Вы находитесь на странице: 1из 19

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN

PENDAHULUAN
1.1. PENDAHULUAN
Budidaya perairan adalah merupakan kegiatan (aktivitas) untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Budidaya perairan berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan dan culture = budidaya) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena itu, budidaya perairan dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduction), menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan. Organisme akuatik yang diproduksi mencakup kelompok ikan (finfish), udang (crustacea), hewan bercangkang (molusca), ekinodermata, dan alga. Suatu perairan (laut, sungai, danau, atau waduk) memiliki produktivitas (bobot biomassa biota per satuan volume air) alamiah tertentu dan dapat ditingkatkan puluhan hingga ribuan kali melalui kegiatan budidaya. Teknologi budidaya yang diaplikasikan untuk meningkatkan produktivitas perairan tersebut mencakup konstruksi wadah produksi, pemilihan lokasi budidaya, penentuan pola tanam, penggunaan benih unggul dan padat penebaran (stocking density) yang tepat; pemberian pakan yang sesuai dengan jumlah, mutu, waktu, dan cara pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan air, pemantauan serta pemanenan dan penanganan pasca panen.

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN 1.2. SEJARAH RINGKAS BUDIDAYA PERAIRAN


Seperti pada kegiatan budidaya tanaman (agriculture) dan ternak (animal husbandry), kegiatan budidaya perairan tampaknya diawali dari kegiatan berburu (hunting) biota akuatik untuk keperluan makanan pada hari itu. Pada zaman perburuan tersebut, beberapa alat berburu/tangkap seperti tombak, jala, dan sangkar jebakan biasa digunakan. Bagian ikan hasil buruan tersebut ditampung di suatu genangan air untuk keperluan sehari-hari atau cadangan makanan ketika tidak bisa berburu karena cuaca buruk dan angin topan. Ikan dalam genangan air tersebut diusahakan tetap hidup agar bisa dimakan dikemudian hari. Upaya tersebut merupakan cikal bakal kegiatan budidaya perairan, terjadi transisi dari kegiatan penangkapan ke kegiatan budidaya perairan. Dewasa ini, ciri-ciri kegiatan budidaya perairan transisional tersebut masih ada, seperti adanya keramba jaring tancap di rumah-rumah masyarakat pesisir yang umumnya membelakangi laut. Pada keramba tersebut ditampung ikan hasil tangkapan dengan menggunakan pancing atau bubu untuk keperluan konsumsi esok hari atau dijual ke pasar ketika mencapai ukuran yang layak. Kegiatan budidaya perairan sesungguhnya sudah dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu. Umumnya publikasi mengenai sejarah budidaya perairan mengacu pada sejarah panjang budidaya perairan di Cina, Mesir dan Eropa Tengah. Di Cina, budidaya perairan sudah dimulai tahun 3.500 SM, yakni kultur ikan mas di kolam. Ikan mas (common carp) merupakan spesies yang memiliki sejarah paling panjang di antara komoditas budidaya perairan lainnya. Ikan mas tersebut dipelihara di areal usaha ulat sutra dengan diberi pakan pupa dan feses ulat sutra. Pada tahun 475 SM terbit sebuah dokumen tertua tentang budidaya ikan berjudul Classic of Fish Culture yang ditulis oleh seorang politisi dan administratur yang bernama Fan Li, yang kemudian beralih profesi menjadi seorang budidaya perairanist. Dalam dokemun tersebut dijelaskan tentang metode konstruksi kolam, seleksi induk, stocking, dan pengelolaan kolam. Pada tahun 618-906 semasa Kaisar Li (Lee) dari Dinasti Tang, pemeliharaan beberapa jenis ikan chinese carp (grass, silver, big head, dan mud carp) dalam satu kolam atau polikutur sudah diterapkan di negeri ini. Penerapan sistem polikultur pada saat tersebut mungkin saja disebabkan oleh sulitnya memisahkan benih berdasarkan spesies yang dikumpulkan dari sungai. Selanjutnya pada tahun 1243, sebuah tulisan berjudul Kwei Sin Chak Shik telah ditulis oleh Chow Mit dari Dinasti Sung yang menjelaskan secara rinci tantang pengumpulan benih ikan mas dari sungai. Pada tahun

