Вы находитесь на странице: 1из 20

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI LEHER Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.6,8

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring

Gambar 2. Potongan oblik leher Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:5,6 lapisan superfisial lapisan tengah lapisan dalam.

Ruang potensial leher dalam Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.6,8 Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari: ruang retrofaring ruang bahaya (danger space) ruang prevertebra.

Ruang suprahioid terdiri dari:

ruang submandibula ruang parafaring ruang parotis ruang mastikor ruang peritonsil ruang temporalis.

Ruang infrahioid:

ruang pretrakeal.

Gambar 3. Potongan Sagital Leher

ABSES LEHER DALAM Abses adalah kumpulan nanah yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.9 Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.6

EPIDEMIOLOGI Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%). Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian

besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus. Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila. Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh puluh enam persen Ludwigs angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi. Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi. Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam. Penyebab Gigi Penyalahgunaan obat suntik Faringotonsilitis Fraktur mandibula Jumlah 77 21 12 10 % 43 12 6,7 5,6

Infeksi kulit Tuberculosis Benda asing Peritonsil abses Trauma Sialolitiasis Parotis Lain-lain Tidak diketahui

9 9 7 6 6 5 3 10 35

5,1 5,1 3,9 3,4 3,4 2,8 1,7 5,6

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,. Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

Pola kuman Pada umumnya abses leher dalam disebabkan oleh infeksi campuran beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering adalah Peptostreptococcus,

Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman yang jarang ditemukan. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah: 1. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari metabolisme anaerob. 2. Infeksi di proksimal permukaan mukosa. 3. Adanya gas dalam jaringan. 4. Hasil biakan aerob negatif. Infeksi yang penting secara klinis akibat kuman anaerob sering terjadi. Infeksi sering bersifat polimikroba yaitu bersamaan dengan kuman anaerob lainnya, fakultatif anaerob, dan aerob. Bakteri anaerob ditemukan hampir disemua bagian tubuh. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri flora normal lainnya mengontaminasi yang secara normal steril. Abshirini H dkk, pada 40 hasil kultur dari abses leher dalam mendapatkan; stafilokokus 77%, Streptococcus -haemolitycus 12,5%, Entrobacter 12,5%, Streptococcus -haemolyticus 7,5%, Klebsiella sp 5%, Streptococcus non haemolyticus 5%, Pseudomonas aeruginosa 2,5%. Parhiscar dkk, dari 210 pasien abses leher dalam (1981-1998), dilakukan kultur terhadap 186 (88%) pasien, dan pada 162 (87%) pasien ditemukan pertumbuhan kuman, 24(13%) pasien tidak terdapat pertumbuhan kuman. Kuman terbanyak Streptococcus viridan 39%, Staphylococcus epidermidis 28%. Kuman anaerob terbanyak adalah bacteroides sp 14%. (Tabel 2)

Tabel. 2. Kuman Penyebab Abses leher dalam


Jumlah Jenis Kuman pasien % kultur + Streptococcus viridans Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Bactroides Sp Streptococcus haemolyticus Klebsiella pneumonia Streptococcus pneumonia Mycobacterium tb Anaerob gram negatif Neisseria sp Peptostreptococcus Jamur Enterobacter Bacillus sp Propionibacterium Acinetobacter Actinimicosis israelii Proteus sp Klepsiella sp Bifidobacterium Microaerophilic streptococcus Enterococcus sp Moraxtella catarrhalis Dan lain-lain 3 2 1,9 1,2 6,8 11 10 10 9 8 8 8 7 6 6 5 3 3 3 3 3 6,8 6,2 6,2 5,5 4,9 4,9 4,9 4,3 3,7 3,7 3,1 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9 35 22 34 22 14 21 63 46 39 28

Brook menemukan kuman yang tumbuh pada 201 spesimen dari abses kepala dan leher, hanya kuman aerob sebanyak 65 spesimen, hanya kuman anaerob 65 spesimen, dan campuran keduanya 71 spesimen. Yang dkk dari 100 pasien abses leher dalam yang dilakukan kultur kuman didapatkan 89%, ada pertumbuhan kuman. Kuman aerob dominan ialah Streptococcus viridan,

Klebsiella pneumonia, Stapylococcus

aureus. Kuman anaerob

dominan

Prevotella, Peptostreptococcus, dan Bacteroides. (Tabel 3).

