Вы находитесь на странице: 1из 83

FASAKH SUATU PERKAWINAN KARENA MURTAD

(Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No: 438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan No: 138/Pdt.G/2006/PA.Sal)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syari'ah

Disusun Oleh : MIR'ATUL HIDAYAH NIM : 211 03 010

JURUSAN SYARI'AH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2007

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................... HALAMAN NOTA PEMBIMBING.......... HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... HALAMAN DEKLARASI......................................................................... HALAMAN MOTTO ................................................................................. HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................. KATA PENGANTAR................................................................................. DAFTAR ISI................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ B. Penegasan Istilah .................................................................... C. Rumusan Masalah................................................................... D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................... E. Telaah Pustaka ........................................................................ F. Kerangka Teori ....................................................................... G. Metodologi Penelitian............................................................. H. Sistematika Penulisan ......................................................... UNDANGAN DI INDONESIA A. Konsep Fasakh Karena Murtad .............................................. 1. Pengertian Fasakh ............................................................. 2. Dasar Hukum Fasakh ........................................................ 3. Sebab-Sebab difasakhnya Suatu Perkawinan.................... 4. Ikhtilaf Fuqaha Tentang Murtad Sebagai Penyebab Fasakhnya Suatu Perkawinan............................................ INDONESIA .......................................................................... 1. Pengertian Fasakh ............................................................. 2. Sebab-Sebab Fasakh.......................................................... 26 30 30 32 B. KONSEP FASAKH MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI 21 21 22 23 1 6 8 8 10 12 14 18 ii iii iv v vi vii ix

BAB II FASAKH KARENA MURTAD DALAM FIQH DAN PERUNDANG-

ii

3. Akibat difasakhnya Suatu Perkawinan.............................. C. Komparasi Konsep Fasakh Karena Murtad Menurut Fiqh dan Perundang-undangan di Indonesia................................... BAB III PUTUSAN HAKIM TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA A. Kewenangan Pengadilan Agama Untuk Mengadili KasusKasus Masyarakat Non Muslim............................................. B. Kasus Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga ............................................... 1. Kasus 2. Kasus Pertama Kedua dengan dengan Putusan No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal........................................... Putusan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal............................................... C. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad .......................... D. Akibat Hukum Karena Putusan Fasakh .................................. BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA A. Analisis Kewenangan Pengadilan Agama Untuk Mengadili Kasus-Kasus Masyarakat Non Muslim .................................. B. Analisis Kasus Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga ................................... C. Analisis Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad ............ D. Analisis Akibat Hukum Karena Putusan Fasakh.................... BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ B. Saran-Saran ............................................................................

35 36

40 41 41 46 48 52

55 58 63 68 70 71

iii

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

74

iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Nikah atau perkawinan adalah aqad (ijab/qabul) antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumahtangga sebagai suami istri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditentukan oleh syara.1 Pengertian perkawinan yang lainnya, diantaranya menurut UndangUndang Perkawinan No 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2 Dari pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 di atas, jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan keluarga yang bahagia, Inilah cita-cita dan idaman bagi tiap-tiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja kebahagiaan itu tidak bisa ditebak, kadang sering datang dan kadang sering pergi,

Ustadz Djafar Amir,Fiqh Bagian Nikah, Seluk Beluk Perkawinan Dalam Islam, Ab Sitti Syamsiyah, Solo, 1983, hlm. 7. 2 BP4 Kab. Boyolali, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983. Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, BP4 Kab. Boyolali, Boyolali, tt, hlm. 1.

kadang ketika kebahagiaan yang diharapkan, namun kadang juga ternyata kekecewaan yang datang. Dari semua agama yang diakui di Indonesia, dalam masalah perkawinan masing-masing mempunyai ketetapan bahwa perkawinan itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang seagama. Dalam agama Islam ketetapan ini ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44 yang berbunyi "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam".3 Sebenarnya menjadi kewajiban tiap suami istri untuk tetap memelihara hubungan baik antara keduanya. Selain menetapi kewajiban masing-masing dengan dasar saling mencinta, menyayangi, menolong, lapang dada dengan ikhlas. Dengan demikian mereka dapat mengenyam kebahagiaan hidup berumah tangga sebagaimana yang mereka dambakan. Mereka harus saling memaafkan atas kekhilafan yang lain. Keduanya harus ulet didalam menegakkan rumah tangganya agar jangan sampai goyah. Tetapi kalau suasana menjadi ruwet dan timbul permusuhan, sekiranya masing-masing atau salah satunya tidak lagi mampu menetapi kewajibannya dalam hidup berumah tangga, maka untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan dan kesengsaraan hidup karena tidak ada keberesan, tiada lain keduanya terpaksa harus berpisah. Supaya percekcokan tidak berjalan terus dan tidak ada yang
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2000, hlm. 29.
3

menderita batinnya, atau merasa tertekan dan sebagainya. Hal ini akan semakin diperparah, jika salah satu diantara mereka menjadi murtad, secara otomatis, disadari maupun tidak, perjalanan biduk perahu rumah tangga tersebut tidak lagi berjalan mulus. Karena masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda yang tentunya tidak bisa disatukan visi dan misi dari masing-masing keyakinan tersebut, sehingga tidak bisa tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat pada pasal 3 Bab II KHI, yaitu : "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah".4 Jadi, didalam kondisi seperti ini perceraian merupakan pil pahit, obat terakhir, karena tidak ada jalan lain untuk mengatasi keadaan. Nabi SAW bersabda :
5

( )

Perbuatan halal yang dibenci oleh Allah ialah Thalaq." Dari sabda Rasulullah SAW tersebut, jelas bahwa perceraian itu hukumnya adalah makruh. Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah tersebut di atas, yang akan dibicarakan adalah mengenai batal atau fasakh suatu perkawinan karena murtad, khususnya pembahasan di sini adalah mengenai putusan tentang fasakh dari Pengadilan Agama No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan

Ibid, hlm. 14. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I, Kitab Al-Nikah,Bab Karahiyah Al-Thalaq, Dar Al - Fikr, Qatar, hlm. 120, hadis no. 2178.
5

No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal. Dalam perkara ini yang menjadi fokus utama adalah mengenai gugatan istri yang muslimah terhadap suami yang murtad, gugatan istri yang murtad terhadap suami yang muslim, kemudian putusan yang dijatuhkan oleh hakim dari Pengadilan Agama mengenai dua perkara gugatan perceraian tersebut. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri lagi.6 Istri yang hendak memutuskan hubungan perkawinan, pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.7 Bila gugat cerai (khulu) telah terlaksana, maka dampak atau akibat yang akan diterima istri yakni tidak bisa mendapatkan nafkah kembali dari mantan suaminya. Istri terhadap suami menjadi orang lain, sudah tidak menjadi tanggung jawab suaminya. Suami juga tidak berkewajiban menempatkan atau memberi nafkah kepada istrinya, meskipun hanya sementara saja.8

BP4 Kab. Boyolali, op. cit., Pasal 39 Ayat (1 dan 2), hlm. 12. Muh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UUP Tahun 1974 dan KHI, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 131. 8 Musthafa Dhiibu Bhigha, Fiqh Menurut Mazhab Syafii, alih bahasa ; Drs. H. Moh. RifaI, Kyai Baghawi Masudi, Cahaya Indah, Semarang, 1986, hlm. 267.
7

Dalam hal ini Pengadilan Agama berfungsi sebagai tempat untuk menerima, memeriksa, menyidangkan dan memberi putusan atas perkara tersebut. Namun kadang hakim dari pengadilan memiliki pertimbangan tersendiri dalam memberikan putusan pada perkara tersebut, tanpa harus sama persis sesuai dengan peraturan yang ada, kerena hakim memang memiliki wewenang seperti itu. Melihat dari kasus di atas, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi tentang pengajuan gugat cerai istri yang sudah murtad ke Pengadilan Agama, padahal Pengadilan Agama adalah pengadilan yang mengurusi segala permasalahan kaum muslim. Hal ini didasarkan pada UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di BAB I tentang Ketentuan Umum, khususnya pasal 1 (1) dan pasal 2, yang berbunyi "Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang - orang beragama Islam" dan "Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang ini".9 Dalam putusan No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal. ini selain menerima perkara yang diajukan oleh orang yang non muslim, yakni oleh penggugat yang bernama Dewi Vimalasari, Hakim - Hakim Pengadilan Agama Salatiga ternyata juga memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara - perkara dalam gugatan tersebut, hal ini tentu saja tidak sesuai dengan Pasal 49 (1) UU No 3 Tahun 2006
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Jakarta, 2006, hlm. 68.
9

pada BAB III mengenai Kekuasaan Pengadilan, yang lengkapnya berbunyi : "Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara - perkara ditingkat pertama antara orang - orang yang beragama Islam di bidang : (a.) perkawinan, (b.) kewarisan, wasiat, dan hibah, (c.) waqaf, zakat dan shadaqah, (d.) ekonomi Syari'ah".10 Kemudian juga mengenai istri (Islam) yang mengajukan gugat cerai atas suaminya dikarenakan suaminya telah murtad, sebagaimana dalam putusan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal. atas gugatan dari Sri Dadi Anggraeni terhadap suaminya yang telah murtad yang bernama Tan Tjee Hiap, dan pada akhirnya akan dibahas mengenai putusan dari Pengadilan Agama atas pengajuan dari gugat cerai tersebut, apakah diputus dengan putusnya perkawinan karena gugat cerai sesuai dengan yang diajukan pihak istri, ataukah putusnya perkawinan tersebut dengan difasakh didasarkan karena suami atau istri murtad. Untuk itu penulis mengambil judul : FASAKH SUATU PERKAWINAN KARENA MURTAD ( Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan

No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal ) .

B. Penegasan Istilah Agar tidak terjadi beda penafsiran kata-kata dalam judul, antara penulis dan pembaca, maka penulis perlu menjelaskan istilah yang terdapat pada judul, yaitu FASAKH SUATU PERKAWINAN KARENA MURTAD ( Studi
10

Ibid., hlm. 79.

Putusan

Pengadilan

Agama

Salatiga

No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal

dan

No:138/Pdt.G/ 2006/PA.Sal) . 1. Fasakh Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Manzur dalam Lisan a-Arab, menyatakan bahwa fasakh berarti batal (naqada) atau bubar (faraqa).11 Secara istilah fasakh ialah :

. ,
faskhul aqdi adalah membatalkan aqad, dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri.12 2. Perkawinan Menurut pendapat madzhab Hanafi, yang dikutip oleh Muh. Idris Radimulyo, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari UUP Tahun 1974 dan KHI memberikan pengertian nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual. Tetapi menurut arti majazi (metaphoric) atau arti hukum ialah aqad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita..13

Ibnu Manzur, Lisan al-Arab Juz III, Dar Al-Fikr, Qatar, 1994. hlm. 45. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Tentang NTCR II, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta, 1985, hlm. 23. 13 Muh. Idris Ramulyo, op. cit., hlm. 1.
12

11

3. Murtad Secara ilmu bahasa, riddah berarti kembali dari sesuatu kepada lainnya. Menurut istilah murtad (riddah) ialah keluar dari agama Islam, untuk beragama lain atau tidak beragama sama sekali.14

C. Rumusan Masalah Dari tema di atas, penulis memperinci permasalahan permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara permasalahannya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep fasakh perkawinan karena murtad ditinjau dari fiqh dan perundang-undangan di Indonesia? 2. Apakah dasar yang digunakan Pengadilan Agama Salatiga untuk menerima gugatan perceraian yang diajukan oleh masyarakat non muslim ? 3. Apa pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga untuk memutus perkara gugat cerai dengan putusan fasakh? 4. Apa akibat hukum karena putusan fasakh?