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


1639, A Complete Book of Agriculture diterbitkan dan ditulis oleh Heu. Tulisan tersebut menjelaskan tantang metode memelihara benih ikan mas di kolam yang dikumpulkan dari sungai. Sampai pada tahun tersebut, ikan mas menjadi spesies utama budidaya perairan di Cina, sebelum masuknya ikan tilapia (Tilapia mossambica) dari Vietnam dan berkembangnya kultur sederhana oyster di pantai. Cina dianggap sebagai tempat lahirnya budidaya perairan. Budidaya perairan di Cina berkembang dari penyediaan makanan untuk kalangan elit menjadi makanan untuk rakyat pada umumnya. Di Mesir, budidaya perairan diperkirakan sudah ada sejak tahun 2000 SM, yakni dengan adanya gambar ikan disebuah makam yang diyakini sebagai gambar ikan tilapia yang dipelihara di dalam kolam. Budidaya perairan dikembangkan sebagai bagian dari sejarah pengembangan sistem irigasi di Mesir, dengan spesies utama ikan tilapia dan kemudian ikan mas. Pada abad pertama sebelum masehi, budidaya perairan di air tawar maupun air laut diduga sudah dipraktekkan di zaman kekaisaran Romawi dengan komoditas sidat, belanak dan ikan trout. Di kawasan tersebut selama abad pertengahan, ikan kultur yang dipelihara di kolam menjadi sumber makanan penting bagi para biarawan dan calon pendeta. Di air laut, pada masa tersebut juga sudah ada kultur oyster sehingga spesies ini dianggap sebagai komoditas mariculture tertua. Selain orang Romawi, orang Yunani dan Jepang dianggap sebagai pelopor usaha mariculture. Bersama-sama dengan Korea, Taiwan dan Cina, Jepang memiliki sejarah pengembangan budidaya rumput laut. Akualkultur di Eropah dan Inggris di mulai pada akhir abad ke sebelas atau awal abad 12. Ikan mas dibawa oleh para imigran Cina ke beberapa negara Asia, Timur jauh dan Eropah selama abad pertengahan untuk dikulturkan di kolam para biarawan (rahib) dan selanjutnya menyebar ke banyak negara. Ikan mas mencapai kedudukan yang penting di dalam acara sosial dan keagamaan, sehingga dipilih menjadi makanan utama dalam acara khusus seperti perayaan natal, terutama di Eropah Timur. Sementara di Eropah Barat, ikan mas dianggap hama karena cara makannya mengaduk tanah dasar dan pematang dengan mulut terminalnya sehingga menyebabkan erosi tanah dan pelumpuran. Kultur ikan mas yang berkembang pesat di seluruh Eropah Timur tersebut selanjutnya menyebar ke Israel. Pada abad ke-14 di Eropah, tepatnya di Perancis juga dikembangkan ikan trout oleh seorang biarawan yang bernama Don Pinchot yang mengembangkan metode pembuahan buatan telor ikan tersebut. Pada waktu itu, ikan ini dikembangkan untuk keperluan mancing (sport fishing atau leisure fishing) dan

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


konsumsi serta konservasi. Sejarah panjang ikan ini tampaknya membuahkan hasil. Dewasa ini, ikan trout telah dikulturkan secara komersil dalam skala besar di beberapa negara seperti Prancis, Denmark, Jepang, Itali dan Norwegia. Selain ikan mas dan ikan trout, di benua ini juga telah dikembangkan ikan salmon. Sejarah budidaya perairan Asia Tenggara tampaknya dimulai di Indonesia tepatnya di Pulau Jawa, yakni budidaya ikan bandeng di tambak sekitar tahun 1400 (abad ke-15) semasa kerajaan Hindu berkuasa. Pada masa itu, tambak dibangun oleh para narapidana yang dikirim ke kawasan pesisir untuk bekerja di rawa payau dan menjaga pantai. Pada akhir abad ke-18 saja, yakni ketika pemerintah kolonial Belanda memulai mendata tambak tahun 1821, sudah ada sekitar 32.389 ha tambak. Pada saat tersebut, kultur bandeng di tambak masih dilakukan secara primitif. Di Indocina, tepatnya di Kamboja budidaya perairan sudah ada beberapa abad yang lalu, dan sistem yang berkemang adalah pen culture dan cage culture dengan spesies ikan cat fish. Pen culture dan cage culture ditempatkan dalam air mengalir. Kegiatan budidaya perairan tersebut berawal dari penampungan sementara ikan hasil tangkapan di sungai sebelum dipasarkan. Kedua sistem budidaya perairan tersebut kemudian dterapkan dengan beberapa variasi, di Indonesia untuk ikan mas dan di Thailand untuk patin, betutu dan gabus. Di India, budidaya perairan dimulai sejak abad ke-11 dengan spesies Indian carp. Perkembangan budidaya perairan di kawasan ini selanjutnya diwarnai oleh perkembangan budidaya perairan di Asia pada umumnya yakni dengan masuknya beberapa spesies yang sudah lazim seperti ikan mas.

1.3. RUANG LINGKUP BUDIDAYA


Ruang lingkup budidaya bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Ruang lingkup budidaya perairan bisa berdasarkan kegiatan, spasial, sumber air, zonasi daratlaut, dan posisi wadah produksi.

1.3.1. Ruang Lingkup Budidaya Berdasarkan Kegiatan


Budidaya perairan merupakan sistem produksi yang mencakup input produksi (prasarana dan sarana produksi), proses produksi (sejak persiapan hingga pemanenan) dan output produksi (penanganan pasca panen dan pemasaran). Orientasi budidaya perairan adalah mendapatkan keuntungan sehingga budidaya merupakan kegiatan bisnis

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


(aquaculture business atau akuabisnis, sebagai padanan agribisnis dalam bidang pertanian). Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem, sebagaimana berlaku di agribisnis. Berikut ini diuraikan subsistem yang dimaksudkan beserta cakupan kegiatannya. 1). Subsistem pengadaan sarana dan prasarana produksi. Pengadaan prasarana produksi mencakup pemilihan lokasi, pengadaan bahan, dan pembangunan fasilitas produksi. Sementara pengadaan sarana produksi mencakup pengadaan induk, benih, pakan, pupuk, obat-obatan, pestisida, peralatan budidaya perairan, tenaga kerja dan sebagainya. 2). Subsistem proses produksi , mencakup kegiatan sejak persiapan wadah kultur, penebaran (stocking), pemberian pakan, pengelolaan lingkungan, pengelolaan kesehatan ikan, pemantauan ikan hingga pemanenan. 3).Subsistem penanganan pascapanen dan pemasaran, mencakup kegiatan meningkatkan mutu produk sehingga bisa lebih diterima konsumen, distribusi produk dan pelayanan (servis) terhadap konsumen. 4) Subsistem pendukung, antara lain mencakup aspek hukum (perundang-undangan dan kebijakan), aspek keuangan (pembiayaan/kredit, pembayaran dan sebagainya), aspek kelembagaan (organisasi perusahaan, asosiasi, koperasi, perbankan, lembaga birokrasi, lembaga riset, pengembangan dan sebagainya. Dalam sektor perikanan, budidaya perairan merupakan salah satu kegiatan produksi selain kegiatan penangkapan ikan (perikanan tangkap) dan pengelolaan. Berbeda dengan penangkapan yang hanya memanen (berburu) ikan dari alam (laut dan perairan umum, sungai, danau, rawa), dalam budidaya perairan pemanenan ikan dilakukan setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan, pakan, pengapuran pengelolaan dan air, pemberantasan hama), penebaran benih, pemberian

