Вы находитесь на странице: 1из 9

PENGGUNAAN ASETILASETON SEBAGAI PEREAKSI PENGKHELAT PADA EKSTRAKSI LOGAM TEMBAGA(II) DAN KROMIUM(III) SERTA KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS

BIS-ASETILASETONATO TEMBAGA(II) DAN TRIS-ASETILASETONATO KROMIUM(III)

Ersan Yudhapratama, Soja Siti Fatimah, Zackiyah Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA UPI Jl. Dr. Setiabudhi No. 299, Bandung Email: rshan21@gmail.com; ssfatimah@gmail.com

Abstrak Pada penelitian ini, ekstraksi logam Cu(II) dan Cr(III) dilakukan dengan menggunakan asetilaseton sebagai pereaksi pengkhelat yang dilarutkan dalam fasa organik serta dilakukan karakterisasi terhadap senyawa kompleks asetilaseton dengan kedua logam tersebut. Pengukuran logam yang terekstrak dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorbstion Spectrofotometer (AAS). Dari hasil pengukuran, diketahui bahwa logam Cu(II) dapat terekstrak secara optimum sebesar 95,42% pada pH 12 dengan menggunakan perbandingan konsentrasi logam Cu(II) : asetilaseton sebesar 1:1 sedangkan logam Cr(III) dapat tersekstrak secara optimum sebesar 52,61% pada pH 8 dengan perbandingan konsentrasi logam Cr(III) : asetilaseton sebesar 1:3. Dari hasil karakterisasi diketahui bahwa senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] telah terbentuk. Kata kunci: asetilaseton, pereaksi pengkhelat, ekstraksi logam Cu(II) dan Cr(III)

Abstract In this study, the extraction of Cu(II) and Cr(III) was performed by using acetylacetone as a chelating agent that dissolved in the organic phase as well as the characterization of the acetylacetone complexes with both metal. Measurement of the extracted metal was done by using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). From the measurement, it is known that Cu(II) can be optimally extracted by 95,42% at pH 12, by using a ratio of metal concentration of Cu(II): acetylacetone of 1:1 whereas Cr(III) optimally extracted by 52,61% at pH 8, by using a ratio of metal concentration of Cr(III): acetylacetone at 1:3. From the results it is known that the characterization of complex compounds [Cu(acac)2] and [Cr(acac)3] was formed. Keyword: acetylacetone, chelating agent, metal extraction of Cu(II) and Cr(III)

PENDAHULUAN Sampai saat ini, pemisahan dengan menggunakan ekstraksi cair-cair masih terus berkembang, hal ini karena banyak bidang kajian ilmu yang proses pemisahannya menggunakan ekstraksi cair-cair. Selain itu, perkembangan ekstraksi cair-cair juga tidak lepas dari tujuan utamanya yaitu untuk mendapatkan zat analit yang efektif dan efisien untuk dapat dianalisis. Oleh karena itu, penelitian-penelitian tentang ekstraksi cair-cair, mulai dari jenis ekstraksi cair-cair yang digunakan, jenis analit yang dipisahkan, pelarut dan pereaksi pengompleks yang digunakan masih perlu dilakukan. Ekstraksi dengan cara pembentukkan senyawa kompleks khelat merupakan cara yang paling luas penggunaannya dalam ekstraksi cair-cair terhadap logam (Soebagio, dkk., 2003) Ekstraksi cair-cair terhadap beberapa logam dengan menggunakan pereaksi pengkhelat asetilaseton sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Tabushi (1959). Namun pada penelitan tersebut asetilaseton yang digunakan sebagai pereaksi pengkhelat dilarutkan terlebih dahulu di dalam fasa air. Cara yang dilakukan oleh Tabushi merupakan cara yang tidak umum digunakan dalam ekstraksi cair-cair dengan menggunakan pereaksi pengkhelat, karena pada umumnya pereaksi pengkhelat pada ekstraksi cair-cair ditambahkan ke dalam fasa organik (Soebagio, dkk., 2003). Pada penelitian ini, asetilaseton digunakan sebagai pereaksi pengkhelat yang dilarutkan dalam fasa organik, yaitu kloroform. Penggunaan asetilaseton sebagai pereaksi pengkhelat karena asetilaseton mempunyai sifat sangat mudah larut dalam kloroform sebagai fasa organik (dengan perbandingan pelarut dan zat terlarut 1:1) dan banyak yang logam yang dapat membentuk senyawa kompleks khelat dengan asetilaseton, seperti logam Cu(II)

