Вы находитесь на странице: 1из 7

JAKARTA: Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari mengatakan tidak benar kalau pascaamandemen UUD 1945 kekuasaan presiden

menjadi berkurang sehingga perlu diberi kewenangan yang lebih besar. Hajriyanto menanggapi pernyataan Denny Indrayana yang dalam promosi gelar guru besarnya di UGM menyatakan presiden harus diberi kewenangan yang lebih besar mengingat tugasnya yang berat. Kalau tidak, menurut Denny, akan muncul paradoks antara legitimasi dari dukungan publik yang kuat dan keterbatasan kekuasaan. "Saya tidak melihat amendemen UU 1945 menjadikan presiden tidak memiliki cukup kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan karena dalam praktiknya presiden ternyata masih memiliki banyak kekuasaan," ujar Hajriyanto hari ini. Menurutnya, Presiden bahkan mempunyai kekuasaan legislatif karena terlibat dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kekuasaan presiden lebih besar dibandingkan dengan di Amerika Serikat sendiri. Di negara Paman Sam tersebut presiden tidak terlibat dalam pembahasan legislasi. "Di Indonesia ternyata DPR tidak punya kekuasaan legislatif secara penuh karena membahas RUU harus bersama presiden," kata Hajriyanto. Hanya saja, dia menyebutkan presiden tidak secara langsung ikut membahas RUU di DPR karena telah mewakilkannya kepada para menteri yang menjadi pembantunya. "Begitu presiden tidak hadir di DPR melalui menteri maka RUU tidak bisa disahkan, bahkan tidak bisa dibahas," ujarnya. Dengan demikian, tambahnya, presiden di Indonesia sangat jelas memiiki kekuasaan eksekutif selain juga memiliki kekuasaan legislatif. Apalagi presiden juga ikut menandatangani setiap RUU yang mau disahkan di DPR. (tw)

Di dalam ilmu hukum, secara teoritis akademis diharapkan, bahwa setiap undangundang yang diberlakukan menjadi hukum positif harus memenuhi persyaratan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Mungkin secara filosofis materi hukum tersebut memiliki tujuan-tujuan yang luhur dan baik demi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan, serta dapat diterima oleh akal sehat dan logika. Begitu pula dipandang dari syarat yuridis mungkin telah selaras dan tidak menyimpang dari asas-asas dan prinsip hukum, serta sistem hukum yang dianut. Berpijak pada konsep tanggung jawab tersebut, maka persetujuan atau penolakan terhadap setiap RUU tersebut harus dilakukan oleh presiden in persona dan dilakukan

secara formal material; tidak boleh diwakilkan kepada menteri atau kepada wakil presiden sekalipun. Sebab, baik wakil presiden maupun menteri dalam ketentuan UUD 1945 hanyalah pembantu presiden, dan bertanggung jawab kepada presiden. Di sinilah harus ditafsirkan bahwa UUD 1945 telah memberikan semacam hak veto" kepada Presiden. Selanjutnya bagaimana sikap DPR dalam menghadapi veto" penolakan presiden atas RUU tersebut? Tentu, DPR harus arif menyikapinya. Atau mungkin harus belajar bersikap arif. Mengapa ? Bila disimak dalam ayat (3) pasal tersebut sangat jelas dan tegas diatur, bahwa jika rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama, artinya DPR atau Presiden tidak menyetujui atau menolak RUU, maka rancangan undang-undang tersebut gugur; tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan masa itu. Dengan perkataan lain, rancangan undang-undang tersebut belum dapat disahkan dan diundangkan menjadi undang-undang. Apabila suatu saat terjadi penolakan seperti itu, maka bangsa ini, terutama DPR, harus belajar bersikap lebih arif untuk menerima kenyataan demikian guna membangun Indonesia baru yang lebih demokratis. Untuk memberikan kelengkapan pemahaman dapat disimak lebih cermat ketentuan ayat (4) dan (5) ayat pasal 20 UUD tersebut. Pada ayat (4) ditentukan, bahwa Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, baik oleh DPR maupun presiden. Sedangkan ayat (5) mengatur, bahwa apabila rancangan undangundang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden tersebut tidak disahkan oleh presiden, maka terhitung 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diberlakukan sebagai undang-undang. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan pasal 20 UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan, bahwa kehadiran presiden in persona dalam proses pembentukan undang-undang harus dilakukan secara imperatip sebanyak 2(dua) kali. Pertama, dalam sidang DPR, presiden memberikan persetujuan atau penolakan terhadap RUU secara formal yang telah dibahas di DPR sebagai kata akhir (hak veto). Tahapan proses persetujuan atau penolakan RUU oleh presiden di persidangan DPR harus mutlak dilakukan. Tidak boleh dilewati. Kedua, mengesahkan secara formal pengundangan RUU menjadi undang-undang. Dalam rangka proses pembelajaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, bangsa yang cerdas tentu harus melakukan introspeksi secara terus menerus. Sejak selesainya amandemen keempat UUD 1945 bulan Agustus 2002 hingga sekarang, sudahkah dalam setiap proses pembentukan undang-undang, bangsa ini mematuhi ketentuan pasal 20 UUD 1945 tersebut. Terutama tentang kehadiran imperative in persona presiden untuk menyetujui atau menolak RUU.

