Вы находитесь на странице: 1из 12

PSIKOLOGI Online

Etnik dan etnisitas Oleh : Achmanto Mendatu Istilah Etnik dan Etnis Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Malahan akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai tribe), sedangkan istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam buku ini keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya. Pengertian Etnik

Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang : Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Seperti misalnya, etnik Minang menempati wilayah geografis pulau Sumatera bagian barat yang menjadi wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini dan beberapa daerah pengaruh di provinsi sekitar. Lalu etnik Sunda menempati wilayah pulau jawa bagian barat. Dan etnik Madura menempati pulau madura sebagai wilayah geografis asal. Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat jawa. Orang Jawa memiliki perbendaharaan kata untuk hal ini, yakni durung jawa (belum menjadi orang jawa yang semestinya) untuk orang-orang yang tidak menerapkan nilai-nilai jawa dalam keseharian mereka. Dan menganggap orang dari etnik lain yang menerapkan nilai-nilai jawa sebagai njawani (berlaku seperti orang jawa) (Suseno, 2001). Meskipun demikian orang itu tetap tidak dianggap sebagai orang Jawa.

21

Agama kadangkala menjadi ciri identitas yang penting bagi suatu etnis, tapi kadangkala tidak berarti apaapa, hanya sebagai kepercayaan yang dianut anggota etnik. Di Jawa, agama yang dianut tidak menjadi penanda identitas etnik jawa (kejawaan) seseorang. Selain Islam, orang Jawa yang menganut kristen, Hindu, Budha, ataupun Kejawen juga cukup besar. Demikian juga pada etnis Betawi ataupun Sunda. Namun berbeda dengan etnik Minang. Agama dalam masyarakat Minangkabau justru dikukuhkan sebagai identitas kultur mereka sejak animisme ditinggalkan. Islam menjadi tolak ukur keminangan seseorang secara legalitas adat. Karena itu, orang Minangkabau yang tidak lagi Islam dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai hak dan kewajiban lagi terhadap adat Minangkabau, sebagaimana ditafsirkan dari adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, kendatipun secara genealogis ia tetap beretnis Minang, yang tentu saja tidak bisa menjadi etnis lain (Arimi, 2002). Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya. Antara satu etnik dengan etnik lainnya kadang-kadang juga terdapat kemiripan bahasa. Kesamaan bahasa itu dimungkinkan karena etnik-etnik tersebut memiliki kesamaan sejarah tradisi kuno yang satu, yang mewariskan tradisi yang mirip dan juga bahasa yang mirip pula (Goodenough, 1997). Seperti misalnya bahasa jawa memiliki banyak kemiripan dengan bahasa bali, lalu bahasa minang mirip dengan bahasa banjar, dan lainnya. Mengkritisi Etnisitas Keanggotaan etnik yang menekankan hubungan darah menurut keterangan diatas merupakan bagian dari perspektif teori primordial yang menyatakan bahwa etnisitas merupakan suatu keniscayaan. Keniscayaan tersebut meliputi keterpautan manusia pada kedekatan wilayah teritorial dan hubungan kerabat, bahkan juga keniscayaan bahwa individu selalu dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang sudah terbentuk dengan sistem keagamaan, bahasa dan adat istiadatnya (Simatupang, 2003). Menurut perspektif ini, seseorang yang memiliki darah sebagai etnis Minang misalnya, maka ia tidak bisa mengelakkannya. Ia harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang Minang. Etnik dalam perspektif primordial merupakan sesuatu yang memang sudah ada dan tinggal di lanjutkan. Dalam antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas mengenai etnisitas, selain teori primordial, dua lainnya adalah teori situasional, dan teori relasional. Teori situasional berseberangan dengan teori primordial. Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003). Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik. Menurut perspektif teori situasional, etnik merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang. Contoh yang paling jelas adalah pembentukan identitas etnik Dayak. Istilah Dayak diberikan oleh kolonial Belanda untuk menyebut seluruh penduduk asli pulau Kalimantan. Padahal sesungguhnya etnik Dayak terdiri dari banyak subetnik ( yang sebenarnya sebagai etnik sendiri yang sangat berbeda satu sama lain, seperti Benuaq dan Ngaju). Istilah Dayak sendiri tidak