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Adapun hal hal yang menjadi tujuan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ahmad Azhar Basyir, dkk, Ikhtisar Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), Bagian Penerbitan Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, 1982, hlm. 25.

14

1. Untuk mengetahui konsep fasakhnya perkawinan karena murtad ditinjau dari fiqh dan per-Undang-undangan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui alasan atau dasar yang digunakan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menerima, menyidangkan dan memberikan putusan pada kasus gugat cerai yang diajukan oleh masyarakat non muslim. 3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara gugat cerai dengan putusan fasakh. 4. Untuk mengetahui akibat hukum karena putusan fasakh. Dari penulisan ini tentunya penulis berharap agar tulisan ini mempunyai kegunaan atau kemanfaatan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Dapat menambah ilmu pengetahuan. 2. Dapat menambah kepustakaan dari penulis. 3. Untuk dapat mengetahui mengapa Hakim di Pengadilan Agama yang menyidangkan perkara gugat cerai tidak memberikan putusan "putus karena perceraian", tetapi memberikan putusan "fasakh" terhadap perkara gugat cerai tersebut, sehingga seolah-olah petitum-petitum yang menjadi dasar utama penggugat mengajukan gugatan perceraian tersebut tidak dijadikan alasan atau sebab putusnya perkawinan antara penggugat dengan tergugat tersebut. 4. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana program Strata 1 ( S.1 ) dalam bidang Hukum Islam (Syari'ah).

E. Telaah Pustaka Di dalam buku Hukum Islam di Indonesia karya Drs. Ahmad Rofiq, M.A. juga telah menjelaskan mengenai pembatalan perkawinan,15 atau yang dalam istilah hukum Islam disebut dengan fasakh. Selain permasalahan fasakh tersebut, dijelaskan juga mengenai gugat cerai berikut tata caranya di dalam buku ini.16 Tetapi dalam dua penjelasan tersebut, Drs. Ahmad Rofiq, M.A. lebih banyak mengungkapkan pada tataran tinjauan perundang-undangan di Indonesia, yakni lebih banyak menjelaskan mengenai dasar hukum yang digunakan di Indonesia untuk melakukan pembatalan perkawinan maupun untuk melakukan gugatan perceraian. Berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karena di sini penulis selain mengungkapkan dasar hukum yang diterapkan dalam perkara gugat cerai juga mengungkap kasus gugatan perceraian, mengenai dasar hukum yang digunakan hakim untuk kasus seperti ini, sampai akhirnya sampai bisa diputus fasakh, penulis lebih meninjau pada studi kasus, utamanya pada dua kasus putusan Pengadilan Agama Salatiga No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan putusan No:138/Pdt.G/2006/ PA.Sal. Dalam penelitian berjudul Khulu' Sebagai Penyebab Putusnya

Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga 2004 - 2005) karya Wiwien Tri Haryono memfokuskan pembahasannya pada tinjauan teoritis tentang khulu' menurut Hukum Islam dan pertimbangan Hakim dalam memutuskan
15

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. 3, 1998, Ibid, hlm. 301.

hlm. 145.

16

10

permasalahan khulu' sebagai penyebab putusnya perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga.17 Didalam Skripsi ini hanya menekankan pada masalah gugat cerai (khulu') itu saja, meski sama - sama meneliti tentang perceraian, namun dalam skripsi ini tidak terlalu banyak menyinggung tentang fasakh, sebagaimana yang penulis teliti kali ini. Pada penelitian Nur Huda dengan judul Faktor Ekonomi Sebagai Alasan Perceraian (studi Kasus di Pengadilan Agama Mungkid 2002 - 2003) meneliti faktor apakah yang melatarbelakangi timbulnya alasan ekonomi yang menjadi penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Mungkid.18 Didalam penelitian ini membahas juga tentang salah satu hal yang bisa menyebabkan difasakhnya suatu perkawinan, tetapi dalam skripsi ini lebih memfokuskan sebabnya dari sisi ekonomi (nafkah), sehingga berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan ini, karena fokus utama dalam penelitian ini adalah mengenai fasakhnya suatu perkawinan karena murtad. Berdasarkan penelusuran literatur di atas, maka penulis tegaskan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh orang lain. Selain itu, penelitian ini memiliki nilai lebih dalam hal pengkajian terhadap penerapan ketentuanketentuan fasakh dalam perundang-undangan terhadap kasus-kasus riil yang terjadi di masyarakat.
Wiwien Tri Haryono, Khulu' Sebagai Penyebab Putusnya Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga 2004 - 2005), Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar S. Hi. pada Jurusan Syari'ah STAIN Salatiga, 2006. 18 Nur Huda, Faktor Ekonomi Sebagai Alasan Perceraian (studi Kasus di Pengadilan Agama Mungkid 2002 - 2003) Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar S. Hi. pada Jurusan Syari'ah STAIN Salatiga, 2003.
17

11

F. Kerangka Teori Sayyid Sabiq, didalam kitabnya Fiqh Sunnah Jilid 8, menjelaskan bahwa memfasakh aqad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat - syarat yang tidak terpenuhi pada aqad nikah atau karena hal - hal lain yang datang kemudian yang membatalkan kelangsungannya perkawinan. Contoh sebab - sebab tersebut diantaranya setelah menikah isterinya adalah saudara sesusuan, suami istri masih kecil diaqadkan oleh selain ayah atau datuknya, kemudian setelah ia dewasa maka ia berhak untuk meneruskan ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya, bila salah seorang dari suami istri murtad dari islam dan tidak mau kembali sama sekali dan jika suami yang tadinya kafir masuk islam tetapi istri tetap pada kekafirannya.19 Dalam Kitab Al - Muhadzdzab Juz II halaman 54 dikatakan bahwa:


20


"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi setelah dukhul maka perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah."

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, Alih Bahasa : Drs. Mohammad Thalib. Al - Ma'arif, Bandung, Cet. I : 1980, hlm. 124 - 125. 20 Syaikh Imam Al-Syairozi, Al - Muhadzdzab Juz II, 'Isa al-Babi al-Khalabi, Mesir, tt, hlm. 54.

19

12

Dalil di atas menunjukkan dasar yang sangat jelas mengenai diputuskannya atau difasakhnya suatu perkawinan, jika ada salah satu suami atau istri yang murtad, sehingga dalil ini jugalah yang dijadikan dasar Pengadilan Agama Salatiga dalam memberikan putusan fasakh pada kasus gugatan cerai yang yang diajukan oleh penggugat yang salah satu alasan dalam petitumnya disebutkan bahwa suami atau istri telah murtad. Meskipun didalam petitum dalil gugatan cerai tersebut murtad bukanlah satu - satunya alasan gugatan cerai tersebut, masih banyak alasan - alasan lain yang mendasari pengajuan gugatan cerai tersebut, namun seolah - olah oleh Hakim, hal tersebut bukan lagi menjadi persoalan utama. Dalam kasus seperti ini, pertimbangan Hakim lebih kepada kemadharatan yang akan didapat jika seorang yang Islam hidup dalam satu biduk perahu rumah tangga dengan pasangan yang berbeda agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB XVI (Putusnya Perkawinan), pasal 116 (h): Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan - alasan : (a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; (b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; (c) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

13

(d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; (e) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; (f) antara suami dan istri terus - menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; (g) suami melanggar taklik talak; (h) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga. Seperti yang telah penulis sebutkan diatas, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 (h) juga telah disebutkan bahwa salah satu hal yang bisa membuat dibatalkannya atau difasakhnya suatu perkawinan ialah karena adanya peralihan agama atau murtad yang bisa menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam suatu rumah tangga.

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian Kasus (Case Study)

14

Sehubungan dengan wilayah sumber data yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, sebagaimana telah diuraikan diatas, maka jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kasus.21 Penelitian kasus (case study) yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu, yang hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit tetapi memiliki sifat penelitian kasus yang lebih mendalam.22 Secara lebih jelas penulis tegaskan disini bahwa penelitian kasus yang dimaksud disini adalah sebatas pada wilayah kasus atau perkara tentang di fasakhnya suatu perkawinan karena murtad, yakni sebagaimana yang diputuskan oleh Pengadilan Agama Salatiga dalam surat putusannya No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan putusan No:138/Pdt. G/2006/ PA.Sal. 2. Metode Pengumpulan Data a. Data Kepustakaan Yang dimaksud data kepustakaan yakni, bahwa dalam suatu penelitian, menggali datanya dari bahan-bahan tertulis (khusunya berupa teori - teori).23 Lebih jelasnya, yang dimaksudkan metode pengumpulan data melalui data kepustakaan disini yaitu salah satu cara untuk bisa
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 115. 22 Ibid., hlm. 131. 23 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet. III, 1990, hlm. 135.
21

15

mendapatkan dan mengumpulkan data melalui teori - teori yang didapat, baik dari buku - buku yang membahas tentang fasakh maupun dari putusanputusan tentang fasakh itu sendiri, yakni putusan

No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan putusan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal. b. Wawancara (interview) Wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.24 Sumber data atau terwawancara yang dalam penulisan ini yakni person. Menurut Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, "Person yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket".25 Metode ini digunakan untuk menggali jawaban lisan dari hakim -hakim yang terlibat langsung dalam putusan Pengadilan Agama Salatiga No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal. dan putusan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal., yaitu Drs. H. Fadli Hasan (Hakim Ketua), Drs. Zaenal Hakim, SH.(Hakim Ketua), Dra. Hj. Muhlisoh, MH. (Hakim Anggota), dan Drs. Supangat (Hakim Anggota). Sebenarnya Drs. Zaenal Hakim, SH. Menjadi Hakim Ketua dalam putusan

No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal. tersebut, namun karena saat ini beliau telah dipindah tugaskan ke Kota Rembang, maka wawancara kepada beliau penulis tiadakan. Selain itu, Drs. Ahmad Syaukani, SH. MH. sebagai salah

24 25

Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 145. Ibid., hlm. 114.

16

satu Hakim Anggota dalam putusan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal. ini juga sudah pindah tugas ke Palu, maka wawancara terhadap beliau juga penulis tiadakan. c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya.26 Dalam penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah pengambilan beberapa data tentang difasakhnya suatu perkawinan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama Salatiga dengan alasan suami atau istri murtad, yakni yang ada dalam putusan No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan putusan No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal, serta dokumen dari kumpulan dalil-dalil syar'iyyah milik Pengadilan Agama Salatiga tentang perkawinan, talak, cerai, iddah, riddah, fasakh. 3. Metode Analisis Dalam metode analisis ini yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif dalam penelitian ini, terdapat pada bab II mengenai gambaran secara global fasakhnya suatu perkawinan karena murtad, kemudian dilanjutkan pada bab III yang menggambarkan isi dari putusan Pengadilan Agama Salatiga No:438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan putusan

No:138/Pdt.G/2006/PA.Sal.

26

Ibid. , hlm. 236.