penanggulangan / pemberantasan hama dan penyakit , serta pemantauan ( sampling) pertumbuhan dan populasi. Produk budidaya perairan bisa langsung dijual ke konsumen dalam bentuk hidup dan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi komoditas yang berbentuk berbeda sama sekali, antara lain sosis, burger dan baso ikan. Integrasi yang kuat antara kegiatan budidaya perairan dan industri pengolahan biasanya menghasilkan industri perikanan budidaya yang mantap, seperti budidaya ikan salmon dan lele ( catfish) di Amerika Serikat. Di Indonesia integrasi tersebut mulai kelihatan dalam industri budidaya patin

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


dan nila. Kedua ikan tersebut dibudidayakan hingga mencapai ukuran 1 kg/ekor, dan kemudian di-fillet atau pemisahan daging dari tulangnya (deboning) untuk dijadikan bahan baku industri. Selain itu, dewasa ini juga sudah banyak integrasi antara kegiatan budidaya perairan dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking ikan di laut dan perairan umum. Kegiatan restocking adalah menebar benih ikan di perairan (danau, waduk, sungai, teluk, rawa) yang bertujuan meningkatkan stock (stock enhancement) ikan di perairan tersebut dalam rangka konservasi dan menaikkan pendapatan para pelaku perikanan tangkap (nelayan). Kegiatan ini dilakukan secara regular dan terus-menerus dengan menggunakan benih yang dihasilkan dari kegiatan budidaya perairan (pembenihan). Kegiatan budidaya perairan (pembenihan) yaitu menjual benih kepada asosiasi, koperasi nelayan, atau pemerintah daerah yang melakukan restocking, sementara nelayan melaporkan hasil tangkapannya untuk dikenai biaya ( charge) pembelian benih oleh asosiasi atau koperasi tersebut. Perikanan masa depan tampaknya akan banyak terjadi integrasi, baik antara budidaya perairan dengan pengolahan maupun antara budidaya perairan dengan perikanan tangkap atau integrasi ketiganya.

1.3.2. Ruang Lingkup Budidaya Perairan Berdasarkan Spasial


Secara spasial, kegiatan budidaya perairan bisa berlangsung di darat dan di laut, mulai dari pegunungan, perbukitan dataran tinggi, dataran rendah, pantai, muara sungai, teluk, selat, perairan dangkal (Shallow seas), terumbu karang (reef flat), hingga laut lepas / laut dalam (open seas / deep seas) (Gambar 1.1). Kegiatan budidaya perairan bisa berlangsung dalam bentang spasial demikian selama tersedia sumber daya air yang memadai secara kuantitatif dan kualitatif. Di kawasan pegunungan, perbukitan, dan dataran tinggi terdapat sumber daya air berupa mata air, sungai (jeram), dan danau dataran tinggi; di kawasan dataran rendah terdapat sungai (tenang), danau dataran rendah, rawa dan sumur; di kawasan pesisir terdapat pantai, muara sungai dan rawa payau; di kawasan laut terdapat perairan laut dangkal, teluk, selat, dan perairan laut lepas/laut dalam. Perairan laut dangkal biasanya berupa perairan karang dalam yang biasanya berupa reef flat dan laguna (goba).

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN

Pegunungan

Perbukitan Dataran Tinggi Dataran Rendah

Pantai, muara sungai

Reef flat, laut dangkal

Laut lepas

Gambar 1.1. Ruang Lingkup spasial kegiatan budidaya perairan mulai dari pegunungan, perbukitan, dataran tinggi, dataran rendah, pantai, dan muara sungai, reef flat/laut dangkal, hingga laut lepas (laut dalam).

1.3.3. Ruang Lingkup Budidaya Perairan Berdasarkan Sumber Air


Di permukaan bumi, perairan dibedakan berdasarkan salinitas atau kandungan garam NaCl-nya menjadi perairan tawar, perairan payau dan perairan laut. Semua perairan tersebut dapat dijadikan sumber air bagi kegiatan budidaya perairan. Oleh karena itu, berdasarkan sumber air yang digunakan untuk kegiatan budidaya perairan maka dikenal budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture)/ marikultur. Budidaya air tawar dilakukan dengan menggunakan sumber air dari perairan tawar, sedangkan budidaya air payau dan marikultur masing-masing menggunakan perairan payau dan laut sebagai sumber airnya. Komoditas yang dipelihara dalam air tawar, budidaya air payau dan marikultur adalah spesies yang berasal dari habitat tersebut atau sudah beradaptasi masing-masing di lingkungan air tawar, air payau, dan air laut. Sebagai contoh, bandeng dan udang windu yang merupakan spesies perairan payau ternyata bisa dibudidayakan masingmasing di dalam keramba jaring apung di waduk dan di sawah, yang keduanya