3 dipergunakan sebagai identitas mereka. Mereka menyebut diri sebagai orang Benuaq jika itu etnis Benuaq (Trisnadi, 1996). Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda; etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok. Saat ini sepertinya tidak relevan lagi membicarakan mengenai etnik mengingat batas-batas etnik telah semakin kabur. Batas-batas budaya antar etnik telah semakin tidak jelas. Saat ini segala manusia dari berbagai etnik telah semakin melebur dalam kehidupan sosial yang satu. Apalagi globalisasi yang begitu deras dan nyaris tak tertahankan bertendensi memunculkan keseragaman budaya, baik dalam pola pikir, sikap, tingkah laku, seni, dan sebagainya. Saat ini, menemukan kekhasan perilaku dari etnik tertentu bukan hal yang mudah. Semua etnis pada dasarnya memiliki perilaku yang sama. Misalnya hampir tak dapat dibedakan lagi seorang Minang dengan seorang Jawa, seorang Bugis dengan seorang Batak di Jakarta dalam hal tata pergaulan. Lantas, apa perlunya lagi berbicara mengenai etnik? Etnik sebagai kategori untuk membedakan perilaku orang-orang merupakan sesuatu yang telah usang. Model untuk yang digunakan dengan mengelompokkan perilaku dan budaya tertentu diasosiasikan dengan etnik tertentu sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Sekarang ini, etnik sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan. Persoalannya kemudian beranjak kepada masalah identitas. Etnik tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnik lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnik yang diperkuat, dimana identitas etnik semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnik lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnik dijadikan alat politik untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam meraih sumber daya tertentu. Beberapa manifestasi politik identitas etnik diantaranya, munculnya negara-negara etnik (seperti yang terjadi di bekas negara Soviet), tuntutan kemerdekaan atas suatu wilayah karena diklaim milik etnik tertentu (seperti di Aceh), tuntutan akan pengembalian tanah adat yang dipergunakan untuk perkebunan dan lainnya (terjadi hampir diseluruh Indonesia, terutama di luar jawa), tuntutan pengembalian kekuasaan adat (terlihat dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, tahun 2003 lalu, lihat Kompas, 24 september 2003) dan berkembangnya isu putera daerah dalam era otonomi daerah (terjadi hampir diseluruh daerah). Jadi, agaknya berbicara mengenai etnisitas tetap tidak kehilangan momentum. Hanya saja, pemahaman mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnik sebagai kategori orang-orang karena budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi telah menjadi kategori identitas politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena memang bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme, identitas etnikpun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis. Identitas etnik menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu.

Permalink
Newer Post Older Post Home Powered by Blogger & Blogger Templates

Ras dan Etnisit as Written by akira ardhi Wednesday, 12 March 2008 10:48 Konsep ras bisa ditelusuri jejaknya dari wacana biologis Darwinisme sosial yang menekankan "garis keturunan" dan "tipe-tipe manusia". Di sini ras menunjuk pada karakteristik-karakteristik yang dinyatakan secara fisik dan biologis. Bentuknya yang paling jelas adalah pigmentasi kulit. Atribut-atribut ini kemudian seringkali dikaitkan dengan intelejensi dan kemampuan, yang dipakai untuk memeringkat kelompokkelompok yang telah diraskan dalam hirarki sosial, superioritas material, dan subordinasi. Akar dari rasisme adalah klasifikasi-klasifikasi rasial yang dibangun dan dipertahankan dengan kekuasaan. Formasi Ras Ide tentang "rasialisasi" atau "formasi ras" meliputi argumen bahwa ras adalah sebuah konstruksi sosial dan kategori biologi atau kultural yang universal dan esensial. Stuart Hall (1997) berargumen bahwa ras selalu terbentuk dalam proses sosial dan pertarungan kekuatan politik. Dengan begitu ras tidak pernah eksis di luar representasi. Karakteristik-karaketiristik fisik ditransformasikan menjadi penanda ras, termasuk di dalamnya anggapan palsu tentang perbedaan kultural dan biologis yang esensial. Sementara Gilroy (1987) berusaha membuka kemungkinan untuk memakai teori-teori penandaan yang dapat menunjukkan elastisitas dan kekosongan penanda 'rasial'. Penanda ras mestinya dilihat sebagai ketegori politik yang terbuka, yang definisinya tergantung pada pertarungan kekuasaan yang terus berlangsung. Di Indonesia formasi historis ras adalah pentas kekuasaan dan subordinasi. Dalam hubungannya dengan kesempatan hidup, orang-orang Papua misalnya, secara struktural posisinya disubordinasikan. Orang-orang Papua diposisikan dalam pekerjaan-pekerjaan bergaji rendah, tidak membutuhkan ketrampilan, diberi keuntungan minimal di pasar, di sekolah, di media, dan dalam representasi budaya. Dalam konteks ini, formasi ras atau rasialisasi secara inheren telah bersifat rasis, yang meliputi bentuk-bentuk sosial, ekonomi, dan subordinasi politik, yang telah hidup dalam kategori dan ideologi ras. Sebagai sebuah konstruksi diskursif, makna "ras" selalu berubah dan dipertarungkan. Kelompok-kelompok yang berbeda dirasialkan dengan cara berbeda pula. Misalnya, karena keberhasilan ekonominya, peranakan Cina secara historis dijadikan subjek kecemburuan sosial dan distereotipkan dengan berbagai kelicikan. Cina Peranakan di Indonesia dijadikan warga negara kelas dua. Etnisitas adalah sebuah konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol dan praktik-praktik kultural. Formasi kelompok etnis menyandarkan dirinya pada

