai kromatografi cair yang dilakukan dengan memakai fase diam yang terikat secara kimia pada penyangga halus yang distribusi ukuranya sempit ( kolom ) dan fase gerak yang dipaksa mengalir dengan laju alir yang terkendali dengan memakai tekanan tinggi sehingga menghasilkan pemisahan dengan resolusi tinggi dan waktu yang relative singkat. HPLC atau KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain: farmasi; lingkungan; bioteknologi; polimer; dan industri- industri makanan. Pada praktikum ini akan dilakukan analisis kadar kafein dengan menggunakan metode HPLC atau KCKT. II.2 Maksud dan Tujuan II.2.1 Maksud Percobaan Mengetahui dan memahami cara melakukan analisis suatu senyawa yang terkandung dalam suatu sampel sediaan farmasi dengan menggunakan metode tertentu.

II.2.2 Tujuan Percobaan Mengetahui cara melakukan analisis senyawa kofein yang terdapat dalam sediaan tablet Bodrex, kopi toraja, dan minuman energy Hemaviton dengan menggunakan metode HPLC. II.2.3 Prinsip Percobaan Melakukan analisis senyawa kafein yang terdapat dalam suatu sampel tablet Bodrex, kopi toraja, dan minuman energy Hemaviton dengan menggunakan metode HPLC pada panjang gelombang 272 nm dengan menggunakan metode kromatografi fase terbalik yaitu fase geraknya polar, maka untuk analit yang kepolarannya lebih tinggi akan terelusi terlebih dahulu, sehingga waktu retensinya pendek. Hal ini didasarkan prinsip Like dissolves like, yaitu senyawa yang sifatnya sama akan saling berinteraksi lebih kuat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Teori Umum Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3). Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan sebagainya. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam dan fase gerak. (11) Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks, baik komponen organik maupun komponen anorganik. (11) HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau biasa juga disebut dengan Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Saat ini, HPLC merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis bahan obat, baik dalam bulk atau dalam sediaan farmasetik. (11)

Adapun klasifikasi teknik kromatografi dapat dilihat pada tabel berikut : Fase Teknik Fase diam gerak Kromatografi kertas Kertas (selulosa) Cair Planar bentuk yang utama Partisi (adsorpsi, pertukaran ion, ekslusi) Kromatografi lapis tipis (KLT) Silika, selulosa, resin penukar ion, padatan yang porosnya dikendalikan Kromatografi gas Kromatografi gascair (KCG) Kromatografi gas- Padat padat (KGP) Kromatografi cair Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) Kromatografi cair Padatan dengan Cair Kolom Ekslusi Padatan atau fase terikat Cair Kolom Partisi yang dimodifikasi Gas Kolom Adsorpsi Cair Gas Kolom Partisi Cair Planar Partisi (adsorpsi, pertukaran ion, ekslusi) Mekanisme sorpsi

Kromatografi eksklusi ukuran Kromatografi cair Kromatografi penukar ion Kromatografi cair Kromatografi kiral

porositas yang dikendalikan Resin penukar ion atau fase terikat Pemilih kiral padat Cair Kolom Adsorpsi secara selektif Cair Kolom Pertukaran ion

Sistem Peralatan HPLC Instrumentasi HPLC pada dasarnya terdiri atas: wadah fase gerak, pompa, alat untuk memasukkan sampel (tempat injeksi), kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, dan suatu komputer atau integrator atau perekam. Diagram skematik sistem kromatografi cair seperti ini :

1. Wadah Fase gerak dan Fase gerak. Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut kosong ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut(1). Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus disaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil ini. Selain itu, adanya gas dalam fase gerak juga harus dihilangkan, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis. Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak tetap selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi) yang analog dengan pemrograman suhu

pada kromatografi gas. Elusi bergradien digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas. (2) Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan bufer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah campuran pelarut-pelarut

hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau menggunakan pelarutpelarut jenis alkohol. Pemisahan dengan fase normal ini kurang umum dibanding dengan fase terbalik.(3) 2. Pompa. Pompa yang cocok digunakan untuk HPLC adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni: pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit. Untuk tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 20 mL/menit. Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Ada 2 jenis

pompa dalam HPLC yaitu: pompa dengan tekanan konstan, dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan. Tipe pompa dengan aliran fase gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan dengan tipe pompa dengan tekanan konstan.(4) 3. Tempat penyuntikan sampel. Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal

4. Kolom dan Fase diam. Ada 2 jenis kolom pada HPLC yaitu kolom konvensional dan kolom mikrobor. Kolom merupakan bagian HPLC yang mana terdapat fase diam untuk berlangsungnya proses pemisahan solut/analit. Kolom mikrobor mempunyai tiga keuntungan yang utama dibanding dengan kolom konvensional, yakni:

Konsumsi fase gerak kolom mikrobor hanya 80% atau lebih kecil dibanding dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir fase gerak lebih lambat (10 -100 l/menit).

Adanya aliran fase gerak yang lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih ideal jika digabung dengan spektrometer massa.

Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solut lebih pekat, karenanya jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas misal sampel klinis.

Meskipun demikian, dalam prakteknya, kolom mikrobor ini tidak setahan kolom konvensional dan kurang bermanfaat untuk analisis rutin.(5) Kebanyakan fase diam pada HPLC berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH). Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi dengan menggunakan reagenreagen seperti klorosilan. Reagen-reagen ini akan bereaksi dengan gugus silanol dan menggantinya dengan gugus-gugus fungsional yang lain. Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi. Oktil atau rantai alkil yang lebih pendek lagi lebih sesuai untuk solut yang polar. Silika-silika

aminopropil dan sianopropil (nitril) lebih cocok sebagai pengganti silika yang tidak dimodifikasi. Silika yang tidak dimodifikasi akan memberikan waktu retensi yang bervariasi disebabkan karena adanya kandungan air yang digunakan. 5. Detektor HPLC. Detektor pada HPLC dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi, dan elektrokimia. Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel. 2. Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar yang sangat kecil. 3. Stabil dalam pengopersiannya. 4. Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita. 5. Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada kisaran yang luas (kisaran dinamis linier). 6. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.(3)

Migrasi dan Retensi Solut (11) Kecepatan migrasi solut melalui fase diam ditentukan oleh

perbandingan distribusinya (D), dan besarnya D ditentukan oleh afinitas relatif solut pada kedua fase (fase diam dan fase gerak). Dalam konteks kromatografi, nilai D didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi solut dalam fase diam (Cs) dan dalam fase gerak (Cm)

Jadi semakin besar nilai Dmaka migrasi solut semakin lambat, dan semakin kecil nilai D maka migrasi solut semakin cepat. Solut akan terelusi menurut perbandingan distribusinya. Jika perbedaan perbandingan distribusi solut cukup besar maka campuran-campuran solut akan mudah dan cepat dipisahkan.

Puncak Asimetris (11) Profil konsentrasi solut yang bermigrasi akan simetris jika rasio dsitribusi solut (D) konstan selama di kisaran konsentrasi keseluruhan puncak, sebagaimana ditunjukkan oleh isoterm sorpsi yang linier yang merupakan plot konsentrasi solut dalam fase diam (Cs) terhadap konsentrasi solut dalam fase gerak (Cm). meskipun demikian, kurva isoterm akan berubah menkadi 2 jenis puncak asimetris yakni membentuk puncak yang

berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu (fronting) jika ada perubahan rasio distribusi solut ke arah yang lebih besar. Baik tailing maupun fronting tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang treprodusibel. Jika keduanya terjadi, maka pengurangan jumlah solut yang akan dilakukan kromatografi akan memperbaiki bentuk puncak akan tetapi adanya desorpsi yang lambat masih dapat menyebabkan tailing. Adanya puncak, yang asimetri dapat disebabkan oleh hal-hal berikut : 1. Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar maka fase gerak tidak mampu membawa solut dengan sempurna karenanya akan terjadi pengekoran atau tailing. 2. Interaksi yang kuat antara solut dengan fase diam dapat menyebabkan solut sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak yang mengekor. 3. Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting). Untuk menentukan tingkat asimetri puncak dilakukan dengan menghitung faktro asimetris atau disebut juga dengan tailing factor (TF) yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Profil Puncak dan pelebaran Puncak (11)