17

Selanjutnya, data yang telah dideskripsikan dalam bab III dianalisis dalam bab IV guna mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan fasakhnya perkawinan karena murtad sebagaimana tertuang dalam salinan putusan tersebut. Metode Analisis yang penulis gunakan yakni analitis deduktif dan analitis induktif. Yang penulis maksudkan dengan analitis deduktif disini yakni berpikir deduktif (rasional), artinya menarik suatu kesimpulan dimulai dari pernyataan-pernyataan umum menuju pernyataanpernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio.27 Sedangkan analitis induktif atau berpikir induktif merupakan kebalikan dari analitis deduktif, yakni pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau faktafakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum.28

H. Sistematika Penulisan Sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I :PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Penegasan Istilah C. Permasalahan D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian E. Telaah Pustaka
Nana Sudjana, Tuntunan Menyusun Karya Ilmiah : Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi, Sinar Baru, Bandung, Cet. I, 1988, hlm. 6. 28 Ibid, hlm. 7.
27

18

F. Kerangka Teori G. Metodologi Penelitian H. Sistematika Penulisan BAB II :FASAKH KARENA MURTAD DALAM FIQH DAN

PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA A. Konsep Fasakh Karena Murtad Dalam Fiqh 1. Pengertian Fasakh 2. Dasar Hukum Fasakh 3. Sebab - Sebab Difasakhnya Suatu Perkawinan 4. Ikhtilaf Fuqaha' Tentang Murtad Sebagai Penyebab Fasakhnya Perkawinan B. Konsep Fasakh Menurut Per - Undang-undang - an Di Indonesia 1. Pengertian Fasakh 2. Sebab-Sebab Fasakh 3. Akibat difasakhnya Suatu Perkawinan C. Komparasi Konsep Fasakh Karena Murtad Menurut Fiqh Dan PerUndang-undang-an Di Indonesia BAB III : PUTUSAN HAKIM TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA A. Kewenangan Pengadilan Agama Untuk Mengadili Kasus - Kasus Masyarakat Non Muslim

19

B. Kasus Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga 1. Kasus Pertama dengan Putusan Nomor : 438/Pdt.G/2003/PA.Sal 2. Kasus Kedua dengan Putusan Nomor :138/Pdt.G/2006/PA.Sal C. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad D. Akibat Hukum Karena Putusan Fasakh BAB IV :ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA A. Analisis Kewenangan Pengadilan Agama untuk Mengadili KasusKasus Masyarakat Non Muslim B. Analisis Putusan Hakim Terhadap Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad ditinjau dari Fiqh C. Analisis Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad D. Analisis Akibat Hukum Karena Putusan Fasakh BAB V :PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

20

BAB II FASAKH KARENA MURTAD DALAM FIQH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Konsep Fasakh Karena Murtad Dalam Fiqh 1. Pengertian Fasakh Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Manzur dalam Lisan a-Arab, menyatakan bahwa fasakh berarti batal (naqada) atau bubar (faraqa).29 Sedang secara istilah fasakh ialah :

. ,
faskhul aqdi adalah membatalkan aqad, dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri.30 Fasakh ialah merusak nikah atau membatalkan perkawinan antara suami istri yang dilaksanakan oleh hakim, karena sebabsebab yang dianggap sah untuk melaksanakan dan menetapkan adanya fasakh itu, berdasarkan tuntutan dan keberatan-keberatan yang diajukan fihak istri atau suami.31 Sedangkan Abdul Wahab Khalaf memberikan penjelasan bahwa apabila perkataan fasakh disandarkan kepada nikah, maka ia akan membawa

29 30

Ibnu Manzur, loc. cit. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, loc. Ustadz Dja'far Amir, loc. cit.

cit.

31

21

maksud membatalkan atau membubarkan pernikahan oleh sebab-sebab tertentu yang menghalangi kekalnya perkawinan tersebut.32 Pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya Al-Ahwal AlSyakhsiyyah menyebutkan fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi aqad, yang menjadikan aqad tersebut tidak sah.33 Dari definisi-definisi fasakh di atas, penulis memiliki kesimpulan tentang pengertian fasakh. Yakni bahwa fasakh dalam perkawinan adalah membatalkan suatu ikatan perkawinan yang telah terjalin dengan sah menurut hukum agama Islam, dalam penelitian ini dikhususkan sebabnya fasakh ialah dikarenakan murtadnya suami ataupun istri. 2. Dasar Hukum Fasakh Mengenai dasar difasakhnya suatu perkawinan ini, ada dalam Kitab Al-Muhadzdzab Juz II halaman 54 :

34

Abdul Wahab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah Fii al-Syariati al-Islamiyah, Dar al-Qalam, Quwait, 1990. hlm. 60. 33 Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, 1950, hlm. 324. 34 Syaikh Imam Al-Syairozi, Al - Muhadzdzab Juz II, 'Isa al-Babi al-Khalabi, Mesir, tt, hlm. 54.

32

22

"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi setelah dukhul maka, perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah." Namun kalau dasar tersebut diterapkan pada kondisi masyarakat Indonesia saat ini tidak akan bisa berjalan, karena dalam peraturan hukum di Indonesia, selain suatu perkawinan harus sah menurut hukum agama, juga harus sah menurut hukum negara. Jadi, jika terjadi perceraian (thalaq maupun khulu) dalam suatu perkawinan, harus melewati sidang perceraian di Pengadilan, agar perceraian tersebut sah di mata negara. Begitu juga jika salah seorang suami atau istri murtad, meskipun menurut agama Islam perkawinan tersebut fasakh atau batal dengan sendirinya, namun menurut hukum Indonesia, harus juga melewati proses persidangan di Pengadilan. 3. Sebab-Sebab difasakhnya Suatu Perkawinan Menurut fiqh, suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah bisa mengalami fasakh atau rusak tanpa harus adanya keputusan Hakim dengan empat sebab; pertama, kerusakan aqad, kedua, munculnya kemahraman karena musoharoh (besan atau mantu), ketiga, karena murtad dan keempat, karena lian. Penjelasan lebih rincinya sebagai berikut : 1) Rusaknya Aqad Rusaknya aqad pernikahan antara suami istri misalnya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : a. Apabila diketahui bahwa ternyata yang mengaqadkan adalah saudara perempuan suami.

23

b. Aqad terjadi ketika perempuan masih berada dalam masa iddah dari suami pertamanya. c. Apabila diketahui bahwa aqad tidak dihadiri oleh saksi-saksi. Maka ketika hal-hal tersebut diatas diketahui, aqad tersebut dinyatakan fasakh atau rusak seketika itu juga tanpa memerlukan adanya keputusan Hakim. Dalam hal sebab-sebab rusaknya aqad yang telah penulis sebutkan diatas, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha bahwa perpisahan suami istri karena hal-hal tersebut diatas disebut fasakh, bukan thalaq, karena thalaq hanya bisa terjadi pada pernikahan yang aqadnya sah, sedang dalam hal tersebut diketahui bahwa aqad telah rusak. 2) Munculnya Kemahraman karena Musoharoh Menurut madzhab Hanafi dan Hambali, munculnya kemahraman karena musoharoh terjadi jika salah seorang suami atau istri melakukan hubungan suami isteri (zina) atau hal-hal yang mendahului hubungan tersebut bersama farinya (anak, cucu dan seterusnya) sehingga menimbulkan kemahraman nikah karena musoharoh.35 Misalnya : suami berzina dengan anak istrinya atau berzina dengan ibu dari istrinya, atau istri berzina dengan anak suaminya atau berzina dengan bapak dari suaminya, maka seketika itu juga, perpisahan antara suami istri itu terjadi

Ali Hasabillah, Al-Furqoh Baina Zaujaini (Wa ma yataallaqu biha min iddatin wa nasabin), Darul Fikr Al-Arabi, Beirut., tt, hlm. 174.

35

24

tanpa memerlukan keputusan dari Hakim. Selain itu, menurut pendapat madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad juga menyebutkan bahwa menyentuh dengan syahwat dan melihat alat kelamin dengan syahwat itu disamakan juga dengan zina.36 Tetapi terjadi perbedaan antara pendapat diatas dengan pendapat dari Madzhab Syafii dan Maliki, yang berpendapat bahwa zina dan pendahuluan-pendahuluannya itu tidak berimplikasi pada kemahraman antara suami istri tersebut. Pendapat ini juga dikatakan oleh Saib bin alMusayab, Zuhri, Abu Zaur, Ibnul Muadzir dan Syiah Zaidiyah.37 3) Murtad Murtad (riddah) ialah keluar dari agama Islam, untuk beragama lain atau tidak beragama sama sekali.38 Orang yang melakukan riddah, secara hukum Islam tidak ditetapkan sebagai penganut agama baru itu.39 4) Lian Lian menurut arti secara bahasa berarti saling melaknat. Sedang menurut arti istilah adalah kesaksian-kesaksian yang diperkuat dengan sumpah, yang secara timbal balik dilakukan oleh suami istri jika sang suami menuduh istrinya berzina atau mengingkari bahwa anak yang dilahirkan si istri adalah anak keturunan atau darah dagingnya, disertai

36 37

Ibid, hlm. 174. Ibid, hlm. 175. 38 Ahmad Azhar Basyir, M.A. dkk, loc. cit. 39 Ali Hasabillah, loc. cit..

25

dengan ucapan yang melaknat dari pihak suami kepada istri dan doa mohon kemurkaan Allah dari istri pada suaminya.40 Secara sederhana, modus atau cara lian dapat penulis gambarkan sebagai berikut. Jika suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anaknya atau kedua-duanya, maka istri atau tertuduh memohon kepada Hakim untuk menjatuhkan hukuman menuduh zina, yakni dicambuk 80 kali kepada suaminya. Sebaliknya, suami mohon diterapkan hukuman zina atas istrinya, tapi tidak ada bukti atau saksi yang membenarkan tuduhan suami, lalu Hakim dapat menyuruh suami untuk melaknat istrinya dengan mengatakan sambil berdiri :Saya bersaksi, Demi Allah, saya termasuk orang yang benar dalam tuduhanku, atas fulanah (menyebut nama istrinya sambil menunjuknya) ini, yang melakukan zina (atau mengingkari anak atau keduanya).41 4. Ikhtilaf Fuqaha Tentang Murtad Sebagai Penyebab Fasakhnya Suatu Perkawinan Menurut Imam Abu Zahroh dalam kitabnya Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah menyebutkan bahwa fasakh yang tidak dianggap membatalkan aqad dibagi menjadi dua. Pertama, fasakh yang melarang hubungan pernikahan selamanya, yakni fasakh yang disebabkan terjadinya sebab yang mengharamkan pernikahan laki-laki dan perempuan tersebut selamanya, Seperti misalnya ternyata si laki-laki adalah bapak dari si perempuan.
40 41

Ibid, hlm. 176. Ibid, hlm. 176.

26

Kedua, fasakh yang melarang perkawinan sementara. Fasakh ini disebabkan misalnya oleh murtadnya salah satu pasangan.42 a. Murtadnya Suami Menurut pendapat syaikhaini atau dua syaikh besar, jika suami murtad, maka perkawinannya menjadi fasakh seketika itu juga.43 Kondisi ini terjadi baik si istri beragama Islam maupun seorang Ahli Kitab. Madzhab Hanafi juga berpendapat demikian, bahwa murtadnya suami dianggap sebagai thalaq bain karena kemurtadannya dilakukan tanpa paksaan, sehingga tidak mungkin perkawinan itu langgeng.44 Contoh dari kasus tersebut adalah penolakan suami untuk masuk Islam setelah ditawarkan kepadanya, padahal si istri sudah masuk Islam. Akan tetapi, masih menurut Madzhab Hanafi, jika akhirnya sang suami kembali masuk Islam, maka dibolehkan baginya untuk kembali kepada istrinya, dengan syarat memperbaharui nikah (melakukan aqad yang baru), baik dilakukan pada massa iddah ataupun setelahnya, selama mantan istrinya tersebut belum menjadi mahramnya karena sesuatu sebab.45

42 43

Abu Zahroh, op. cit. hlm. 326. Ali Hasabillah, op. cit. hlm. 175. 44 Ibid, hlm. 175. 45 Ibid, hlm. 175.