Namun dalam perubahan UUD 1945, tidak diatur tentang siapa yang menandatangani suatu undang-undang. Pasal 20 Ayat (4) hanya disebutkan tentang pengesahan Presiden yang maknanya dijelaskan Asshiddiqie: Pengesahan yang dimaksud di sini bersifat administratif, yaitu pengundangan Undang-Undang tersebut ke dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara yang menentukan efek pengumuman hukum (public and promulgation of the law) dan daya ikat atau efektifitas legalitas undang-undang tersebut bagi para subjek hukum.

Perubahan dengan semangat parlementarian itu, telah menempatkan DPR pada posisi yang kurang proporsional karena tidak berangkat dari kebutuhan yang paling urgen yang sekarang dibutuhkan. Sama seperti halnya perubahan pada pasal 7 yang telah membatasi masa jabatan presiden dan wapres hanya untuk dua periode. Artinya, meskipun masa jabatan dan kekuasaan presiden tidak dibatasi seperti yang tertuang diatas, diyakini dalam masa transisi tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan kekuasaan lagi oleh presiden. Kebebasan berekspresi, berorganisasi dan pers yang telah dijamin dapat menjadi kontrol yang efektif kepada kekuasaan presiden. Perubahan lainnya yang terjadi adalah dalam soal pengajuan dan pengesahan undang-undang. Berdasarkan perubahan pertama pasal 5 UUD 1945, presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan dalam perubahan pasal 20 (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekuasaan ini tidak hanya DPR secara institusional namun juga secara personal anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang (pasal 21). Perubahan ini menempatkan DPR pada posisi sebagai pemegang kekuasaan pembuat undangundang yang sebelumnya dipegang oleh presiden. Namun ada ketentuan lainnya yg mengatur bahwa dalam pembahasan rancangan undang-undang dibahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (pasal 20 ayat 2). Dan dalam pasal 20 (5) disebutkan Dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Dua ketentuan ini membikin rancu dan mengundang kontroversi karena menempatkan secara bersama kewenangan presiden dan DPR dapat mengesahkan undang-undang, disatu sisi. Disisi lainnya dari ketentuan ini menimbulkan adanya abuse of power terhadap kewenangan DPR untuk mengusulkan rancangan undang-undang sekaligus untuk memaksa Presiden agar mensahkan RUU yang diajukan DPR tersebut. Karena dari usulan rancangan UU yang diajukan DPR kepada Presiden itu, pada akhirnya Presiden tidak mempunyai hak apakah akan menyetujui ataukah menolak RUU yang diusulkan DPR itu. Selain itu ketentuan ini juga menimbulkan kendala lain apakah memang ketentuan ini berlaku surut terhadap RUU yang belum disahkan Presiden sebelum adanya amandemen kedua UUD. Misalnya dalam kasus RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) dan RUU Serikat Pekerja, yang hingga kini menggantung tidak jelas nasib penentuannya. Rupanya pula pengertian pemegang kekuasaan membentuk undang-undang ini tidak dicermati secara benar, karena dalam amandemen pasal 20 (4) menyatakan bahwa Presiden mengesahkan Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden untuk menjadi undang-undang. Dalam kekuasaan membuat undang-

