Вы находитесь на странице: 1из 21

BIMBINGAN CEDERA KEPALA

Pembimbing: Dr. Saleh Al Mochdar, SpBS, MHKes.

Disusun oleh:

Airo Dhanaris

07120080010

Ardisa Permata Putri 07120080049

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RS Bhayangkara Tk. I Raden Said Sukanto Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 26 Juli 2012 1 September 2012

Definisi Cedera kepala Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung kepada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri. Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada kepala Anatomi Kepala Kulit kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; Skin atau kulit, Connective tissue atau jaringan penyambung, Aponeurosis atau galea aponeurotika, Loose conective tissue atau jaringan ikat jarang dan Pericranium. Tulang Tengkorak Terdiri dari tulang-tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang bergerigi yang disebut sutura banyaknya delapan buah dan terdiri dari tiga bagian, yaitu a. Kubah tengkorak, terdiri dari: 1. Tulang dahi (os frontal) 2. Tulang ubun-ubun (os parietal) 3. Tulang kepala belakang (os occipital) b. Dasar tengkorak, terdiri dari : 1. Tulang baji (os spheinoidale) 2. Tulang tapis (os ethmoidale) c. Samping tengkorak, dibentuk dari tulang pelipis (os temporal) dan sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun, dan tulang baji. Selaput Otak (Meningen) Selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), memperkecil benturan atau getaran. Terdiri dari tiga lapisan yaitu: 1. Duramater Lapisan dura mater terdapat di bawah tulang tengkorak dan diantaranya terdapat ruangan yang disebut Epidural/Extradural space. Pembuluh arteri meningen media

berjalan pada ruangan ini dan mempunyai peranan penting untuk terjadinya Epidural Hemorrhagi. 2. Lapisan Arachnoidea (selaput otak lunak) Lapisan arachnoidea terdapat di bawah dura mater dan mengelilingi otak serta berhubungan dengan sumsum tulang belakang. Ruangan diantara duramater dan arachnoidea disebut subdural space. Pada ruangan ini berjalan pembuluh-pembuluh bridging vein yang menghubungkan system vena otak dan meningen. 3. Pia mater Lapisan ini melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arachnoidea dan pia mater disebut subarachnoidea. Cairan cerebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang berjalan pada ruangan ini. Otak 1.Serebrum Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara. 2.Serebelum Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri. 3.Batang otak Struktur yang menghubungkan cerebrum dengan medulla spinalis, terdiri dari medulla oblongata, pons, dan otak tengah. Medula oblongata adalah pusat pengendali beberapa fungsi kehidupan seperti bernafas, tekanan darah, denyut jantung, dan menelan. Pons adalah berkas serat saraf yang menghubungkan cerebrum dengan cerebellum dan belahan kanan otak dengan belahan kiri otak, membantu mengendalikan gerak mata dan mengatur pernafasan. Otak tengah adalah kelompok saraf yang mengendalikan gerak involunter seperti ukuran pupil dan gerak mata. Semua saraf cranial kecuali saraf I (olfactorius) dan II (opicus) muncul dari batang otak. 4.Cairan serebrospinalis Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. Fisiologi Kepala Sebelum mengetahui tentang patofisiologi cedera kepala, penting untuk dipahami tentang fisiologis yang ada di dalam kepala yang meliputi jaringan otak dan tulang tengkorak kepala. Tekanan intrakranial (TIK) Tekanan Intrakranial dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yaitu 4 10mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20mmHg, terutama bila menetap. Hukum Monre-kellie Konsep vital terpenting untuk mengerti dinamika TIK. Dinyatakan bahwa volume total isi intrakranial harus tetap konstan. Ini beralasan karena kranium adalah kotak yang tidak ekspansil. Bila V adalah volume, maka VOtak + VCSS + VDarah + V Massa = Konstan Karena ukuran lesi massa intrakranial, seperti hematoma, bertambah, kompensasinya adalah memeras CSS dan darah vena keluar. Tekanan intrakranial tetap normal. Namun akhirnya tak ada lagi CSS atau darah vena yang dapat digeser, dan mekanisme kompensasi tak lagi efektif. Pada titik ini, TIK mulai naik secara nyata, bahkan dengan penambahan sejumlah kecil ukuran massa intrakranial. Karenanya TIK yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan adanya lesi massa Aliran Darah di Otak Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama oleh 3 faktor. Dua yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri kapiler ke sistem vena dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku). Normalnya aliran darah