dan logam Cr(III) (Fernelius, 1946). Selain itu, asetilaseton merupakan senyawa golongan -diketon yang baik sebagai pereaksi pengkhelat dalam proses ekstraksi logam. Pada penelitian ini, logam Cu(II) dipilih karena pada ekstraksi terhadap beberapa logam yang dilakukan Tabushi menunjukkan bahwa persen terekstraksi yang tinggi, yaitu sebesar 85% dan senyawa kompleks [Cu(acac)2] merupakan senyawa kompleks yang stabil dan mudah untuk terbentuk (Charles, 1957 dan Kirna, 1998). Sedangkan logam Cr(III) dipilih karena belum ada penelitian yang melakukan ekstraksi terhadap logam Cr(III) dengan menggunakan asetilaseton sebagai pereaksi pengkhelat, sehingga belum diketahui berapa persen terekstraksi logam tersebut dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pada logam Cu(II). METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu memperlajari pengaruh pH terhadap ekstraksi, pengaruh konsentrasi asetilaseton sebagai pereaksi pengkhelat terhadap ekstraksi, dan karakterisasi senyawa kompleks hasil ekstraksi dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis, FTIR, dan TG-DTA. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah gelas kimia, pipet volume, corong pisah, kaca preparat, pipa kapiler, labu ukur, buret, pipet tetes, botol vial, corong Buchner, mikroskop, Atomic Absorbstion Spectrofotometer (AAS) Varian 220 FS, Thermal Gravimetric Differential Thermal analysis (TG-DTA) Shimadzu 60 A, dan Spektrofotometer UV-Vis mini Shimadzu. Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, natrium asetat, amonium hidroksida, asetilaseton, kloroform, metanol,

kromium(III) klorida heksahidrat, tembaga(II) klorida dihidrat, besi(III) klorida heksahidrat, dan asam klorida. Cara Kerja Pengaruh pH Terhadap Ekstraksi Pengaruh pH pada ekstraksi logam Cu(II) dilakukan dengan cara memasukkan larutan logam Cu(II) 20 ppm 10 mL dan larutan penyangga pH tertentu sebanyak 5,0 mL ke dalam corong pisah 100 mL. Setiap corong pisah berisi pH yang bervariasi, mulai dari pH 7 sampai dengan pH 12. Kemudian ditambahkan larutan asetilaseton 60 ppm 10 mL dan kloroform sebanyak 5,0 mL. Setelah semua pereaksi telah dimasukkan ke dalam corong pisah, dilakukan pengocokan untuk semua corong pisah dengan alat pengocok EYELA MMS3000 selama 1 jam dengan kecepatan 157 rpm pada suhu ruang. Setelah pengocokan, fasa air dan fasa organik dipisahkan. Fasa air diukur konsentrasi logamnya dengan menggunakan AAS. Untuk logam Cr(III), pengaruh pH terhadap ekstraksi dapat diketahui dengan cara yang sama seperti mengetahui pengaruh pH logam Cu(II), namun dengan rentang variasi pH 4 sampai dengan pH 9. Pengaruh Konsentrasi Asetilaseton Terhadap Ekstraski Pengaruh konsentrasi asetilaseton pada ekstraksi logam Cu(II) dilakukan dengan memasukkan larutan logam Cu(II) 20 ppm sebanyak 10,0 mL dan larutan penyangga pH 12 sebanyak 5,0 mL ke dalam corong pisah 100 mL. Kemudian ditambahkan larutan asetilaseton dengan variasi konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm sebanyak 10,0 mL dan kloroform 5,0 mL.