27

b. Murtadnya Istri Menurut fatwa para ulama Bukhara, jika istri murtad, maka pernikahannya juga fasakh.46 Namun, meski demikian, jika suatu ketika si istri tadi dipaksa lagi untuk masuk Islam, kemudian keduanya memperbaharui aqadnya, dengan tambahan mahar yang ringan, maka suami istri yang tadinya sudah fasakh tersebut, dapat kembali bersama lagi. Hal ini dilakukan dengan tujuan menutup peluang bagi para istri untuk lari dari para suaminya, dengan pura-pura melakukan

riddah/murtad. Sedang menurut pendapat Imam Malik, jika si istri murtad karena ingin fasakh, maka murtadnya tidak berimplikasi pada thalaq atau fasakh, akan tetapi lain halnya jika murtad tersebut dilakukan dengan sebenarnya, maka karena kemurtadanya tersebut, harus tejadi thalaq atau fasakh. Seorang istri juga dianggap murtad, jika berpindah dari agama samawi ke agama non samawi.47 Para ulama kota Balagh (sebuah kota di Iran) serta diikuti para ulama Kota Samarkhand juga berpendapat bahwa furqoh tidak tejadi karena murtadnya istri.48 Hal ini dimaksudkan untuk menghalangi tujuan buruk si istri dan untuk menutup peluang para istri untuk berpisah dari para suaminya dengan berpura-pura riddah.
46 47

Ibid, hlm. 175. Ibid, hlm. 176. 48 Ibid, hlm. 176.

28

c. Murtadnya Suami Istri Secara Bersamaan. Jika suami dan istri murtad secara bersamaan atau beriringan, akan tetapi tidak diketahui siapakah yang lebih dahulu murtad, kemudian diketahui keduanya telah masuk Islam lagi, maka tidak ada hukum bagi perkawinan suami istri tersebut, dalam artian perkawinan mereka tetap utuh dan berlanjut, tidak terkena hukum thalaq maupun fasakh. Namun jika salah satu telah masuk Islam lebih dahulu dan hal tersebut diketahui, maka perkawinan mereka itu mengalami fasakh. Lebih ringkasnya, penulis mencoba untuk merinci mengenai ikhtilaf fuqaha tentang murtad sebagai penyebab fasakhnya suatu perkawinan, yakni ada empat hal sebagai berikut : 1) Perpisahan yang terjadi karena salah satu suami atau istri maupun kedua-duanya murtad, itu tidak memerlukan keputusan Hakim. 2) Murtadnya si suami, menurut kaidah hukum Islam jelas menyebabkan furqoh, dan hal ini sudah menjadi kesepakatan bulat para ulama tanpa adanya perbedaan pendapat. 3) Perbedaan itu baru muncul, ketika terjadi salah satu suami atau istri itu murtad, maka hukum apa yang akan dikenakan pada perkawinan suami istri tersebut, yakni apakah dihukumi fasakh ataukah thalaq bain. 4) Sedangkan mengenai murtadnya si istri, hal ini masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama, yakni mengenai

29

murtadnya si istri tersebut apakah akan menyebabkan furqoh perkawinan mereka atau tidak. Tetapi ulama-ulama yang

berpendapat bahwa murtadnya seorang istri itu menyebabkan furqohnya suatu perkawinan, semuanya sepakat berpendapat bahwa furqoh itu adalah fasakh bukan thalaq.

B. Konsep fasakh menurut perundang-undangan di Indonesia 1. Pengertian Fasakh Dalam BAB VI Pasal 37 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.49 Penulis tidak menemukan definisi pembatalan perkawinan dari Peraturan Pemerintah ini, namun dari pasal tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena sebab-sebab tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke Pengadilan dan harus melalui keputusan sah Pengadilan. Dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan pula tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, disebutkan, Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 97.
49

30

pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.50 Pengertian kata dapat pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, yakni tergantung apakah dengan sebab-sebab yang nantinya terjadi itu, menurut hukum agamanya masing-masing itu tidak menentukan lain. Sebagai contoh dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan adalah adanya wali nikah, tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan pasal 14 (c). kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ini mengenai syarat wali nikah, yaitu pada ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Ayat (2) berbunyi wali nikah terdiri dari : (a.) wali nasab, (b.) wali hakim. Jika dalam suatu pernikahan yang dilaksanakan menurut hokum Islam, syarat tersebut diatas tidak terpenuhi, maka pada masa mendatang perkawinan tersebut dapat dibatalkan.51 Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU Perkawinan, di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak disebutkan sama sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI ini juga tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan, akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan yang penulis baca pada BAB XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
50 51

Ibid, hlm. 18. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 20-

21.

31

pembatalan perkawinan adalah batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setelah setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia. 2. Sebab-Sebab Fasakh Di dalam PP No 9 Tahun 1975 tidak dijelaskan secara rinci mengenai bab Pembatalan Perkawinan, akan tetapi disebutkan dengan jelas di dalam PP ini bahwa antara gugatan perceraian dengan pembatalan perkawinan itu hampir sama, yakni tercantum dalam ayat (2) dan (3) pasal 38 PP ini, yang lebih lengkapnya berbunyi: 2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan cara pengajuan gugatan perceraian. 3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.52 Dalam salah satu bab V Peraturan Pemerintah ini, tepatnya pada pasal 19 sudah disebutkan mengenai alasan-alasan seseorang dapat mengajukan permohonan gugatan perceraian, sehingga dari bunyi dua ayat diatas sangat sesuai dengan isi dari bab V Peraturan Pemerintah ini, dapat penulis sebutkan bahwa sebab-sebab di batalkannya suatu perkawinan pun juga sama dengan sebab-sebab permohonan gugatan perceraian, yakni tercantum dalam pasal 19 sebagai berikut:
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 97.
52

32

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat dapat membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.53 Di dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 26 dan pasal 27, dijelaskan tentang sebab-sebab dibatalkannya suatu perkawinan sebagai berikut : Pasal 26 1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pencatat perkawinan yang tidak berwenang , wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. Pasal 27 1) Seorang suami istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. 2) Seorang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.54

53 54

Ibid, hlm. 93. Ibid, hlm. 18-19.

33

Akan tetapi dalam dua pasal ini disebutkan pula pengecualian mengenai pembatalan perkawinan ini, yakni disebutkan dalam ayat berikutnya yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 26 2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan pada alasan dalam ayat (1) pasal (26) ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan itu harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.55 Di dalam BAB XI pasal 70 KHI tentang Batalnya Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan batal apabila : a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan aqad nikah karena sudah mempunya 4 (empat) orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raji; b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di Liannya; c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain kemudian bercerai lagi bada aldukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No 1 Tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
55

Ibid, hlm. 18-19.

34

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau isteri-isterinya.56 3. Akibat difasakhnya Suatu Perkawinan Dalam Peraturan Pemerintah, sebagaimana yang kita ketahui, karena memang mengenai masalah Pembatalan Perkawinan ini tidak terlalu banyak disinggung, sehingga penulis hanya menemukan mengenai sebab-sebab serta tata cara pengajuan pembatalan perkawinan, sedang mengenai akibat pembatalan perkawinan dalam Peraturan Pemerintah ini tidak disebutkan sama sekali. Akibat dari pembatalan perkawinan dapat kita temui dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 28 sebagai berikut: 1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. 2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai hukum tetap.57
56

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 39.

35

Dalam pasal 76 KHI disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Selain itu juga disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut kepada : a) Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad; b) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. c) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.58

C. Komparasi Konsep Fasakh Karena Murtad Menurut Fiqh Dan PerundangUndangan Di Indonesia Prinsip yang dipakai di dalam hukum Islam adalah mempersulit terjadinya perceraian dan untuk memungkinkan terjadinya perceraian, harus ada alasanalasan tertentu yang benar-benar bisa menjadi dasar utama pasangan suami isteri melakukan perceraian, karena memang Allah SWT telah menghalalkan thalaq, namun Allah SWT juga sangat membenci perbuatan thalaq tersebut. Di dalam fiqh, perceraian banyak sekali jenisnya, namun dalam hal ini penulis membahas tentang putusnya atau batalnya suatu perkawinan yang disebabkan salah seorang suami atau isteri murtad, yang dalam istilah fiqh disebut fasakh.

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 19. 58 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 42.

57

36

Menurut fiqh, murtadnya seorang suami itu jelas menyebabkan fasakhnya suatu perkawinan, dan perkawinan tersebut fasakh seketika itu juga, tanpa memerlukan keputusan dari hakim. Menurut madzhab Hanafi, bahwa murtadnya suami dianggap sebagai thalaq bain karena kemurtadannya dilakukan tanpa paksaan, sehingga tidak mungkin perkawinan itu langgeng.59 Sedangkan mengenai murtadnya isteri, di dalam fiqh ada dua macam pendapat, yakni ada yang mengatakan murtadnya isteri jika dilakukan hanya karena ingin berpisah dari suaminya, maka dianggap tidak sah, akan tetapi jika murtadnya si istei tersebut dilakukan dengan sebenar-benarnya, perkawinan tersebut tetap harus di fasakh atau dibatalkan, namun masih terdapat keringanan, yakni apabila si isteri tersebut mau di paksa untuk masuk Islam lagi, kemudian keduanya memperbaharui nikah, dengan tambahan mahar yang ringan, maka suami isteri yang telah di fasakh tersebut dapat berkumpul kembali. Lain halnya jika sepasang suami isteri murtad, namun kemurtadan mereka tidak diketahui, kemudian mereka kembali kepada agama Islam, maka tidak berlaku hukum bagi perkawinan mereka tersebut. Akan tetapi jika setelah murtad, salah satu telah kembali memeluk Islam dan satunya belum, maka perkawinan mereka tetap harus di fasakh. Prinsip yang dipakai di dalam perundang-undangan di Indonesia pun juga mempersulit terjadinya perceraian, dan untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan
59

Ali Hasabillah, op. cit. hlm. 175.

37

persidangan di Pengadilan. Karena perundang-undangan hanya mengakui bahwa perceraian itu hanya ada, sah dan mempunyai kekuatan hukum kalau terjadi di Pengadilan. Kalau dikaitkan dengan Undang-undang Perkawinan, maka putusnya perkawinan itu ada tiga sebab, yaitu: Kematian, Perceraian dan Keputusan Pengadilan. Pasal dalam UU ini juga menyebutkan bahwa sebagai syarat pembatalan perkawinan, harus memiliki kriteria-kriteria tertentu, yakni sebatas yang telah penulis tuliskan dalam pembahasan sebab-sebab fasakh menurut

Undang-Undang Perkawinan. Undang-undang ini tidak rinci dalam mengatur pembahasan tentang sebab-sebab dan akibat dari batalnya suatu perkawinan. Selain itu juga disebutkan pula dalam pasal 23 Undang-Undang Perkawinan ini mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah: a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; b) Suami atau isteri; c) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.60 Dan yang menjadi inti yang membedakan fasakhnya suatu perkawinan karena murtad menurut fiqh dan perundang-undangan di Indonesia adalah bahwa

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 18.

60

38

dalam fiqh, fasakhnya perkawinan karena murtad, tidak memerlukan keputusan Hakim, yakni fasakh atau batal seketika itu juga, sedang dalam undang-undang perkawinan, segala macam bentuk perceraian harus melalui proses Pengadilan dan baru sah setelah mendapatkan keputusan dari Pengadilan. Telah disebutkan diatas bahwa menurut fiqh fasakhnya perkawinan

karena murtad, tidak memerlukan keputusan Hakim, yakni fasakh atau batal seketika itu juga serta tidak melihat apakah akibat dari murtad tersebut menyebabkan perselisihan di dalam rumah tangga ataupun tidak, sedangkan dalam KHI pasal 116 (h) menyebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga61 Sehingga disini menurut penulis masih ada yang menjadi pertanyaan, yakni bagaimana jika murtad tersebut tidak menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga, apakah tetap bisa diajukan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian atau sebaliknya?.

61

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 57.