Selama pemisahan kromatografi, solut individual kan membentuk profil konsentrasi yang simetri atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Profil, dikenal juga dengan puncak atau pita, secara perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam. Prinsip yang mendasari alasan-alasan bentuk puncak dan pelebaran puncak dapat diringkas sebagai berikut : Sorpsi dan desorpsi solut yang terus-menerus antara fase diam dan fase gerak, secara inheren akan menghasilkan profil konsentrasi Gaussian yang akan melebar karena solut bermigrasi lebih lanjut. Perjalanan solut melalui partikel fase diam sedikit berbeda, sehingga menyebabkan profil konsentrasinya melebar secara simetris. Keadaan seperti ini disebut dengan pengaruh lintasan ganda (multiple-path effect) Spesies solut menyebar ke segala arah dengan difusi ketika berada di dalam fase gerak. Difusi terjadi dengan arah yang sama dan berlawanan dengan aliran fase gerak (longitudinal or axial difussion) karenanya akan berkontribusi terjadinya pelebaran pita secara simetris. Sorpsi dan desorpsi, atau transfer massa antara fase diam dan fase gerak, bukanlah suatu proses yang instan dan terkadang proses tersebut terjadi secara lambat secara kinetika. Karena fase gerak berjalan secara terus-menerus, maka distribusi kesetimbangan solut yang sebenarnya

tidak pernah terjadi. Profil konsentrasi dalam fase diam tertinggal sedikit dibanding profil konsentrasi dalam fase gerak yang akan mengakibatkan adanya pelebaran puncak lebih lanjut. Desorpsi yang lambat dapat juga menghasilkan puncak yang asimetris atau condong. Adanya variasi rasio distribusi solut dengan total konsentrasinya juga berperan terjadinya puncak yang asimetris atau condong.

Resolusi Kromatogram, Jumlah Lempeng (N), Efisiensi, dan Tailing Faktor (11) Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi 2 puncak yang saling berdekatan (tR = tR2 tR1) dibagi dengan rata-rata lebar puncak (W1 + W2) / 2

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa yang sangat berpengaruh terhadap pemisahan suatu komponen adalah waktu retensi masing-masing solut (tR2 dan tR1) serta lebar puncak masing-masing komponen yang dipisahkan (W 1 dan W 2). Nilai Rs harus mendekati 1,5 karena akan memberikan pemisahan puncak yang baik Tujuan umum pada kromatografi adalah pemisahan yang cukup dari suatu campuran yang akan dipisahkan. Ada 2 parameter yang digunakan untuk menilai kualitas pemisahan kromatografi yakni ukuran banyaknya

pelebaran puncak dari masing-masing puncak solut (efisiensi) dan tingkat pemisahan puncak-puncak yang berdekatan (resolusi). Untuk kolom kromatografi, jumlah lempeng atau plate number (N) yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis pada distilasi kolom digunakan sebagai ukuran efisiensi. Selain dengan N, efisiensi kolom dalam kromatografi secara umum berkaitan dengan waktu retensi, yakni lamanya waktu komponen atau molekul yang akan dianalisis dalam kolom. Tailing faktor (TF) dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Kromatogram yang memberikan harga TF = 1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Harga TF > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai semakin kurang efisien. Dengan demikian harga TF dapatr digunakan untuk melihat efisiensi kolom kromatografi.

Pendekatan Analisis Kualitatif dan Kuantitatif (11) Ada 3 pendekatan untuk analisis kualitatif yakni : 1. Perbandingan antara data retensi solut yang tidak diketahui dengan data retensi baku yang sesuai (senyawa yang diketahui) pada kondisi yang sama.