Setelah semua pereaksi dimasukkan ke dalam corong pisah, dilakukan pengocokan dan pengukuran seperti pada perlakuan sebelumnya. Untuk mengetahui pengaruh asetilaseton terhadap ekstraksi logam Cr(III) dilakukan dengan cara yang sama dengan cara untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asetilaseton untuk logam Cu(II) pada pH 8. Karakterisasi Senyawa Kompleks [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] Karakterisasi untuk senyawa kompleks [Cu(acac)2] dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, FTIR dan TGDTA terhadap senyawa kompleks yang telah dimurnikan dengan cara rekristalisasi. Penentuan kemurnian kristal dilakukan dengan uji titik leleh. Karakterisasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis, dilakukan dengan melarutkan terlebih dahulu kristal senyawa kompleks [Cu(acac)2] dalam 100 mL kloroform dengan konsentrasi 1000 ppm. Larutan tersebut kemudian dilakukan pemindaian pada daerah 400-800 nm. Karakterisasi senyawa kompleks [Cu(acac)2] menggunakan FTIR dilakukan dengan menggunakan metode pelet KBr dari bilangan gelombang 4000-500 cm-1, dan untuk karakterisasi kestabilan senyawa kompleks terhadap suhu, dilakukan dengan metode Termogravimetri Analisis. Karakterisasi terhadap senyawa kompleks [Cr(acac)3] dilakukan dengan cara yang sama seperti karakterisasi senyawa kompleks [Cu(acac)2]. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pH Terhadap Ekstraksi. Ekstraksi untuk mengetahui pengaruh pH terhadap ekstraksi logam Cu(II) dan Cr(III) dilakukan secara terpisah untuk

masing-masing logam, hasil yang diperoleh ditunjukkan pada tabel 1 Tabel 1. Hasil ekstraksi logam Cu(II) dan logam Cr(III) dengan asetilaseton sebagai pereaksi pengkhelat
Cu(II) pH 4 5 6 7 8 9 Persen Ekstraksi (%) 46,69 50,29 58,75 63,13 63,22 63,32 pH 7 8 9 10 11 12 Cr(III) Persen Ekstraksi (%) 42,93 56,10 64,88 82,41 85,46 94,55

karena itu, pH yang optimum adalah pH yang dalam suasana basa, tidak terjadi pengendapan, dan tidak terjadi lagi peningkatan harga persen ekstraksi yang signifikan. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Ekstraksi Asetilaseton

Hasil ekstraksi untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asetilaseton terhadap ekstraksi logam Cu(II) dan Cr(III) ditunjukkan pada tabel 2 Tabel 2. Hasil ekstraksi logam Cu(II) dan logam Cr(III) terhadap beberapa konsentrasi asetilaseton
Konsentrasi Asetilaseton (ppm) 20 40 60 80 100 Persen Ekstraksi (%) Cu(II) 95,42 98,16 98,89 99,42 99,68 Cr(III) 37,83 43,68 52,61 51,02 50,87

Ekstraksi untuk logam Cu(II) dilakukan secara bertahap, dimulai pada pH 7 sampai dengan pH 9 terlebih dahulu. Dari hasil ekstraksi menunjukkan adanya peningkatan harga persen ekstraksi seiring dengan peningkatan harga pH, sehingga ekstraksi selanjutnya dilakukan pada pH di atas 9. Namun pada pH 13, larutan logam Cu(II) sudah mengalami pengendapan, sehingga eksraksi tidak dilakukan hingga pH 13, selain itu, karena harga persen ekstraksi pada pH 12 sudah mencapai 94,55%, sudah dianggap efektif untuk mengekstrak logam Cu(II). Pada ekstraksi logam Cr(III), ekstraksi juga dilakukan secara bertahap mulai dari pH 7 sampai dengan pH 9. Dari hasil ekstraksi, menunjukkan peningkatan harga persen ekstraksi yang tidak signifikan dengan peningkatan harga pH. Namun pada pH 10, larutan Cr(III) telah terjadi endapan sehingga ekstraksi tidak dapat dilakukan lebih dari pH 9. Oleh karena itu, ekstraksi dilakukan pada pH 4 sampai dengan 6. Ekstraksi harus berlangsung dalam keadaan basa, karena asetilaseton akan bereaksi pada logam dalam suasana basa, sedangkan dalam suasana basa, logam sangat rentan terjadi pengendapan. Oleh

