Вы находитесь на странице: 1из 2

CYBERMARKET DAN ASPEK PERPAJAKAN INTERNASIONAL: SEBUAH PERSOALAN DALAM PARADIGMA GLOBAL Dunia telah memasuki era informasi,

perkembangan teknologi yang begitu pesat telah merambah pada setiap aspek kehidupan manusia. Dunia bisnis pun telah mengadopsi model transaksi bisnis yang inovatif yang mengikuti kemajuan teknologi tinggi (high-tech improvement), sehingga muncullah berbagai transaksi bisnis melalui dunia cyber. Isu cybermarket telah banyak berkembang sekarang ini, terlebih lagi cybermarket telah dijadikan media yang penting dalam transaksi bisnis. Kehadiran cybermarket membawa progress yang signifikan dalam transaksi bisnis secara global. Hal tersebut didukung dengan kemajuan teknologi jaringan atau internet yang semakin canggih. Pengguna internet meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Worldstat, di tahun 2012, jumlah pengguna internet diperkirakan akan mengalami peningkatan 3,1 persen dari tahun 2011 mencapai 239 juta jiwa. Bahkan di Indonesia sendiri sekitar 57 persen lebih penggunanya telah melakukan transaksi pada cybermarket. Semakin banyaknya pengguna internet itulah maka semakin banyak juga transaksi yang dilakukan pada cybermarket. Cybermarket merupakan ruang yang menghubungkan permintaan dan penawaran di dunia maya. Cybermarket mencakup segala aspek transaksi di dunia maya, berbagai produk diperjualbelikan dengan cepat, mudah, praktis tanpa mempertemukan penjual dan pembeli dalam tempat secara riil. Transaksi dapat dilakukan oleh siapapun, di manapun dan kapanpun juga. Kemudahan tersebut ternyata tak terelakkan dari berbagai persoalan. Isu yang sekarang ini masih menjadi bahan kajian adalah mengenai aspek pemajakannya. Persoalan pemajakan pada cybermarket bukanlah hal yang mudah, karena salah satu karakteristik dari cybermarket adalah bersifat borderless. Praktik transaksi di cybermarket beroperasi secara lintas batas, berbagai negara dapat dijangkau dengan mudah tanpa dibatasi dengan wilayah negara. Pengaturan ketentuan pajak inilah yang perlu diperhatikan, terlebih lagi ketika transaksi

tersebut melibatkan lebih dari satu negara. Jika transaksi tersebut dilakukan lintas negara, tentunya akan semakin kompleks dan memerlukan kebijakan yang lebih mendalam terkait dengan pengenaan pajaknya. Masing-masing negara akan mengalami kesulitan untuk menentukan pengaturan pajaknya, karena dalam cybermarket tidak melibatkan bentuk fisik dari keberadaan masing-masing pihak terkait, baik penjual maupun pembeli. Dalam penerapan konsep yurisdiksi pun terdapat permasalahan yang cukup krusial terkait dengan hal ini. Prinsip yurisdiksi seperti tempat terjadinya transaksi akan tersamarkan oleh aktivitas transaksi lintas negara yang tidak terlacak. Tempat terjadinya transaksi tidak bisa dijustifikasi secara jelas dengan kaidah transaksi tradisional pada umumnya. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya pajak ganda (double taxation) karena kerumitan dalam penentuan negara mana yang berhak memungut pajak terkait dengan transaksi yang terjadi. Jika kita tinjau, bahwasanya di beberapa negara sudah mengatur mengenai pemajakan pada cybermarket, antara lain seperti di Amerika Serikat, Kanada, Jepang dan Uni Eropa. Setiap negara punya ketentuan masing-masing dan dengan ketentuan yang berbeda itulah menyebabkan ketidaksinkronan dalam praktik penetapan pemungutan pajak. Ketika terjadi pajak ganda akibat transaksi pada cybersmarket, maka tentunya akan merugikan pihak-pihak yang terkait. Tentunya diperlukan pendekatan global terkait dengan persoalan ini karena transaksi pada cyberspace sudah membawa arah transaksi yang bersifat global dengan cakupan yang lebih luas secara internasional. Cybermarket di Indonesia sendiri masih dalam proses pencarian jati diri karena pada kenyataannya masih perlu payung hukum untuk mengatasi permasalahan dalam praktik di cybermarket. Perlu adanya upaya yang menyeluruh untuk meninjau kemungkinan persoalan di masa depan yang makin berkembang. Ketentuan peraturan perpajakan terkait dengan Cybermarket pun harus benar-benar dimatangkan agar pemungutan pajak dapat dilakukan secara adil sesuai dengan porsi yang semestinya. Oleh: Sri Agustina Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Вам также может понравиться