Вы находитесь на странице: 1из 22

Refarat & Laporan Kasus

FIXED DRUG ERUPTION

Oleh : Jimmy E. H. P. Koan 9601061 Imelda Sayago 9901147 Pembimbing : Dr. A. H. Mitaart, SpKK (K)

BAGIAN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2005

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............1 1. Pendahuluan.

....2
2. Definisi........

....3
3. Sinonim

...3
4. Epidemiologi.

...3
5. Etiopatogenesis

.3
6. Gambaran klinis....8 7. Pemeriksaan penunjang.

.9
8. Diagnosis...

..9
9. Penatalaksanaan.

.10
10. Prognosis..

.11
11. Laporan kasus.12

12. Pembahasan

15
13. Penutup

..17
DAFTAR PUSTAKA18 Lampiran.19

PENDAHULUAN
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi dengan manifestasi berupa lesi kulit yang muncul ditempat yang sama dan dapat bertambah akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu.1,2 Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit kelamin pada tahun 1986-1990 dilaporkan pada 135 kasus terdapat kasus FDE sebanyak 16%.3 Gambaran klinik dari FDE berupa timbulnya satu atau beberapa lesi kulit yang eritematous berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya terbentuk efloresensi berupa makula berbatas tegas berwarna ungu atau coklat.2 Diagnosis FDE ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaan obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Namun jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan jaringan kulit secara patologi anatomi dimana akan didapatkan gambaran mikroskopis berupa terdapatnya makrofag-makrofag dan adanya penumpukan pigmen melanin.1,4 Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupa mengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab dan pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis seperti kortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal.4 FDE bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa dimana akan menyembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian dilihat dari sudut pandang kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan adanya penambahan jumlah lesi.1

TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.1,2 SINONIM Eksantema fikstum, fixed exanthema.1 EPIDEMIOLOGI Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun 19861990 dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi obat yang paling sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%), FDE (16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%). Sejak tahun 1956 proporsi dari reaksi erupsi obat berupa urtikaria menurun dan terjadi peningkatan angka kejadian FDE.3 ETIOPATOGENESIS Obat-obatan yang paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral, barbiturat, bleomysin, fenolftalein, busulfan, fenasetin, zidovudine, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin, sulfonamide, tetrasiklin, metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin, antimalaria, prokarbasin, doksorubisin.2,3,4,5 Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang

terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap. Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari sebuah obat dalam menimbulkan respon imun : 1. Karakteristik molekular dan sensitisasi. Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari 1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen. Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke sebuah limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T yang berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon dan interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang akan menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik seperti urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan tipe terakhir dari aktivasi sel T belum diketahui.3

2.

Variasi metabolik individu.

Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.3 3. Kemampuan imunogenetik. Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki angka kejadian 35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien dengan SLE dapat meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi belum jelas apakah hal ini berhubungan dengan abnormalitas imun atau frekuensi pemaparan obat-obatan. Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap resiko obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x lebih tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat seiring dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang melakukan transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko reaksi obat.3 4. Usia Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat, dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula, mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE : 1. Paparan obat. Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang

menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.3 2. Waktu kejadian. Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama. Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.3 3. Uji eliminasi pemakaian obat. Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat tersebut.3 4. Pemaparan obat ulangan. Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi perubahan pola status imunologik pasien.3 Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coombs & Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur berikut ini; 1. Tipe I Reaksi Anafilaktik Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan mediator-

mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens/prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.3,6 2. Tipe II Reaksi Sitotoksik Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.1 3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim komplemen terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan terjadi kerusakan jaringan.1 4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen.1 FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen antibodi.

GAMBARAN KLINIK FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan muncul kembali pada tempat yang sama.3 Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran eritematous dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi biasanya berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat, kadang-kadang lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar. Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki, genitalia (glans penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi. Lesi juga dapat muncul di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi berhubungan dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang menetap pada daerah lesi dimana warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini dapat menghilang seiring waktu tapi sering menetap diantara pemaparan obat. Pigmentasi terjadi lebih lama pada orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari FDE menghilang apabila penderita tidak diberikan obat penyebab. FDE non pigmentasi dilaporkan pada pemberian pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-gejala lokal atau umum yang menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang berupa gejala ringan atau tidak ada.2,4 Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE : 1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.4 2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan kimiawi obat tersebut.4

