Вы находитесь на странице: 1из 82

Kependidikan

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

PENGEMBANGAN MODEL INSTRUMEN PENDETEKSI MISKONSEPSI KIMIA PADA PESERTA DIDIK SMA

DAS SALIRAWATI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini Indonesia telah berbenah diri untuk melakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, sejak diundangkannya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2003). Arah pembaharuan pendidikan di Indonesia menjadi lebih terarah setelah dikeluarkannya PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (2005), yang berisi 8 (delapan) standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Salah satu standar nasional pendidikan yang sangat penting dalam pembaharuan pendidikan adalah standar isi yang merupakan pegangan bagi guru dalam mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran. Pembaharuan pendidikan dilakukan berlandaskan delapan standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan merupakan ukuran minimal tujuan pendidikan yang harus dapat dicapai dalam waktu yang akan datang, baik untuk pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Standar nasional pendidikan lebih banyak mengatur pendidikan dasar dan menengah, sedangkan pengaturan pendidikan tinggi lebih banyak diserahkan kepada perguruan tinggi yang bersangkutan. Mata pelajaran kimia SMA/MA merupakan salah satu mata pelajaran kelompok Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam standar isi. Pembaharuan pembelajaran kimia di SMA/MA lebih ditujukan pada pembelajaran kimia yang efektif dan efisien. Dalam rangka melaksanakan hal ini, telah dilakukan berbagai inovasi pendidikan, seperti pembelajaran siswa aktif, pembelajaran-aktif-kreatifefektif-menyenangkan (PAKEM).

Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA (Permekdiknas RI Nomor 22, 2006), disebutkan bahwa mata pelajaran kimia di SMA/MA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerjasama dengan orang lain 3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis 4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menya-dari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejah-teraan masyarakat 5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi. Tujuan nomor (5) adalah tujuan pembelajaran kimia dalam aspek kognitif. Hal ini berarti bahwa memahami konsep kimia dalam pembelajaran kimia merupakan hal sangat penting. Pada kenyataannya, peserta didik sering mengalami kesulitan dalam memahami berbagai konsep kimia. Pemahaman konsep kimia oleh peserta didik yang tidak sesuai dengan konsep kimia yang benar menurut para ahli kimia, disebut sebagai miskonsepsi kimia atau konsep alternatif kimia. Akibat lebih jauh terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik, menyebabkan terjadinya hasil belajar kimia yang rendah. Hasil belajar kimia SMA DIY dan lima Kabupaten yang terdapat di DIY ditunjukkan oleh hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun pelajaran 2007/2008 dan 2008/2009 (Depdiknas, 2008, 2009) terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil UAN Kimia SMA DIY Wilayah DIY Kota Yogyakarta Sleman Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Nilai Rata-rata UAN 2007/2008 2008/2009 7,08 8,50 7,12 8,50 7,13 8,47 7,27 8,87 6,94 8,00 6,54 8,22

Menurut BSNP (2006 : 12), ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran berkisar antara 0100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Hal ini berarti secara ideal diharapkan setiap mata pelajaran (termasuk kimia) memiliki nilai ideal sebesar 7,5 pada skala 10. Meskipun setiap sekolah diperbolehkan menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran, namun sekolah diharapkan dapat terus menerus meningkatkan kriteria ketuntasan belajar untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal. Melihat nilai rata-rata UAN Kimia DIY tahun pelajaran 2007/2008 sebesar 7.08, berarti DIY belum mampu mencapai ketuntasan ideal untuk mata pelajaran kimia. Namun demikian nilai rata-rata UAN Kimia DIY tahun pelajaran 2008/2009 mengalami kenaikan yang relatif tinggi, yaitu menjadi 8,50. Meskipun mengalami kenaikan, tetapi jika ditinjau dari nilai rata-rata UAN Kimia untuk tiap-tiap sekolah ada 31 SMA dari 141 SMA (21,98%) yang ada di DIY yang masih memiliki nilai UAN Kimia di bawah kriteria ketuntasan ideal, bahkan ada yang memiliki nilai ratarata UAN Kimia 3,21, yaitu SMA PGRI Pengasih (lihat Lampiran 1).. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peserta didik di DIY yang mengalami kesulitan dalam menguasai materi kimia dengan baik. Salah satu diantaranya kemungkinan adanya miskonsepsi yang dialami peserta didik. UAN adalah penilaian terhadap produk