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


merupakan perairan tawar. Rupanya komoditas budidaya air payau umumnya bersifat euryhaline, yakni spesies yang memiliki toleransi terhadap salinitas dengan kisaran yang luas. Berdasarkan keberadaan dari lokasi perairan tersebut di permukaan bumi, budidaya air tawar umumnya dilakukan di dataran, baik dataran rendah maupun dataran tinggi. Budidaya air payau dilakukan di daratan sekitar pantai, muara sungai, atau rawa payau. Budidaya laut dilakukan di perairan laut yang terlindung dari ombak dan badai seperti teluk, selat, dan perairan dangkal yang terlindung. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi perlakuan air tawar (water treatmet), dewasa ini budidaya air laut, yakni dalam bentuk usaha penangkaran dan pengumpulan ternyata bisa dilakukan di daratan yang jauh dari laut. Teknologi tersebut antara lain dalam bentuk daur ulang (recycling) air laut melalui proses resirkulasi dan filtrasi. Habitat air payau berlokasi di wilayah pesisir yang masih terkena pengaruh air laut (intertidal zone) melalui fenomena pasang dan surut, yakni daerah pantai dan muara sungai. Lokasi demikian umumnya ditumbuhi vegetasi mangrove. Jarak/lebar lahan dari pantai ke arah daratan yang ditumbuhi vegetasi ini (ketebalan hutan mangrove) menunjukkan seberapa jauh air laut masuk ke daratan pada saat pasang (rambat pasang atau jangkauan pasang), bergantung pada topografi, kisaran pasang surut (pasut) dan jenis tanah. Secara alamiah, hutan mangrove menebal di daerah muara sungai hingga ke alur sungai menuju hulu, dan menipis di daerah pantai dengan kemiringan yang tinggi dan jenis tanah tertentu. Sistem budidaya yang lazim diterapkan pada habitat payau adalah tambak. Oleh karena itu, luasan kawasan hutan mangrove dianggap sebagai luasan potensial tambak. Tambak seringkali dituding sebagai salah satu penyebab hancurnya hutan mangrove. Komoditas yang biasanya diusahakan di tambak adalah udang windu, bandeng, nila, mujair, kerapu, kakap putih, kepiting bakau, bahkan rumput laut. Daya tahan spesies tersebut terhadap perubahan salinitas dengan rentang yang demikian lebar merupakan syarat untuk bisa hidup di habitat payau. Komoditas tersebut terutama yang predatory spesies (konversi daging ke daging) memiliki nilai jual yang tinggi, terlebih udang windu. Hal ini menyebabkan daya tarik tambak sebagai bisnis dan pemacu perekonomian daerah yang sangat tinggi. Selain berada dalam zona hutan mangrove sebagai kawasan penyangga dan perlindungan, tambak yang berada dalam zona intertidal, juga sesungguhnya berada

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


dalam kawasan buangan dan jebakan limbah yang berasal dari hulu sungai dan daratan. Limbah daratan dibawa oleh sungai ke laut, tetapi tertahan oleh pasang air laut, bahkan terbawa kembali ke muara sungai dan pantai. Zona ini memiliki kompleksitas yang tinggi bila dimanfaatkan untuk pertambakan. Aturan yang dipakai dalam pemanfaatan lahan dalam zona intertidal ini untuk keperluan pertambakan adalah disisakannya kawasan hijau sepanjang pantai, muara dan alur sungai. Kawasan hijau itu disebut sebagai sepadan (bantaran) pantai dan sepadan sungai. Lebar sepadan pantai dari batas air surut terendah dapat ditetapkan dengan perhitungan 100-130 m x kisaran pasang surut maksimum yang berlaku di kawasan tersebut, sebagai contoh., bila di kawasan itu umumnya berlaku kisaran pasang surut sebesar 2 m maka lebar sepadan pantai lokasi tersebut berkisar antara 200-260 m. Sepadan sungai umumnya selebar 50-260 m dari pinggir sungai dengan ketinggian air makimum. Dengan aturan tersebut di atas, lokasi pertambakan umumnya mencakup kawasan hutan mangrove, tetapi seringkali di luar kawasan hutan mangrove, yakni mencakup lahan rawa dan semak belukar, lahan bera (menganggur), kebun kelapa dan pertanian. Pada kasus terakhir biasanya terjadi di kawasan dengan kondisi hutan mangrove yang tipis dan telah rusak sehingga pertambakan tidak selalu sebagai penyebab rusaknya hutan mangrove. Bergantung pada kemiringan dan elevasi lahan dari permukaan air laut saat pasang tinggi-tinggi (HHWL), aturan demikian kadangkadang menyulitkan pengambilan (intake) air laut atau kadang-kadang tidak menjadi masalah bagi pertambakan. Konsep tersebut di atas umumnya diperhitungkan dengan menggunakan persentase lahan yang boleh dikonversi menjadi tambak. Dengan memperhatikan daya dukung kawasan dan kawasan tidak boleh dikonversi menjadi tambak, seperti hutan lindung, suaka margasatwa, sepadan pantai dan sepadan sungai maka pada areal potensial dapat dibuka pertambakan seluas 20%-80% dari total areal potensial tersebut. Kisaran pemanfaatan yang demikian lebar tersebut dimaksudkan untuk memungkinkan ruang diskusi yang lebih komprehensif sehingga bisa meminimalkan konflik dalam pemanfaatan kawasan. Beberapa alasan digunakannya kawasan hutan mangrove untuk pertambakan adalah a) akses ke air payau dan air laut relatif tinggi sehingga bisa mengurangi biaya pembuatan saluran tambak, b) berada dalam zona intertidal sehingga distribusi (pemasukan dan pengeluaran) air pertambakan bisa menggunakan tenaga alam berupa

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


tenaga pasang surut air laut dan tenaga gravitasi bumi, dan c) kawasan ini relatif subur karena umumnya berjenis tanah alluvial yang berasal dari pengendapan lumpur sungai yang berasal dari upstream dan daratan sekitarnya. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas maka strategi zonasi pertambakan yang tidak mengganggu keberadaan hutan mangrove atau meminimalkan kerusakan yang mungkin timbul adalah dengan menetapkan lokasi pertambakan berada di belakang hutan mangrove (sebagai green belt) dengan meningkatkan aksesibilitas kawasan tersebut terhadap air payau dan air laut.

