Вы находитесь на странице: 1из 10

Hiperrealitas

(Realitas Semu)
Apakah itu hiperrealitas?
Hiperrealitas, menurut ensiklopedia online, Absolute Astronomy[1] adalah sebuah konsep dalam filosofi post-modernisme dan semiotika. Hiperrealitas, seperti yang dikuotasikan dari buku Dunia yang Dilipat[2] adalah pengalaman transformasi dalam cara manusia melihat diri sendiri secara ontologis diantara objek-objek kebudayaan ciptaannya, juga dalam cara manusia membangun citra diri dan menyusun makna kehidupannya secara diskursif melalui objek-objek dan media-media (massa) dalam suatu ruang dan waktu yang membatasinya. Dua tokoh hiperrealitas terkemuka, Jean Baudrillard dan Umberto Eco, mempunyai pandangan yang berbeda mengenai definisi hiperrealitas itu sendiri. Jean Baudrillard mempunyai konsepsi yang diadaptasi dari pemikiran McLuhan[3] bahwa perkembangan teknologi informasi yang semakin mutakhir tidak hanya dapat memperpanjang fungsi organ pada manusia, tapi (lebih hebat lagi) mampu menghasilkan duplikasi dari manusia, mampu membuat fantasi atau fiksi ilmiah menjadi nyata, mampu mereproduksi masa lalu, atau melipat dunia sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca, disket atau memory bank. Jean Baudrillard juga mengungkapkan dua istilah, yakni: Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep hiperrealitas itu sendiri. Simulasi adalah suatu proses dimana representasi (gambaran) atas suatu objek justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Analoginya, bila suatu peta merepresentasikan (menggambarkan) suatu wilayah, maka dalam simulasi, justru peta-lah yang mendahului wilayah. Di dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas dimana perbedaan antara yang benar dan palsu menjadi tipis (manusia hidup dalam suatu ruang khayal yang nyata). Misalnya discovery channel pada televisi, sebenarnya hampir sama nyatanya dengan pelajaran IPA di sekolah, karena sama-sama menawarkan informasi mengenai kehidupan flora dan fauna pada anak-anak. Ada 4 hierarki/tahap dalam simulasi: (Baudrillard, 1983) 1. Ketika suatu tanda dijadikan refleksi dari suatu realitas. Misal: seni adalah wujud dari realitas. 2. Ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan realitas itu sendiri. Misal: Gaul itu adalah dengan menonton MTV.

3. Ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dari suatu realitas. Misalnya: Disneyland, yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan anak-anak namun dibuat menjadi nyata untuk menutupi ketiadaan Disneyland tersebut. 4. Dan akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas, dan ini lah yang disebut Baudrillard sebagai Simulacra. Misalnya: Dunia The Matrix dalam film yang dibintangi Keanu Reeves. Simulacra ini memungkinkan manusia untuk mendiami satu ruang yang sarat akan duplikasi dan daur ulang dari berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda pada waktu yang sama. Misalnya masyarakat Bandung yang mengkonsumsi kopi ala starbucks di tempat perbelanjaan Cihampelas Walk; atau remaja SMA yang saling berkenalan dalam dunia friendster. Nah, seperti Shopping Malls, Televisi, dan Friendster itu lah yang merupakan miniatur dari dunia yang dilipat, seperti yang sudah disebutkan diatas. Sedangkan Umberto Eco menggunakan istilah-istilah seperti copy, replica, replication, imitation, likeness, dan reproduction untuk menjelaskan apa yang disebutnya dengan hiperrealitas. Menurut Eco, hiperrealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi, salinan atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu yang dihadirkan dalam konteks masa kini sebagai bentuk dari nostalgia[4]. Jadi, ia melihat fenomena hiperrealitas sebagai persoalan pen-jarak-kan (distanction), yakni obsesi menghadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, terkubur dalam rangka melestarikan bukti-buktinya dengan menghadirkan replika, tiruan, salinan, atau imitasinya. Yang menjadi masalah adalah ketika masa lalu tersebut dihadirkan dalam konteks masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas. Jadi seakan-akan replika dari masa lalu ini terlihat lebih nyata dari kenyataannya. Sehingga menciptakan suatu kondisi dimana adanya peleburan antara salinan (copy) dengan aslinya (original). Umberto Eco mencontohkan hiperrealitas ini ketika ia mengunjungi Amerika dan sekan-akan mengejek bahwa dengan teknologi mutakhirnya, Amerika mampu membuat tiruan atas masa lalu dengan persis dan bahkan melebihi yang sebenarnya terjadi. Misalnya ketika ia mengunjungi Disneyland dan Disneyworld, ia menyebut itu sebagai kota yang benar-benar palsu. Ia menemukan bahwa dalam dua tempat itu segala sesuatu terlihat lebih besar, bersinar, dan begitu menghibur dibandingkan kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika ia bertamasya dengan perahu yang melewati sungai buatan disney, ia melihat sekumpulan ikan-ikan kecil animasi yang tampak begitu nyata. Namun di lain hari ketika ia bertamasya di sungai Missisipi, ia justru dikejutkan dengan adanya banyak aligator ganas. Ia menyebutkan bahwa, Disneyland mengatakan pada kita bahwa teknologi dapat memberi kita realitas dibandingkan dengan alam yang sesungguhnya.[5]