Untuk kromatografi planar (kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis), faktor retardasi (nilai Rf) baku dan senyawa yang tidak diketahui dibandingkan dengan cara kromatografi secara bersama-sama untuk menghilangkan adanya variasi kondisi bahan yang digunakan dan laboratorium. Untuk kromatografi yang menggunakan kolom (seperti KCKT dan KG), waktu retensi (tR) atau volume retensib (VR) senyawa baku dan senyawa yang tidak diketahui dibandingkan dengan cara kromatografi secara berurutan dalam kondisi alat yang stabil dengan perbedaan waktu pengoperasian antar keduanya sekecil mungkin. 2. Dengan cara spiking Untuk kromatografi yang melibatkan kolom, spiking dilakukan dengan menambah sampel yang mengandung senyawa tertentu yang akan diselidiki dengan senyawa baku pada kondisi kromatografi yang sama. Hal ini dilakukan dengan cara: pertama, dilakukan proses kromatografi sampel yang tidak dispiking. Kedua, sampel yang telah dispiking dengan senyawa baku dilakukan proses kromatografi. Jika pada puncak tertentu yang diduga mengandung senyawa yang diselidiki terjadi peningkatan tinggi puncak/luas puncak setelah dispiking dibandingkan dengan tinggi puncak/luas puncak yang tidak dilakukan spiking maka dapat

diidentifikasi bahwa sampel mengandung senyawa yang kita selidiki.

3. Menggabungkan alat kromatografi dengan spektrometer massa Pada pemisahan dengan menggunakan kolom kromatografi, cara ini akan memberikan informasi data spektra massa solut dengan waktu retensi tertentu. Spektra solut yang tidak diketahui dapat dibandingkan dengan spektra yang ada di database komputer atau diinterpretasi sendiri. Cara ini dapat dilakukan untuk solut yang belum ada baku murninya. Untuk menjamin kondisi yang digunakan dalam analisis kuantitatif stabil dan reproduksibel, baik pada penyiapan sampel atau proses kromatografi, berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam analisis kuantitatif : Analit (solut) harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari komponen-komponen lain dalam kromatogram baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia prosedur kalibrasi yang sudah diketahui harus digunakan. Untuk kromatografi planar, luas bercak (spot) atau kerapatan bercak dapat diukur secara in situ atau dapat juga dilakukan dengan cara : bercak dikerok, dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, dan ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan teknik yang lain seperti dengan spektrofotometri UV, KCKT, dsb

Sementara untuk kromatografi yang melibatkan kolom, kuantifikasi dapat dilakukan dengan : luas puncak atau dengan tinggi puncak. Tinggi puncak atau luas puncak berbanding langsung dengan banyaknya solut yang dikromatografi, jika dilakukan pada kisaran detektor yang linier.

Keterbatasan dan Kelebihan Metode HPLC (11) Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS). Keterbatasan lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asamasam amino, asam-asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintetis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi, memonitor sampel-sampel yang berasal dari lingkungan, memurnikan senyawa dalam suatu campuran, memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran, kontrol kualitas, dan mengikuti jalannya reaksi sintetis.

II.2 Uraian Bahan 1. Air suling (6) Nama resmi Nama lain RM/BM Pemerian : Aqua destillata : Aquades, air suling : H2O/18,02 : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa Penyimpanan Kegunaan 2. Metanol (7) Nama Lain RM/BM Pemerian Kegunaan Penyimpanan 3. Kofein (6) Nama Resmi Nama Lain RM/BM RB : Coffeinum : Kofein : C8H10N4O2 / 194,19 : : Metil Alkohol : CH3OH / 32,04 : Cairan jernih, mudah menguap : Murni Pereaksi : Dalam wadah tertutup rapat : Dalam wadah tertutup baik : Sebagai pelarut

Pemerian

: Serbuk atau hablur bentuk jarum mengkilat, biasanya menggumpal putih ; tidak berbau ; rasa pahit

Kelarutan

: Agak sukar larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; mudah larut dalam kloroform P ; sukar larut dalam eter P