undang, ada 3 hal pokok yang terkandung, yaitu persetujuan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden, pernyataan mengesahkan RUU untuk menjadi UU, dan kewenangan mengundang UU. Dalam hal ini, perihal pernyataan mengesahkan RUU oleh Presiden menimbulkan pertanyaan, dan itu termasuk bagian dari kekuasaan proses penerapan kekuasaan membentuk undang-undang. Seharusnya, jika mau konsisten prosedur itu menjadi kewenangan DPR sesuai dengan bunyi pasal 20 (1) Amandemen UUD 1945. Dengan kata lain DPR lah yang harus mengesahkan RUU menjadi UU berdasarkan asas kedaulatan rakyat. Perubahan-perubahan dalam konteks sistem pemerintahan itu nampaknya cenderung memberi penguatan terutama fungsi kontrolnya kepada DPR dengan melakukan pemangkasan terhadap peran dan kewenanangan presiden. Perubahan itu ditambah lagi dengan adanya Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 yang mengaharuskan adanya persetujuan DPR jika Presiden mengangkat Panglima TNI dan Kapolri, yang sebelumnya merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam pasal 10 UUD 1945. Rumusan rumusan ini dapat dikatakan masih menggunakan sebagian sistem presidensiil dan sebagian sistem parlementer, yang amat rentan menimbulkan konflik antara Presiden dan DPR. Terhadap perubahan yang menyatakan bahwa presiden ialah warga negara Indonesia asli (pasal 6) apa yang menjadi ukuran asli itu tidaklah jelas. Rumusan ini dapat menimbulkan penafsiran diskriminatif terhadap hak warga negara untuk menduduki jabatan di pemerintahan (presiden). Terhadap penambahan pasal 9 yang menyatakan jika MPR/DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wapres bersumpah /berjanji dihadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA. Rumusan ini nampaknya mengadopsi dari Ketetapan MPR No.VII/MPR/1973 yang dipakai sebagai landasan yuridis pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Rumusan semacam ini dapat menimbulkan penafsiran yang beragam, terutama bagi faktor kepentingan politis baik yang dilakukan untuk kepentingan presiden sendiri maupun fraksi-fraksi politik di MPR. Dikarenakan masih belum jelasnya apa yang dimaksud dengan tidak dapat mengadakan sidang, apa syarat-syaratnya atau dalam kondisi yang bagaimana MPR/DPR itu dikatakan tidak dapat mengadakan sidang. 3. Pemerintahan Daerah Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 ini tidak mensistematisir apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal otonomi daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam pasal ini. Seperti soal, pembagian wilayah (ps 18 ayat 1), pemilihan kepala daerah dan DPRD (ps 18 ayat 3&4), sampai soal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (ps. 18B ayat 2). Kalaupun itu mau diatur dalam UUD, persoalan kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi dalam undang-undang, dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal pemerintahan daerah (otonomi daerah). Hal ini berkenaan dengan adanya beragam format pengaturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah/otonomi daerah, yakni di Amandemen Kedua UUD 1945, TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Penggunaan kata dibagi dalam perumusan Negara kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi-provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. dapat menimbulkan kontradiksi. Karena pengertian dibagi ini tergantung dari interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari realitas dan aspirasi masing-masing daerah. Dan seharusnya digunakan kata terdiri yang lebih menunjukan prinsip independensi dan

egalitarian dalam mewujudkan otonomi daerah. Dalam kasus lain, meskipun prinsip pemerintahan daerah dengan otonomi daerah itu merupakan hakikat dalam konteks negara kesatuan, namun disisi lain pada kenyataan adanya tuntutan untuk membebaskan daerah (merdeka) seperti Aceh dan Papua, serta kehendak untuk merubah bentuk negara kesatuan menjadi federalisme tidak bisa dinafikkan begitu saja. Sehingga penempatan konsep pemerintahan daerah ini dalam konstitusi masih manjadi kendala, karena bisa jadi itu bukan merupakan rumusan yang final berdasarkan kehendak politis seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi otonomi daerah dalam rumusan pasal 18 (5) yang berbunyi Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, berbeda maknanya dengan apa yang sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22 tahun 1999 yakni Otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dampak dari perbedaan ini disamping menimbulkan kotradiksi hukum, juga akan menimbulkan interpretasi yang beragam dalam pelaksanaannya. 4. Wilayah Negara Masalah wilayah negara dirumuskan dalam Bab IX A pasal 25 E yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan RI adalah sebuah negara kesatuan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan hak-haknya ditetapkan dengan UU. Disini ada ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan yang berciri Nusantara itu? apa yang kemudian menjadi tolak ukurnya? Bagaimana penentuannya yang meskipun akan diatur kembali lewat UU, namun tetap seharusnya dari penentuan wilayah ini, dengan mengacu hukum internasional, untuk mencegah terulangnya kembali ekspansi dalam kasus TimurTimor. 5. Warga Negara dan Penduduk Dalam pasal 27 (3) bab tentang warga negara disebutkan bahwa, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Seharusnya hal mengenai pembelaan negara ini cukup menjadi hak dan bukan menjadi kewajiban warga negara. Dengan kewajiban itu akan memudahkan siapapun yang mempunyai kewenangan (dalam hal ini alat negara yang bernama TNI) untuk melakukan mobilisasi secara paksa terhadap warga negara. Upaya ini amat rentan terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan kerusuhan-kekerasan dalam skala yang luas. 6. Pertahanan dan Keamanan Dalam pasal 35 ayat 1 amandemen II UUD 1945 disebutkan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara. Dalam hal usaha pertahanan negara ini seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu kewajiban bagi warga negara, maka terlihat adanya paksaan dari negara kepada warga negaranya untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara. Ketentuan pasal 35 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan Negara) ini memperbaharui ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan Negara). Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem (Sistem HANKAMARATA), dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan sistem keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini, yang perlu dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi apabila suatu saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan keamanan. Dengan adanya ketentuan pasal 35 ini berarti pula harus pula diperhatikan ketentuan peraturan-peraturan dibawah UUD yang berkaitan dengan TNI dan POLRI, (misalnya RUU Kepolisian) agar antara peraturan satu dengan lainnya tidak saling bertentangan.