Tabel 3. Pola kelompok kuman pada abses leher dalam Hasil Positif kuman Kuman tunggal Gram positif aerob Gram negatif aerob Anaerob Kuman campuran Aerob saja Gram positif saja Gram negatif saja Kedua gram Anaerob saja Campuran aerob-anaerob jumlah kasus 89 38(42,7%) 14 21 3 51 (57,3%) 13 5 1 7 2 36

GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Abshirini H, dkk melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7

1. Abses peritonsil Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.10 Etiologi Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.7,10 Patologi Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.7 Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.7 Diagnosis Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N. Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus). Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak,

hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadangkadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif.6,7,8 Terapi Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.7 Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.7,11 Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairn kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis.11 Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.7 Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian

mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.12 Komplikasi Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.7

2. Abses retrofaring Etiologi dan Patologi Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.5,6,7,11 Diagnosis Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan

kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior faring.5,6,7,11 Terapi Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum.7,11 Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.7

3. Abses Parafaring Etiologi dan patologi Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.5,8 Gejala dan tanda Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.5,7,8

Terapi Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal pada 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).7,11 Komplikasi Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.7

4. Abses Submandibula Etiologi dan patologi Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang leher dalam lain.7 Diagnosis Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur banyak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah

submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.7,11

5. Angina Ludovici (Ludwigs Angina) Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan ototmilohioideus.7,11 Etiologi Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada ruang submaksilaris.11 Diagnosis Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas.7,11 Terapi Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan (dekompresi) yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.7,11

Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.7

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Rontgen servikal lateral Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid levels, erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14mm pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring.5,6,8 2. Rontgen Panoramiks Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.8 3. Rontgen toraks Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.8 4. Tomografi Komputer (TK/ CT Scan) Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo dkk, seperti dikutip Murray AD dkk, bahwa dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa tomografi komputer mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. TK memberikan gambaran abses berupa lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Kirse dan Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan dinding abses dengan adanya pus pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum.5,8

5.

Pemeriksaan Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus

meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan dilakukan lebih dalam.5

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang baik.5 Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan.5 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.5 Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi

penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka

perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%. Avest ET, dkk, memberikan antibiotik empiris, kombinasi metronidazole dengan ceftriaxone.5 Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin

menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Lebih khusus pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.5 Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai ahli seperti terlihat pada (tabel 6).5

Tabel 6. Antibiotik yang dianjurkan beberapa penulis secara empiris.


Penulis Sakaguchi dkk (97) Parhischar, Har-El (01) Antibiotik Penisilin & Klindamisin Penisilin G & Oxacillin atau Nafcilin Gates (83) Penisilin, lactamase resistant drug Chen dkk (98) PenisilinG, Klindamisin, Gentamisin Plaza, Mayor (01) Simo dkk (98) Nagy dkk (97) Mc Clay dkk (03) Sichel dkk (02) Brondbo dkk (83) Cefuroxime, Klindamisin Amoksillin-Asam klavulanik Penesilin G, Metronidazole A A&D A Cefotaxime, Metronidazole Flucloxacine, Metronidazole Ceftriaxone , Klindamisin D A A&D D DTV Umur D A&D

A=Anak, D=Dewasa DTV=Data tidak valid

(Dikutip dari: 5)

Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam inhibitor merupakan obat terpilih.5

Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik gram negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan

Haemofillus infeluenza, Neisseria sp

cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp yang resisiten terhadap penesilin.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317, 2009. Diunduh dari: www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 16 Juli 2011 2. Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001, Volume 2, Number 8. Diunduh dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html pada tanggal 16 Juli 2011 3. Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari: www.otohns.net pada tanggal 16 Juli 2011 4. Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHERDALAM-Revisi pada tanggal 16 Juli 2011 5. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8 6. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com pada tanggal 16 Juli 2011 7. Anonim. Diunduh dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Abses pada 16 April 2011 8. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355. 9. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

Вам также может понравиться