Вы находитесь на странице: 1из 45

I.

KONSEP DASAR INKONTINENSIA URIN

A. Definisi Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius (paraplegia), kemungkinan besar bersifat permanen. (Bruner and suddart, 2000)

Inkontinenensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses). (agungrakhmawan, 2008)

B. Anatomi Fisiologi

Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur kesetimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh. Ginjal Ginjal berbentuk sepasang merupakan seperti organ yang

kacang, terdapat satu di

(masing-masing

sebelah kanan dan kiri vertebra) dan

posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kirakira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
1.

Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.

2.

Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).

3. 4.

Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks

5.

Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

6.

Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.

7. 8. 9.

Calix minor, yaitu percabangan dari calix major. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix major dan ureter.

10.

Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Unit

fungsional

ginjal

disebut

nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), proksimal, tubulus lengkung

kontortus

Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu

arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta (yang

kapiler

peritubulus

memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta. Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.

Ureter Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil penyaringan ginjal (filtrasi,

reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal. Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk mencapai vesica urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk batu/kalkulus. Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior. Vesica urinaria Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,

merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter.

Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluhpembuluh darah, limfatik dan saraf. Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan kosong. Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis. Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik. Uretra Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa

perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar

prostat), sedangkan uretra pada wanita

panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter). Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars membranosa dan pars spongiosa.
1.

Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.

2.

Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya.

3.

Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter (somatis).

4.

Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang, membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.

Sedangkan

uretra

pada

wanita

berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter

urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.

C. Klasifikasi Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang dideritaatau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akanmembaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obatobatandihentikan.Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan singkatan dari: D : Delirium R : Retriksi, mobilitas, retensi I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri a. Delirium, merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolisme, dan elektrolit. Delirium menyebabkan proses hambatan refleks miksi berkurang yang

menimbulkan inkontinensia bersifat sementara. Kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium. b. Infeksi traktus urinarius. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat

mengakibatkan inkontinensia. Sehingga mengakibatkan seorang usila tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih. Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang banyak terjadi pada usila, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi danbisa saja bukan

etiologi inkontinensia. c. Atrophic vaginitis. Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge

incontinence. Gejalanya sangat responsif terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral atau topikal. Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu, walaupun respon biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang. d. Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, antikolinergik, agonisdan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofiprostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal vesika urinari, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiatidan Pramantara, 2007). 1) Sedative Hypnotics (benzodiazepines : diazepam, flurazepam). Sedatif, seperti benzodiazepin dapat berakumulasi dan menyebabkan confusion dan inkontinensia sekunder, terutama pada usia lanjut. Alkohol juga mempunyai efek serupa dengan benzodiazepines, mengganggu mobilitas dan menimbulkan dieresis 2) Loop Diuretics. Obat-obatan seperti diuretik akan meningkatkan pembebananurin di kandung kemih sehingga bila seseorang tidak dapat menemukan toilet pada waktunya akan timbul

urge incontinence. 3) Anti-cholinergic Agents. Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya atonia sehingga timbul retensi urin kronis dan overflowincontinence. 4) Alpha-adrenergic agonist and antagonist. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza, akan meningkatkan tahanan outlet dan menyebabkan kesulitan berkemih. Sebaliknya, obat-obatan ini sering bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus stress incontinence. Alphablockers, yang sering dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan penutupan uretra

dan menyebabkan stress incontinence.

5) Calcium Channel Blockers. Calcium channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya tonus sfingter uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi timbulnya stress incontinence. Obat ini juga dapat menyebabkan edema perifer, yang menimbulkan nokturia. e. Psikologis. Depresi dan kecemasan dapat menyebabkan pasien mengalami kebocoran urin. Mekanisme ini biasanya merupakan kombinasi dari bladder over activity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak tepat. Intervensi awal ditujukan pada gangguan psikologinya. Setelah gangguan tersebut diatasi tetapi masih terdapat inkontinensia maka harus dilakukan evaluasi lebih lanjut. f. Endocrine disorders. Output urin yang berlebihan bisa disebabkan oleh karenaintake cairan yang banyak, minuman berkafein, dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan suatu kondisi over active bladder. Kondisi yang mengakibatkan poliuria seperti hiperglikemia, hiperkalsemia, pemakaian diuretika, dan minum banyak juga dapat mencetuskan inkontinensia akut. Kelebihan cairan seperti gagal jantung kongestif, insufisiensivena tungkai bawah akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari. Inkontinensia akut pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostate. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagiandistal kandung kemih yang selajutnya menstimulus otot detrusor involunter. g. Restricted mobility. Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi,urgensi, dan nokturia akibat proses menua akan mengalami inkontinensia jika terjadi gangguan mobilitas karena gangguan moskuloskeletal, tirah baring dan perawatan di rumah sakit. Keterbatasan mobilitas ini dapat disebabkan karena kondisi nyeri arthritis,

deformitas panggul, gagal jantung, penglihatan yang buruk, hipotensi postural atau post prandial, perasaan takut jatuh, stroke, masalah

kakiatau ketidakseimbangan karena obat-obatan. Pola miksi di samping atau di tempattidur dapat mengatasi masalah ini. h. Stooli impaction. Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan menekan syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan dapat menimbulkan kondisi retensi urine dan overflow incontinence.

2. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama. Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): a. Tipe stress Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit,akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara vesika urinari dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dansering melahirkan disertai tindakan pembedahan. b. Tipe urgensi Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya vesika urinari diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor vesika urinari. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. c. Tipe luapan (overflow) Ditandai dengan kebocoran atau keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:

1) Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin. 2) Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. d. Tipe fungsional Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi atau lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi danfungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran

kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tata laksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogentopical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Golongan obat yang berkontribusi pada inkontinensia urine, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic

adrenergicalfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika sepertiantidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam inkontinensia urine. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadiakibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan

operasivagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar

kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

Tipe-tipe dari inkontinensia urin dan patofisiologinya: Menurut Buku Ajar Fundamental Keperawatan tipe-tipe inkontinensia urine, yaitu: 1. Inkontinensia Urine Fungsional Deskripsi: involunter, jalan keluar urine tidak dapat diperkirakan pada klien yang system saraf dan system perkemihannya tidak utuh. Penyebab: perubahan lingkunga; deficit sensorik, kognitif atau mobilitas. Gejala: mendesaknya keinginan untuk berkemih menyebbakan urine keluar sebelum mencapai tempat yang sesuai. Klien yang mengalami perubahan kognitif mungkin telah lupa mengenai apa yang harus ia lakukan. 2. Inkontinensia Urine Overflow (Refleks) Deskripsi: keluarnya urine secara invoulunter terjadi pada jarak waktu tertentu yang telah diperkirakan. Jumlah urine dapat banyak atau sedikit. Penyebab: terhambatnya berkemih akibat efek anastesi atau obat-obatan, disfungsi medulla spinalis (baik gangguan pada kesadaran serebral atau kerusakan pada arkus refleks). Gejala: tidak menyadari bahwa kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya urgensi untuk berkemih, kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.

3. Inkontinensia Urine Stress Deskripsi: peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan merembesnya sejumlah kecil urine. Penyebab: batuk, tertawa, muntah, atau mengangkat sesuatu saat kandung kemih penuh, obesitas, uterus yang penuh pada trimester ketiga, jalan keluar pada kandung kemih yang tidak kompeten, lemahnya otot panggul. Gejala: keluarnya urin saat tekanan intra abdominal meningkat, urgency dan seringnya berkemih.

4. Inkontinensia Urine Urge (Desakan) Deskripsi: pengeluaran urin yang tidak disadari setelah merasakan adanya urgensi yang kuat untuk berkemih. Penyebab: daya tampung kandung kemih menurun, iritasi pada reseptor peregang kandung kemih, konsumsi alcohol atau kafein, peningkatan asupan cairan dan infeksi. Gejala: urgensi berkemih, sering disertai oleh tingginya frekuensi berkemih (lebih sering dari 2 jam sekali), spasme kandung kemih atau kontraktur, berkemih dalam jumlah kecil (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).

5. Inkontinensia Urine Total Deskripsi: keluarnya urine total yang tidak terkontrol dan berkelanjutan. Penyebab: neuropati, trauma atau penyakit pada saraf spinalis atau sfingter uretra, firtula yang berada di kandung kemih dan vagina. Gejala: urin tetap mengalir pada waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, nokturia, tidak menyadari bahwa kandung kemihnya terisi atau inkontinensia. (Potter & Perry,2005: 1687)

Menurut Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah tipe-tipe inkontinensia urine, yaitu: 1. Inkontinensia Akibat Stress merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akhir dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetrik , lesi kolumna vesika, urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Di samping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan congenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik)

2. Urge Incontinence Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan faktor yang menyertai keadaain ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala local iritasi akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih. 3. Overflow Incontinence Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terusmenerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin terjadi dengan sering, kandung kemih tidak pernah kosong. Overflow incontinence dapat disebabkan oleh kelainan neurologi ( yaitu lesi medulla spinalis) atau oleh faktor faktor yang menyumbat saluran keluar urin yaitu , penggunaan obat-obatan, tumor, striktur dan hiperplasia prostat. 4. Inkontinence Fungsional Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapiada faktor lain seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi misalnya demensia alzheimer atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. 5. Bentuk-Bentuk Inkontinensia Campuran Yang mencakup ciri-ciri inkontinensia seperti yang baru disebutkan dapat pula terjadi. Selain itu inkontinensia urin dapat terjadi akibat interaksi banyak faktor. Dengan pengenalan permasalahan yang tepat pemeriksaan dan rujukan untuk evaluasi diagnostic serta terapi , maka prognosis inkontinensia dapat ditentukan. Semua pasien inkontinensia harus diperhatikan untuk mendapatkan pemeriksaan evaluasi dan terapi. (Smeltzer, Suzanne C. 2001. 1393)