1.3.4. Ruang Lingkup Budidaya Perairan Berdasarkan Zonasi Darat-Laut


Ruang lingkup budidaya perairan juga dapat didasarkan kepada zonasi darat dan laut sehingga dikenal inland aquaculture dan marine aquaculture (mariculture). Inland aquaculture adalah kegiatan budidaya perairan yang dilakukan di darat (land-base) dengan menggunakan sumber air berupa air tawar (mata air, sungai, danau, waduk, saluran irigasi, air hujan, air sumur dan genangan air lainnya) atau air payau. Marine aquaculture adalah kegiatan budidaya perairan yang dilakukan di laut. Pembagian seperti ini juga berlaku pada kegiatan penangkapan sehingga dikenal inland fisheries atau penangkapan di perairan umum dan marine fisheries. Perairan umum mencakup sungai, saluran irigasi, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya.

1.3.5. Ruang Lingkup Budidaya Perairan Berdasarkan Posisi Wadah Produksi


Berbeda dengan pembagian berdasarkan zonasi darat dan laut di atas, ruang lingkup budidaya perairan bisa juga dibedakan berdasarkan posisi wadah produksi terhadap sumber air sehingga terdapat budidaya perairan yang berbasiskan daratan (land-base aquaculture) dan berbasiskan perairan (water base-aquaculture). Dalam land-base aquaculture unit budidaya berlokasi di daratan dan mengambil air dari perairan di dekatnya. Contohnya adalah kolam air tenang, kolam air deras, sawah dan tambak. Terdapat pembatas antara unit budidaya dengan perairan sebagai sumber air, minimal oleh pematang sehingga land-base aquaculture merupakan sistem tertutup (closed system). Faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi sistem produksi,

10

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


seperti pencemaran, dapat direduksi dengan cara menutup aliran air masuk ke dalam sistem atau men-treatment air terlebih dahulu sebelum digunakan. Berbeda dengan land-base aquaculture, unit budidaya water-base aquaculture ditempatkan di badan perairan (sungai, saluran irigasi, danau, waduk, dan laut) sehingga merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Di dalam sistem ini, interaksi antara ikan (unit) budidaya dengan lingkungan perairan tersebut berlangsung hampir tanpa pembatasan. Contoh sistem water-base aquaculture adalah jaring apung, rakit apung, jaring tancap, keramba, kombongan, kandang (pen culture), sekat (enclosure), rakit, dan tambang (longline). Unit wadah produksi pada water-base aquaculture ditempatkan di perairan yang umumnya milik bersama/publik (common properties) dan bersifat multifungsi sehingga bisa terkena dampak pencemaran atau sebagai salah satu sumber pencemaran lingkungan (agen pencemar). Konflik kepentingan dan isu lingkungan pada water-base aquaculture lebih sering muncul dan lebih rumit dibandingkan pada land-base aquaculture.

1.4. TUJUAN BUDIDAYA PERAIRAN


Tujuan budidaya perairan adalah memproduksi ikan dan akhirnya mendapatkan keuntungan. Output dari kegiatan budidaya perairan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, tetapi memiliki banyak tujuan. Meskipun demikian, tujuan umum budidaya perairan adalah memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam hal pangan dan bukan pangan (non-food uses), antara lain kebutuhan hiburan lingkungan, dan sebagainya. Selengkapnya, tujuan budidaya perairan adalah untuk : rekreasi, 4) produksi ikan 1) produksi untuk makanan, 2) perbaikan stok alam (stock enhancement), 3) produksi ikan organic, dan 7) produksi bahan industri.

umpan, 5) produksi ikan hias, 6) daur ulang bahan

1.4.1. Produksi Makanan


Daging ikan merupakan sumber protein hewani dan makanan sehat yang sangat dibutuhkan manusia, selain produk-produk peternakan seperti daging sapi, ayam, dan telur. Produk perikanan menyumbang lebih dari 15% dari total pasokan protein hewani. Kebutuhan ikan dipenuhi melalui kegiatan penangkapan (perikanan tangkap) dan

11

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


budidaya perairan. Produk perikanan tangkap umumnya berupa ikan segar, beku dan olahan (pengeringan, pengasinan, fillet, pengalengan, penepungan dan sebagainya).