Ia juga mencontohkan bahwa Museum Lilin di New Orleans juga merupakan bentuk reproduksi dari masa lalu, dimana terdapat patung-patung lilin yang menyerupai tokohtokoh sejarah Louisiana. Namun, menurut Eco museum lilin masih menyajikan sesuatu yang hampir nyata, sementara Disneyland kebanyakan menjual komoditi asli dan melampaui kenyataan yang sebenarnya.

Hiperrealitas Dalam Wacana Kapitalisme Perkembangan yang mutakhir dari teknologi informasi, komoditi, dan tontonan, menjadikan itu semua menjadi tiang-tiang penopang dalam wacana kapitalisme[6] sehingga memungkinkan manusia masa kini untuk melihat dirinya sendiri sebagai refleksi dari citracitra yang disebarkan dari komoditi dan tontonan tersebut. Dalam kapitalisme, ada yang disebut dengan diferensiasi, yakni proses membangun identitas berdasarkan perbedaan, produk dan gaya hidup. Melalui diferensisasi inilah proses peremajaan (pembaharuan) dijadikan ideologi dalam kapitalisme (dalam bentuk komoditi), misalnya: handphone nokia seri terbaru, salon kecantikan, shopping Malls, dsb. Dalam sistem komoditi total kapitalisme, manusia tidak lagi bertindak sebagai subjek yang mengontrol objek, namun dikontrol oleh sistem objek-objek yang menyebabkan manusia kehilangan kesadaran dan memiliki gairah konsumsi yang tinggi (Jean Baudrillard). Akibatnya terbentuklah budaya konsumerisme, dimana produk-produk/komoditi tersebut menjadi satu medium untuk membentuk personalitas, gaya, citra, gaya hidup dan cara diferensiasi status sosial yang pada gilirannya menjadi penopang dunia realitas semu.

Hiperrealitas dalam Kaitannya dengan Kritik Ekonomi Sosial Marx Kritik Marx berangkat dari kenyataan bahwa konflik kelas yang timbul antara kaum borjuis (pemilik modal) dan kaum proletariat (pekerja) adalah sebagai akibat dari relasi produksi kapitalisme yang bermuatan konflik. Dalam kritik ini, konflik sosial muncul sebagai akibat dari konflik kepentingan dalam penguasaan alat produksi. Dalam wawasan Marxisme, perjuangan kelas pekerja diartikan sebagai perjuangan untuk menguasai alat produksi dan membebaskan diri dari alienasi yang disebabkan karena adanya model kepemilikan. Namun Marx terlalu menekankan pada relasi produksi, padahal saat ini, dalam era kapitalisme mutakhir, persoalan tidak lagi berupa ketidakadilan sosial di balik relasi produksi komoditi, namun sudah berkembang menjadi persoalan moral yang muncul di balik rekayasa konsumer lewat komoditi. Lalu kemudian para pendukung mazhab Frankfurt[7] mencoba untuk mengangkat tema ini. Menurut mereka, budaya komoditi adalah suatu cara dalam memanipulasi masyarakat melalui suatu bentuk yang mereka sebut sebagai administrasi total, dimana terdapat bentuk pengaturan massa, sehingga menjadikan mereka massa yang pasif. Namun sayangnya