D. Etiologi Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebisaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab inkontinensia urine antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urine meningkat atau adanya gangguan kemampuan / keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dngan makanan kaya serat, mobilitas, asuhan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia urine juga bisa terjadi karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus yang harus tetap dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretic seperti kafein.

Fator resiko terjadinya inkontinensia, yaitu: 1. Usia Bertambahnya usia merupakan salah satu faktor risiko inkontinensia urin yang dipaparkan dalam konsensus inkontinensia urin oleh National Institutes of Health pada tahun 1988. Banyak penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan angka prevalensi Inkontinensia urine dengan bertambahnya usia. Melville barubaru ini melaporkan bahwa prevalensi Inkontinensia urineterjadi sekitar 28% pada wanita berusia 30-39 tahun dan 55% pada wanita berusia 80-90%. Peningkatan prevalensi pada wanita manula mungkin disebabkan oleh

kelemahan otot pelvis dan jaringan penyokong uretra terkait dengan bertambahnya usia. Hal tersebut juga dipengaruhioleh faktor-faktor pada manula seperti gangguan mobilitas dan/atau kemunduran status mental yang dapat meningkatkan risiko episode inkontinensia. 2. Herediter/genetic Beberapa peneliti mempertanyakan apakah terdapat dasar genetik dalam atrofi dankelemahan jaringan penyokong yang menyebabkan terjadinya inkontinensia urinstres. Mushkat dkk. menguji prevalensi inkontinesia urin tipe stres pada turunan pertama dari 259 wanita. Sebagai kontrol, mereka mengumpulkan data pada turunan pertama dari 165 wanita (sesuai umur, paritas, dan berat badan) tanpa inkontinensia urin tipe stres dan dilakukan pemeriksaan terhadap kelompok kontrol di sebuah klinik ginekologi. Prevalensi inkontinensia urin stres hampir 3 kali lebih tinggi (20,3%berbanding 7,8%) pada wanita turunan pertama dari wanita dengan inkontinensia urin. Data ini menunjukkan bahwa mungkin ada penurunan sifat secara familial yang dapat meningkatkan insiden inkontinensia urin stres. 3. Obesitas Beberapa penelitian epidemiologik telah menunjukkan bahwa peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor risiko yang signifikan dan independen untuk inkontinensia urin semua tipe. Fakta menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urine maupun stres meningkat sebanding dengan IMT. Penelitian SWAN menunjukkan terjadi peningkatan sekitar 5% kemungkinan kebocoran untuk setiap unit kenaikan IMT. Secara teori, obesitas menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdominal yang sebanding dengan peningkatan tekanan intravesikal. Tekanan yang tinggi ini mempengaruhi tekanan penutupan uretra dan menyebabkan terjadinya inkontinensia. 4. Persalinan dan Kehamilan Sebagian besar wanita mengalami inkontinensia urin selama kehamilan, tetapi umumnya hanya berlangsung hanya sementara. Banyak penelitian mengungkapkan tingginya prevalensi inkontinensia urin pada wanita hamil dibandingkan wanita nullipara (wanita yang belum pernah melahirkan). Suatu penelitian pada 305

primipara (wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidupdi dunia luar matur atau premature), 4% mengalami stress incontinence sebelum kehamilan, 32% selama kehamilan, dan 7% pada masa post partum. Kehamilan dan obesitas menambah beban struktur dasar panggul dan dapat menyebabkan kelemahan panggul yang pada akhirnya menyebabkan inkontinensia urin. Persalinan menyebabkan kerusakan sistem pendukung uretra, kelemahan dasar panggul akibat melemah dan mereganggnya otot dan jaringan ikat selama proses persalinan, kerusakan akibat laserasi saat proses persalinan penyangga organ dasar panggul, dan peregangan jaringan dasar panggul selama proses persalinan melalui vagina yang dapat merusak saraf pudendus dan dasar panggul sesuai kerusakan otot dan jaringan ikat dasar panggul, serta dapat mengganggu kemampuan sfingter uretra untuk kontraksi dan respon peningkatan tekanan intra abdomen atau kontraksi detrusor. Jika kolagen rusak, maka origo maupun insersio otot menjadi kendur sehingga mengganggu kontraksi isometrik.Hal ini menyebabkan mekanisme fungsi yang tidak efisien dan hipermobilitas uretra. Pemakainan forseps selama persalinan dapat memicu inkontinensia urine. Tingginya usia, paritas, dan berat badan bayi tampaknya berhubungan dengan inkontinensia urine. 5. Menopause Sejumlah besar reseptor estrogen berafinitas tinggi telah diindentifikasi terdapat di m.pubokoksigeus, uretra, dan trigonum vesika. Interaksi estrogen dengan reseptornya akan menghasilkan proses anabolik. Akibatnya, bila terjadi penurunan estrogen terutama pada traktus urinarius, perempuan menopause akan mengalami perubahan struktur dan fungsi dari traktus urinarius. Estrogen dapat mempertahankan kontinensia dengan meningkatkan resistensi uretra,

