Вы находитесь на странице: 1из 14

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

A. PERUBAHAN PADA SISTEM PERKEMIHAN Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terkait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat

mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh. 1. Perubahan pada Sistem Renal Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya mempengaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua: a. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal, dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan volume tubulus proksimal berkurang, penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi terganggu, nokturia. b. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh, penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi. c. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.

2. Perubahan pada Sistem Urinaria Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu :

a. penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL) b. peningkatan volume residu (N: 50 mL) c. peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari d. atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia.

3. Perubahan pada aliran darah ginjal Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan pengaturan sistem keseimbangan.

a. Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari. Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan,

memperlihatkan bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.

b. Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap

memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal. Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox, Jr dkk, 1985) 1) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun. 2) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda. 3) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance. 4) Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak usia 30 tahun.

c. Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacammacam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade. Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin.

d. Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada

laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus. Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang

biladibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

B. DEFINISI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA 1. Hyperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat , pertumbuhantersebut dimulai dari bagian periuretral sebaga proliferasi yang terbatas dan tumbuh menekan kelanjar normal yang tersisa ( Price & Wilson 2005). Benigna prostat hipertropi adalah tumor jinak dan kelenjar prostat bagian paling dalam (medial prostat) membesar oleh karena pembesaran ke arah tepi-tepi menimbulkan penyempitan uretra. Pembesaran tersebut dapat menyebabkan dorongan sampai ke arah basis vesika urinaria, sehingga mengakibatkan kesulitan miksi. 2. Benigna Prostat hyperplasia adalh kondisi patologis yang paling umum, yang banyak terjadi pada pria diatas 50 tahun (Bruner dan Suddarth, 2001) 3. BPH (Benigna Prostat hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002) 4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999) Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang

keatas

kedalam

kandung

kemih

dan

menyumbat

aliran

urin

dengan

cara

menutupi orifisium uretra.

C. ETIOLOGI Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasia, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah : a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut; b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat; c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati; d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga akibat pengaruh hormone, yaitu terjadi perubahan keseimbangan antara hormone estrogen dan testoteron. Sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, kira-kira 90 % dan sisanya diproduksi oleh kelenjar adrenal, dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan keseimbangan testoteron dan estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi testoteron dan konvensi testoteron menjadi estrogen pada jaringan perifer, estrogen inilah yang emudian menyebabkan hyperplasia. Pada umumnya dikemukakan beberapa teori : 1. Teori Hormonal. Teori ini dibuktikan bahwa, sebelum pubertas dilakukan kastraksi, maka tidak terjadi BPH. Selain androgen (testoteron), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu antar hormone testoteron dan androgen. 2. Teori Reawekering (Neal, 1978)

Menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 3. Teori Growth Faktor (Faktor Pertumbuhan) Peranan dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan strauma kelenjar prostat. 4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat arena berkurangnya sel-sel yang mati. 5. Teori sel STEM Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Prostat, dalam hal ini kelenjar periuretral pada orang dewasa, berada dalam keadaan seimbang antara pertumbuhan sel dan sel yang mati. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. 6. Dehidro Testoteron Testoteron yang dihasilkan oleh sel Lyding Pada testis (90 %) dan sebagian kelenjar adrenal (10 %), masuk kedalam peredaran darah dan 98 % akan terikat oleh globulin menjadi seks hormone dinding globulin.

D. PATOFISIOLOGI Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.

Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra

daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakulasedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

PATHWAY (TERLAMPIR)

E. MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus dan waktu miksi

mengejan (straining) kencing

terputus-putus (intermittency),

memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Arif Mansjoer, 2000) Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium : 1. Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. 2. Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia. 3. Stadium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. 4. Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen). Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa : Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan engan mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. a. Rectal Gradding Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum. : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum. : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum. : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum. : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum

b. Clinical Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter. Normal Grade I : Tidak ada sisa : sisa 0-50 cc

Grade II : sisa 50-150 cc Grade III : sisa > 150 cc Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

2. Laboratorium a. Pemeriksaan urine untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflmasi saluran emih. Pemeriksaan kultur urine ini berguna untuk mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensifitas kuman. Sedimen Urin Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih. Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pemeriksaan ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang mengenai saluran kemih bagian atas. c. Pemeriksaan darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli.

3. Pencitraan a. Foto polos abdomen Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin. b. IVP (Intra Vena Pielografi) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli. c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal) Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor. d. Systocopy Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

G. PENATALAKSANAAN Rencana pengobatan tergantung penyebab keparahan obstrusi dan kondisi klien, jika klien masuk RS dalam keadaan darurat karena tidak dapat beremih, maka kateterisasi segera dilakukan. Tidak semua klien yang menderita penyakit ini perlu menjalani tindakan medik. Bila keadaan lebih parah, dilakukan tindakan medis dan terapi medikamentosa. Tujuan terapi pada klien ini adalah untuk menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli. Penatalaksanaan kolaboratif adalah untuk membantu pengosongan kandung kemih, mengurangi gejala-gejala yang dialami klien dan mencegah atau mengobati komplikasi.

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis. 1. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor

alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. 2. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra) 3. Stadium III Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal. 4. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atausistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. Jenis-jenis penatalasanaan adalah: 1. Terapi Konservatif 2. Dilakukan bila gejala yang ada masih ringan, atau tidak ada gejala Dilakukan dengan pemberian obat-obatan hormon

Nonsurgical Invasive Care

Dilakukan dengan pemasangan kateter urine secara intermiten untuk mengurangi gejala dan bypass obstruksi. Pemasanagan kateter urine dalam jangka waktu lama harus dihindari karena akan menigkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. 3. Pemasangan stens (stainless steel) atau coils (titanium) pada uretra prostatik. Terapi microwave (terapi panas)

Surgical Invasive Indikasi operasi penurunan jumlah urine output yang dapat meningkatkan rasa tidak nyaman. Residual urine yang menetap, retensi urine akut. Proses pembedahan yang dapat dilakukan antara lain: a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy) Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra. b. Prostatektomi Suprapubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. c. Prostatektomi retropubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. d. Prostatektomi Peritoneal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. e. Prostatektomi retropubis radikal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: a. Observasi Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. b. Medikamentosa Mengharnbat adrenoreseptor Obat anti androgen

Penghambat enzim -2 reduktase

c. Fisioterapi d. Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan: Terapi Invasif Minimal Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

H. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000) Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). 1. Komplikasai Pre op a. Pielonefritis b. Hidronefrosis c. Azotemia d. Uremia 2. Post op a. Hiponatremia dilusi (TURP) b. Infeksi

c. Hidrokel d. Syok e. Retensi urin akut f. Ileus paralitikum g. Peningkatan suhu tubuh h. Nyeri saat jalan

Вам также может понравиться