belajar yang tidak bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi, sedangkan dalam suatu pembelajaran sangat penting untuk mengetahui bagaimana proses perolehan konsep kimia peserta didik tersebut hingga mereka dapat menguasai materi kimia dengan benar. Oleh karena itu pengembangan instrumen yang mampu mendeteksi miskonsepsi sangat penting dilakukan. Studi pendahuluan tentang materi apa saja yang sering menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik dilakukan peneliti terhadap 125 guru kimia SMA di DIY dan Jawa Tengah (Lampiran 1). Studi pendahuluan ini dilakukan terhadap guru-guru kimia, karena guru merupakan sosok yang paling mengetahui tentang kesulitan belajar yang dialami peserta didik, dan guru pula yang mengetahui konsep-konsep kimia mana saja yang seringkali menyebabkan miskonsepsi pada peserta didiknya. Berdasarkan studi pendahuluan ini menunjukkan enam urutan Materi Pokok yang sering menyebabkan peserta didik mengalami miskonsepsi yang dapat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Studi Pendahuluan Miskonsepsi Materi Kimia SMA/MA No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kelas / Semester X/1 XI / 1 X / 1 dan XI / 1 X / 1 dan XI / 1 X/1 XI / 2 Materi Pokok Tatanama Senyawa Anorganik dan Organik Sederhana serta Persamaan Reaksinya Kesetimbangan Kimia Ikatan Kimia Struktur Atom Hukum-hukum Dasar Kimia Hidrolisis Garam Terjadinya Miskonsepsi Sering Kadang Jarang -kadang 38 59 28 34 32 29 26 23 57 45 54 44 51 34 48 42 55 51

Pada penelitian ini akan dikembangkan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) dengan pilihan pada materi pokok kesetimbangan kimia, karena berbagai alasan, yaitu :

1.

Materi pokok dengan tingkat miskonsepsi urutan pertama, yaitu tatanama senyawa anorganik dan organik sederhana dan persamaan reaksinya dan urutan ke-5 sudah pernah digunakan sebagai materi dalam penelitian yang dilakukan Sidauruk (2005), yaitu mengenai miskonsepsi Stoikiometri pada siswa SMA.

2.

Materi pokok struktur atom materinya terpisah pada kelas dan semester yang berjauhan, yaitu kelas X semester 1 dan kelas XI semester 1, sehingga jika materi pokok ini dipilih kesulitan dalam melakukan ujicoba. Demikian juga untuk materi pokok ikatan kimia.

3.

Materi pokok hidrolisis garam ruang lingkup materinya terlalu sempit, sehingga sulit untuk dibuat instrumen soal dalam jumlah yang relatif banyak. Selain ketiga alasan tersebut, pemilihan materi pokok kesetimbangan kimia

juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sutiman, Das Salirawati, & Lis Permanasari (2003) terhadap 236 peserta didik di Kabupaten Sleman yang menunjukkan 63,42% dari jumlah sampel mengalami miskonsepsi pada materi pokok kesetimbangan kimia dan menempati urutan pertama dari seluruh materi pokok kimia yang ada di SMA. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen tes pilihan ganda 5 alternatif jawaban dengan alasan tertutup seperti yang dikembangkan oleh Treagust (1987). Menurut Middlecamp & Kean (1985: 5), belajar kimia adalah belajar konsep kimia yang selalu bersifat abstrak. Hal inilah yang seringkali menyebabkan peserta didik sulit untuk memahami konsep-konsep kimia. Sejalan dengan hal tersebut, Johnstone & MacGuire (1987) menyatakan bahwa konsep-konsep sains yang sifatnya abstrak telah terbukti sulit dipahami oleh sebagian besar peserta didik. Lebih lanjut Mulyati Arifin (1995: 223) mengemukakan sumber kesalahan yang dilakukan peserta didik ketika mempelajari kimia antara lain membaca kalimat dan istilah, memahami konsep, dan operasi matematika.