meningkatkan ambang sensoris kandung kemih, dan meningkatkan sensitivitas -adrenoreseptor pada otot polosuretra. Penurunan estrogen saat menopause menyebabkan penipisan dinding uretra sehingga penutupan uretra tidak baik. Defisiensi estrogen juga membuat otot kandung kemih melemah. Jika terjadi penipisan dinding uretra dan kelemahan otot kandungkemih, latihan fisik dapat menyebabkan terbukanya uretra tanpa disadari.

6. Merokok Merokok telah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya inkontinensia urin dalam beberapa penelitian, dengan efek terkuat terlihat pada inkontinensia urin tipe stres dan campuran pada perokok berat. Mekanisme patofisiologinya mungkin disebabkan oleh efek langsung maupun

tidak langsung pada uretra, dimana umumnya terjadi peningkatan tekanan kandung kemih akibat batuk, yang melampaui kemampuan uretra untuk menutup rapat pada perokok. Inkontinensia urine dapat ditemukan pada beberapa penyakit berikut: a. Inkontinensia desakan Dapat ditemukan pada gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Penyebab lainnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. b. Inkontinensia overflow Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis.

E. Manifestasi Klinik 1. Urgensi 2. Retensi 3. Kebocoran urine. 4. Frekuensi 5. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres. 6. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih. 7. Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan

sesuatu yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil. 8. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi

abdominoperineal), fistula (menetes terus-menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.

F. Patofisiologi Terjadinya pengisian kandung kencing sehingga meningkatkan tekanan tekanan didalam kandung kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari kandung kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar volume daya tamping. Bila titik daya tamping telah tercapai, biasanya 150-200 ml urin akan merangsang stimulus yang ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke lengkungan pusat reflek untuk mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut efferent dari lengkungan reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor. Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka dan urine masuk ke irethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot perineal mengikuti dan isis kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan reflek bisa mengalami interupsi sehingga berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter interna. Bila salah satu dari system yang komlek ini mengalami rusak, akan bisa terjadinya inkontinrensia urine. (Bruner and suddart, 2000)

G. Pemeriksaan Diagnostik 1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang

air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat. 2. Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : a. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. b. Tes urodinamik : untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah c. Tes tekanan urethra : mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis. d. Imaging : tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah. 3. Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih. 4. Laboratorium :

Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

H. Penatalaksanaan Menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. 2. Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. 3. Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah

antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat. 4. Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk

menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

5. Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpanPampers Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter : Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih

Alat bantu toilet : Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

Manajemen pasien inkontinensia urine saat perawatan dirumah ataupun di rumah sakit: 1. Menjaga kebersihan kulit, kulit tetap dalam keadaan kering, ganti sprei atau pakaian bila basah. 2. Anjurkan klien untuk latihan bladder training

3. Anjurkan pemasukkan cairan 2-2,5 liter / hari jika tidak ada kontra indikasi. 4. Anjurkan klien untuk latihan perineal atau kegels exercise untuk membantu menguatkan kontrol muskuler ( jika di indikasikan ). Latihan ini dapat denganberbaring, duduk atau berdiri 5. Cek obat-obat yang diminum ( narkotik, sedative, diuretik, antihistamin dan antihipertensi ), mungkin berkaitan dengan inkontinensia. 6. Cek psikologis klien.