10

3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.4 4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa FDE dengan pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan adanya degenarasi hidrotik pada lapisan sel basal yang akan menuju pada inkontinens pagmentari, dimana dikarakteristik dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang terdapat pada lapisan atas kulit (Tarnowsky). Sebagai tambahan terdapat penyebaran dari diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik dan inti pignotik sering terlihat pada epidermis (Furuya, dkk). Pada pemeriksaan dengan mengunakan mikroskop elektron diskeratotik keratonicytes terisi dengan tonofilamen tipis yang homogen dan menunjukkan sedikit dari sisa-sisa organel sel dan inti.7 DIAGNOSIS Diagnosis FDE berdasarkan : 1. Anamnesis : Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan diketahui mengenai : obat-obatan yang didapat kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril.

11

2. Kelainan Klinis : Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang tersebut. 3. Pemeriksaan Khusus : Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk mendeteksi obat penyebab FDE.1,4 PENATALAKSANAAN Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam : 1. pengobatan kausal Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu golongan). 2. pengobatan sistemik a. kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone sehari. b. antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan kortikosteroid 3. pengobatan topikal diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat

12

Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 %.1,3,4 Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obatobatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang dicurigai. Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obatobat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obatobatan imunosupresif/terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut dapat berbahaya bagi pasien.8 PROGNOSIS Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainankelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.1

13

LAPORAN KASUS
Identitas : Nama Umur Alamat Pekerjaan Agama Anamnesa : - Keluhan Utama : Timbul bercak kehitaman pada daerah mulut, tangan, kaki, paha, dan dada yang disertai dengan gatal. - Riwayat penyakit sekarang : Timbul bercak kehitaman pada sekitar mulut, tangan, lengan, kaki, paha, dan dada yang disertai dengan gatal. Bercak kehitaman dialami penderita sejak kira-kira 2 minggu yang lalu. Awalnya timbul seperti lepuh kemudian pecah, dan terjadi warna kehitaman. Penderita juga mengeluh perih pada daerah tersebut. Sebelum hal ini terjadi kira-kira 1 minggu yang lalu, penderita pergi ke dokter karena sakit kepala dan sakit maag dan mendapat suntikan 2 jenis obat. Penderita tidak mengetahui nama obatnya. Pada tahun 2001 penderita pernah sakit seperti ini, dan sembuh total setelah mendapat obat Kenacort dan Telfast OD. - Riwayat penyakit dahulu : hipertensi (+) terkontrol, sakit maag (+). - Riwayat alergi : makanan (-), obat (-). - Riwayat keluarga : hanya penderita yang sakit seperti ini. - Riwayat kebiasaan : mandi 2 x sehari, sumber air sumur, sabun lux. : Ny. Yenni Samurine : 67 tahun : Tatelu Lingk.I : IRT : Kristen protestan

Jenis kelamin : Perempuan

14

Pemeriksaan Fisik : Status Generalis : KU : Baik Kesadaran : Compos Mentis N: 80 x/mnt R: 24x/mnt Sb: 36,8 oC Tanda vital : T: 130/80 mmHg

Kepala : simetris tidak ada kelainan Thorax : Jantung atau paru dalam batas normal Abdomen: datar lemas, BU (+) normal, hepar/lien tidak teraba Extremitas : hangat, tidak ada kelainan Status dermatologis : Regio labialis, regio antebrachi sampai manus dekstra et sinistra, regio femoralis dekstra, regio cruris dekstra et sinistra, region pedis dekstra et sinistra : Tampak makula hiperpigmentasi dengan batas jelas, krusta (+), skuama (+). Pemeriksaan Patologi Anatomi: Tampak jaringan epidermis dengan beberapa sel lapis basal mengalami degenerasi hidropik. Papilari dermis edematous dan terdapat prevaskuler infiltrasi terdiri dari sel limfosit, plasma , eosinofil dengan sel makrofag berisi pigmen melanin. Kesimpulan : fixed drug eruption Diagnosa : Fixed Drug Eruption Terapi : Antihistamin tablet 3 x 1 Kortikosteroid topikal Antasida syrup

15

Anjuran : Hindari pemakaian obat yang diduga sebagai penyebab Prognosis : Dubia ad bonam