39

BAB III PUTUSAN HAKIM TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA

A. Kewenangan Pengadilan Agama Untuk Mengadili Kasus - Kasus Masyarakat Non Muslim Tiap-tiap lembaga peradilan memiliki dua jenis kewenangan yang sama, demikian pula dengan Pengadilan Agama, juga memiliki dua kewenangan, yakni: 1. Kewenangan Absolut (Absolute Competencie) Kewenangan Absolut yaitu kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.62 Maksudnya disini bahwa kewenangan absolut itu merupakan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga peradilan dalam memeriksa perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diperiksa oleh lembaga peradilan yang lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama, seperti misalnya antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Tinggi Agama maupun dalam lingkungan Lembaga Peradilan yang lain, misalnya antara Pengadilan Umum dengan Pengadilan Militer atau dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. 2. Kewenangan Relatif (Relative Competencie)
62

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali, Jakarta, 1992, hlm. 27

40

Kewenangan Relatif yaitu kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.63 Lebih ringkasnya di sini kewenangan relatif merupakan kewenangan pengadilan dalam menangani perkara-perkara bukan dilihat dari jenis perkaranya tetapi dari wilayah kekuasaan masingmasing Lembaga Peradilan tersebut. Sebagaimana definisi-definisi di atas, tentunya jelas bahwa masingmasing Lembaga Peradilan sudah mempunyai pembagian perkara-perkara mana saja yang bisa diproses pada masing-masing Lembaga Peradilan. Sebagai contoh mengenai kewenangan absolut Pengadilan Agama, sebagaimana tertuang dalam UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di BAB I tentang Ketentuan Umum, khususnya pasal 1 (1) dan pasal 2, yang berbunyi "Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang - orang beragama Islam" dan "Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang ini".64 Kemudian diperjelas lagi dalam BAB III Pasal 49 (1) tentang Kekuasaan Pengadilan, yang berbunyi: "Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara - perkara ditingkat pertama antara orang - orang yang

Ibid, hlm. 25 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Jakarta, 2006, hlm. 68.
64

63

41

beragama Islam di bidang : (a.) perkawinan, (b.) kewarisan, wasiat, dan hibah, (c.) waqaf, zakat dan shadaqah, (d.) ekonomi Syari'ah".65 Berdasarkan pasal-pasal tersebut, jelas bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk mengadili perkara-perkara sebatas bagi mereka yang beragama Islam, namun pada perkara Nomor: 438 / Pdt.G / 2003 / PA. Sal ini, Pengadilan Agama Salatiga menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan oleh Dewi Vimalasari yang jelas beragama Katolik, tentunya ini tidak sesuai dengan pasal-pasal tersebut di atas. Dalam kasus yang pertama, pada awalnya Penggugat beragama Katolik, namun saat menjelang perkawinannya dengan Aris Susianto Penggugat beralih agama ke agama Islam, kemudian ketika mulai timbul konflik dalam rumah tangganya, Penggugat kembali lagi ke agamanya semula yaitu Katolik. Begitu juga yang terjadi dalam kasus kedua, pada awalnya Tan Tjee Hiap selaku tergugat beragama Kristen, kemudian pindah agama Islam pada waktu akan menikahi Sri Dadi Anggraeni yang beragama Islam, ketika merasa sudah tidak cocok dengan istrinya, dibuktikan dengan percekcokan yang terus-menerus, Tan Tjee Hiap kembali ke agamanya semula yaitu Kristen. Dari hasil wawancara penulis dengan Hakim-Hakim yang terkait dalam perkara ini diperoleh jawaban bahwa memang benar tidak ada dasar hukum yang menyebutkan bahwa masyarakat non muslim dapat mengajukan perkara di Pengadilan Agama. Alasan Pengadilan Agama menerima perkara tersebut adalah
65

Ibid., hlm. 79.

42

karena Penggugat pada awal menikahnya beragama Islam, sebelum kemudian kembali lagi ke agamanya semula, yakni Katolik. Jadi di sini yang menjadi pedoman bagi Pengadilan Agama menerima suatu perkara bukanlah orangnya melainkan status perkawinannya.66 Dalam kasus yang pertama, Penggugat adalah seorang yang beragama Katolik, namun ia mengajukan gugatan perceraiannya ke Pengadilan Agama, padahal tidak ada dasar hukum yang menyebutkan bahwa seorang non muslim dapat berperkara di Pengadilan Agama. Dalam kasus yang kedua Tergugat seorang pemeluk agama Kristen, namun karena Penggugat beragama Islam, maka ia mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama, inipun juga penulis tidak menemukan dasar hukumnya bahwa Tergugat yang non muslim bisa berperkara di Pengadilan Agama. Dari dua kasus tersebut Penulis memperoleh jawaban dari wawancara kepada Majelis Hakim yang menyidangkan dua kasus tersebut bahwa orang-orang non muslim tersebut bisa berperkara di Pengadilan Agama karena pada saat perkawinan, mereka beragama Islam, dan status perkawinan mereka dilakukan dengan berdasar agama Islam. Sebenarnya peralihan agama tidak menjadi masalah utama dalam gugatan ini, baru kemudian saat proses berperkara, murtad menjadi topik pembahasan utama yang pada akhirnya gugatan perceraian tersebut diputus fasakh.

Keterangan ini diperoleh dari wawancara peneliti dengan Drs. H. Fadli Hasan (Hakim Ketua), Dra. Hj. Muhlisoh, MH. (Hakim Anggota), dan Drs. Supangat (Hakim Anggota) pada tanggal 2 Agustus 2007.

66

43

B. Kasus Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad Di Pengadilan Agama Salatiga 1. Kasus Pertama dengan Putusan Nomor : 438 / Pdt.G / 2003 / PA. Sal Kasus gugatan perceraian ini diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 8 Desember 2003 dengan Nomor Register: 438/Pdt.G/2003/PA.SAL. dengan pihak-pihak yang berperkara sebagai berikut: Sebagai Penggugat yaitu Dewi Vimalasari binti Indarto Winoto, berumur 30 tahun, agama Katolik, pekerjaan swasta, pendidikan SLTA, bertempat tinggal di Jl. Puri Anjasmoro Blok E. I No 21 Semarang. Kemudian Tergugatnya adalah Aris Susianto bin Sujoko, berumur 36 Tahun, Agama Islam, Pekerjaan swasta, pendidikan SLTA, bertempat tinggal di Dusun Ngesal, Desa Delik, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.67 Dalam surat gugatannya, Dewi Vimalasari binti Indarto Winoto menyebutkan bahwa rumah tangganya semula dalam keadaan rukun, namun kemudian goyah, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan sejak Tergugat bangkrut dari usahanya pada tahun 2000, Tergugat pergi dan jarang pulang, juga sering judi serta main perempuan, kerap kali tanpa sebab dan alasan yang jelas suka marah-marah, bahkan sejak saat itu Tergugat sudah tidak pernah memberikan nafkah kepada Penggugat dan anaknya sampai sekarang selama 2 tahun. Kemudian pada tahun 2001 Penggugat kembali ke
67

Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 438/Pdt.G/2003/PA.Sal, hlm. 2.

44

agamanya semula yakni Katolik. Meskipun Penggugat telah kembali ke agamanya, namun pada tanggal 3 Juni 2002 Penggugat dan Tergugat pindah ke Semarang dan kembali hidup bersama dengan rukun dan baik. Bulan Juli tahun 2003 Tergugat tanpa ijin pergi lagi meninggalkan Penggugat sampai sekarang tidak kembali lagi.68 Untuk memperkuat gugatannya, Penggugat mengajukan bukti-bukti berupa foto copy buku kutipan Akta Nikah Nomor: 170/02/VIII/1995 tanggal 2 Agustus 1995 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Selain bukti tersebut, Penggugat juga mengajukan saksi-saksi yaitu Saini binti Wiro Ngusman dan Anik Kumalasari binti Budiono.69 Selama persidangan Penggugat selalu hadir sendiri tanpa mewakilkan kepada orang lain untuk menghadap. Sedangkan Tergugat tidak pernah hadir di persidangan ataupun menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai kuasanya meskipun telah dipanggil secara patut.70 Selanjutnya terhadap kasus tersebut Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga memutuskan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil secara patut untuk menghadap di persidangan tidak hadir. 2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan Verstek.

68 69

Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 438/Pdt.G/2003/PA.Sal, hlm. 2-3. Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 438/Pdt.G/2003/PA.Sal, hlm. 3-4. 70 Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 438/Pdt.G/2003/PA.Sal, hlm. 5.

45

3. Menyatakan perkawinan Penggugat (DEWI VIMALASI binti INDARTO WINOTO) dengan Tergugat (ARIS SUSIANTO bin SUJOKO) putus dengan fasakh. 4. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 226.000,- (dua ratus dua puluh enam ribu rupiah) kepada Penggugat.71 2. Kasus Kedua dengan Putusan Nomor : 138 / Pdt.G / 2006 / PA. Sal Kasus gugatan perceraian ini diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 20 Maret 2006 dengan Nomor Register:

138/Pdt.G/2006/PA.SAL. dengan pihak-pihak yang berperkara sebagai berikut: Sebagai Penggugat yaitu Sri Dadi Anggraeni binti Syukur Budi Raharjo, berumur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Joko Tingkir RT 01/04, Kelurahan Tingkir Tengah, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dwi Heru Wismanto Sidi, SH berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Februari 2006 kemudian dilimpahkan kepada Bayu Adi Susetyo, SH dan Imam Supriyono, SH. Advokat yang berkantor di Jl. Imam Bonjol 23 A Salatiga berdasarkan Surat Kuasa Limpahan tertanggal 11 April 2006. Kemudian Tergugatnya adalah Tan Tjee Hiap bin Tan Hong Tjan, umur 47 tahun, Agama Kristen, Pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jl. Hasanudin No. 617 B RT 03/07 Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Agus Pramono, SH, Advokat

71

Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 438/Pdt.G/2003/PA.Sal, hlm. 7.

46

yang berkantor di Jl. Srikandi II Purwosari, Noborejo, Argomulyo, Kota Salatiga berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 April 2006.72 Dalam surat gugatannya, Sri Dadi Anggraeni binti Syukur Budi Raharjo menyebutkan bahwa rumah tangganya semula dalam keadaan rukun, namun sejak tahun 2004 sering terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan Tergugat sering pergi tanpa pamit, tidak diketahui tujuannya untuk beberapa hari lamanya dan di samping itu juga disebabkan Tergugat telah berpindah agama atau keyakinan dari Islam ke agama Kristen. Penggugat sudah menasihati agar Tergugat merubah kebiasaan buruknya yang sering pergi tanpa pamit dan kembali ke agama Islam, namun Tergugat tidak mau sehingga menimbulkan percekcokan dan pertengkaran, puncaknya pada bulan Maret 2005 Tergugat telah mengusir Penggugat dan kedua anaknya dari tempat kediaman bersama dan tidak pernah memberikan nafkah selama satu tahun sampai saat ini.73 Untuk memperkuat gugatannya, Penggugat mengajukan bukti-bukti berupa foto copy buku kutipan Akta Nikah Nomor: 136/09/IX/1998 tanggal 9 September 1998 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Selain bukti tersebut, Penggugat juga mengajukan

72 73

Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 138/Pdt.G/2006/PA.Sal, hlm. 2. Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 138/Pdt.G/2006/PA.Sal, hlm. 3.