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat

II.3 Uraian Sampel 1. Bodrex (8) Komposisi Indikasi : Parasetamol 600 mg, kofein 50 mg. : Meringankan sakit kepala, pusing, pening berat, sakit gigi dan menurunkan demam. Kontraindikasi Kemasan : Hipersensitif, penderita dengan gangguan fungsi hati. : 2 blister x 10 tablet

II.4 Prosedur Preparasi 1. Tablet Kofein a. Larutkan lebih kurang 5 mg dalam 1 ml HCl P dalam cawan porselin, tambahkan 50 mg kalium klorat P, uapkan di atas tangas uap hingga kering. Balikkan cawan di atas bejana berisi beberapa tetes NH 4OH 6N. Sisa berwarna lembayung yang hilang dengan penambahan larutan alkali larut. (7) b. Ekstraksi dengan larutan kloroform dari campuran aspirin, fenasetin, dan kafein dengan larutan NaHCO3; aspirin akan berada dalam larutan basa. Pada larutan kloroform terdiri dari fenasetin dan kofein diuapkan. Residu yang dikeringkan ditimbang. Residu dicampur dengan air dan difiltrasi, fenasetin tidak larut. (9) c. Campuran dari asam encer dan aspirin, fenasetin dipisahkan dari kofein dengan ekstraksi eter. Kofein dipisahkan dari larutan asam dengan ekstraksi kloroform. Aspirin dipisahkan dari fenasetin dengan ekstraksi dengan larutan NaHCO3. (9)

II.4 Prosedur Kerja 1. Pembuatan Larutan baku Kofein. Baku kofein pro analisis ditimbang 50,0 mg secara seksama, dilarutkan dengan metanol dalam labu takar 100,0 ml. kemudian ditambahkan aquades sampai batas atas.

Pembuatan Fase Gerak Metanol : air = 1 : 4 Metanol : air = 3 : 7 Panjang gelombang maksimum 275 nm Pembuatan Kurva Kalibrasi. Membuat seri pengenceran dari larutan baku dengan konsentrasi 500 ppm, 400 ppm, 200 ppm, 100 ppm, dan 50 ppm. (10)

BAB III METODE KERJA III.1 Alat dan Bahan III.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan antara lain : baskom, botol semprot, buret, Erlenmeyer, gelas ukur, labu tentukur, pipet skla, pipet tetes, plat tetes, seperangkat alat UV, seperangkat alat densitometer, statif dan klem, sendok tanduk, dan timbangan analititk. III.1.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan antara lain : aluminium foil, aquabidest, metanol pa dan sampel sediaan tablet Bodrex, kopi toraja dan minuman berenergi Hemaviton. III.2 Cara Kerja 1. Penyiapan Larutan Baku a. Disiapkan alat dan bahan b. Dibuat larutan baku kofein dengan melarutkan kafein 50 mg dalam labu takat 50 ml, dicukupkan hingga batas tanda dengan pelarut aquabidest dan metanol (3:2). c. Dibuat pengenceran baku kofein 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, dan 100 ppm, dengan melarutkan 0,5 ml; 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 2,5 ml; 3

ml larutan induk, masing-masing ke dalam labu takar 10 ml yang dicukupkan dengan pelarut aquabidest dan metanol (3:2). d. Disaring larutan kofein murni dengan menggunakan filter 0,2 mikro meter, lalu diinjeksikan ke dalam sistem UFLC. 2. Penyiapan Larutan Sampel 1) Hemaviton a. Disiapkan alat dan bahan b. Dipipet sampel sebanyak 1 ml larutan sampel ke dalam labu takar 10 ml dan cukupkan volume dengan pelarut aquabidest dan metanol (3:2). c. Dipipet 1 ml larutan stock lalu dimasukkan ke dalam tabung khusus injeksi dengan menggunakan filter 0,2 mikro meter. 3. Uji identitas dengan ULFC a. Disiapkan alat dan bahan b. Diset alat UFLC pada panjang gelombang 272 nm, laju alliran 1 ml/menit, fase gerak aquabidest dan metanol (3:2) pada suhu 30o. c. Disuntikan larutan kafein murni ke dalam sistem UFLC, dapatkan kromatogram dan catat waktu retensi serta nilai area puncak.