para pengikut mazhab Frankfurt hanya menjelaskan fenomena ini pada tingkat sosial, melalui pemikirannya tentang administrasi masyarakat melalui komoditi. Mereka gagal melihat administrasi sebagai bentuk pengendalian melalui tanda (sign) dan simbol-simbol sosial. Kemudian Jean Baudrillard mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan Marx dan pendukung mazhab frankfurt. Ia menggunakan pendekatan ekonomi-politik Marx dan pendekatan semiotika struktural. Baudrillard ingin memperlihatkan bahwa kritik-kritik terhadap kapitalisme itu sendiri telah melampaui yang dibayangkan Marx, yakni melampaui persoalan-persoalan ideologis ketidakadilan atau konflik kelas yang tersembunyi di balik relasi produksi komoditi. Marx tidak pernah membayangkan bahwa pada kapitalisme mutakhir, komoditi telah dikuasai oleh permainan tanda-tanda dan simbol-simbol sosial. Menurut Baudrillard, dalam bukunya For a Critique of the Political Economy Sign, perubahan status komoditi ini disebabkan struktur tanda tersebut merupakan jantung dari komoditi masa kini, sehingga menjadikannya medium total, sebagai sistem komunikasi yang mengatur pertukaran sosial (administrasi sosial melalui tanda sosial). Lalu dalam bukunya Baudrillard Live, ketika melihat komoditi sebagai suatu fenomena hiperrealitas, Baudrillard melihat bahwa yang terjadi saat ini adalah berkembangnya wacana sosial-kebudayaan menuju ke arah kondisi hyper. Kondisi hyper ini dapat dilihat dalam ekonomi pasar bebas, dimana ekonomi kemajuan lebih banyak digunakan untuk menciptakan kebutuhan semu bagi konsumer, semata agar ekonomi (kapitalisme) dapat terus beputar, yang pada gilirannya hanya menghasilkan kesejahteraan semu. Lalu kecenderungan hyper ini juga terlihat pada fenomena perkembangan media, dimana perkembangan teknologi media mutakhir (seperti televisi, multimedia dan internet) telah memungkinkan untuk diciptakannya satu rekayasa realitas, yaitu satu realitas yang tampak nyata, padahal semuanya hanya sebuah halusinasi image yang tercipta lewat teknologi elektronik. Di dalamnya, antara realitas dan halusinasi atau antara kebenaran dan rekayasa kebenaran bercampur aduk di dalam media.

Referensi http://www.vision.net.id/detail.php?id=1199 http://www.uta.edu/english/apt/collab/baudweb.html http://www.geneseo.edu/~bicket/panop/baudrillard.htm http://www.uta.edu/english/hawk/semiotics/baud.htm http://www.depauw.edu/sfs/backissues/55/baudrillard55art.htm http://www.absoluteastronomy.com/encyclopedia/h/hy/hyperreality.htm http://www.vanderbilt.edu/AnS/Anthro/Anth206/jean_baudrillard_and_hyperrealit.htm

http://www.transparencynow.com/eco.htm Piliang, Yasraf. Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Bandung, 2004. Eco, Umberto, Tamasya dalam Hiperrealitas (Terjemahan dari Travel-in-Hyperreality), Picador, London, 1987.