47

saksi-saksi yaitu Handoko Santoso bin Budi Santoso dan Sun Ping Hong bin Sun Hang Tjong.74 Selama persidangan Penggugat dan pengacaranya, Bayu Adi Susetyo, SH dan Imam Supriyono, SH. telah hadir dalam setiap persidangan. Demikian juga dengan Tergugat, ia juga telah hadir selama proses persidangan bersama dengan pengacaranya Agus Pramono,SH. Majelis Hakim telah mengusahakan perdamaian namun tidak berhasil dan Penggugat tetap pada gugatannya.75 Selanjutnya terhadap kasus tersebut Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga memutuskan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat. 2. Memfasakh perkawinan Penggugat (SRI DADI ANGGRAENI binti SYUKUR BUDI RAHARJO) dengan Tergugat (TAN TJEE HIAP bin TAN HONG TJAN) yang dilaksanakan pada tanggal 9 September 1998. 3. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 166.000,- (seratus enam puluh enam ribu rupiah) kepada Penggugat.76

C. Pertimbangan Dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad Adapun pertimbangan dan dasar putusan hakim terhadap gugatan perceraian akibat salah satu pihak murtad tersebut sebagai berikut; kasus pertama, kasus dengan Putusan Nomor : 438/PdtG/2003/PA.Sal Majelis Hakim memiliki lima pertimbangan sebagai berikut, yaitu, memang benar telah terjadi perkawinan

74 75

Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 138/Pdt.G/2006/PA.Sal, hlm. 4. Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 138/Pdt.G/2006/PA.Sal, hlm. 5. 76 Dokumen Putusan Pengadilan Agama No : 138/Pdt.G/2006/PA.Sal, hlm. 6.

48

antara Dewi Vimalasari binti Indarto Winoto dan Aris Suisanto bin Sujoko sebagaimana yang telah diakui oleh Penggugat dan telah ada kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang tertanggal 2 Agustus 1995 Nomor 170/02/VIII/1995. Majelis Hakim berpendapat bahwa pisahnya tempat tinggal antara Penggugat dengan Tergugat yang sekurang-kurangnya telah berjalan selama lebih dari 6 bulan merupakan indikasi bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan terus menerus dan tidak ada harapan lagi untuk kembali hidup rukun dalam rumah tangganya. Majelis Hakim juga berpendapat, peralihan agama Penggugat ke agama Katolik merupakan indikasi bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah mempunyai jalan hidup sendiri-sendiri yang sudah sulit disatukan lagi dan berdasarkan pasal 116 (h) merupakan alasan kuat terjadinya perceraian. Kemudian Majelis Hakim menyimpulkan bahwa dengan kondisi tersebut, maka terciptanya mawadah dan rahmah antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak diharapkan terwujud, hal ini membuktikan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat betul-betul telah pecah dan jika tetap dipertahankan akan lebih banyak mendatangkan madhorot, oleh karena itu harus dihilangkan.

49

Akhirnya diperkuat dengan Dalil kitab Muhadzdzab Juz II halaman 54:


77

"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi setelah dukhul maka, perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah." Kasus kadua, kasus dengan Putusan Nomor : 138/Pdt.G/2006/PA.Sal Majelis Hakim memiliki tiga pertimbangan sebagai berikut, yaitu, memang benar telah terjadi perkawinan antara Sri Dadi Anggraeni binti Syukur Budi Raharjo dan Tan Tjee Hiap bin Tan Hong Tjan sebagaimana yang telah diakui oleh Penggugat dan Tergugat, dan telah ada kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga tertanggal 9 September 1998 Nomor 136/09/IX/1998. Peralihan agama Tergugat ke agama Kristen sehingga menyebabkan dalam rumah tangga mulai sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dan pada bulan Maret tahun 2005 Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah, Majelis Hakim berpendapat, berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat diduga bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada ketentraman dan kesejahteraan lahir batin, sehingga terwujudnya tujuan perkawinan sebagaimana

77

Syaikh Imam Al-Syairozi, Al - Muhadzdzab Juz II, 'Isa al-Babi al-Khalabi, Mesir, tt, hlm.

54.

50

kehendak pasal 1 UU NO I Tahun 1974 dan pasal 3 KHI, maka telah terpenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f) dan PP No 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 (h) KHI. Diperkuat dengan Dalil kitab Muhadzdzab Juz II halaman 54:


78

"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi setelah dukhul maka, perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah." Selain pertimbangan dan dasar-dasar diatas, penulis juga telah memperoleh jawaban-jawaban dari hasil wawancara dengan Hakim-Hakim terkait sebagai berikut: 1. Tidak ada dasar hukum yang menyebutkan bahwa orang non muslim bisa berperkara di Peradilan Agama, dalam perkara ini bisa dilakukan karena pada awalnya mereka melaksanakan perkawinan di Kantor Urusan Agama, yang dijadikan dasar bukan orangnya tapi status perkawinannya. 2. Banyaknya pasangan suami istri yang meskipun salah satunya sudah murtad, tetapi mereka masih hidup satu atap itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang agama Islam. 3. Mengenai gugatan perceraian yang diputus dengan fasakh, dari hasil wawancara penulis diketahui bahwa pada awalnya sempat terjadi perbedaan
78

Ibid, hlm. 54.

51

pendapat diantara Hakim Majelis mengenai diputus fasakh atau putus karena perceraian. Drs. Zaenal Hakim, SH selaku Hakim Ketua pada perkawinan antara Dewi Vimalasari binti Indarto Winoto dengan Aris Susianto bin Sujoko berpendapat bahwa putusan fasakh itu tidak ada. Fasakh itu bukan termasuk jenis alat perceraian, melainkan produk dari suatu perceraian, sehingga gugatan ini tetap harus diputus karena perceraian dengan produknya fasakh (batal), yag pada akhirnya dari hasil rapat ketiga Anggota Majelis perkawinan tersebut di fasakh.79

D. Akibat Hukum Karena Putusan Fasakh Hakekat cerai mengharuskan berhentinya hubungan suami istri dan menetapkan hak-hak yang telah ada. Dari hasil wawancara peneliti dengan Majelis Hakim yang menyidangkan dua kasus ini diperoleh jawaban bahwa fasakh itu pada hakekatnya adalah perceraian, sehingga untuk dapat mengetahui akibat hukum karena putusan fasakh, maka kembali ke akibat hukum thalaq. Dalam pasal 149 KHI disebutkan akibat hukum thalaq sebagai berikut: Bilamana perkawinan putus karena thalaq, maka bekas suami wajib: a. Memberikan mutah yang layak kepada istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul; b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi thalaq bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

Keterangan ini diperoleh dari wawancara peneliti dengan Drs. H. Fadli Hasan (Hakim Ketua), Dra. Hj. Muhlisoh, MH. (Hakim Anggota), dan Drs. Supangat (Hakim Anggota) pada tanggal 2 Agustus 2007.

79

52

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-dukhul; d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.80 Dalam pasal 155 KHI disebutkan waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan lian berlaku iddah thalaq.81 Dari pasal tersebut jelas bahwa iddah fasakh sama dengan iddah thalaq yang dijelaskan dalam pasal-pasal KHI berikut ini: 1. 2. Pasal 153 Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut. a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla aldukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari; b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al-dukhul. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

3. 4.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2000, hlm. 69. 81 Ibid, hlm. 72.

80

53

5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalanai iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. 6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah. Pasal 151 Bekas istri selama dalam masa iddah, wajib mejaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal 152 Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.82

82

Ibid, hlm. 70-71.

54

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN AKIBAT SALAH SATU PIHAK MURTAD DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA

A. Analisis Kewenangan Pengadilan Agama Untuk Mengadili Kasus - Kasus Masyarakat Non Muslim Di Indonesia terdapat empat macam Lembaga Peradilan, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara83, yang masing-masing memiliki kewenangan absolut dan kewenangan relatif yang sudah diatur masing-masing Lembaga Peradilan. Di sini Pengadilan Agama masuk dalam jenis Lembaga Peradilan Agama, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 63 (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini adalah: (a) Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; (b) Pengadilan Umum bagi yang lainnya.84 Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi Kotamadya dan Ibukota Kabupaten. Daerah atau wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi: 1. 2. 3. 4. Kecamatan Sidomukti Kecamatan Sidorejo Kecamatan Argomulyo Kecamatan Tingkir
83

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 15. 84 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 26.

55

5. Sebagian Kecamatan Beringin 6. Sebagian Kecamatan Getasan 7. Sebagian Kecamatan Tuntang85 Sedangkan kewenangan absolut Pengadilan Agama sebagaimana yang telah penulis sebutkan pada Bab III didasarkan pada UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di BAB I tentang Ketentuan Umum, khususnya pasal 1 (1) dan pasal 2, yang berbunyi "Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang - orang beragama Islam" dan "Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang ini".86 Kemudian diperjelas lagi dalam BAB III Pasal 49 (1) tentang Kekuasaan Pengadilan, yang berbunyi: "Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara - perkara ditingkat pertama antara orang - orang yang beragama Islam di bidang : (a.) perkawinan, (b.) kewarisan, wasiat, dan hibah, (c.) waqaf, zakat dan shadaqah, (d.) ekonomi Syari'ah".87 Berdasarkan pasal-pasal tersebut, jelas bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk mengadili perkara-perkara sebatas bagi mereka yang beragama Islam, namun pada perkara Nomor:

438/Pdt.G/2003/PA.Sal ini, Pengadilan Agama Salatiga menerima, memeriksa

Keterangan ini diperoleh dari penjelasan Drs. Munjid Lughowi, SH. (Hakim Pengadilan Agama Salatiga) pada tanggal 25 Maret 2007. 86 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, op. cit. hlm. 68. 87 Ibid., hlm. 79.

85

56

dan memutus perkara yang diajukan oleh Dewi Vimalasari yang jelas beragama Katolik, begitu juga yang terjadi dalam kasus kedua perkara dengan Nomor: 138/Pdt.G/2006/PA.Sal, Pengadilan Agama Salatiga juga menyidangkan perkara masyarakat non muslim yaitu Tan Tjee Hiap selaku Tergugat yang beragama Kristen, tentunya ini tidak sesuai dengan pasal-pasal tersebut di atas. Dari hasil wawancara penulis dengan Hakim-Hakim yang terkait dalam perkara ini diperoleh jawaban bahwa memang benar tidak ada dasar hukum yang menyebutkan bahwa masyarakat non muslim dapat mengajukan perkara di Pengadilan Agama. Alasan Pengadilan Agama menerima perkara tersebut adalah karena Penggugat pada awal menikahnya beragama Islam, sebelum kemudian kembali lagi ke agamanya semula, yakni Katolik. Jadi di sini yang menjadi pedoman bagi Pengadilan Agama menerima suatu perkara bukanlah orangnya melainkan status perkawinannya.88 Menurut penulis, Alasan yang digunakan Pengadilan Agama Salatiga itu memang benar adanya, namun seharusnya ada satu peraturan atau undang-undang tersendiri yang mengatur permasalahan tersebut yang nantinya bisa dijadikan dasar hukum yang pasti jika terjadi kasus seperti tersebut di atas, sehingga keputusan dalam menerima perkara tersebut tidak bertentangan dengan peraturan atau undang-undang lainnya, dalam hal ini khususnya UU No 3 Tahun 2006 pasal

Keterangan ini diperoleh dari wawancara peneliti dengan Drs. H. Fadli Hasan (Hakim Ketua), Dra. Hj. Muhlisoh, MH. (Hakim Anggota), dan Drs. Supangat (Hakim Anggota) pada tanggal 2 Agustus 2007.