Kesetimbangan kimia adalah salah satu materi pokok kimia yang dipelajari di SMA di kelas XI semester 1. Materi ini berisi tentang (1) kesetimbangan dinamis, (2) kesetimbangan homogen, dan heterogen, (3) tetapan kesetimbangan, (4) pergeseran kesetimbangan, (5) hubungan kuantitatif antar komponen dalam reaksi kesetimbangan, dan (6) kesetimbangan kimia dalam proses industri. Selain memerlukan pemahaman konsep yang mendalam, untuk menguasai materi ini peserta didik diharapkan mampu menerapkan konsep tersebut dalam memecahkan soal-soal perhitungan. Penelitian yang dilakukan oleh Bergquist & Heikkinen (1990) menunjukkan terjadinya berbagai miskonsepsi pada materi kesetimbangan kimia, terutama ketika pertanyaan menuntut peserta didik melakukan sintesis dan menerapkan konsep dalam permasalahan kesetimbangan kimia. Miskonsepsi tersebut diantaranya dalam hal menghitung konsentrasi ketika molaritas telah diketahui, kesalahan pemahaman reaksi reversibel dianggap reaksi berkesudahan, penambahan zat reaktan dianggap hanya akan mengubah konsentrasi zat produk dan kesulitan menentukan perubahan tersebut, nilai Kc berubah meskipun harga T tetap. Penelitian yang dilakukan Huddle & Pillay (1996) menunjukkan sebagian besar mahasiswa di Perguruan Tinggi di Afrika Selatan belum memahami secara utuh konsep stoikiometri dan kesetimbangan kimia, yaitu dua konsep yang sangat berkaitan erat. Kesulitan utama dalam memahami kedua konsep ini terletak pada keabstrakannya dan karena diajarkan sebelum peserta didik mencapai tahap berpikir operasi formal. Seperti diketahui, untuk menghitung mol, volum, massa, jumlah partikel dari suatu unsur atau senyawa yang terlibat dalam suatu reaksi kepada peserta didik hanya disajikan angka-angka yang mewakili kuantitas zat yang diketahui dalam soal, sehingga diperlukan kemampuan abstraksi mereka dalam mengaitkan angkaangka dengan sesuatu yang ditanyakan dalam soal. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh peserta didik yang memahami konsep kimia secara komprehensif, utuh, dan benar. Adanya miskonsepsi kimia dari salah satu konsep, maka akan didapatkan penyelesaian soal kimia yang salah.

Penguasaan materi kesetimbangan kimia memerlukan kemampuan peserta didik dalam menuliskan persamaan reaksi kimia dengan benar, memahami arti bilangan indeks dan koefisien, pemahaman konsep massa molar dan massa reaksi. Penelitian yang dilakukan Friedel & Maloney (1992) menunjukkan adanya kesalahan dalam penyelesaian soal yang berkaitan dengan pemahaman dan penguasaan kemampuan tersebut. Bahkan kesalahan penerapannya dilakukan secara konsisten untuk soal yang berbeda dengan substansi pertanyaan sama. Menis & Frase (1992) menunjukkan hasil uji prestasi kimia dari 1.177 siswa Australia dan 537 siswa Amerika yang tergabung dalam second international science study relatif rendah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rendahnya skor yang diperoleh disebabkan adanya beberapa miskonsepsi, diantaranya siswa kesulitan dengan konsep mol dan menghitung perbandingan stoikiometris, siswa kurang memahami sifat-sifat kimia dan fisika materi, dan siswa tidak mampu menerapkan hubungan yang bersifat matematis pada konsep kimia. Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa hasil belajar kimia yang rendah antara lain disebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada diri peserta didik. Miskonsepsi kimia saat ini menjadi kajian penting dalam pembelajaran kimia. Kajian miskonsepsi kimia sebagian besar bertujuan (a) menentukan terjadi tidaknya miskonsepsi kimia pada berbagai materi pokok kimia, (b) menentukan sebab-sebab terjadinya miskonsepsi kimia, dan (c) usaha mencegah terjadinya miskonsepsi kimia. Menurut Paul Suparno (2005: 8), miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli. Beberapa peneliti cenderung menggunakan istilah konsep alternatif, karena dengan istilah itu menunjukkan adanya keaktifan peserta didik mengontruksi pengetahuan mereka. Berdasarkan pengalaman, miskonsepsi sulit dibenahi atau dibetulkan, padahal miskonsepsi dapat terjadi pada semua level, mulai dari peserta didik SD sampai Perguruan Tinggi (Gil-Perez & Carrascosa, 1990). Menurut Beek & Louters (1991), sebagian besar maha(siswa) kesulitan dalam memahami bahasa kimia dan hal ini berpengaruh pada kemampuannya menyelesai-