[1] http://www.absoluteastronomy.com/encyclopedia/h/hy/hyperreality.htm [2] Piliang, Yasraf. Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, 2004, Bab 7, Hal. 197. [3] Pemikiran McLuhan ini tertuang dalam bukunya, Understanding Media, The Extensions of Man yang meramalkan bahwa perkembangan teknologi informasi akan membawa fungsi teknologi sebagai perpanjangan manusia menuju perpanjangan tahap akhirnya. Misalnya database komputer yang memperpanjang fungsi otak manusia untuk menyimpan memori. [4] Eco, Umberto, Tamasya dalam Hiperrealitas (Terjemahan dari Travel-in-Hyperreality, Picador, London, 1987), Hal 7. [5] Dikuotasikan dari situs http://www.transparencynow.com/eco.htm [6] Kapitalisme : Sebuah sistem ekonomi yang didalamnya instrumen produksi dan objek konsumsi merupakan kepemilikan dan kekuasaan pribadi [7] Beberapa pendukung mazhab Frankfurt: Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Habermas

Dunia Hiperealitas
OPINI | 23 March 2010 | 02:24 191 4 4 dari 4 Kompasianer menilai Menarik Dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan berupa tanda-tanda yang melampaui (hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme, persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign, sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya. Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu - sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (selfconsciousness) yang sesungguhnya adalah palsu. Dan kekuatan hipersemiotika dan hyper-sign merupakan kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti dalam arsitektur, desain, sastra, media, iklan, fashion, musik, film dan berbagai produk kebudayaan lain yang sangat luas. Tak heran jika menjelang hari perayaan keagamaan selalu disambut dengan suka cita bagi umat pemeluknya. Namun, ajang sukacita ini kerap kali dimanfaatkan oleh koorporasi untuk memancing mereka menuju konsumerisme. Bukan hanya memancing, saat ini konsumerisme justru telah merebak dengan dahsyatnya ditengah-tengah budaya masyarakat. Perayaan hari-hari besar keagamaan dari hari ke hari semakin identik dengan perayaan konsumerisme. Pasar swalayan, supermarket dan mal-mal (puri-puri kapitalis) menjadi lebih menarik untuk dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya, pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi wahana peribadatan baru bagi para konsumer fanatik yang tergantung sekali pada merek-merek kondang itu. Belanja besar-besaran selama musim obralan merupakan ekspresi kerelijiusan mereka pada agama mereka yang baru ini..Dunia semakin edan!!!

Hiperealitas
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Hiperealitas digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi.[rujukan?] Hiperealitas adalah makna untuk mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan "kenyataan" sejati di dunia, di mana keanekaragaman media dapat -secara mengakar- membentuk dan menyaring kejadian atau pengalaman sesungguhnya.[rujukan?] Beberapa teoriwan hiperealitas tersohor termasuk di antaranya Jean Baudrillard, Albert Borgmann, Daniel Joseph Boorstin, dan Umberto Eco.[rujukan?] Bagi Jean Baudrillard, hiperealitas mempertentangkan simulasi dan representasi. Simulasi bagi Baudrillard adalah simulakrum dalam pengertian khusus, yang disebutnya simulakrum sejati, dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri.[1