pada otak adalah 50ml/100gr jaringan otak per menit. Sel-sel di otak akan mengalami kematian apabila aliran darah di otak mencapai 5 ml/100gr jaringan otak per menit. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu

setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak CPP pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO. Tekanan Perfusi Serebral Pada kondisi istirahat, dialirkan sekitar 750cc darah permenit (15-20% cardiac output). Parameter penting dalam memperhitungkan aliran darah otak yang dinamakan tekanan perfusi cerebral (TPC), yang idealnya menggambarkan perbedaan mean tekanan arterial (MAP) dikurangi tekanan intra kranial (TIK). TPC = MAP TIK MAP = Diastolik + (siastolik diastolik) 5% diastolic 2 Tekanan perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan menurun. Autoregulasi arterioles menjaga aliran darah yang ke otak supaya berlangsung konstan dengan mengalami vasokonstriksi dan vasodilatasi. Tetapi apabila MAP terdapat kurang dari 50 mmHg dan lebih dari 150 mmHg, maka arteriol tidak dapat lagi melakukan autoregulasi, sehingga dalam keadaan Pressure passive flow (aliran darah pasif). PPF adalah keadaan dimana aliran darah ke otak sepenuhnya bergantung pada aliran darah tubuh. Jadi apabila terjadi cedera kepala dan membuat autoregulasi menjadi terganggu, maka otak akan dapat mengalami iskemia dan juga tekanan tinggi intrakranial.

Mekanisme Cedera Kepala Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua (1) Static loading Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H , 1999). (2) Dynamic loading Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 200 milidetik). Beban dinamik ini dibagi menjadi dua jenis: yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading).

Impulsive Loading Beban guncangan terjadi bila kepala terguncang secara mendadak tanpa adanya kontak fisik, yaitu bila kepala yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan atau impak ataupun kepala yang sedang diam lalu tibatiba digerakan (akselerasi-deselerasi). Peristiwa ini bukanlah suatu hal yang jarang terjadi, mengingat bahwa pukulan pada dada atau muka kerap mengakibatkan goncangan kepala yang hebat, di mana hal ini tidak ada benturan pada tengkorak ataupun kontak tenaga sama sekali.

Impact Loading Beban benturan merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak yang dialami dalam posisi istirahat (contact forces) dan kekuatan beban lanjut yang terjadi bila kepala mengalami akselerasi gerakan (inertial forces). Timbul jejas pada beban benturan dapat digolongkan menjadi 2 jenis :

Jejas lokal o Fraktur o Hematom epidural

Jejas di tempat lain o Fraktur tengkorak di lokasi lain o Kontusio kontra koup o Kontusio intermediate coup

Klasifikasi cedera kepala Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 2 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan keadaan klinis dan keadaan patologis Secara Beratnya Cedera Secara klinis, Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala a.Cedera Kepala Ringan (CKR). GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma b.Cedera Kepala Sedang ( CKS) GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. c.Cedera Kepala Berat (CKB) GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.

Jenis Pemeriksaan Respon buka mata (Eye Opening, E) Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) Respon terhadap suara (suruh buka mata) Respon terhadap nyeri (dicubit) Tida ada respon (meski dicubit) Respon verbal (V) Berorientasi baik Berbicara mengacau (bingung) Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan nonkalimat, misalnya, aduh bapak..) Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) Tidak ada suara Respon motorik terbaik (M) Ikut perintah Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) Tidak ada (flasid) Secara Patologis

Nilai

4 3 2 1

5 4 3

2 1

6 5 4 3

Klasifikasi melalui kerusakan patologis yang terjadi pada pasien juga sangat penting dalam pembagian cedera kepala. Klasifikasi tersebut terbagi dalam kerusakan primer dan sekunder. Cedera Kepala Primer Cedera kepala primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak, dimana kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda/serpihan tulang yang menembus/merobek jaringan otak karena efek percepatan-perlambatan (Lombardo, 1995). Jaringan yang mungkin terkena pada Cedera Kepala adalah: 1. Kulit (hematom kulit kepala; luka kulit kepala luka lecet dan luka robek).