Hal yang dapat dilakukan pada pasien inkontinensia urine: 1. Manajemen Stress. Ada kasus yang inkontinensia karena stres. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang sering terkena ketegangan dan situasi mengerikan lainnya. Tanpa disadari, beberapa reaksi terhadap sejenis tekanan adalah

inkontinensia. Ketika ini terjadi, kita harus belajar untuk merancang sarana yang tepat agar stres dapat ditangani dengan benar dan ketegangan dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih positif. 2. Belajar untuk membatasi asupan cairan. Hal ini karena salah satu bentuk inkontinensia karena inkontinensia overflow. Ketika ini terjadi, pasien memiliki sensasi yang kandung kemih selalu penuh. Akibatnya, satu urin akan terus bocor dari kandung kemih penuh. Cara terbaik untuk mengatasi ini adalah untuk meminimalkan asupan cairan tubuh. 3. Mengurangi berat. Penurunan Berat bermanfaat dalam menangani inkontinensia karena berhubungan langsung dengan massa tubuh. Massa tubuh lebih besar kemungkinan lebih ringan. 4. Rutin Berolahraga. Berolahraga secara teratur akan membantu otot-otot panggul semakin kuat, sehingga mereka dapat dengan mudah menangani kasus inkontinensia. akan menyebabkan inkontinensia dari massa tubuh

5. Penggunaan Sling. Ketika otot-otot dasar panggul seorang wanita lemah, hampir tidak dapat mendukung uretra. Akibatnya, ada kebocoran sering kencing. Pada prosedur selempang, ada bahan mesh yang terbuat dari jaringan sendiri untuk mendukung uretra. Prosedur memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, meskipun memerlukan operasi bedah untuk dimasukkan bahan mesh. 6. Penggunaan Kateter. Meskipun prosedur ini sangat populer, itu umumnya hanya digunakan dalam kasus-kasus yang paling parah. Dalam prosedur ini, tabung dimasukkan melalui uretra danmasuk ke kandung kemih untuk mengalirkan urin. Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih. 7. Pampers Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi. 8. Alat bantu toilet Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet. 9. Biofeedback. Prosedur ini merupakan kombinasi dari konseling dan monitoring elektronik tubuh pasien. Dalam prosedur ini, seorang wanita diwawancarai untuk

menentukan

kemungkinan

situasi yang

menyebabkan

kebocoran

air

seni. Dalam waktu yang sama, perangkat memantau tingkat urine nya, memungkinkan peneliti untuk menentukan situasi di mana ada kemungkinan kebocoran urin. 10. Melakukan Senam Kegel Langkah pertama, posisi duduk atau berbaring, cobalah untuk

mengkontraksikan otot panggul dengan cara yang sama ketika kita menahan kencing. Pasien harus dapat merasakan otot panggul pasien meremas uretra dan anus. Apabila otot perut ataubokong juga mengeras maka pasien tidak berlatih dengan otot yang benar. Ketika pasien sudah menemukan cara yang tepat untuk mengkontraksikan otot panggul makalakukan kontraksi selama 10 detik, kemudian mengendorkan atau lepaskan atau diistirahatkan selama 10 detik. Lakukan latihan ini berulang-ulang sampai 10-15 kaliper sesi. Sebaiknya latihan ini dilakukan tiga kali sehari. Latihan kegel hanya efektif bila dilakukan secara teratur dan baru terlihat hasilnya 8-12 minggu setelah latihan teratur.

Penanganan Konservatif Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis. 1. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises) Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethro vesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat

hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal. Langkah-langkah LKK (Latihan kandung kecing) : a. Tentukan tipe kandung kemih neurogenik b. Tiap waktu miksi dimulai dengan stimulasi : Tipe UMN : Menepuk paha dalam, menarik rambut daerah pubis,masukkan jari pada rektum. Tipe LMN : Metode Crade atau manuver valsava. Kateterisasi : kateter menetap atau berkala.

2. Stimulasi Listrik. Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan para uretra dengan memakai implant/nonimplant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektro devaginal : ring, Hodge pessary, silindris. 3. Alat Mekanis (Mechanical Devices) Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.

Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dengan inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina. Bonnass Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan urethro vesikal dan urethra proksimal.

Obat-obat yang bisa diberikan pada pasien inkontinensia urine: 1. Alfa Adrenergik Agonis Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan urethra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan. 2. Efedrin Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia stres. Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP 3. Phenylpropanololamine PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa dalam kombinasi dengan antihistamin dan

anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres mengalami perbaikan. 4. Estrogen Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat.

5. Obat-obat

yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah

antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. 6. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu

pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. 7. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

Terapi Pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi : 1. Kolporafi anterior 2. Uretropeksi retropubik 3. Prosedur jarum 4. Prosedur sling pu 5. Periuretral bulking agent

Tension vaginal tape (TVT) Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan baik pada penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap ada.

Kolporaphy Anterior Kolporaphy anterior apakah dilakukan sebagai prosedur yang terpisah atau bersamaan dengan pembedahan ginekologi yang lain umumnya merupakan operasi ginekologi. Operasi ini merupakan operasi definitif untuk mengkoreksi

stes inkontinensia. Bagaimanapun selama dua dekade teknik operasi ini telah teruji secara cermat dan terbukti lebih spesifik untuk menangani kasus ini.