16

PEMBAHASAN
Diagnosa FDE pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan klinik dan pemeriksaan patologi anatomi. Dari anamnesis diketahui keluhan utama berupa timbulnya bercak kehitaman muncul pada sekitar mulut, tangan, lengan, kaki, paha dan dada. Sebelumnya pada tahun 2001 penderita pernah mengalami sakit seperti ini dengan bercak kehitaman yang hanya muncul pada tangan saja. Seperti yang kita ketahui fixed drug eruption disebabkan oleh pemakaian obat-obatan dengan lesi eritematous dan berubah menjadi kehitaman yang muncul pada tempat yang sama dimana pada paparan dengan obat berikutnya akan menyebabkan penambahan jumlah lesi. Pada kasus ini, berdasarkan pemeriksaan fisik lesi hiperpigmentasi didapatkan pada daerah sekitar mulu FDE t, tangan, kaki. Sesuai dengan kepustakaan bahwa tempat predileksi FDE di sekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Tetapi dengan anamnesis yang teliti, adanya residif ditempat yang sama dan gambaran klinisnya, diagnosis FDE dapat ditegakkan. Dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dan didapatkan hasil jaringan epidermis dengan beberapa sel lapis basal mengalami degenerasi hidropik. Papilari dermis edematous dan terdapat pervaskuler infiltrasi terdiri dari sel limfosit, plasma, eosinofil dengan sel makrofag berisi pigmen melanin. Hal ini sesuai dengan kepustakaan dimana didapatkan adanya degenerasi hidrotik pada lapisan sel basal yang menuju pada inkontinens pigmentasi dimana di karakteristik dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang terdapat pada lapisan atas kulit. Yang menjadi faktor penyebab timbulnya FDE pada kasus ini adalah pemaparan pertama dengan obat penyebab, dosis obat dan pemberian obat ulangan. Dimana pada pemaparan pertama dapat menyebabkan terjadinya reaksi komplit

17

antigen-antibodi dan beberapa reaksi kulit tergantung dari dosis dan akumulasi toksik obat. Pemakaian obat penyebab yang berulang mengakibatkan bertambahnya jumlah lesi. Pada kasus ini berdasarkan anamnesa diduga obat penyebab terjadinya FDE adalah salisilat. Pengobatan pada FDE belum memuaskan karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metaboliknya. Pada kasus ini hanya diberikan pengobatan secara simptomatik, dimana diberikan antihistamin karena obat ini bersifat sedatif dan dapat menghilangkan rasa gatal. Obat lainnya yang diberikan adalah kortikosteroid yang diberikan secara topikal, yang berguna sebagai anti inflamasi. Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad bonam karena FDE akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan dapat disingkirkan.

18

PENUTUP
Demikianlah tinjauan pustaka dan laporan kasus tentang FDE. Diharapkan agar makalah yang sederhana ini dapat berguna bagi pembaca, juga bagi penulis sesuai dengan maksud dibuatnya makalah ini, dan terutama bagi upaya kita untuk tidak sekedar memahami tentang FDE, tetapi juga membuka wawasan dan menambah pengalaman dalam hal penanganan kasus-kasus penyakit akibat reaksi pemakaian obat-obatan khususnya pada FDE.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. DR. Adhi Djuanda, Dr. Mochtar Hamzah, Dr. Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ketiga. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999:139-142 2. DermNet Editorial Board. Fixed Drug Eruption. Available from URL: www.dermnetnz.org/reaction/fixed-drug-eruption.html. Last updated : September 30, 2004. 3. Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. Dermatology in General Medicine, 5th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United States of America,1999:1633-41 4. Seobaryo R, Suherman S. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sularsito Sri,dkk. Erupsi Obat Alergik. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI.1995:37,63-4 5. Thiers B. Disorders of Hyperpigmentation. In: Dermatologics Clinics. W.B Saunders Company.2000:95-7 6. Arnold H, Odom R, James W. Contact Dermatitis in Drug Eruption. In: Diseases of The Skin. 8th edition. W.B Saunders Company.1990 7. Lever Walter, Schaumberg G. Eruptions Due to Drugs, In: Histopathology of The Skin. J.B Lippincott Company.1983:259-61 8. Revuz Jean. Serious Drug Reactions. In : Abstracts IX International Congress of Dermatology. May 19-22, 2004. Beijing China:5

20

Lampiran
Foto 1. Lesi fixed drug eruption pada tangan

21

Lampiran
Foto 2. Lesi fixed drug eruption pada kaki

22

Вам также может понравиться