88

57

1 (1) (2) dan pasal 49 (1) serta terdapat kepastian hukum dari suatu Lembaga Peradilan berkaitan dengan kewenangan absolutnya. B. Analisis Kasus Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad Di Pengadilan Agama Salatiga Dalam bab III telah penulis uraikan mengenai kasus gugatan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga dengan Putusan Nomor: 438/PdtG/2003/PA.Sal dan Putusan Nomor: 138/PdtG/2006/PA.Sal. Kemudian dalam memeriksa dan memproses perkara tersebut ternyata Pengadilan Agama Salatiga memutus kasus gugat cerai tersebut dengan putusan fasakh karena murtad. Putusan fasakh ini bukan menjadi tujuan utama dari Penggugat dalam mengajukan gugat cerai tersebut, namun berdasarkan peraturan-peraturan dan dalil yang menunjang, para Hakim Pengadilan Agama Salatiga mempertimbangkan bahwa kasus-kasus tersebut harus diputus fasakh. Selama dalam proses persidangan sebelum memutus perkara Majelis Hakim terlebih dahulu meminta para pihak untuk melakukan pembuktian, baik dengan bukti tertulis maupun saksi-saksi. Kasus dengan Putusan Nomor: 438/PdtG/2003/PA.Sal mengajukan bukti berupa foto copy buku kutipan Akta Nikah Nomor: 170/02/VIII/1995 tanggal 2 Agustus 1995 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang dan mengajukan saksi-saksi yaitu Saini binti Wiro Ngusman dan Anik Kumalasari binti Budiono. Kemudian kasus dengan Putusan Nomor: 138/PdtG/2006/PA.Sal mengajukan bukti berupa foto copy buku kutipan Akta Nikah Nomor:

58

136/09/IX/1998 tanggal 9 September 1998 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga dan mengajukan saksi-saksi yaitu Handoko Santoso bin Budi Santoso dan Sun Ping Hong bin Sun Hang Tjong. Setelah pembuktian tersebut baru kemudian Majelis Hakim memberikan putusan. Menurut analisa penulis, sebenarnya dalam dua kasus tersebut yang menjadi dasar utama Penggugat mengajukan gugatan perceraian bukanlah karena murtadnya pasangan, melainkan lebih karena Tergugat tidak memberikan nafkah, sering main judi dan main perempuan, meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin Penggugat dan karena sering terjadi percekcokan yang terus-menerus. Dengan alasan-alasan tersebut, sebenarnya sudah cukup kuat untuk dijadikan alasan mengajukan gugatan perceraian, karena dalam KHI pasal 114 disebutkan putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdasarkan perceraian.89 Kemudian diperkuat pada pasal berikutnya yakni dalam pasal 116 bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasanalasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; f. antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. suami melanggar taklik thalaq.90

89 90

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, op. cit. hlm. 56. Ibid, hlm. 56-57.

59

Namun dalam dua kasus tersebut Majelis Hakim memutuskan lain yaitu memfasakh perkawinan tersebut dengan dasar bahwa peralihan agama Dewi Vimalasari dan Tan Tjee Hiap merupakan indiksai bahwa antara rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah mempunya jalan hidup sendiri-sendiri yang sudah sulit disatukan lagi dan berdasarkan KHI pasal 116 (h) merupakan alasan kuat terjadinya perceraian. Menurut hasil wawancara penulis, Majelis Hakim memutus fasakh dengan dasar KHI pasal 116 (h) dan kitab Muhadzdzab Juz II halaman 54 dan seolaholah tidak mempermasalahkan sebab-sebab yang lain seperti percekcokan yang terjadi terus menerus antara Penggugat dengan Tergugat, kebiasaaan buruk Tergugat yang sering main judi dan main perempuan serta perginya Tergugat dari tempat kediaman bersama tanpa alasan yang jelas, itu dikarenakan Majelis Hakim berpendapat bahwa murtadnya Dewi Vimalasari dan Tan Tjee Hiap menjadi alasan yang lebih kuat daripada alasan-alasan tersebut dan telah ada dasar hukumnya. Namun menurut penulis yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana seandainya meskipun Dewi Vimalasari telah kembali ke agama Katolik tetapi Aris Susianto selaku Tergugat tidak melakukan kebiasaan buruk tersebut serta tidak ada percekcokan dalam rumah tangga, apakah gugatan perceraian tersebut masih tetap akan diajukan? Menurut analisa penulis tidak, hal ini dibuktikan karena meskipun Aris Susianto sering melakukan kebiasaan buruk dan meninggalkan tempat kediaman bersama pada tahun 2000, namun pada tanggal 3

60

Juni tahun 2002 Dewi Vimalasari dan Aris Susianto pindah ke Semarang dan kembali hidup rukun dan baik meski si istri sudah beragama Katolik. Justru karena pada awal bulan Juli tahun 2003 Aris Susianto tanpa ijin Dewi Vimalasari kembali pergi meninggalkannya, maka baru ia memutuskan mengajukan gugatan perceraian ini. Suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan jika tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat perkawinan serta telah melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan yang tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat perkawinan serta telah melanggar ketentuan UndangUndang Perkawinan harus dibatalkan, hal tersebut didasarkan pada Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arbaah:


91

Adapun fasid nikah ialah apabila tidak memenuhi salah satu dari syaratsyaratnya. Sedangkan nikah itu batal apabila tidak memenuhi rukunnya. Dari hukum nikah fasid dan nikah batal itu adalah sama Akan tetapi ada juga perkawinan yang tidak harus dibatalkan, syaratnya yakni jika pelanggaran hukum tersebut tidak menyangkut salah satu rukun dan syarat perkawinan serta telah melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan, melainkan menyangkut hak pribadi suami istri, hal tersebut didasarkan pada Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 27:

Abdul Al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al- Madzahib Al-Arbaah, Tijariyan Al-Kubro, Mesir, tt. Hlm. 118.

91

61

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Seorang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. 3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang salah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.92 Dalam kasus pembatalan perkawinan karena tidak terpenuhi syarat rukunnnya, harus mendapatkan putusan Pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ini karena kasus pembatalan nikah adalah berkaitan dengan perkara perdata di mana hakim akan memprosesnya jika telah ada laporan atau gugatan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam KHI pasal 73 disebutkan mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah: a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; b) Suami atau isteri; c) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; d) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hokum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.93 Adapun mengenai isi putusan yang mengabulkan gugatan perceraian dengan verstek, menurut penulis itu benar, karena Tergugat Aris Susianto telah dipanggil dengan patut untuk menghadap di persidangan tetapi tidak hadir
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 19. 93 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 41.
92

62

ataupun mewakilkan kepada orang lain. Hal inilah yang menjadi dasar dan petimbangan Hakim dalam memutus verstek dalam gugatan perceraian tersebut. Selain itu Pengadilan Agama Salatiga juga memutuskan membebankan biaya perkara masing-masing sebesar Rp 226.000,- (dua ratus dua puluh enam ribu rupiah) untuk perkara dengan nomor putusan 438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan biaya perkara sebesar Rp 166.000,- (seratus enam puluh enam ribu rupiah) untuk perkara dengan nomor putusan 138/Pdt.G/2006/PA.Sal. Menurut penulis itu benar, karena berperkara di Pengadilan Agama itu pada hakekatnya tidak mempersoalkan untung rugi seperti perkara harta benda, melainkan lebih ke masalah perasaan. Dalam dua perkara tersebut Penggugat merasa sudah tidak kuat dengan perasaan pahit yang selama ini dipendamnya sehingga memilih mengajukan keberatannya ke Pengadilan Agama.

C. Analisis Pertimbangan Dan Dasar Putusan Hakim Terhadap Gugatan Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Murtad Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwa Pengadilan Agama Salatiga memfasakh gugatan perceraian yang diajukan oleh Dewi Vimalasari dan Sri Dadi Anggraeni, bukan memutus dengan thalaq. Adapun yang menjadi pertimbangan dan dasar Majelis Hakim untuk perkara dengan nomor putusan: 438/Pdt.G/2003/PA.Sal adalah, pokok permasalahan dalam perkara ini adalah cerai gugat dengan alasan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat

63

yang sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena Tergugat sering pergi dari rumah, main judi dan main perempuan, serta sejak tahun 2000 Tergugat sudah tidak memberi nafkah kepada Penggugat, tahun 2001 Penggugat telah berpindah agama ke agama Katolik dan puncaknya sejak bulan Juli 2003 Tergugat telah pergi meninggalkan Penggugat tanpa seijinnya. Selain itu perpindahan agama Penggugat yang semula Islam ke agama Katolik merupakan indikasi bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah mempunyai jalan hidup sendiri-sendiri yang sudah sulit disatukan lagi. Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka terciptanya mawaddah dan rahmah antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak dapat diharapkan terwujud, hal ini membuktikan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat betul-betul telah pecah, dan mempertahankan ikatan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dalam suasana yang seperti itu lebih banyak mendatangkan madhorot, oleh karena itu harus dihilangkan. Sedangkan yang menjadi pertimbangan dan dasar Majelis Hakim untuk perkara dengan nomor putusan: 138/Pdt.G/2006/PA.Sal adalah, pokok

permasalahan dalam perkara ini adalah Penggugat mohon diceraikan dari Tergugat karena sejak bulan Agustus tahun 2004 Tergugat telah kembali ke agamanya semula, yaitu Kristen sehingga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran. Puncaknya pada bulan Maret tahun 2005 antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah rumah.

64

Menurut Majelis Hakim, berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat diduga dalam rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada ketentraman dan kesejahteraan lahir batin, yang disebabkan karena Tergugat telah murtad, sehingga tidak bisa terwujud tujuan perkawinan sebagaimana yang dikehendaki pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 3 KHI. Kemudian untuk kedua perkara tersebut Majelis Hakim mengetengahkan pendapat pakar hukum Islam dalam Kitab Muhadzdzab Juz II:


94


"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi setelah dukhul maka perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah." Dalam dua kasus tersebut, kondisi rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi. Sehingga bisa dijadikan salah satu alasan untuk bisa mengajukan gugatan perceraian sesuai dengan KHI pasal 116 (f). Kemudian Tergugat juga telah meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin dari Penggugat, ini merupakan alasan untuk dapat mengajukan gugatan perceraian sesuai dengan KHI pasal 116 (b). Tergugat juga tidak memberikan nafkah kepada Penggugat, yang juga merupakan alasan mengajukan gugatan perceraian sesuai dengan KHI pasal 116 (g). Alasan kuat lainnya yakni yang

94

Syaikh Imam Al-Syairozi, op. cit. hlm. 54.

65

sesuai dengan KHI pasal 116 (h) karena salah satu pihak telah murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Pada kasus dengan putusan nomor 438/Pdt.G/2003/PA.Sal. ditambah lagi karena Tergugat yang suka main judi dan main perempuan yang juga bisa dijadikan alasan gugatan perceraian karena melanggar KHI pasal 116 (a). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa cara yang ditempuh oleh Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan perkara gugatan perceraian tersebut menurut penulis benar, karena meskipun memfasakh kasus gugatan perceraian tersebut, namun sebelumnya Majelis Hakim telah memproses perkara tersebut sesuai prosedur, yaitu dengan memanggil Penggugat dan Tergugat secara patut, mendamaikan Penggugat dan Tergugat pada setiap kali sidang, meminta Penggugat melakukan pembuktian dan mengajukan saksi-saksi, mengemukakan pertimbangan dan dasar hukum yang sesuai kasus, baru kemudian memberi putusan. Setelah penulis menganalisis pertimbangan dan dasar hukum Pengadilan Agama Salatiga tentang difasakhnya suatu perkawinan karena murtad, penulis sependapat dengan cara yang ditempuh oleh Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan perkara tersebut, karena sudah sesuai dengan prinsip Peradilan, yaitu:

66

1. Mendengar keterangan kedua belah pihak Selama proses persidangan hakim harus berlaku adil terhadap kedua belah pihak yang berperkara, mendengarkan serta memberi kesempatan yang sama kedua belah pihak untuk menyampaikan pendapat masing-masing. Sebagaimana disebutkan dalam Hukum Acara Perdata Indonesia karya Sudikno Mertokusumo berikut: Lembaga peradilan menganut azas audi et alteram partem yang artinya bahwa orang yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya95 2. Putusan harus disertai alasan-alasan hukum Putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang fasakhnya suatu perkawinan karena murtad tersebut benar, karena meskipun banyak alasan yang memperkuat gugatan perceraian tersebut, namun Majelis Hakim berpendapat bahwa murtadnya salah satu pasangan itu sudah merupakan alasan yang kuat untuk fasakh. Disebutkan pula dalam kaidah fiqhiyah:
96

hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.
95

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Al-Maarif, Bandung,1986,

15.