BAB IV HASIL PENGAMATAN IV.1 Data Pengamatan Konsentrasi (bpj) 20 40 60 80 100 Sampel Bodrex Hemaviton Kopi Toraja IV.2 Perhitungan y = a + bx y = 4443964,4 + 4879,03x r = 0,2986 Kopi toraja Area (y) = 1291106 y = a + bx 1291106 = 4443964,4 + 4879,03x 3152858,4 X=4879,03 = -646,20 ppm dalam 20 L Peak Area 4163346 5006400 5260404 4197864 5055517 Peak Area 50792963 1931459 1291106

Hemaviton Area (y) = 1931459 y = a + bx 1931459 = 4443964,4 + 4879,03x 2512505 X =4879,03 = -514,95 ppm dalam 20 L 50 mg 150 ml (333,33 ppm) 1 ml 10 ml (33,33 ppm)

Bodrex Area (y) = 50792963 y = a + bx 50792963 = 4443964,4 + 4879,03x 50348566,6 x =4879,03 = 10319,38 ppm dalam 20 L 100 mg 10 ml (10000 ppm) B. sampel x = B. teori 10319,38 = 10000 = 103,19% x 100% x 100%

BAB V PEMBAHASAN

Dalam percobaan ini dilakukan analisis kafein pada berbagai sampel dengan menggunakan metode HPLC. Sebelum pengukuran dan identifikasi dilakukan dahulu penyiapan larutan baku kafein dan preparasi sampel lainnya. Pada pembuatan larutan baku kafein, dibuat dengan melarutkan kafein baku dan dilarutkan dengan pelarut akua bidestillata dan metanol for HPLC (60:40). Dari larutan stok, diencerkan baku tersebut dengan konsentrasi 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, dan 100 ppm. Tiap 1 ml di konsentrasi tersebut dimasukkan ke dalam vial namun sebelumnya disaring dengan filter m. Digunakan kolom ODS (Oktadesil silika) atau C18 karena ODS merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karen amampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi. Digunakan detektor PDA (photodiode-array) karena detektor PDA merupakan detektor UV-Vis dengan berbagai keistimewaan. Detektor ini mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang gelombang yang berbeda dalam sekali proses (single run). Selama proses

berjalan, suatu kromatogram pada panjang gelombang yang diinginkan dapat ditampilkan. Dengan demikian PDA memberikan lebih banyak informasi komposisi sampel dibanding dengan detektor Uv-Vis. Dengan detektor ini, juga diperoleh spektrum UV tiap puncak yang terpisah sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang penting untuk memilih panjang gelombang maksimal untuk sistem KCKT yang digunakan. Dan akhirnya dengan detektor ini pula, dapat dilakukan uji kemurnian puncak dengan membandingkan spektra analit dengan spektra senyawa yang sudah diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

1. Settle, F (Editor). 1997. Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry. New Jersey, USA: Prentice Hall PTR. 2. Kenkel, J. 2002. Analytical Chemistry for Technicians, 3th. Edition. USA: CRC Press. 3. Meyer, F.R. 2004. Practical High-Performance Liquid

Chromatography, 4th Ed. New York: John Wiley & Sons. 4. Snyder, L. R., Kirkland, S.J., and Glajch, J.L. 1997. Practical HPLC Method Development. New York: John Wiley & Son. 5. Kealey, D and Haines, P.J. 2002. Instant Notes: Analytical Chemistry. New York: BIOS Scientific Publishers Limited. 6. Dirjen, POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Depkes RI. 7. Dirjen, POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta : Depkes RI. 8. IAI. 2011. ISO Indonesia Volume 46.Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. 9. Higuchi, Takeru. 1990. Phamaceutical Analysis. New York : A WileyInterscience Publication. 10. Hartono, Elina. 2009. Skripsi. Penetapan Kadar Kafein dalam Biji Kopi Secara KLTP. Surakarta: Universitas Setia Budi.

11. Gandjar, I.G dan Rohman A. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Вам также может понравиться