2. Tulang (fraktur basis cranii). 3. Lesi intrakranial :

Lesi fokal

Perlukaan dan pendarahan ekstrakranial Fraktur tulang Pendarahan intrakrania

Lesi difus (Cedera Axonal Difus)

Cedera Kepala Sekunder Penyebab cedera kepala sekunder adalah:


Penyebab sistemik (hipotensi, hipoksia, hipertermi, hiponatremia). Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom, edema, kejang, vasospasme dan infeksi).

Subgaleal Hematoma Merupakan suatu pendarahan yang terjadi pada celah diantara lapisan galea dan tulang tengkorak sehingga menyebabkan penonjolan keluar pada kepala. Pendarahan ini tidak merobek lapisan kulit, namum menyebabkan pembuluh darah pada lapisan jaringan ikat longgar bawah kulit kepala pecah sehingga darah menjadi terkumpul. Keadaan hematoma ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Penanganan yang dilakukan pada subgaleal hematoma adalah dengan mengompres lokasi benjolan dengan air dingin. Hal ini dilakukan karena air dingin dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang pecah, sehingga pendarahan yang terjadi dapat dihentikan. Subgaleal hematoma yang berukuran kecil akan segera hilang dalam beberapa hari. Ada beberapa pendapat yang mengatakan pendarahan subgaleal yang berukuran besar sebaiknya dilakukan insisi dan aspirasi untuk mengeluarkan darah dan dipasang suatu pembalut untuk menekan pendarahan. Tapi ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa tindakan ini tidak diperlukan karena dapat meningkatkan resiko munculnya infeksi.

Fraktur Basis Kranii Merupakan fraktur karena benturan langsung pada daerah dasar tulang tengkorak. Fraktur ini lokasinya terletak pada dasar kranium, yang terjadi pada fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala: Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding Epistaksis Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala: Hematom retroaurikuler, Ottorhoe Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii. Komplikasi : Gangguan pendengaran Parese N.VII perifer

Kontusio Serebri Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan. Pada kontusio, piamater masih dalam keaadaan utuh. Karakteristik dari kontusio adalah adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, pendarahan kapiler dan edema jaringan otak. Kontusio dapat terjadi pada lokasi dimana benturan terjadi (kontusio koup) atau di tempat lain yang disebut kontusio kontra koup. Gejala yang muncul berupa pingsan lebih dari 10 menit dan disertai suatu defisit neurologis. Hal ini karena adanya suatu kerusakan jaringan otak tersebut. Ringan beratnya defisit neurologis bergantung pada besar kecilnya kerusakan jaringan yang terjadi. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto ronsen kepala untuk melihat adakah fraktur dan lebih bagus lagi bila dilakukan CT Scan untuk mengetahui apakah terjadi

pendarahan lebih lanjut atau hanya edema otak saja. Pada CT-scan memunculkan gambaran salt and pepper appereance. Cedera ini sering muncul pada mekanisme countercoup.

Laserasi serebri Dikatakan laserasi serebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater. Laserasi serebri merupakan suatu cedera kepala terbuka dan merupakan kontusio serebri yang berat. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid, subdural akut dan intercerebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis. Pemeriksaan CT Scan diperlukan untuk untuk menegakkan diagnosis laserasi serebri.

PENDARAHAN INTRAKRANIAL Pendarahan Epidural Merupakan salah satu jenis dari pendarahan intrakranial. Pendarahan epidural terjadi diantara duramater dan tulang tengkorak. Duramater merupakan lapisan terluar pada selaput meninges. Pembuluh darah yang menyebabkan pendarahan pada epidural adalah middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom. Pada pendarahan epidural umumnya terjadi fraktur tulang tengkorak (80 %). Namun pada anak-anak hal ini jarang terjadi. Benturan yang terjadi tidak cukup kuat untuk menyebakan fraktur, tetapi cukup kuat untuk menyebabkan robeknya pembuluh darah. Pendarahan epidural yang tidak disertai fraktur memiliki prognosis yang lebih berat, karena peningkatan intrakranial akan terjadi lebih cepat. Pada pendarahan epidural, salah satu gejala yang khas adalah lucid interval. Yaitu ada fase sadar yang muncul diantara fase tidak sadar. Sesaat setelah trauma terjadi, penderita

