Вы находитесь на странице: 1из 3

24/7 SAVE THE SOUL

Sabtu, 11 Oktober 2005,19.05 WIB Saat itu malam yang tenang. Bintang bertebaran di langit biru gelap nemembus awan gugusan bima sakti. Purnama menampakkan wajah yang berbalut senyum keabadian. Angin mengalir sejuk semilir. Sungguh, suatu karunia sempurna ciptaan sang Pencipta Agung. Kami menyadari kenikmatan ini dan memutuskan untuk keluar rumah, sekedar jalan-jalan beserta keluarga tercinta. Hari, itu nama panggilan saya. Bertempat tinggal di sebuah tempat kecil bernama kota Problinggo. Jauh dari hiruk pikuk dunia yang gemerlap. Dengan mengendarai sebuah BMW, kami berencana menghabiskan malam ini menuju alun-alun kota. Tetapi, jangan membayangkan kami mengendari BMW yang mewah, karena BMW yang saya maksud adalah bebek merah warnanya. Hehehe. Ya, sebuah sepeda motor pemberian orang tua saya. Untuk sebuah mobil BMW yang mewah, untuk saat ini dengan pekerjaan saya sebagai pegawai negeri, suatu hal yang sulit untuk mewujudkannya. Meski demikian, saya bangga dengan pekerjaan saya, mengabdi kepada Negara. Saya merasa beruntung menjadi seorang pegawai negeri, dan saya merasa banyak orang yang juga setuju pendapat saya tersebut. Buktinya dari tahun ke tahun, setiap pendaftaran tes pegawai negeri di buka untuk umum, pasti menuntut antrian yang panjang di kantor pos sebagai tempat pendaftaran. Malam itu begitu sempurna. Anak saya, Hammam, dalam keadaan sehat dan begitu ceria khas wajah seorang anak kecil sedang digendong oleh istri semata wayang saya, Mimin. Kita berjalan-jalan sesampainya di alun-alun kota. Melihat barang-barang yang sedang di pamerkan oleh pedagang, membeli beberapa barang keperluan dan menikmati keindahan malam ini sepenuh hati kami. Tiba-tiba istri saya berbisik dengan kata-kata manis, mas, lupa ya hari ini hari apa?. Sesaat aku menghentikan kaki dan mencoba mencari jawaban dengan menengadahkan wajah ke langit luas. Hari Sabtu. Jawabku singkat. Bukan, tebak lagi deh, sahut istriku. Saya mencoba lagi mencari jawaban dengan mengernyitkan dahi. Hasilnya tetap sama, saya tidak taahu hari apa yang dimaksud oleh sitri saya. Setelah agak lama, istri saya mengatakan bahwa hari ini adalah hari ulang tahun saya. Ya,benar sekali. 11 Oktober hari jadiku. Oh, kenapa saya melupakan hari bersejarah itu. Hari dimana seorang ibu berjuang menjemput seorang bayi untuk menjadi pemimpin di

dunia. Saya benar-benar lupa akan hal itu. Setelah menyadari bahwa hari ini sangat special, kami memutuskan untuk memasuki sebuah rumah makan sederhana di tepi alun-alun kota. Cukup sederhana tempat ini, dan sangat sesuai dengan kesederhaan keuangan kami saat itu. Maklum, gaji pegawai negeri sangat bersahaja ditengah tuntutan pekerjaan yang semakin membubung tinggi. setelah menemukan tempat yang pas, di sebuah pojok, Karena memang kita menyukai tempat yang tenang, akhirnya kita memesan beberapa lauk plus minuman kesukaan masing-masing. Saya biasanya memesan kopi, apalagi malam nanti, saya mendapat giliran jaga malam. Istri saya memesan cola flud, sama persis dengan yang dipesan anak saya. Menjelang sekitar 15 menit kemudian, makanan yang kami pesan pun tersaji manis di depan kami. Kami agak terburu-buru untuk menghabiskan makanan karena waktu menunjukkan sudah menjelang jam 8 malam dan sesaat lagi, saya harus berangkat kerja. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Sesaat kemudian kilat terlihat melintas di langit yang sekarang telah berwarna gelap. Hujan deras seketika itu turun membasahi seluruh jalanan. Kami berusaha sebisa mungkin untuk segera sampai di rumah. Dengan penuh perjuangan, akhirnya kami sampai di rumah dengan keadaan basah kuyup. Kami langsung mengganti baju kami dengan baju yang kering. Saya langsung memakai seragam kebanggaan, putih putih. Saya menunggu hujan agak reda sebelum memnutuskan untuk berangkat ke medan kerja sambil membaca Koran yang belum sempat selesai pagi tadi. Istri saya sedang membacakan buku cerita kepada Hamam,anak saya, menjelang tidur malam nya. Saya menyaksikan kejadian tersebut dengan penuh rasa syukur. Sampai dengan malam ini , saya memiliki keluarga yang bahagia, sejahtera, penuh dengan cinta dan kebersamaan. Ingin rasanya, saya bergabung dengan mereka untuk merasakan kehangatan dari sebuah kebersamaan. Hujan tetap turun deras, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Kilat menyambar bak lecutan cambuk. Gemuruh bersautan memekakkan telinga. Malam yang benar-benar suram. Gelap. Pekat. Tibatiba, muncul rasa malas bergelayut di otak saya. rasa mengantuk pun bertandang. Benar-benar rasa malas yang memabukkan. Terlintas niat untuk tidak masuk dinas dengan alas an sakit kepala. Coba, bayangkan. Wajar bukan, seorang manusia memilih untuk tidur bersama keuarga tercinta di tengah hujan deras daripada kerja di tengah malam buta. Akhirnya, saya memutuskan untuk menanggalkan baju dinas dan menggantinya dengan baju tidur. Istri saya memandangku heran dengan tindakan saya yang mengganti baju. Saya merasa tidak badan, jawab

singkatku. Istri saya Cuma tersenyum. Dia mengetahui jika saya sedang malas untuk berangkat kerja malam itu. Ya, saya akui, malam itu saya malas untuk kerja. Tiba-tiba istri ku mencoba untuk mengingatkan suatu kesadaran rasa syukur yang pernah aku ajarkan ke dia. Mas, mungkin mas sekarang lagi malas kerja, tidak ada semangat, tetapi ingat mas, ada tugas di luar sana yang harus mas kerjakan. Menyelamat kan jiwa orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Coba mas bayangkan, mas akan memilih mana, mas menolong orang yang sakit atau keluarga kita yang sakit. Sesaat saya terbangun dari rasa malas saya. saya telah terlena dengan keadaan yang ada saat ini. Istri ku benar. Segera aku ganti baju dan berangkat ke medan pertempuran menjadi seorang penolong jiwa-jiwa yang sakit dan lemah.

Вам также может понравиться