pembagian penanda-penanda kultral yang dibangun dalam di bawah konteks sejarah, sosial, dan politik yang khusus, yang mendorong perasaan saling memiliki, yang menciptakan mitos-mitos leluhur. Mengikuti argumen antiesensialis, adalah jelas bahwa kelompok etnis tidaklah mendasarkan dirinya pada garis primordial atau karakteristik kultural yang bersifat universal, melainkan sebuah praktik diskursif. Etnisitas mewujud dalam bagaimana cara kita berbicara tentang identitas kelompok, tanda-tanda dan simbol-simbol yang kita pakai mengidentifikasi kelompok. Etnisitas Konsep etnisitas bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asalusul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, Batak dll. Konsekuensinya, etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batasbatas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik (Barth 1969). Konsepsi kulturalis tentang etnisitas merupakan sebuah usaha yang berani untuk melepaskan diri dari implikasi rasis yang inheren dalam sejarah konsep ras. Seperti ditulis Stuart Hall (1996), "Jika subjek kulit hitam dan pengalama kulit hitam tidak distabilkan oleh alam atau esensi lainnya, maka pastilah ia terkonstruksi secara historis, cultural, dan politis... Term etnisitas mengakui kedudukan sejarah, bahasa, dan kebudayaan dalam konstruksi subjektivitas dan identitas, seperti halnya fakta bahwa semua wacana selalu punya tempat, posisi, situasi, dan semua pengetahuan selalu kontekstual." Masalah dalam konsepsi kulturalis tentang etnisitas adalah dibaikannya pertanyaanpertanyaan tentang kekuasaan dan ras. Etnisitas dapat dikembangkan ke dalam diskusi tentang multikulturalisme, untuk menunjukkan formasi sosial yang beroperasi dalam kelompok yang plural dan sejajar, daripada kelompok yang terasialisasi secara hirarkis. Konskuensinya, hooks (1990) dan Gilroy (1987) lebih suka memakai konsep "ras", bukan karena ia berhubungan dengan keabsolutan biologis atau kultural, tetapi karena ia berhubungan dengan isu kekuasaan. Sebaliknya, Hall (1996) mencoba membangun kembali konsep etnisitas dengan memusatkan perhatian pada dimana kita semua terlokasikan secara etnis. Etnisitas terbangun dalam relasi kekuasaan antarkelompok. Ia merupakan sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah. Di sini, pusat dan pinggiran dibentuk dalam representasi politik. Seperti argumen Brah (1996), "Adalah penting untuk menjadikan sebuah aksioma bahwa apa yang direpresentasikan sebagai 'pinggiran' tidaklah sepenuhnya pinggiran tetapi merupakan efek dari representasi itu sendiri. 'Pusat' tidaklah lebih pusat daripada pinggiran."