Berdasarkan hasil tabel 2, untuk logam Cu(II) 20 ppm, dengan konsentrasi asetilaseton 20 ppm, harga %E dapat mencapai 95,42%. Sedangkan pada ekstraksi logam Cr(III) dengan konsentrasi yang sama seperti logam Cu(II), harga persen ekstraksi maksimal tercapai pada konsentrasi asetilaseton 60 ppm yaitu dengan 52,61%. Kecilnya harga persen ekstraksi pada logam Cr(III) dikarenakan pembentukan senyawa kompleks [Cr(acac)3] yang sukar terjadi pada suhu ruang. Sedangkan pada logam Cu(II), pembentukan senyawa kompleks [Cu(acac)2], dapat terjadi dengan baik pada suhu ruang. Karakterisasi Senyawa [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] Spektrofotometer UV-Vis Kompleks

Hasil pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, dapat mengetahui puncak serapan maksimum dan energi pembentukkan senyawa kompleks dari [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3]. Gambar 1 menunjukkan hasil analisis spektrofotometer UV-Vis untuk senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3].

perbedaan puncak serapan yang jelas, hal dikarenakan warna dari masing-masing senyawa kompleks yang berbeda. Warna senyawa kompleks untuk [Cu(acac)2] adalah biru sedangkan warna senyawa kompleks dari [Cr(acac)3] adalah merah muda. Selain itu, dari spektra kedua senyawa kompleks tersebut juga dapat diketahui energi pembentukkan senyawa kompleks untuk masing-masing senyawa kompleks. Meskipun ligan yang menyusun kedua senyawa kompleks tersebut merupakan ligan yang sama, tapi ketika membentuk senyawa kompleks dengan logam yang berbeda, maka akan memiliki energi pembentukkan senyawa kompleks yang berbeda pula. Spektra FTIR Spektra FTIR hasil pengukuran untuk senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] ditunjukkan pada Gambar 2. Pada spektra senyawa kompleks asetilaseton dengan logam Cu(II), terdapat puncak serapan yang dikenali seperti pada penelitian Kirna dan Nakamoto, yaitu terdapat pada bilangan gelombang 2970-2920 cm-1 puncak serapan untuk regangan C-H pada CH3 pada senyawa kompleks [Cu(acac)2]. Namun ada juga puncak serapan yang tak dikenali, yaitu pada daerah 3433 cm-1. Puncak serapan tersebut diperkirakan berasal dari gugus O-H yang berasal dari tautomer keto-enol, oleh karena itu puncak serapan yang muncul berada pada daerah gugus O-H pada alkohol, tapi puncak serapan yang terjadi tidak besar, karena karakter dari gugus O-H pada bentuk enol yang kecil pada senyawa tersebut. Mungkin juga puncak serapan ini terjadi karena adanya sisa metanol pada saat karakterisasi, Hanya puncak serapan ini tidak terdapat pada penelitian Kirna maupun Nakamoto. Gambar 1 menunjukkan spektra hasil karakterisasi dengan menggunakan FTIR.

(a)

(b) Gambar 1. Hasil analisis spektrofotometer UV-Vis untuk senyawa kompleks [Cu(acac)2] (a) dan [Cr(acac)3] (b) Pada Gambar 1, dapat terlihat puncak serapan maksimum dari senyawa kompleks [Cu(acac)2] terdapat pada panjang gelombang 657,0 nm. Sedangkan hasil pengukuran puncak serapan maksimum untuk senyawa kompleks [Cr(acac)3], puncak serapan terjadi pada panjang gelombang 560,5 nm. Dari kedua spektra UV-Vis yang diperoleh, dapat terlihat