1.4.2. Perbaikan Stok Ikan di Alam


Stock ikan di alam baik dilaut maupun perairan umum ( inland fisheries); sungai, danau, dan rawa cenderung semakin berkurang. Pengurangan stok ikan di alam disebabkan oleh tingginya laju penangkapan dan kematian dibandingkan dengan rendahnya laju perkembangbiakan dan pertumbuhan. Laju penangkapan ikan meningkat disebabkan oleh tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia yang meningkat sejalan dengan pertambahan populasi penduduk dunia. Laju kematian di alam juga meningkat sejalan dengan semakin memburuknya kualitas lingkungan, termasuk rusaknya habitat hidup ikan di alam akibat praktik-praktik penangkapan yang merusak, seperti penggunaan bom, racun, dan sebagainya. Sementara itu laju reproduksi dan pertumbuhan yang tidak secepat laju penangkapan dan kematian ikan di alam disebabkan juga oleh memburuknya kualitas lingkungan, termasuk rusaknya habitat hidup ikan di alam akibat praktik-praktik penangkapan yang merusak tersebut. Penangkapan ikan di perairan umum dilakukan di danau, waduk, situ, rawa, sungai, serta perairan umum lainnya sehingga disebut perikanan perairan umum. Akibat aktivitas ini (over fishing), populasi ikan di perairan tersebut telah mengalami penurunan stok, bahkan beberapa di antaranya terancam punah, seperti ikan semah (Torr sp). Secara global, produksi perikanan tangkap telah mengalami level off sejak tahun 1990-an yang mengindikasikan telah terjadi penurunan stok ikan, baik di laut maupun perairan umum. Memasuki abad ke-21, paradigma pembangunan perikanan tangkap dunia telah beralih, dari paradigma lama yang lebih menekankan peningkatan produksi melalui perbaikan efektivitas teknologi penangkapan ke paradigma baru yang lebih menekankan aspek pemanfaatan sumber daya hayati secara lestari dan berkelanjutan. Dalam paradigma baru tersebut, yang dinyatakan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries atau kode tindak perikanan yang bertanggungjawab yang diprakasai oleh Organisasi Pangan Sedunia (FAO), disebutkan perlunya upaya-upaya peningkatan stok ikan di alam (stok enhancement) melalui kegiatan restocking. Sudah saatnya pada perairan laut yang mengalami overfsihing dan perairan umum yang mengalami

12

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


degradasi sumber daya ikan diberlakukan program restocking. Pelaksanaanya antara lain dengan pengembangan pembenihan (hatchery) spesies terpilih dan potensial. Program ini bisa dijadikan pula sebagai program populer bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar kawasan taman nasional. Program domestikasi ikan-ikan langka atau potensial untuk dijadikan kandidat komoditas budidaya perairan merupakan program yang perlu digalakkan menghadapi permasalahan sumber daya ikan di perairan umum bagi pemenuhan gizi masyarakat.

1.4.3. Produksi Ikan Untuk Rekreasi


Dewasa ini , kebutuhan manusia dalam hal rekreasi meningkat, terutama pada masyarakat perkotaan. Kegiatan rekreasi tersebut diantaranya adalah memancing (leisure fishing, sport fishing) dan atraksi ikan dalam akuarium besar seperti di Taman Akuarium Air Tawar, Taman Mini Indonesia Indah, dan Sea World. Rekreasi mancing dilakukan di kolam, danau, waduk dan laut. Pengadaan ikan bagi kegiatan rekreasi tersebut dapat dilakukan melalui produksi budidaya perairan. Sebagai contoh adalah kegiatan budidaya perairan ikan mas dalam kolam air deras (running water) yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bogor yang ternyata sebagian besar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan usaha pemancingan ikan di kolam. Pada masa yang akan datang, kegiatan budidaya perairan yang bertujuan untuk memproduksi ikan pancing, baik di kolam, sungai, waduk, dan laut diperkirakan akan meningkat. Demikian pula produksi benih ikan untuk kebutuhan program restocking di sungai, waduk, dan laut perlu digalakkan di masa datang untuk meningkatkan stok ikan di perairan dan dalam rangka mengikuti kecenderungan perikanan dunia. Meningkatnya stok ikan di alam sudah barang tentu bisa menggairahkan kegiatan memancing, baik sebagai kesenangan (leisure fishing) maupun olahraga (sport fishing)

1.4.4. Produksi Ikan Umpan


Bandeng (Chanos chanos) umpan merupakan contoh akuakulltur untuk dijadikan umpan hidup dalam kegiatan penangkapan tuna. Penggunaan umpan hidup dalam penangkapan tuna dapat meningkatkan laju tangkapan antara 3 sampai 5 kali lebih besar daripada dengan pemakaian umpan segar atau beku. Bandeng dipilih sebagai umpan hidup karena warna tubuhnya keperak-perakkan sehingga menarik perhatian

13

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


tuna. Oleh karena itu, akhir-akhir ini permintaan bandeng hidup sebagai umpan meningkat tajam sejalan dengan perkembangan usaha penangkapan tuna. Selain bandeng, dewasa ini lele (Clarias sp) atau ikan mas (Cyprinus carpio) diproduksi sebagai umpan atau makanan bagi ikan hias, antara lain Louhan dan Arwana. Meskipun memiliki pengertian dan maksud yang berbeda dengan produksi umpan bandeng, tetapi produksi lele dan ikan mas sebagai makanan bagi ikan hias dapat dikelompokkan ke dalam tujuan budidaya perairan untuk produksi umpan. Budidaya lele dan ikan mas untuk dijadikan umpan ikan hias ternyata memberikan penghasilan yang lebih menarik dibandingkan untuk tujuan produksi benih ikan konsumsi.