Gambaran klasik telah dipublikasikan oleh Kelly (1913). Teknik operasi termasuk penjahitan pada robekan fascia dari uretra dan kandung kemih yang kemudian dimodifikasi oleh Kennedy (1937). Selanjutnya sejumlah modifikasi minor telah dilakukan. Melakukan kolporaphy anterior memerlukan pemahaman tepat tentang anatomi dan fisiologi struktur dasar panggul. Beberapa hal yang harus diidentifikasi adalah : 1. Mukosa vagina 2. Peritoneum vesikouterina 3. Fascia pubovesikalis-servikalis 4. Uretrovesical junction 5. Uretra 6. Vena-vena pleksus uterovagina

I. Komplikasi Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.

Berbagai komplikasi dapat menyertai Inkontinensia Urine seperti infeksi saluran kencing, infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur, masalah psiko sosial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi, secara tidak langsung masalah tersebut dapat menyebabkan dehidrasi, karena umumnya pasien mengurangi minum, karena kawatir terjadi Inkontinensia Urine, pada pasien yang kurang aktifitas hanya berbaring di tempat tidur dapat menyebabkan ulkus dikubitus dan dapat meningkatkan resiko infeksi lokal termasuk osteomyelitis dan sepsis. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah Inkontinensia Urine, berupa medikamentosa, fisioterapi, maupun pembedahan, jika dapat diketahui dengan tepat jenis dan penyebab Inkontinensia Urine.

J. Epidemiologi Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 2530% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadangkadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik. Tidak hanya diderita anak anak, mengompol atau beser juga dialami orang dewasa. Istilah medisnya adalah inkontinensia urine, yang artinya adalah pengeluaran urine di saat yang tidak diinginkan. Data dari International Continence Society menyebutkan, sekitar 250 juta orang wanita dan 98 juta pria di seluruh dunia telah menderita gangguan ini. Prevalensi Inkontinensia urine pada wanita di dunia berkisar antara 10 58%, sedang di Eropa dan Amerika berkisar antara 29,4%. Menurut APCAB (Asia Pacific Continence Advisor Board) tahun 1998 menetapkan prevalensi Inkontinensia Urine 14,6% pada Wanita Asia, sedangkan Wanita Indonesia 5,8% (gambar 1). Prevalensi pada Pria Asia berdasar survei dari APCAB (Asia Pacific Continence Advisor Board) sekitar 6,8%, sedangkan untuk Pria Indonesia 5% (gambar 2). Secara umum, prevalensi Inkontinensia Urine pada pria hanya separuh dari wanita, prevalensi di Asia relative rendah karena pandangan orang Asia bahwa Inkontinensia Urine merupakan hal yang memalukan, dianggap tabu oleh beberapa orang, sehingga tidak dikeluhkan pada dokter. Prevalensi Inkontinensia Urine pada wanita manula 35-45%. Survei Inkontinensia Urine yang dilakukan oleh Departemen Urologi FK Unair-RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita, prevalensi Inkontinensia Urine pada Pria 3,02% sedangkan pada Wanita 6,79%.

Di sini menunjukkan bahwa prevalensi Inkontinensia Urine pada wanita lebih tinggi daripada pria.

K. Prognosis 1. Inkontinensia tekanan urin; Pengobatan tidak begitu efektif untuk mengatasi inkontinensia urin. Pengobatan yang efektif adalah dengan latihan otot (latihan Kegel) dan tindakan bedah. Perbaikan kondisi dengan terapi alfa agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan kondisi dengan latihan Kegel bisa mencapai 87%-88%. 2. Inkontinensia urgensi; Studi menunjukkan bahwa latihan kandung kemih memberikan perbaikan yang cukup signifikans (75%) dibandingkan dengan penggunaan obat anti kolinergik (44%). Pilihan terapi bedah sangat terbatas dan memiliki tingkat morbiditas yang tinggi. 3. Inkontinensia luapan (overflow); Terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk mengurangi gejala inkontinensia.

L. Pencegahan Inkontinensia urine dapat dicegah dengan beberapa langkah sederhana antara lain : 1. Teknik perubahan perilaku, misalnya membiasakan diri untuk berkemih setiap 2-3 jam untuk menjaga agar kandung kemih relatif kosong. 2. Menghindari minuman yang bisa menyebabkan iritasi kandung kemih, misalnya minuman yang mengandung kafein. 3. Minum sebanyak 6-8 gelas/hari untuk mencegah pemekatan air

kemih, karena air kemih yang terlalu pekat bisa mengiritasi kandung kemih. 4. Menghentikan pemakaian obat-obatan yang bisa menimbulkan efek samping pada kandung kemih.