Puncak serapan selanjutnya, pada bilangan gelombang 1577 cm-1 adalah puncak serapan untuk regangan gugus fungsi C=C, sedangkan pada bilangan gelombang sekitar 1531 cm-1, merupakan pecahan dari puncak C=O yang disebabkan oleh adanya ikatan konjugasi pada asetilaseton. Pada daerah bilangan gelombang 1458-973 cm-1 merupakan vibrasi bending C-H, kombinasi antara vibrasi regangan C=C, dan C=O dengan vibrasi bending C-H. Puncak kuat pada sekitar bilangan gelombang 783 cm-1 berasal dari vibrasi bending C-H aromatik. Puncak-puncak lemah pada 684-613 cm-1 berasal dari kombinasi antara vibrasi bending-H atau CC dengan vibrasi regangan ikatan koordinasi M-O. namun pada penelitian ini, karena keterbatasan kemampuan alat yang digunakan, maka tidak dapat mengukur bilangan gelombang di bawah 500 cm-1, sehingga tidak dapat mengamati vibrasi sidik jari di bawah bilangan gelombang tersebut. Pada beberapa daerah bilangan gelombang, senyawa kompleks asetilaseton dengan logam Cr(III) yang telah terbentuk,

memiliki pola yang hampir sama seperti senyawa kompleks asetilaseton dengan logam Cu(II). Hal ini karena jika asetilaseton dengan logam Cr(III) membentuk senyawa kompleks [Cr(acac)3], maka akan memiliki banyak kesamaan gugus fungsi dengan senyawa kompleks yang terbentuk antara asetilaseton dengan logam Cu(II) yaitu [Cu(acac)2], namun spektrum yang muncul tentu berbeda. Perbedaan spektrum yang muncul untuk senyawa kompleks [Cr(acac)3] dapat terlihat dari intensitas serapannya atau pergeseran puncak serapan. Pada beberapa daerah bilangan gelombang tertentu, spektrum senyawa kompleks [Cr(acac)3] memiliki perbedaan dengan spektrum senyawa kompleks [Cu(acac)2], perbedaan mencolok terjadi pada daerah bilangan gelombang infra merah 700-500 cm-1. Pada penelitian ini, hasil pengukuran dengan menggunakan FTIR pada daerah bilangan gelombang 700-500 cm-1, terdapat puncak yang khas untuk senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] seperti yang terdapat hasil pengukuran yang dilakukan oleh Nakamoto.

Gambar 2. Perbandingan spektra FTIR asetilaseton, [Cu(acac)2], dan [Cr(acac)3]

Analisis Termal Senyawa [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3]

Kompleks

Gambar 3 menunjukkan termogram [Cu(acac)2] hasil pengukuran dengan menggunakan TG-DTA.

pada daerah sekitar 288-289 oC, puncak ini menunjukkan titik leleh dari senyawa kompleks [Cu(acac)2] yang diuji. Jika dilihat dari titik leleh [Cu(acac)2] yang 284-288 oC, maka dapat dikatakan bahwa senyawa kompleks yang diuji adalah senyawa kompleks [Cu(acac)2] yang murni. Sedangkan untuk termogram senyawa kompleks [Cr(acac)3] ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 3. Termogram senyawa kompleks [Cu(acac)2] hasil pengukuran dengan menggunakan TG-DTA Gambar 3 menunjukkan penurunan massa senyawa kompleks tersebut seiring dengan meningkatnya suhu. Senyawa kompleks [Cu(acac)2] mulai terjadi penurunan massa pada suhu 289,16 oC dan berhenti pada suhu 304,07 oC, hal ini terjadi karena zat tersebut mengalami dekomposisi sebesar 63,12%. Bagian pada senyawa kompleks [Cu(acac)2] yang terdekomposisi terlebih dahulu adalah bagian ligan, karena ligan pada senyawa kompleks [Cu(acac)2] teridiri dari hidrokarbon, sehingga memiliki kemungkinan untuk terdekomposisi terlebih dahulu dari pada logam sebagai atom pusat. Pada termogram DTA, dapat terlihat puncak