akan mengalami fase tidak sadar karena adanya goncangan dan teregangnya serat-serat saraf pada RAS yang terdapat di batang otak. Mekanisme ini sama dengan mekanisme munculnya hilang kesadaran ada komosio sererbri. Goncangan ini bersifat sementara, sehingga pada saat RAS sudah stabil, penderita akan sadar kembali. Kemudian beberapa lama kemudian pasien akan tidak sadar kembali atau mengalami defisit neurologis karena adanya desakan dari pendarahan arteri yang mengalami robekan telah menyebabkan suatu hematoma sebanyak 50 cc. Semakin singkat interval yang terjadi, berarti semakin besar dan cepat hematoma yang terjadi. EDH merupakan cedera kepala yang bersifat coup. Jadi hematoma atau lesi muncul pada sisi kepala yang mengalami trauma Walaupun lucid interval ini khas pada epidural hematoma, tetapi pada kenyataannya, apabila pendarahan yang muncul sangat berat dan luas maka penderita dapat langsung mengalami hilang kesadaran tanpa disertai fase sadar kembali (lucid interval) Hematoma yang terjadi pada lobus frontal akan menimbulkan gejala nyeri dan disertai perubahan perilaku. Pada hematoma yang terjadi pada lobus temporal, akan menimbulkan gejala neurologis yang progresif . Penurunan kesadaran yang muncul bersifat berat. Hematoma yang semakin berat akan makin mendesak otak ke bawah ke arah insisura tentori, sehingga terjadi herniasi jaringan otak yang menekan nervus okulomotor. Hal ini menimbulkan anisokor, dan reflek cahaya negatif. Defisit neurologis yang lain dapat berupa hemiparesis, muntah, kejang, dan pada pemeriksaan fisik akan menimbulkan tanda-tanda terjadinya lesi Upper Motor Neuron. Pendarahan epidural sifatnya darurat, dimana penanganan utama nya adalah mencegah terjadinya desakan yang luas dari hematoma yang terbentuk. Pada epidural, pembuluh darah yang mengalami robekan adalah arteri, sehingga manifestasi munculnya hematoma sangatlah cepat. Perdarahan ini jarang pada pasien usia diatas 60 tahun, kemungkinan karena duramater melekat lebih kuat ke tabula interna. Hal ini pula menerangkanmengapa kebanyakan hematoma epidural terjadi di bagian temporal karena padalokasi tersebut perlekatan duramater pada tulang tengkorak lebih lemah disbanding pada lokasi lainnya. Pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk pendarahan epidural adalah CT Scan. Pada pemeriksaan dengan CT Scan kepala, hematoma epidural akan tampak gambaran lesi

hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign) atau football shaped yang terletak dibagian temporal tengkorak. Hematoma epidural yang progresif perlu penanganan operatif untuk mengeluarkan hematoma dan menghentikan perdarahan secepatnya agar tidak terjadi pendesakan yang lebih luas. Bila tindakan operatif dapat dilakukan segera, sebelum berbagai defisit neurologis terjadi, maka kesembuhan total dapat diharapkan untuk diperoleh. Apabila volume

hematoma < 30cc dan tidak bertambah besar, operasi tidak mutlak dilakukan. Tetapi harus tetap dilakukan pemantauan intensif.

Pendarahan Subdural Merupakan pendarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan arachnoid. Pendarahan yang terjadi berasal dari bridging vein yang melintas dari ruang subarachnoid ke ruang subdural, yang kemudian bermuara dalam sinus venosus duramater. Pendarahan ini lebih sering terjadi dibanding pendarahan subdural. Pendarahan ini tidak hanya karena trauma, tetapi dapat disebabkan karena pecahnya aneurisma, malformasi pembuluh darah subdural, kelainan pembekuan darah. Pendarahan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Mekanisme yang paling sering adalah benturan langsung pada kepala, baik menyebabkan fraktur atau tidak. Cedera kepala pada pendarahan subdural juga dapat menyebabkan lesi lain seperti hematoma serebri, laserasi jaringan otak, dan kontusio serebri. Pendarahan subdural lebih sering terjadi di daerah temporal dan parietal, sedangkan daerah frontal dan oksipital lebih jarang. Pendarahan subdural berdasarkan perjalanan munculnya gejala dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik 1. Pendarahan subdural akut Gejala muncul segera/beberapa jam/3 hari setelah trauma terjadi. Umumnya karena robeknya pembuluh darah arteri yang menyertai fraktur tulang tengkorak. Ketebalan hematoma bisa hanya mencapai 5 mm, tetapi mengenai area yang luas. Memiliki prognosis yang buruk. Pada gambaran CT scan terdapat lesi hiperdens berbentuk konkaf atau crescentic sign yang menyerupai bulan sabit. Tetapi lesi bisa berbentuk