Hiperrealitas Media
Kita paham bahwa sekarang era berada pada tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi, dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial artinya dalam ruang simulakra, kode, proses kapital global ditemukan. (Baudrillard, 1983:99). Pasti ada sesuatu yang salah dengan media hingga Baudrillard menempatkannya sebagai bagian dari simulakra. Mengacu [...] Kita paham bahwa sekarang era berada pada tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi, dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial artinya dalam ruang simulakra, kode, proses kapital global ditemukan. (Baudrillard, 1983:99). Pasti ada sesuatu yang salah dengan media hingga Baudrillard menempatkannya sebagai bagian dari simulakra. Mengacu pada pemikirannya mengenai simulakra, maka media hanya dipandang sebagai pabrik yang mereproduksi hal-hal yang sama sekali tidak nyata (imajiner). Atau jelas Baudrillard, Yang benar dan yang nyata, lenyap dalam kelongsoran simulasi tidak ada realitas atau kebenaran di belakang bagian luar simulasi. Ini juga yang mematahkan asumsi bahwa setiap kondisi zaman sekarang adalah godokan dari yang nyata dan yang imajiner. Maka, dalam dunia simulasi, media mereproduksi hiperrealitas. Dan dalam dunia hiperrealitas tidak ada yang asli dan nyata, tetapi dapat dilahap atas apa yang lebih nyata dari apa yang nyata, atas apa yang lebih ramah dari yang ramah dan sebagainya. Contoh terdekat yang diajukan Baudrillard adalah pornografi, di mana ia mamandang pornografi lebih seksual daripada seks! Kami memandang media di zaman ini memainkan peranan besar sebagai pengobok-obok realitas pada setiap detik waktu yang kita lalui, dalam jeda kedipan mata kita yang memandang 25 frame per second citra televisi, dan dalam gerakan jempol tangan yang menekan remote control. Di saat kita menyadari media memberi kita kesadaran penuh terhadap hal-hal yang nyata di luar lingkungan kita, maka pada saat itulah kita dihadapkan pada permainan narasi besar yang sejatinya tidak menyuguhkan makna yang tidak nyata. Media dalam tataran dunia modern yang awalnya menjanjikan manusia bisa bersifat manusiawi, tidak seluruhnya terpenuhi. Yang muncul hanyalah praktik ideologi kapitalisme global di dalam media yang menjadi serigala pemangsa domba-domba yang lemah. Yang kita lihat juga adalah upaya mediamengacu konsep Baudrillardyang menutupi dan menyelewengkan dasar realitas, yang menutupi ketidakadaan dasar realitas dan yang melahirkan ketidakberhubungan pada berbagai realitas apapun. Sifat hiperrealita media adalah sebuah upaya cerdik tetapi idiot yang mereproduksi hal-hal yang dianggapnya bisa menambah pundi-pundi tabungan pemilik modal, semisal program reality show dan talents searchingdi televisi. Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Kontes Dangdut TPI (KDI), Penghuni Terakhir, seleksi Srikandi dan Arjuna Pajak bersama pengikut-pengikutny a di belakang sana, sejatinya mereproduksi dari materi yang sudah matang.

Indonesian Idol tidak akan dibeli lisensinya oleh RCTI dari American Idol, jika AFI tidak laku dipelototin pemirsanya. Demikian juga KDI dengan model yang sama, berharap bisa mendulang uang lewat representasi program mereka sebagai kampus yang mengajarkan ilmu dangdut. Dan ia pun dikemas dengan kode-kode promosi: Jadilah anda saksi bintang dangdut masa depan. Demikian wacana empirik itu sejalan dengan gagasan pikir Baudrillard: Tatanan kedua adalah era industri yang dicirikan dengan produksi dan rangkaian reproduksi murni dari objek yang identik dengan rangkaian pengulangan atas objek yang sama. Nah, agar pengulangan yang sama itu tidak terlihat, maka perlu pengemasan yang apik melalui simbol-simbol (kodekode) tertentu yang menarik orang (baca: konsumen). Jelas Baudrillard lagi, Era industri juga didominasi oleh kode dan generasi simulasi oleh model ketimbang sistem industri.

Tamasya dalam Hiperealitas Humanitas Umberto Eco


Penerbit : Jalasutra Edisi : Soft Cover Penulis : Umberto Eco Kategori : Humanitas Halaman : 455 Harga : Rp. 72.800.00 Ukuran : 1521 Tanggal Terbit : 2005 Stock : buku Tamasya dalam Hiperealitas belum tersedia, lihat buku yang lain Al-Ikhlash Achmad Chodjim, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1 Dr. Setiawan Dalimartha.

Вам также может понравиться