Kelompok etnik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Keseluruhan atau sebagian dari artikel ini membutuhkan perhatian dari ahli subyek terkait. Jika Anda adalah ahli yang dapat membantu, silakan membantu memperbaiki kualitas artikel ini.

Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggotaanggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.[1] Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut[2] dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.[1][3] Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah.[3] Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok.[4] Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.[5] Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa. Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan "orang peranakan" untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa, "orang Indo" sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu, "orang Mestis" untuk campuran Hispanik dengan bumiputera, "orang Mulato" campuran ras Negro dengan ras Kaukasoid, Eurosia, dan sebagainya. Adapula ditentukan menurut agamanya, sebutan Melayu di Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani (peranakan Portugis seperti orang Tugu), suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya. Agama,Etnisit as, dan Politik

Ditulis oleh Komaruddin Hidayat Jumat, 05 Desember 2008 13:04 IDENTITAS agama,etnik,dan politik hampir-hampir sulit dipisahkan. Secara antropologis ini juga berarti bahwa keberagamaan seseorang lebih banyak dipengaruhi keturunan dan lingkungan,bukannya pilihan bebas. Tempat lahir, warna kulit, bahasa, dan agama merupakan realitas primordial yang diterima seseorang, bukan karena hasil usahanya sendiri. Meski begitu, bisa saja seseorang setelah dewasa berganti agama. Namun persentasenya sangat sedikit. Begitu pun pilihan politik, hubungan kekerabatan, dan faham keagamaan sangat signifikan pengaruhnya. Misalnya saja,meski tidak selalu taat menjalankan ajaran agama, para imigran Turki di Eropa jika ditanya agamanya pasti menjawab Islam. I am Turk, therefore I am a Moslem, begitulah kira-kira formula antropologisnya. Begitu pun warga Melayu di Malaysia,kalau tidak beragama Islam akan dianggap khianat terhadap identitas etnisnya. Penduduk Mindanao Selatan pun demikian. Mereka kurang nyaman dianggap sebagai orang Filipina karena asosiasi Filipina adalah Katolik,sedangkan Mindanao adalah Islam dan adakalanya disebut bangsa Moro. Orang Thailand merasa identik dengan Buddha, sedangkan penduduk Patani yang berada di selatan selalu berusaha mempertahankan identitas keislamannya. Kata Patani sendiri diduga berasal dari Fathoni, seorang penyebar Islam ke wilayah itu. Sentimen yang demikian melekat antara identitas etnis dan agama sampai sekarang masih cukup kuat di beberapa wilayah Indonesia.Orang Aceh dan Minang pasti mengaku dan mempertahankan identitas keislamannya. Orang Manado adalah Katolik, sedangkan orang Bali adalah Hindu. Orang Sunda kalau tidak memeluk Islam dianggap aneh. Tentu saja ini bukan kemestian teologis, melainkan lebih merupakan ikatan tradisi keluarga dan masyarakat yang sudah berakar kuat sehingga siapa pun yang terlahir dalam lingkungan tersebut sulit untuk keluar dari agama etniknya. Jika kenyataan ini dibawa ke dalam ruang diskusi teologi,beraneka pertanyaan bisa bermunculan.Misalnya, agama seseorang itu produk keturunan dan lingkungan atau hasil pencarian seseorang? Manakah yang lebih dominan antara hasil pengkajian terhadap kitab suci dan penalaran kritis dengan dominasi dan adaptasi kekuatan tradisi? Di sini keduanya melahirkan hubungan dialektis yang saling mengisi yang pada urutannya seseorang merasa sudah nyaman dengan tradisi dan paham keagamaan yang mengasuhnya. Bagi sebagian orang, agama lalu dianalogikan dengan pakaian, makanan, dan kebiasaan yang sudah dirasa nyaman sehingga kalau berganti malah mendatangkan kegelisahan meski nalar kritis memiliki pendapat berbeda.