hipodens atau isodens apabila penderita memiliki riwayat anemia berat atau darah bercampur dengan CSF, sehingga mengencerkan pendarahan. 2. Pendarahan subdural subakut Gejala muncul 4-10 hari pasca trauma. Pada CT Scan gambaran pendarahan lebih tebal daripada yang akut dan memberikan campuran gambaran antara hiperdens, isodens dan hipodens.

3. Pendarahan subdural kronik Gejala baru muncul 10 hari atau bahkan berbulan-bulan pasca trauma. Biasanya terjadi pada orang lansia, peminum alcohol, dimana terdapat atrofi jaringan otak. Sehingga jaringan permukaan korteks dan sinus vena menjadi lebih besar, sehingga lebih rentan terhadap guncangan. Sehingga trauma yang ringan saja dapat menyebabkan suatu hematoma. Pada gambaran CT Scan menunjukan lesi hipodens karena kandungan zat besi nya telah difagosit oleh makrofag. Gejala yang muncul bersifat lambat sehingga kerap dikatakan seperti tumor serebri dimana gejala awalnya ringan dan terasa meningkat dari waktu ke waktu. Penangan pada subdural akut yang dapat segera dioperasi dalam 4 jam pertama, memberikan prognosis yang lebih baik. Pada kasus dengan pendarahan kecil (30 cc) kadangkala masih dapat diberikan terapi konservatif dengan observasi yang ketat. Pendarahan yang terjadi karena vena yang mengalami ruptur kadang dapat berhenti sendiri karena efek tekanan yang meningkat, sehingga pembuluh darah pun juga ikut tertekan. Pendarahan pun menjadi terhenti.

Pendarahan Subaraknoid Pendarahan yang terjadi diantara lapisan araknoid dan piamater. Pendarahan ini terjadi di rongga subaraknoid. Lesi biasanya disertai dengan kontusio atau laserasi serebri. Pendarahan ini sangat jarang terjadi murni tanpa ada lesi lain yang menyertai. Penyebab paling sering adalah kelainan kongenital AVM (arteriovenous malformation). Bisa juga karena ruptur aneurisma (aneurisma sakular yang paling sering). Bila terjadi ruptur, maka

pendarahan akan mengalir ke rongga subaraknoid dan dapat menyebabkan gangguan penyerapan CSF, sehingga dapat menimbulkan secondary hidrosephalus, baik tipe komunikans atau non-komunikans. Komunikasns apabla bekuan darah berada di vili araknoid, dan non-komunikans apabila bekuan darah mengobstruksi ventrikel ke 4 dan ke 3. Selain itu darah yang berakumulasi di rongga subaraknoid dapat menyebabkan iritasi pada selaput meninges, sehingga dapat menimbulkan tanda rangsang meningeal positif pada pemeriksaan fisik tanpa disertai demam. Darah yang berakumulasi pada rongga araknoid menyebabkan arteri mengalami spasme. Sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun. Vasospasme biasanya akan muncul pada hari ketiga dan mencapai puncaknya pada hari ke 6 dan ke 8, yang kemudian menghilang pada hari ke 12. Spasme yang terjadi dapat menyebabkan gangguan mikrosirkulasi pada otak yang kemudian bermanifestasi menjadi edema otak. Pendarahan ini sering menyebabkan sakit kepala hebat yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, kejang, fotofobia karena iritasi meningeal. Kepastian diagnosa didapat apabila cairan serebrospinal yang bercampur darah bila dilakukan pungsi lumbal. Apabila darah yang ada hanya sedikit, maka CSF akan berwarna xantokrom. Pada CT-Scan akan didapat lesi hiperdens yang mengikuti pola sulkus, sehingga bentuknya berliku-liku. Perdarahan ini memerlukan perawatan yang intensif. Vasospasm harus dicegah dengan cepat dengan pemberian terapi calcium chanel blocker selama minimal 2 minggu. Pendarahan Intraserebri Pendarahan ini terjadi di dalam jaringan atau parenkim otak. Mekanisme paling sering terjadi karena ada riwayat hipertensi kronik terutama hipertensi arterial, dimana tekanan darah yang tinggi dapat merusak dinding pembuluh darah arteri-arteri kecil sehingga dapat menimbulkan aneurisma charchot (aneurisma dengan diameter 0,8 1 mm) ruptur spontan. Pendarahan intraserebral juga dapat terjadi akibat laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi paling sering terjadi di area lobus frontalis dan temporalis. Lesi dapat berupa fokus pendarahan yang kecilkecil sebagai akibat lesi akselerasi-deselerasi, sedangkan lesi yang besar umumnya akibat suatu laserasi atau kontusio serebri berat. Manifestasi paling sering muncul adanya sakit kepala dan gangguan kesadaran. Pada pendarahan intraserebri, tekanan intrakranial akan lebih cepat meningkat karena pendesakan