1.4.5. Produksi Ikan Hias


Selain untuk tujuan konsumsi, kegiatan budidaya perairan juga ditujukan untuk menghasilkan ikan hias (ornamental fish). Ikan hias diproduksi karena memiliki warna dan bentuk tubuh serta tingkah laku yang unik dan menarik sehingga memiliki nilai ekonomis. Nilai ekonomi ikan hias juga dipengaruhi oleh tingkat kesulitan pengembangbiakan (breeding) ikan ini. Semakin sulit dikembangbiakkan sehingga ketersediaan di pasar sangat terbatas bahkan menjadi ikan langka maka ikan hias semakin bernilai ekonomi. Ikan hias dibedakan menjadi ikan hias air tawar dan ikan hias air laut. Teknologi budidaya perairan untuk memproduksi ikan hias air tawar relatif lebih berkembang dibandingkan dengan ikan hias air laut. Oleh karena itu sebagian besar produksi ikan hias air laut berasal dari hasil penangkapan. Beberapa ikan hias air tawar juga diproduksi melalui penangkapan, antara lain Botia (Botia macracanthus) karena ikan belum dapat dikembangbiakkan dalam skala komersial. Arwana, awalnya diproduksi melalui penangkapan di perairan umum, tetapi sekarang sudah dapat diproduksi melalui kegiatan budidaya perairan dalam skala komersial.

1.4.6. Daur Ulang Bahan Organik


Beberapa ikan budidaya perairan dapat memanfaatkan bahan organik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Israel, salah satu jenis ikan tilapia digunakan untuk mengurangi sedimen organic yang terdapat di waduk. Ikan tilapia tersebut mempunyai kemampuan mengkonsumsi bahan organic dan mengonversinya 14

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


menjadi protein daging ikan yang bernilai. Setelah beberapa lama ditebari ikan tilapia tersebut, ternyata ketebalan lapisan sedimen bahan organic di dasar waduk menjadi kurang. Hal ini disebabkan oleh aktivitas konsumsi ikan tilapia tersebut, mengingat hasil pemeriksaan isi lambung ikan ternyata umumnya mengandung bahan organik tersebut. Di desa-desa di Indonesia, seringkali pemeliharaan ikan dilakukan dengan pemanfaatan buangan limbah rumah tangga. Kolam dibangun di belakang rumah bersumber air dari saluran kecil dan sekaligus berfungsi sebagai buangan limbah rumah tangga. Ikan yang dipelihara umumnya ikan yang bisa memanfaatkan limbah organik seperti ikan lele, gurami dan mujair. Pemeliharaan dilakukan secara polikultur dan tidak dilakukan pengaturan kepadatan dan komposisi ikan yang ditebar. Ikan tersebut mungkin tidak diberi pakan dari luar, selain dari limbah rumah tangga tersebut sehingga pertumbuhannya lambat. Pemilik kolam umumnya memanen ikan dari kolam tersebut untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) bukan untuk dijual, dengan cara dipancing atau dijala. Pemanenan total kolam tersebut biasanya dilakukan pada saat hari raya lebaran. Ikan yang dipanen memiliki keragaman jenis dan ukuran yang sangat besar sehingga memang menyulitkan dalam menjual hasil ke pasar. Ikan yang dipanen berasal dari ikan yang memang ditebar dan juga bisa berasal dari luar sebagai ikan liar yang masuk ke dalam kolam melalui saluran air. Ikan liar tersebut umumnya bersifat sebagai predator, seperti gabus dan belut. Di Cina, pengembangan budidaya ikan dalam jaring apung di waduk dan reservoir air lainnya dibarengi dengan pengembangan spesies yang bisa memanfaatkan buangan dan dampak dari kegiatan budidaya tersebut. Buangan dari kegiatan ikan di jaring apung berupa sisa pakan, feses dan metabolit (buangan dari proses metabolisme antara lain amoniak yang dikeluarkan melalui insang ikan). Buangan tersebut umumnya mengandung unsur Nitrogen (N) dan Posfor (P), yang bila larut ke dalam air (setelah diurai oleh bakteri) akan menjadi hara bagi fitoflankton perairan waduk dan reservoir tersebut. Semakin tinggi intensitas kegiatan budidaya ikan dalam jaring apung tersebut maka semakin banyak pula unsur N dan P yang larut dalam air. Artinya, semakin tinggi ketersediaan unsur hara bagi fitoflankton sehingga perairan makin subur. Proses perairan yang mengalami penyuburan tersebut disebut eutrofikasi yang ditandai warna hijau pada air karena banyak mengandung fitoplankton. Air yang terlalu subur menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, seperti defisiensi oksigen pada malam hari

15

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


dan mati massal fitoplankton yang penguraian bangkainya bisa mnyebabkan defisiensi oksigen terlarut pula. Oleh karena itu untuk mengurangi populasi fitoplankton di air diperlukan spesies ikan yang bisa mengonsumsi fitoplankton dan mengonversi fitoplankton tersebut menjadi protein ikan yang bernilai jual, ikan pemanen fitoplankton (phytoplankton grazzer) ditebar ke waduk atau reservoir secara rutin dan boleh ditangkapi oleh nelayan sekitar waduk atau reservoir tersebut sebagai kegiatan mata pencaharian utama perikanan tangkap. Ikan tersebut umumnya dari golongan fitoplankton feeder (grazer), seperti ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix). Ini merupakan strategi pengembangan budidaya ikan di waduk dan reservoir yang berkelanjutan dan berdampak ganda positif terhadap produksi perikanan tangkap di perairan umum. Strategi yang diterapkan di Cina tersebut yang disajikan dalam Gambar 1.7 telah menyebabkan peningkatan produksi perikanan budidaya di waduk atau reservoir sampai batas tertentu dan selalu diikuti dengan peningkatan produksi perikanan tangkapnya. Hal yang terpenting, kedua kegiatan perikanan tersebut memiliki sustainabilitas yang tinggi. Di waduk Cirata, Jawa Barat, setiap 1.000 g pakan (yang mengandung 25 % protein atau 40 g N) yang dimasukkan ke dalam sistem budidaya jaring apung tidak semuanya dapat dikonversi menjadi daging. Dari 1.000 g pakan tersebut mungkin dapat dikonversi menjadi 588 g daging ikan (setara dengan 105,84 protein atau 16,93 g N) saja atau konversi pakan (FCR = feed conversion ratio) sama dengan 1,7. Dengan kata lain, dari 40 g N pakan menjadi hanya 16,93 g N daging ikan atau terjadi retensi nitrogen dalam tubuh ikan sebesar 42 % saja. Nitrogen lainnya sebanyak 19,07 g larut ke dalam perairan dan menjadi hara bagi fitoplankton yang dengan bantuan sinar matahari mengonversinya menjadi N fitoplankton (eutrofikasi). Dengan demikian setiap 40 g N pakan (1000 g) telah dokonversi menjadi 19,07 N fitoplankton. Penebaran ikan yang bisa mengkonsumsi fitoplankton tersebut seperti ikan mola, tambakan, nilem, dan kerang air tawar diharapkan bisa memanfaatkan limbah organik ini. Secara teori, dengan menggunakan nilai retensi protein sebesar 42 % seperti di atas, N fitoplankton ini dapat dikonversi menjadi sebanyak 8,01 g N atau 50,06 g protein daging ikan mola.