Ketika sebuah pemahaman dan kebiasaan telah mengkristal menjadi keyakinan, hal itu sulit untuk diubah sekalipun dengan berbagai argumen dan bukti ilmiah. Mereka yang sejak dulu punya mitos dan tradisi menyembah bulan sampai sekarang tak akan percaya bahwa astronot Neils Amstrong pernah menginjakkan kakinya di sana. Itu hanya pemberitaan dan rekayasa gambar tak ubahnya dalam gedung bioskop yang mampu mempermainkan logika dan emosi penonton, tetapi kesemuanya itu tak lebih hanya rekayasa gambar dan suara. Memasuki kehidupan global yang semakin terbuka dan terjadi interdependensi hampir dalam semua aspek kehidupan, semangat etnik dan agama tampaknya semakin kuat meskipun banyak juga agama dan kelompok etnik kecil yang kian redup dan lamalama hilang tergilas sejarah. Di Indonesia, misalnya, dengan menguatnya iklim kebebasan dan otonomisasi daerah,politik identitas etnis dan agama juga ikut menguat. Bahkan sekarang muncul paguyuban kesultanan Nusantara yang ingin menghidupkan kembali tradisi keraton yang pernah tumbuh di Indonesia jauh-jauh sebelum merdeka. Sebagian orang menyambut baik untuk memelihara kekayaan budaya itu dan sebagian lagi memandang tidak lagi cocok di alam demokrasi yang serbaegaliter ini. Menjadi masalah serius ketika identitas agama dan etnik ini ditaklukkan dan ditunggangi oleh kepentingan politik sehingga yang muncul bukannya mempromosikan keunggulan budaya dan agama, melainkan lobi dan gerakan politik untuk berebut kekuasaan dengan dalih agama. Saat ini masyarakat sudah kritis, bahkan muak dengan gerakan politik sempalan yang menggunakan jargon dan simbol agama. Namun mayoritas warga memilih bersikap diam,takut dianggap antiagama. Jika kita kaji sejarah perkembangan sebuah peradaban, pendekatan normatifverbalistik keagamaan terbukti tidak berhasil membangun peradaban tanpa didukung oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan ekonomi. Indonesia adalah contoh sejarah yang nyata. Pemberantasan korupsi dan larangan merokok, misalnya, di beberapa negara cukup berhasil karena pemberian penjelasan ilmiah dan melalui edukasi sejak dini, bukan oleh fatwa verbal keagamaan bahwa korupsi dan merokok itu haram hukumnya. Fatwa agama bagus,tetapi tidak cukup.Begitu pun sikap menghargai sesamanya dan terhadap lingkungan, tanpa proses pendidikan sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat, tidak akan tumbuh sekalipun dikumandangkan ayat-ayat kitab suci dari atas mimbar. Ajaran agama,penjelasan ilmiah,dan ketegasan hukum perlu diintegrasikan untuk membangun Indonesia yang beradab agar pluralitas etnik dan agama menjadi aset bangsa,bukannya sumber keributan melulu. Kita perlu mengembangkan penalaran publik (public reasoning) dengan mengedepankan civic values yang mendorong dan menampung keunggulan nilai dan tradisi dari etnik dan agama yang ada di Indonesia.