Dari UUD 1945, masih ada ketentuan pasal yang menimbulkan kendala. Misalnya dari ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU. Dengan demikian kewenangan untuk mengangkat Panglima AD, AL, dan AU pun berada di tangan Presiden. Sehingga kedudukan Panglima TNI sejajar atau bahkan diatas kedudukan menteri, bila mengingat pula Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 bahwa untuk penentuan Panglima TNI/Kapolri harus melalui persetujuan DPR.. kebijakan itu amat bertentangan dengan kehendak tuntutan dicabutnya dwifungsi TNI dan penempatan kontrol militer dibawah sipil. Nampaknya masih ada upaya konsolidasi militer dan menarik-narik kembali militer kekancah politik. Jadi hanya tinggal dua negara didunia ini yang Panglima TNI berada tidak di bawah Menhankam, yaitu Indonesia dan Myanmar. 2.4 Pandangan Penolakan Terhadap Amandemen UUD 1945 Adanya pro dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif konstitusionalisme adalah karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut, apakah paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional. Secara umum perumusan amandemen UUD 1945 ada beberapa kelemahan mendasar, yaitu : Pertama, terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu. Kedua, menyangkut masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir. Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD 1945. Adapun beberapa alasan penolakan atas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebagai berikut : - Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia aspek restriktif ini merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi daerah. Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat. - dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen. - Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki content draft yang utuh, penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan. - amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan : o tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka o tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer o tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi. tampak amandemen belum bersifat membatasi (restriktif) kekuasaan legislatif

terhadap pemilih, militer terhadap sipil, dan pemerintah pusat terhadap daerah otonomi khusus. - Hilangnya Kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Salah satu contoh terjadinya perombakan itu pada pasal 1 ayat 2 UUD 45 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang dirombak menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, perombakan itu membawa implikasi perubahan hukum yaitu hilangnya eksistensi konstitusional MPR dan tidak lagi penyelenggara negara yang tertinggi. Hal ini akan menimbulkan kontroversi. - kurangnya kemampuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melakukan koreksi atas pihak yang dititipi kedaulatan, yakni DPR.Rakyat pemilih tidak dapat melakukan impeachment pada wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif BAB III KESIMPULAN Melihat dengan adanya pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Maka penyusun dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Permasalahan pokok yang mengakibatkan terjadinya perdebatan adalah perumusan amandemen UUD 1945 yang multitafsir., yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir 2. Perbedaan perdapat yang terjadi pula terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui serangkaian amandemen itu. 3. keempat amandemen yang telah dilakukan masih meninggalkan tiga hal yang penting dilihat dari segi kedaulatan. Pertama, tiadanya kemampuan rakyat pemilih menarik kedaulatan mereka. Kedua, tidak dicantumkan supremasi otoritas sipil terhadap militer. Ketiga, tidak tercantumnya otonomi khusus Aceh dan Papua maupun Yogyakarta, sehingga peraturan di bawah konstitusi dapat mengurangi arti kekhususan otonomi. DAFTAR PUSTAKA www.google.com / http://aprilia180490.wordpress.com/2010/03/09/tugas-makalahpendidikan-kewarganegaraan-4/

Вам также может понравиться