massa hematoma pada jaringan serebri yang disertai edema sitotoksik. Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas pendarahan. Pada CT-Scan tampak pendarahan sebagai bayangan hiperdens yang homogen dengan batas tegas dan terdapat edema perifokal di sekitarnya. Tekanan darah perlu dijaga sebab kenaikan tekanan darah dapat mengakibatkan pendarahan ulang. Pasien dengan pendarahan besar, yang memberikan efek massa yang besar dan muncul defisit neurologis signifikan diindikasikan untuk tindakan operatif..

TATALAKSANA CEDERA KEPALA Tindakan pra-rumah sakit Tindakan yang harus dilakukan dalam penanganan cedera kepala bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang meluas. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penangan cedera kepala sebelum penderita masuk ke kerumah sakit adalah menjaga jalan napas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder serta pengiriman segera ke rumah sakit. Tim penyelamat harus meningkatkan kewaspadaan pada penderita cedera kepala yang mengalami komplikasi cedera tulang leher atau cervical.

Tindakan di Unit Gawat Darurat Primary Survey Primary survey merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan saat pasien masuk ke UGD dan dilakukan dengan cepat dan efisien. Pemeriksaan ini terdiri dari Airway, Breathing, Circulation, Disability, Environment. Pemeriksaan ini penting untuk memonitor life saving pasien. Untuk menilai airway dapat dilakukan pada pasien sadar dan tidak sadar. Untuk menilai ada tidaknya gangguan napas pada pasien sadar adalah dengan mengjajak pasien berbicara. Bila pasien dapat berbicara lancar, maka airway tidak mengalami gangguan. Sementara untuk pasien tidak sadar, pemeriksa dapat memperhatikan suara yang dikeluarkan