Dengan kata lain, ruang publik sebaiknya diisi dengan kontribusi yang substansial dan fungsional, jangan dipenuhi dengan label dan jargon, tatapi minus isi. Agama yang pada awalnya selalu mendukung lahirnya peradaban unggul dan mengangkat derajat sebuah etnik ataupun bangsa, dalam perjalanannya sering tersudutkan sebagai pesakitan akibat politisasi dan manipulasi agama. Maka muncul citra agama sebagai sumber terorisme dan kekerasan.Agama lalu berwajah ganda, di satu sisi dipuji, dipertahankan, dan dikeramatkan sebagai jalan suci, pada sisi lain lalu dicurigai dan dianggap penghancur peradaban. Dualitas agama ini selalu muncul karena pada dasarnya agama tumbuh dalam ranah budaya yang telah memiliki karakter bawaan tersendiri. Jadi, kalau terjadi kriminalitas di India, Indonesia, dan Filipina,jangan buruburu menyalahkan ajaran Hindu, Islam, dan Katolik telah gagal membentuk moralitas karena sangat mungkin penyebabnya lebih bersifat demografis-ekonomis. Sekali lagi, peradaban sebuah bangsa perlu topangan kuat pilar pendidikan, ekonomi, dan hukum. Kalau ketiganya lemah,masyarakat yang mengaku religius pun peradabannya akan keropos. Meski sebuah bangsa selalu mengedepankan identitas agama dalam perjuangan politiknya, kalau pendidikannya rendah, ekonomi terbelakang, ditambah lagi hukum lemah, pasti sulit untuk bangkit. Salah satu kelemahan gerakan etnis dan keagamaan adalah lebih menonjolkan slogan dan membangkitkan emosi solidaritas kelompok, tetapi tidak menawarkan pemikiran yang konseptual, aplikatif,dan terukur. Solidaritas kelompok dengan retorika agama sangat penting terutama di saat melawan penjajah karena kala itu semangat yang menonjol adalah fight against, sedangkan sekarang keadaan sudah berubah dan mesti beralih pada perjuangan fight for. Yang pertama menonjolkan keberanian untuk melawan dan mengusir musuh, sedangkan yang kedua adalah keberanian dan kemampuan untuk mencapai sebuah prestasi (fight for achievement). Jadi, jihad di era pascakemerdekaan adalah perjuangan untuk menciptakan kemakmuran dan peradaban, bukan tindakan destruktif semacam terorisme.Suatu kenyataan tak terbantahkan bahwa dunia ini dihuni oleh beragam pemeluk agama dan beragam etnik yang merupakan realitas primordial. Itu semua mesti diterima dengan lapang dan saling menghormati, lalu bersamasama menyumbangkan yang terbaik dari tiap etnik dan agama itu untuk membangun peradaban di muka bumi melalui dialog dan public reasoning dengan mengedepankan civicvalues.Sekalipunbisasaja nilai-nilai itu berasal dari kitab suci,tidak perlu dikemukakan agar kohesi sosial dan rasa kekitaan lebih solid.(*) Identitas dan Etnisitas Konon, konsep identitas dan etnisitas adalah konsep tentang identifikasi diri dan asalusul sosial yang bersifat relasional. Menurut Fredrik Barth (1969), etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim identitas tertentu bagi dirinya dan didifinisikan

10

oleh orang (yang) lain juga dengan identitas yang diklaimnya itu. Etnisitas, dengan demikian, harus dimaknai sebagai identifikasi seseorang dalam berafiliasi dengan kelompok sosialnya. Sementara itu, Schultz & Lavenda (2001) berpendapat bahwa identitas dan etnisitas sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang dikontruksi secara budaya. Identitas dan etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu. Selanjutnya, Schultz & Lavenda memberi penjelasan sebagai berikut. Identitas dan etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Askripsi, proses penandaan sekelompok orang/masyarakat tertentu dengan sembarang: apa pun tandanya (sebagai ciri khas, labelling kelompok tertentu), umumnya berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Dalam proses itu terjadi interaksi orang dari aneka latar belakang di berbagai bidang kehidupan. Artinya, proses askripsi tidak akan berlangsung/terjadi justru ketika orang-orang benar-benar menyendiri, tidak berinteraksi. Itulah sebabnya, dalam banyak hal, seseorang sering tidak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tetapi diperlakukan sebagai anggota atau wakil kelompok/masyarakat tertentu dengan askripsi tertentu pula. Senada dengan pendapat itu, Phinney dan Alipora (1990) pun menulis bahwa identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnik akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Dari berbagai pendapat itu, dapat diketahui bahwa identitas etnik seseorang ternyata tidak berhenti ketika seseorang itu ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti darah/garis keturunan. Identitas terbentuk melalui sosialisasi, baik dalam keluarga maupun masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai keturunan Jawa, misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis Jawa jika sebelumnya tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Hal ini dikuatkan oleh Weinreich (1985) yang berpendapat bahwa identitas sosial (termasuk identitas etnik) merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Begitulah, faktor utama yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah adanya kesamaan-kesamaan besar (seperti pengalaman, latar belakang, adat-istiadat, bahasa, dan perilaku) antaranggota kelompok masyarakat (etnik) yang terbentuk melalui sebuah proses (sosialisasi). Kesamaan-kesamaan itu pada awalnya akan menumbuhkan perasaan seidentitas dan pada gilirannya akan menumbuhkan pula kesadaran bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain, terbentuknya identitas etnik ternyata juga memerlukan kehadiran entitas atau etnik lain sebagai komparasi dan penegas identitas etnik yang bersangkutan. Hal ini menegaskan kembali bahwa identitas etnik merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang

11

tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etniknya. Identitas dan Etnisitas Melayu Sebagai sebuah proses sosial, dalam kenyataannya, indentitas dan etnisitas tidak selalu dapat diperlakukan sebagai fenomena objektif, tetapi juga subjektif (Hocoy, 1996). Artinya, indentitas dan etnisitas seseorang tidak hanya dapat diukur melalui kriteriakriteria tertentu yang pasti (secara objektif), tetapi juga harus diukur derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etniknya (secara subjektif). Dalam perspektif inilah persoalan indentitas dan etnisitas itu sering timbul. Seseorang bisa saja sangat memuja etniknya karena sense of belonging-nya tinggi. Pun dapat terjadi sebaliknya: seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnik tertentu (karena keturunan misalnya), dengan berbagai penyebab/alasan, justru menolak untuk memakai etnik itu sebagai identitasnya. Bagaimana dengan indentitas dan etnisitas Melayu (kemelayuan) yang belakangan ini kembali ramai diperbincangkan? Titik berat perbincangan itu, menurut penulis, lebih mengarah pada persoalan keobjektivitasan daripada kesubjektivitasannya. Kriteria umum yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai Melayu atau bukan Melayu itulah yang dipersoalkan. Di Malaysia, konon, orang Melayu lazimnya diindentifikasi sebagai orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mempraktikkan adat, kebiasaan, dan resam Melayu. Jika seorang Keling (Tamil, India) memeluk agama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat Melayu, ia disebut orang Melayu. Seorang Arab, sekalipun bergama Islam, tetapi tidak berbahasa Melayu, tidak akan disebut Melayu (tetap Arab). Sebagai konsekuensinya, kriteria seperti itu jika diterapkan di Indonesia, akan secara otomatis menjadikan orang Papua yang bergama Islam dan berbahasa Melayu/Indonesia, misalnya, sebagai Melayu. Sebaliknya, orang keturunan asli Melayu (sekalipun berbahasa Melayu dan mempraktikkan adat dan resam Melayu), karena tidak beragama Islam, tidak dianggap sebagai Melayu. Oleh banyak pihak, kriteria identitas dan etnisitas Melayu seperti itu (beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mempraktikkan adat, kebiasaan, dan resam Melayu) dianggap tidak pas dan harus dipikirkan kembali karena mencidrai sejarah. Pendapat itu dapat dilihat, misalnya, pada tulisan Mahyudin Al-Mudra: Redefinisi Melayu: Upaya Menjembatani Perbedaan Konsep Kemelayuan Bangsa Serumpun (2008), Yusmar Yusuf: Langit, Melayu, dan Aras Mustari (2009), dan puisi Eddy Ahmad RM: Penat Tak Sudah Jadi Melayu (2011). Lalu? Nah, di sinilah jalan simpang itu terbangun. Ke arah mana orang akan menuju (menapakinya), bergantung pada pilihan/tujuan masing-masing. Orang boleh

12

meneruskan perjalanannya dengan pilihan jalan yang lurus, boleh juga dengan pilihan jalan yang berbelok: ke kanan atau ke kiri. Bahkan, jika ada orang yang kelelahan dan tidak ingin melanjutkan perjalanan, berhenti pun tidak akan ada polisi yang melarangnya. Semua berpulang pada kehendak (baca: politik) dan pilihan. Apakah masalah identitas dan etnisitas akan tetap dibiarkan berkembang biak di habitatnya (dimaknai sebagai konsep sosial/budaya) atau diarahkan ke tujuan lain (dimaknai sebagai konsep politik/kekuasaan, misalnya), itu juga pilihan. Sebagai penutup, secara berseloroh tulisan ini akan menjawab pertanyaan yang dilontarkan Alvi Puspita (Apa yang Sebenar, Apa yang Semesti?) begini: Yang sebenar itu pemaknaan (kemelayuan) secara sosial/budaya, sedangkan yang semesti itu pemaknaan (kemelayuan) secara politik/kekuasaan. Betulkah demikian? Wallahu alam bissawab.

Вам также может понравиться