M. Etik Legal 1. Semua tindakan membuat klien untuk menjadi lebih baik dan tidak membahayakan diri klien.

2. Melakukan tindakan terbaik untuk klien dan keluarga 3. Menatalaksanakan keadilan 4. Memberikan pendidikan kesehatan kepada klien

N. Peran advokasi perawat Peran perawat adalah tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang yang memenuhi kualifikasi sehingga dibenarkan mempunyai kedudukan dalam suatu system pelayanan kesehatan (Pusdiknakes,1989), menurut Doheney (1992) peran perawat terdiri dari: 1. Care giver/pemberi pelayanan a. Memperhatikan individu dalam konteks sesuatu kebutuhan klien. b. Perawat menggunakan nursing proses untuk mengidentifikasi diagnosa keperawatan, mulai dari masalah fisik (fisiologis) sampai masalah psikologis. c. Peran utama adalah memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat sesuai diagnose keperawatan yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai dengan komplek. 2. Clien advocate/pembela pasien Perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasi informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan

memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil prsetujuan (inform consent) atas tidakan keperawatan yang diberikan. 3. Consellor/konseling a. Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat sakitnya. b. Adanya pola interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. c. Konseling diberikan kepada individu atau keluarga dalam

mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman masa lalu.

d. Pemecahan masalah difokuskan pada masalah mengubah perilaku hidup sehat (perubahan pola interaksi) 4. Educator /pendidik a. Peran ini dilakukan pada klien, keluarga, tim kesehatan lain baik secara spontan (saat interaksi) maupun secara disiapkan. b. Tugas perawat adalah membantu mempertinggi k. pengetahuan dalam upaya meningkatkan kesehatan, gejala penyakit sesuai kondisi dan tindakan yang spesifik. c. Dasar pelaksanaan peran adalah intervensi dalam Nursing care Planning. 5. Coordinator/koordinator Peran perawat adalah mengarahkan , merencanakan, mengorganisasikan pelayanan dari semua tim kesehatan. Karena klien menerima banyak pelayanan dari banyak profesional misalnya nutrisi maka aspek yang harus diperhatikan adalah jenis, jumlah, komposisi, persiapan, pengelolaan, cara memberikan, monitoring, motivasi edukasi dan sebagainya. 6. Collaborator/kolaboras Dalam hal ini perawat bersama klien, keluarga dan tim kesehatan lainnya berupaya mengidentifikasi pelayanan kesehatan yang diperlukan termasuk tukar pendapat terhadap pelayanan yang diperlukan klien, memberi dukungan, paduan keahlian dan ketrampilan dari berbagai profesional pemberi pelayanan kesehatan. 7. Consultan/konsultan Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien dan informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan keperawatan adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik klien. 8. Change agent/perubah Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dalam hubungan dengan klien dan cara pemberian keperawatan kepada klien.

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN INKONTINENSIA URIN

A. Pengkajian

a. Identitas klien b. Riwayat kesehatan 1) Riwayat kesehatan sekarang Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan. 2) Riwayat kesehatan klien Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit. 3) Riwayat kesehatan keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan. c. Pemeriksaan fisik 1) Keadaan umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia 2) Pemeriksaan Sistem : a) B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

b) B2 (blood) Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah c) B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh d) B4 (bladder) Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. e) B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal. f) B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian. d. Data penunjang 1) Urinalisis a) Hematuria. b) Poliuria c) Bakteriuria. 2) Pemeriksaan Radiografi a) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter. b) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).

3) Kultur Urine a) Steril. b) Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml). c) Organisme.

B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut : 1. Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis 2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama. 3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine 4. Resiko isolasi sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

C. Intervensi Keperawatan 1. Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis Tujuan : Klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia, Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan. Intervensi : a. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari, b. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan. c. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan latihan

d. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.

2. Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama. Tujuan : Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri. Intervensi : a. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin. R: Untuk mencegah kontaminasi uretra. b. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar. R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan. c. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling. R: Untuk mencegah kontaminasi silang. d. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan. R: Untuk mencegah stasis urine.

3. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine Tujuan : Jumlah bakteri < 100.000/ml, Kulit periostomal tetap utuh, Suhu 37 C, Urine jernih dengan sedimen minimal. Intervensi : a. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam. R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan. b. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh. R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine Intervensi : a. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria, diskusikan pada saat pertama. R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh;

inkontinensia tak sembuh, infeksi) b. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan peningkatan dan penurunan tiap hari yang dapat terjadi setelah pulang.