saat pasien bernafas. Tanda-tanda yang muncul pada pasien tidak sadar dengan gangguan airwa, yaitu : snooring (mengorok, terjadi bila lidah jatuh kebelakang), gurgling (ada cairan dalam jalur nafas), hoarsness (bila mengalami edema laring). Bila snoring muncul maka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan memiringkan tubuh pasien, atau bisa dilakukan jaw-thrust dan chin lift. Bila gurgling muncul maka dapat dilakukan suction cairan. Apabila penderita tidak ada cedera cervical akan lebih baik bila posisi kepala diekstensikan. Bila tidak ada perbaikan, maka pemasangan pipa orofaring atau endotrakeal dapat dilakukan. Bila pasien muntah, maka miringkan posisi pasien, sehingga muntah akan lebih mudah keluar dan sisa muntahan tidak menyumbat nasogastrik agar tidak terjadi aspirasi. Pada pemeriksaan breathing, dilakukan pemeriksaan Respiratory rate untuk memperkirakan kemampuan gerak nafas pasien. Oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit secara intermitten dapat dilakukan. Perhatikan juga gerak dada pasien saat bernafas, untuk menyingkirkan diagnosis Pneumothorax. Pada pemeriksaan circulation, dilakukan pengukuran tekanan darah dan hitung nadi pasien untuk mengetahui kemampuan jantung dalam memompa darah. Dalam kasus cedera kepala tekanan darah harus selalu dijaga supaya stabil supaya perfusi jaringan terjaga. Pemeriksaan circulation prinsipnya adalah menghentikan pendarahan dan restore cairan untuk mencegah shock hypovolemic. Kelas pendarahan yang terjadi adalah : I (0-750 cc), II (750-1500cc), III (1500-2000cc), IV ( > 2000cc) Disability dilakukan berupa pemeriksaan status neurologis, yaitu dengan melakukan mini neurologic exam yaitu dilakukan penghitungan GCS, ukuran dan bentuk pupil, melihat apakah ada lateralisasi (kelemahan) dengan cara memonitor gerakan tubuh pasien dari saat pasien datang ke ruumah sakit. Pemeriksaan disability penting untuk melihat cedera kepala ini menyebabkan penekanan berat ke otak atau tidak, terutama ke area batang otak. Prognosis pun akan lebih buruk bila terjadi penekanan di daerah ini. Sementara Environment adalah untuk mencari hal yang bersifat live saving yang belum teridentifikasi pada A-D. Salah satu tindakannya adalah dengan mencopot semua baju pasien kemudian memakaikan selimut. Hal ini untuk mencegah terjadinya hipotermi pada pasien. Dapat juga dilakukan lock and roll pasition, untuk melihat permukaan dorsal pasien. Hal ini untuk mengidentifikasi kondisi pasien secara keseluruhan pasca trauma. Secondary survey jalan napas. Isi lambung dikosongkan dengan pipa

Prinsip dasar secondary survey adalah head to toe. Head to toe dilakukan pada pasien pasca trauma baik yang tidak sadar atau mengalami penurunan kesadaran. Pemeriksaan ini dibagi menjadi 6 area tubuh yaitu kepala-leher, bahu-dada-punggung, lengan-pergelaangan tangan, abdomen, pelvis, tungkai-pergelangan kaki. Secondary survey ini dilakukan untuk melihat faktor predisposisi life saving penderita yang mengalami trauma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat dan efisien. Pemeriksaan ini terdiri dari Alergi, Medikasi (obat yang digunakan pasien secara teratur), Past history (riwayat penyakit pasien), Last meal (jam makan terakhir pasien pre-trauma), Environment (keadaan lingkungan yang menyebabkan trauma pada pasien). Anamnesa dan Pemeriksaan fisik Anamnesa penting dilakukan untuk mengetahui mekanisme terjadinya cedera kepala, kondisi klinis yang terjadi setelah cedera kepala hingga sebelum masuk rumah sakit dan kelainan yang sudah ada sebelum cedera terjadi. Kondisi klinis penderita sesaat setelah terjadinya cedera perlu diketahui, misalnya apakah ada gangguan kesadaran, berapa lama pingsan terjadi, ada tidaknya muntah, pendarahan yang terjadi, dll. Pemeriksaan fisik seperti status neurologis harus dilakukan untuk melihat apakah terdapat defisit neurologis yang muncul pasca trauma. Pemeriksaan fisik bagian thorax dan abdomen pun juga harus dilakukan untuk mengidentifikasi apakah cedera kepala yang terjadi mengalami suatu komplikasi terhadap organ-organ di thorax dan abdomen. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto ronsen kepala dilakukan untuk melihat apakah ditemukan fraktur tulang kepala. Foto ronsen kepala sebaiknya dilakukan dalam 2 posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Adanya fraktur diketathui bila ada garis kehitaman berbatas tegas. Gambaran air fluid level di daerah sinus paranasal merupakan pertanda pendarahan intrasinus, adanya udara pada intrakranial menunjukan adanya fraktur terbuka, air fluid level di sinus sphenoid menandakan suatu fraktur basis kranii

Pemeriksaan CT-Scan merupakan suatu pemeriksaan penting dalam cedera kepala, terutama apabila dicurigai terjadinya suatu pendarahan. Indikasi pemeriksaan CTScan pada kasus cedera kepala adalah : Trauma kepala dengan cedera kepala sedang dan berat Munculnya gejala-gejala fraktur basis kranii Ada defisit neurologis disertai sakit kepala yang hebat dan penurunan kesadaran Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

2. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan Hb dilakukan apabila curiga terjadinya pendarahan yang signifikan, Leukosit untuk mengetahui berat ringannya cedera kepala yang terjadi. Penanganan Cedera Kepala Ringan Cedera kepala ringan dikategorikan pada penderita cedera kepala dengan GCS 13-15 pasca trauma. Biasanya tindakan yang dilakukan adalah dengan melakukan perawatan lukaluka seperti tindakan debridement dan penjahitan luka. Pasien dapat diberikan obat simptomatik untuk mengatasi gejala yang dirasakan sepeti nyeri kepala, vertigo, dll. Walaupun tidak diperlukan tindakan perawatan, dan diijinkan untuk pulang, tetapi pihak keluarga harus memperhatikan tanda-tanda bahaya yang dapat muncul seperti penurunan kesadaran, muntah, perubahan perilaku, kelemahan tubuh, dll. Sehingga edukasi dan observasi di rumah minimal 24 jam perlu diterapkan dalam penanganan cedera kepala ringan. Walaupun tidak diharuskan untuk dirawat, tetapi ada indikasi dimana penderita cedera kepala ringan harus dirawat, salah satunya adalah ada gambaran abnormal pada CT scan, defisit neurologis muncul, ada fraktur, tidak memiliki keluarga, ada cedera tembus, dll.

Penanganan cedera kepala sedang dan berat Cedera kepala sedang dikategorikan pada penderita cedera kepala dengan GCS 9-12 pasca trauma dan cedera kepala berat dengan GCS 3-8. Pada penanganan cedera kepala sedang dan berat, pemeriksaan CT-Scan mutlak harus dilakukan. Penderita juga harus dilakukan perawatan di rumah sakit dan observasi ketat pada tanda-tanda vital, dan

pemeriksaan neurologis secara periodik, terutama GCS, bentuk dan ukuran pupil, gejalagejala peningkatan intrakranial. Observasi dilakukan sampai GCS mencapai 15 dal dilakukan 24-48 jam. Observasi ideal dilakukan tiap 30 menit pada jam pertama, lalu tiap jam pada 6 jam kedua, tiap 2 jam pada 12 jam berikutnya. Lalu observasi tiap 4 jam hingga pasien sadar. Indikasi dilakukan tindakan operatif pada cedera kepala ditegakan berdasarkan kondisi klinis pasien, temuan CT-scan atau pemeriksaan radiologi, dan temuan gejala-gejala pasca trauma. Tujuan utama pembedahan adalah untuk dekompresi dan evakuasi pendarahan. Operasi dilakukan berupa kraniektomi untuk mengurangi TIK dan mencegah terjadinya herniasi otak. Indikasi yang penting untuk dilakukan teknik pembedahan pada kasus cedera kepala adalah : Volume massa hematoma > 40 mL di daerah supratentorial / > 20 cc di daerah infratentorial Kondisi pasien yang makin memburuk dari sejak masuk rumah sakit seperti nyeri kepala yang makin berat, mual muntah yang makin menghebat, defisit neurologis yang makin meluas, penurunan kesadaran drastis Pendorongan midline shift pada gambaran CT-Scan yang melebihi 5 mm Peningkatan TIK > 40 mmHg Ukuran hematoma yang makin membesar dan meluas pada pemeriksaan CT-scan ulang Muncul gejala terjadinya herniasi otak Kompresi basal cistern

DAFTAR PUSTAKA

1. Olson DA. Head Injury. 2 Oktober 2006 [20 September 2007]; Topic 153: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/neuro/topic153.htm 2. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.

3. Markam S, Atmadja DS, Budijanto A. Cedera Kepala Tertutup. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999; 4-112 4. Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic 929: [11 screens]. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm 5. Gerdes SL. Some Mechanism of Traumatic Brain Injury. 2007 [17 Desember 2007]. Diunduh dari:

http://www.nebraskabraininjurylawyer.com/how.html 6. National Institude of Neurological Disorders and stroke. Traumatic Brain Injury:Hope Through Research. 24 Agustus 2007 [20 September 2007]. Diunduh dari: http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/detail_tbi.htm

Вам также может понравиться