Gambar 4. Termogram senyawa kompleks [Cr(acac)3] hasil pengukuran dengan menggunakan TG-DTA Gambar 4 menunjukkan termogram TGA senyawa kompleks [Cr(acac)3], dapat terlihat bahwa senyawa kompleks tersebut mulai terjadi penurunan massa mulai pada suhu 213-282 oC, hal ini terjadi karena senyawa kompleks tersebut mengalami dekomposisi. Diperkirakan hal ini terjadi karena ligan pada senyawa kompleks [Cr(acac)3] yang mengalami dkomposisi. Namum, pada suhu berikutnya, [Cr(acac)3]

tidak mengalami penurunan massa secara signifikan, dari 282540 oC hanya terjadi penurunan massa sebesar 10%. Jika melihat termogram DTA, maka akan terlihat mulai adanya perubahan pada suhu 213,30 oC, suhu tersebut adalah titik leleh dari senyawa [Cr(acac)3]. KESIMPULAN Dari penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan yaitu: 1. Kondisi ekstraksi cair-cair untuk ekstraksi logam Cu(II) adalah pada pH 12 dengan perbandingan konsentrasi antara asetilaseton dengan logam Cu(II) sebesar 1:1 dan kondisi untuk ekstraksi logam Cr(III) adalah pada pH 8 dengan perbandingan konsentrasi antara asetilaseton dengan logam Cr(III) adalah 3:1. 2. Harga persen ekstraksi untuk logam Cu(II) pada pH dan konsentrasi asetilaseton optimum sebesar 95,42% dan untuk logam Cr(III) sebesar 52,61%. 3. Dari hasil karakterisasi diketahui bahwa senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] telah terbentuk. DAFTAR PUSTAKA Charles. Robert G. 1957. Comparative Heat Stabilities of Some Metal Acetylacetonate Chelates. J. Phys. Chem. 62. 440-444. Diaz-Acosta, Irina. 2001. Calculated and Experimental Geometries and Infrared Spectra of Metal TrisAcetylacetonates: Vibrational Spectrocopy as A Probe of Molecular Structure for Ionic Complexes Part I. J. Phys. Chem. 105. 238-244.

Fernelius, W. Conard. (1946). Inorganic Syntheses Volume II. New York: McGraw-Hill Company, Inc. Fukuda, Yutaka. 1970. Formation Constants of Chromium(II) Complexes with (O,O)-, (O,N)- and (N,N)- Type Ligands and Comparasion with Those of Other First Transition Metal Complexes. Chemical Society of Japan. 43. 745-749 Imamkhasani, Soemanto. (2001). Lembar Data Keselamatan Bahan Vol.III. Bandung: LIPI. Kirna, I Made. 1998. Sintesis dan Karakterisasi Spektra Inframerah Kompleks Asetilasetonato M(II). ISJD. 31. 32-43

Mudzakir, Ahmad. (1997). Sintesis 1-fenil3-metil-4-benzoil-5-pirazolon dan Penggunaannya pada Ekstraksi Sinergis Kobalt (II) dan Kadmium (II). Tesis. Program Pascasarjana UGM. Tidak Diterbitkan. Nakamoto, K. (2009). Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds Part B Sixth Edition. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc. Permanasari, Anna, dkk. (2007). Kimia Analitik 2. Jakarta: Universitas Terbuka. Seco, Miquel. 1989. Acetylacetone: A Versatile Ligand. 1989. J. Chem. Educ. 66. 779. Silvestre, Cristina I.C. 2009. Liquid-liquid Extraction in Flow Analysis: A Critical Review. Analytica Chimica Acta. 652. 54-65.

Skoog, Douglas, A. (2004). Fundamentals of Analitical Chemistry Eight Edition. Kanada: Brooks/Cole. Soebagio, dkk. (2003). Kimia Analitik II. Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang Tabushi, Masayuki. Extraction 1959. of Solvent Metal

Acetylacetonates. Bull. Inst. Chem. 37. 9. Vigato, P. Alessandro. 2009. The Evolution of -diketone or -diketophenol ligands and related complexes. Coordination Chemistry. 253. 1099-1201.

Вам также может понравиться