R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak biasa. c. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan. R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker. d. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam perawatan diri. R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Tema Sub Tema Sasaran Tempat

: Penatalaksanaan pada pasien Inkontinensia Urin : Terapi senam kegel pada pasien Inkontinensia Urin : Ny. Y dan keluarganya : Di rumah sakit X

Hari/Tanggal : Selasa, 5 November 2012 Waktu : 30 Menit

A. Tujuan Instruksional Umum Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Ny. Y dan keluarganya dapat mengetahui tentang terapi senam kegel pada pasien Inkontinensia Urin. B. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Ny. Y dapat: 1. 2. 3. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan terapi senam kegel Menyebutkan tujuan terapi senam kegel Menjelaskan prosedur terapi senam kegel

C. Materi 1. Pengertian terapi senam kegel 2. Tujuan terapi senam kegel 3. Prosedur terapi senam kegel

D. Metode Ceramah & diskusi

E. Kegiatan Penyuluhan

No 1.

Kegiatan Pembukaan

Penyuluh Salam pembuka Menyampaikan penyuluhan

Peserta tujuan Menjawab salam Menyimak

Waktu

5 Menit

2.

Kerja/ isi

Penjelasan tujuan, dan

Pengertian, prosedur

Mendengarkan dengan penuh perhatian

terapi senam kegel Menanyakan belum jelas Memperhatikan jawaban dari penceramah Evaluasi Menjawab pertanyaan

Memberi

kesempatan

hal-hal

yang 20 menit

peserta untuk bertanya Menjawab pertanyaan

3.

Penutup

Menyimpulkan Salam penutup

Mendengarkan Menjawab salam

5menit

F.

Media Leaflet : Terapi senam kegel pada pasien Inkontinensia Urin

G. Sumber/Referens http://id.scribd.com/doc/86812161/Inkontinensia-Urine-Fix

H.

Evaluasi

Formatif 1.

Klien dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan terapi senam kegel

2. Klien dapat menyebutkan tujuan terapi senam kegel 3. Klien dapat menjelaskan prosedur terapi senam kegel

Sumatif : Klien dapat memahami tentang terapi senam kegel pada pasien Inkontinensia Urin

Yogyakarta, 4 November 2012 Pembimbing, Penyuluh,

Fransisca Winandari

JURNAL

Terapi hormon postmenopause berhubungan dengan risiko mengembangkan inkontinensia

Grodstein F, K Lifford, Resnick NM, Curhan GC Channing Laboratory dan ginjal Divisi, Departemen Kedokteran, Brigham dan Rumah Sakit Wanita, 181 Longwood Avenue, Boston, MA 02115, USA. fran.grodstein @ channing.harvard.edu Obstetri dan Ginekologi [2004, 103 (2) :254-260]

TUJUAN: Untuk lebih memahami hubungan antara pasca-menopause terapi hormon dan pengembangan inkontinensia urin.

METODE: penggunaan hormon postmenopause dinilai melalui kuesioner mail dua tahunan dimulai pada tahun 1976 di antara peserta studi Nurses 'Health. Pada tahun 1996, 39.436 wanita pasca-menopause berusia 50-75 tahun melaporkan tidak ada kebocoran urin dan ditindaklanjuti selama 4 tahun untuk mengidentifikasi kasus insiden inkontinensia. Kami menggunakan regresi logistik untuk memperkirakan multivariabel yang disesuaikan risiko relatif (RRS) dan interval kepercayaan 95% (CI) untuk hubungan penggunaan hormon postmenopause 1976-1996 untuk pengembangan inkontinensia 1996-2000.

HASIL: Kami mengidentifikasi kasus insiden 5.060 kasus sesekali (bocor kali urin 1-3 / bulan) dan 2.495 inkontinensia sering (bocor setidaknya mingguan) untuk rata-rata tingkat insiden tahunan sebesar 3,2% dan 1,6%, masing-masing. Risiko inkontinensia diangkat antara wanita yang mengonsumsi hormon postmenopause dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah mengambil hormon (estrogen oral: RR 1,54, 95% CI 1,44, 1,65, estrogen transdermal: RR 1.68, 95% CI 1,41, 2,00, estrogen oral dengan progestin : RR 1,34, 95% CI 1,24, 1,44, estrogen transdermal dengan progestin: RR

1,46, 95% CI 1,16, 1,84). Ada risiko kecil setelah penghentian hormon (RR 1,14, 95% CI 1,06, 1,23) dan risiko penurunan inkontinensia dengan waktu meningkat sejak penggunaan hormon terakhir, 10 tahun setelah menghentikan hormon, resiko itu identik pada wanita yang memiliki dan memiliki tidak pernah menggunakan terapi hormon (RR 1,02, 95% CI 0,91, 1.14).

KESIMPULAN: terapi hormon postmenopause tampaknya meningkatkan risiko mengembangkan inkontinensia. Risiko ini tidak berbeda dengan cara pemberian, jenis hormon, atau dosis yang diambil, namun berkurang setelah penghentian penggunaan.

Вам также может понравиться