16

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN

Gambar 1.2. Strategi pengembangan budidaya ikan di waduk dan reservoir yang diikuti pengembangan perikanan tangkap dengan menggunakan konsep daur ulang limbah. Kandungan protein daging ikan mola diperkirakan sebanyak 19,77%, sehingga dari konversi tersebut di atas dapat dihasilkan sebanyak 253,21 g daging ikan mola. Dengan demikian, setiap 1000 g pakan yang dimasukkan ke dalam sistem dapat diproduksi pula sebanyak 253,21 g daging ikan mola, seiring dengan membaiknya, bukan memburuknya kualitas lingkungan waduk Cirata.

17

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN 1.4.7. Produksi Bahan Industri


Dampak dari industrialisasi dan globalisasi telah menyebabkan meningkatnya secara luar biasa permintaan akan barang/produk kebutuhan hidup seperti pangan, sandang, papan dan kebutuhan sekunder atau tersier lainnya. Diversifikasi produk, baik untuk kegunaan yang sama maupun menjadi berbeda, telah menjadi keharusan. Demikian pula dengan produk budidaya perairan. Beberapa produk budidaya perairan kini telah menjadi bahan baku industri penting seperti industri pakan, obat-obatan atau farmasi, kosmetika, tekstil dan bahan kimia lainnya seperti industri cat, keramik, pasta gigi dan sebagainya. Diversifikasi produk budidaya perairan ternyata mampu memberikan nilai tambah 8-50 kali. Rumput laut, patin, nila, dan fitoplankton chlorella merupakan contoh komoditas budidaya perairan yang telah menjadi bahan baku suatu industri. Beberapa spesies lain, seperti Koridoras dan udang mimi memiliki darah yang bisa dimanfaatkan untuk industri farmasi dan kosmetika. Rumput laut (Sea weed, alga, ganggang) merupakan komoditas budidaya perairan sebagai bahan baku industri. Rumput laut terdiri dari beberapa jenis, yakni Carrageenophites, yaitu jenis rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottonii, Kappaphycus alvorezii, dan Eucheuma spinosum. Selain itu juga terdapat jenis Agarophytes, jenis rumput laut penghasil agar-agar seperti Gracillaria gigas, Gracillaria verucosa, serta Alginophytes, yakni rumput laut penghasil alginat seperti Sargassum sp. Carrageenophytes dan Agarophytes umumnya dihasilkan oleh spesies rumput laut yang masuk ke dalam famili alga merah, sedangkan Alginophyta umumnya dihasilkan oleh spesies yang masuk ke dalam famili alga biru. Karaginan, agar-agar dan alginat adalah polisakarida yang merupakan bahan untuk penstabil, pengemulsi, pengental dan aditif pada industri kosmetika (sabun mandi, sampo, pelembab kulit, pasta gigi, dan sebagainya), industri farmasi (tablet, kapsul, salep, insektisida, pestisida dan sebagainya), industri tekstil, industri keramik, industri pangan dan sebagainya. Pada awalnya rumput laut digunakan untuk pangan dan obat. Namun, karena sifat bahan yang dikandungnya tersebut di atas, rumput dimanfaatkan pula untuk bahan baku industri. Selain rumput laut, patin dan nila merupakan produk budidaya perairan yang dijadikan bahan baku industri yakni industri makanan. Ikan tersebut diproduksi tidak untuk dikonsumsi, melainkan diolah dulu menjadi produk lain. Nila diproduksi dalam wadah kultur hingga mencapai ukuran lebih dari 1kg /ekor, kemudian di fillet. Daging laut lebih banyak

18

DASAR-DASAR BUDIDAYA PERAIRAN


ikan nila ini dijadikan sebagai bahan baku industri makanan. Daging nila memiliki tekstur yang hampir mirip dengan daging udang windu sehingga bisa dioleh menjadi daging udang buatan (artificial shrimp) dengan menambahkan rasa dan aroma (essen) udang. Ikan patin juga sudah menjadi produk untuk bahan baku industri makanan. Ikan ini diproduksi dan setelah mencapai ukuran minimum 1 kg/ekor dilakukan proses deboning, yakni pemisahan daging dari tulang dan bagian tubuh ikan lainnya. Daging patin memiliki tekstur yang sesuai untuk pembuatan sosis, burger, bakso, nugget dan produk makanan olahan lainnya. Pada masa yang akan datang diperkirakan akan lebih banyak lagi produk budidaya perairan yang menjadi bahan baku industri.

19

Вам также может понравиться