96

hlm. 550.

67

D. Analisis Akibat Hukum Karena Putusan Fasakh Perceraian di Pengadilan Agama terbagi menjadi dua bentuk, yakni cerai thalaq dan cerai gugat. Cerai thalaq adalah thalaq diajukan oleh suami ke Pengadilan Agama. Sedang cerai gugat adalah gugatan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama. Hakim di Pengadilan Agama diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan atau memutuskan bentuk cerai apakah yang paling cocok dalam kasus yang sedang dihadapinya, apakah putusan cerai, raji, bain, khulu ataupun fasakh. berdasarkan kemaslahatan kedua belah pihak. Dari berbagai macam bentuk putusan tersebut, pada hakekatnya sama, yakni putusnya perkawinan, namun masing-masing memiliki akibat hukum yang berbeda-beda. Sedang untuk putusan thalaq dan fasakh, dari hasil wawancara penulis dengan Hakim-Hakim yang menyidangkan dua kasus tersebut menyatakan bahwa akibat fasakh itu sama dengan akibat thalaq. Menurut penulis pendapat tersebut benar, karena hakekat fasakh dan thalaq itu adalah sama-sama putusnya suatu perkawinan. Kemudian pada KHI pasal 155 juga disebutkan mengenai waktu tunggu bagi janda yang putus karena fasakh bahwa waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu, fasakh dan lian berlaku iddah thalaq.97

97

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Departemen Agama RI, op. cit. hlm.

72.

68

Dikuatkan pula oleh Abu Zahroh dalam kitab Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah yang menyebutkan perbedaan antara thalaq dan fasakh hanya terdapat pada hal berikut: Perbedaan fasakh dan thalaq tidak terbatas pada bilangan jatuhnya thalaq, tetapi perbedaan keduanya terletak pada hakekat keduanya. Hakekat cerai mengharuskan berhentinya hubungan suami istri dan menetapkan hak-hak yang telah ada. Thalaq hanya terjadi pada pernikahan yang sah dan hak cerai diakui oleh syariat. Adapun fasakh pada hakekatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi aqad yang menjadikan aqad tersebut tidak sah. Contoh : murtadnya salah satu suami atau istri.98 Kemudian pada KHI pasal 155 juga disebutkan mengenai waktu tunggu bagi janda yang putus karena fasakh bahwa waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu, fasakh dan lian berlaku iddah thalaq.99

98 99

Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, 1950, hlm. 324. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Departemen Agama RI, op. cit. hlm.

72.

69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan permasalahan pada dua kasus tersebut, penulis mendapatkan kesimpulan sebaga berikut: 1. Menurut fiqh fasakhnya perkawinan karena murtad, tidak memerlukan

keputusan Hakim, yakni fasakh atau batal seketika itu juga serta tidak melihat apakah akibat dari murtad tersebut menyebabkan perselisihan di dalam rumah tangga ataupun tidak, sedangkan menurut perundang-undangan di Indonesia segala bentuk putusnya perkawinan, termasuk fasakh harus didaftarkan ke Pengadilan Agama dan sah setelah mendapatkan keputusan dari Hakim, sedang yang dimaksud murtad dalam perundang-undangan di Indonesia disebutkan dalam KHI pasal 116 (h) bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. 2. Dasar Pengadilan Agama Salatiga untuk menerima gugatan yang diajukan oleh masyarakan non muslim yakni karena pada awal perkawinan keduanya beragama Islam dan melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Jadi di sini Pengadilan Agama Salatiga menerima gugatan tersebut melihat dari

70

status perkawinannya, bukan dilihat dari agama para pihak ketika mengajukan gugatan. 3. Putusan Pengadilan Agama Salatiga dengan nomor 438/Pdt.G/2003/PA.Sal dan nomor 138/Pdt.G/2006///PA.Sal. tentang memfasakh perkawinan karena murtad tersebut benar, sesuai dengan KHI pasal 116 (h) dan kitab Muhadzdzab Juz II halaman 54. 4. Akibat hukum karena putusan fasakh yang disebabkan karena hal-hal yang terjadi dikemudian hari, dalam hal ini yakni karena murtad, itu sama dengan akibat thalaq. Demikian pula waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena fasakah juga berlaku iddah thalaq sebagaimana diatur dalam pasal 155 KHI.

B. Saran Setelah berbagai uraian perkara pada bab-bab sebelumnya, penulis bermaksud memberikan saran-saran sebagai berikut; 1. Kepada Pengadilan Agama Hendaknya ada satu peraturan tersendiri yang bisa dijadikan dasar hukum yang pasti untuk bisa menerima perkara yang diajukan oleh masyarakat non-muslim. Alasan Pengadilan Agama sebenarnya sudah benar, yakni karena perkawinan dilangsungkan secara Islam, namun karena hal-hal tersebut berkaitan dengan institusi dan masyarakat umum, menurut penulis dengan alasan yang sudah ada tersebut perlu dibuat satu aturan perundang-

71

undangan sebagai dasar hukum yang jelas untuk Pengadilan Agama dalam menerima perkara yang diajukan oleh masyarakat non muslim. Saran yang kedua ini lebih tertuju kepada Hakim-Hakim yang ada di Pengadilan Agama, yang tentunya bertindak sebagai ulama. Menurut penulis para hakim-hakim tersebut perlu untuk memberikan dakwah atau cermah dalam forum kecil kepada masyarakat umum, minimal dilingkungan tempat tinggal masing-masing Hakim, khusunya tentang permasalahan murtad, yakni bahwa murtadnya salah satu pasangan baik sudah diajukan ke Pengadilan Agama maupun belum secara otomatis perkawinan tersebut sudah batal. Artinya jika pasangan tersebut tetap hidup bersama dan melakukan hubugan suami istri hukumnya menjadi haram. Menurut penulis dakwah tersebut perlu dilakukan karena menurut hasil penelitian penulis, banyaknya pasangan suami istri yang tetap hidup bersama meski telah murtad salah satunya, disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang ajaran hukum Islam. 2. Kepada Mayarakat umum Seorang non muslim yang ingin masuk Islam, hendaknya tidak hanya sekedar didasari karena rasa cinta terhadap pasangannya atau sekedar memenuhi syarat untuk memuluskan perkawinannya. Sehingga jika nantinya timbul cekcok dalam rumah tangga, orang yang baru saja masuk Islam tersebut tidak akan mudah goyah imannya untuk kembali ke agamannya semula.

72

Setelah masuk Islam hendaknya para muallaf tersebut mau untuk menambah pengetahuanya tentang ajaran Islam, tidak hanya menjadikan

Islam sebagai simbol, namun juga harus mendalami dan memahami ajaranajarannya, sehingga bisa membangun rumah tangganya dengan di dasarkan pondasi-pondasi agama Islam. Tidak hanya sebatas kepada Hakim-Hakim, tetapi kepada setiap masyarakat umum yang memiliki pengetahuan lebih tentang aturan agama juga perlu memberikan informasi kepada masyarakat, minimal di lingkungan sekitar tempat tinggal masing-masing, khususnya juga mengenai

permasalahan murtad tersebut. Dalam setiap penelitian tentu pasti terdapat halangan, baik itu ringan maupun berat. Dalam penelitian ini penulis juga mengalami banyak halangan sebelum akhirnya dapat menyelesaikannya. Namun demikian, tidak sedikit juga kemudahan yang penulis dapatkan, baik berupa referensi maupun para pihak-pihak yang telah berkenan membantu dalam penelitian ini. Meskipun penelitian ini telah selesai, namun penulis yakin bahwa masih terdapat banyak kekurangan dari penelitian ini, seperti misalnya dari segi referensi, masih banyak referensi-referensi yang belum penulis gunakan untuk menunjang penelitian ini, selain itu dalam metodologi penelitian penulis juga hanya melakukan wawancara dengan Hakim-Hakim yang menyidangkan dua kasus ini dan tidak melakukan wawancara dengan Penggugat dan Tergugat dalam dua kasus tersebut, hal itu semata-mata karena keterbatasan

73

kemampuan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sehingga dapat menyempurnakan penelitian penulis ini.

74

DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah Fii al-Syariati al-Islamiyah, Dar Al-Qalam, Quwait, 1990. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I, Dar Al Fikr, Qatar, tt. Al-Sairozy, Syaikh Imam Zahad Mufiq Abi Ishaq Ibrohim Ibni Ali Ibni Yusuf Fairuzi, Al - Muhadzdzab Juz II. Tob'a bi Mathba'ati 'Isa al-Baabi alKhalabi wa Syurokah, Mesir, tt. Amir, Djafar, Fiqh Bagian Nikah, Ab Sitti Syamsiyah, Solo, 1983. Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet. III, 1990. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998. Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1998. Basyir, Ahmad Azhar, dkk., Ikhtisar Fiqh Jinayat :Hukum Pidana Islam, Bagian Penerbitan Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, 1982. Bhigha, Musthafa Dhiibu, Fiqh Menurut Mazhab Syafii, terj.. Drs. H. Moh. Rifai, Kyai Baghawi Masudi, Cahaya Indah, Semarang, 1986. BP4 Kab. Boyolali, Departemen Agama Boyolali, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983. Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Boyolali, Boyolali, tt. BP4 Kab.

75

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Direktorat Urusan Agama Islam, Jakarta , 2002. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Tentang NTCR I. Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta, 1985. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2000. Haliman, Hukum Pidana Sjari'at Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1971. Hanafi, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. 3, 1998. Hasabillah, Ali, Al-Furqoh Baina Zaujaini : Wa Ma Yataallaqu Biha min Iddatin wa nasabin, Darul Fikr Arabi, Beirut, tt. Hoerudin, Ahrum, Pengadilan Agama Bahasan tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang - Undang No. 7 Tahun 1989, Tentang Pengadilan Agama, Citra Aditya, Bandung, 1999. Ibnu Manzur, Lisan al-Arab Juz III. Dar al-Fikr, Qatar, 1994. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993.

76

Ramulyo, Muh. Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UUP Tahun 1974 dan KHI, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali, Jakarta, 1992. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jilid 8. terj. Drs. Mohammad Thalib, Al - Ma'arif, Bandung, Cet. I, 1980. Sudjana, Nana, Tuntunan Menyusun Karya Ilmiah : Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi, Sinar Baru, Bandung, Cet. I, 1988. Zahroh, Abu, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, Beirut, 1950.

77

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Nama 3. Jenis Kelamin 4. Warga Negara 5. Agama 6. Alamat 7. Hobby 8. Pengalaman Organ : Miratul Hidayah : Perempuan : Indonesia : Islam : Ngawen RT 05 RW 02, Kel. Banyusri, Kec. Wonosegoro, Kab. Boyolali : Berpetualang di alam : 9. Riwayat Pendidikan : 10. Nama Ayah 11. Pekerjaan 12. Nama Ibu 13. Pekerjaan TK PERTIWI Banyusri I Lulus Tahun 1991 SD Negeri Banyusri I Lulus Tahun 1997 MTsN Wonosegoro Lulus Tahun 2000 SMU N I Karanggede Lulus Tahun 2003 Sekretaris Mapala. MITAPASA Tahun 2004 Bendahara Mapala MITAPASA Tahun 2005 Bendahara Mapala MITAPASA Tahun 2006

2. Tempat/Tanggal Lahir: Boyolali, 14 Nopember 1985

: Kasruri : Pensiunan Kepala KUA Kecamatan Karanggede : Umi Khoiriyah : Ibu Rumah Tangga

78

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Salatiga, 01 Oktober 2007 Penulis

Miratul Hidayah NIM : 211 03 010

79

Вам также может понравиться