kan masalah kimia. Penelitian senada dilakukan Lynch (1989) tentang bagaimana peranan bahasa komunikasi di kelas dalam mengatasi terjadinya miskonsepsi kimia alam diri peserta didik Menurutnya apa yang diucapkan guru di kelas belum tentu semuanya dapat dipahami dengan baik dan benar oleh peserta didik. Beberapa dimensi komunikasi yang dapat menyebabkan miskonsepsi kimia diantaranya banyaknya kata-kata dalam ilmu kimia yang bersifat teknis dan hubungan logis, frekuensi peserta didik mengungkapkan pendapatnya relatif masih kurang, perbedaan bahasa yang digunakan guru dan peserta didik, dan ragam bahasa yang digunakan peserta didik (tidak ada keseragaman bahasa terhadap konsep kimia yang sedang dipelajari). Penelitian miskonsepsi kimia selama ini masih jarang dilakukan, baru terlihat dominasi penelitian pendidikan kimia, khususnya miskonsepsi kimia sejak 15 tahun terakhir yang dipicu oleh kenyataan bahwa kimia berisi banyak konsep kimia yang cenderung bersifat abstrak (Gabel, 1999). Berbeda dengan bidang fisika dan biologi yang telah banyak melakukan penelitian miskonsepsi sejak tahun 1980-an (Nakhleh, 1992). Beberapa peneliti mencoba mengembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia berbentuk soal pilihan ganda, seperti Bergquist & Heikkinen (1990) pada materi kesetimbangan kimia, Beek & Louters (1991) pada masalah keterampilan matematika dan bahasa kimia, Menis & Frase (1992) pada materi teori dasar kimia, energi kimia, larutan, asam dan basa, reaksi kimia, redoks, kimia organik, dan kimia nuklir, Kim Chwee Daniel Tan, Ngoh Khang Goh, Lian Sai Chia & Treagust (2002) pada materi analisis kualitatif kimia anorganik. Beberapa peneliti lainnya mencoba mengembangkan teknik tertentu untuk mendeteksi miskonsepsi kimia, diantaranya Garnett & Treagust (1992) pada materi elektrokimia dan sel elektrolisis melalui wawancara, Nakhleh (1992, 1994) pada semua materi kimia di tingkat elementary dan middle school melalui wawancara semi-terstruktur, Odom & Barrow (1995) pada materi difusi dan osmosis melalui wawancara dan uji tertulis. Huddle & Pillay (1996) pada materi stoikiometri dan

kesetimbangan kimia dengan bentuk instrumen Chemistry Examination (lembar ujian kimia). Krishnan & Howe (1994) pada materi konsep mol dengan bentuk instrumen 4 tipe, yaitu simple multiple-choice questions, two-tier true-false questions with reasons, two-tier multiple-choice items, dan problems. Staver & Lumpe (1995) pada materi konsep mol melalui tes tertulis, kumpulan masalah, dan laporan hasil percobaan. Sidauruk (1999, 2005) pada perubahan materi, hukum kekekalan massa, sistem periodik, stoikiometri dengan bentuk instrumen soal isian dan pilihan ganda. Instrumen untuk mendeteksi adanya miskonsepsi kimia, khususnya tentang materi pokok kesetimbangan kimia belum banyak dijumpai dan dikembangkan. Kalaupun ada, sebagian besar berbentuk soal pilihan ganda biasa, soal uraian, atau wawancara. Selain sulit diperoleh dari pengembang instrumen tersebut, kurikulum, kedalaman dan keluasan materi kesetimbangan kimia di negara lain berbeda, sehingga relatif tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pengembangan model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia, khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia yang sesuai dengan kurikulum, kedalaman dan keluasannya, sehingga dapat digunakan secara mudah oleh guru dalam mendeteksi adanya miskonsepsi pada peserta didik SMA di Indonesia. Meskipun miskonsepsi kimia sulit untuk dibetulkan, tetapi bukan berarti kita membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut. Secara dini harus diketahui terjadinya miskonsepsi kimia, sehingga dapat dilakukan pencegahan sesegera mungkin. B. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan (validasi isi, validasi ahli, dan validasi empirik) dan uji coba di lapangan sebagai uji visibilitas. C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam:

10

1. Memberikan sumbangan ilmiah pada ilmu pendidikan kimia. 2. Memberikan kemudahan pada guru kimia SMA tentang cara mendeteksi terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik, setelah mempelajari materi pokok kesetimbangan kimia kelas XI semester 1. 3. Memberikan informasi bagi guru-guru kimia tentang sebab-sebab terjadinya miskonsepsi kimia ditinjau dari substansi materinya pada materi pokok kesetimbangan kimia kelas XI semester 1. 4. Mengembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia pada materi pokok yang lain. 5. Mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada materi pokok kesetimbangan kimia. D. Urgensi (Keutamaan Penelitian) Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA disebutkan bahwa salah satu tujuan pembelajaran kimia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi. Hal ini berarti memahami konsep kimia dalam pembelajaran kimia sangat penting. Pada kenyataannya, peserta didik sering mengalami kesulitan dalam memahami berbagai konsep kimia. Bahkan sebagian peserta didik mengalami miskonsepsi karena pemahamannya terhadap konsep kimia tidak sesuai dengan konsep kimia yang benar menurut para ahli kimia. Mengingat konsep-konsep kimia saling berkaitan satu dengan yang lain, maka miskonsepsi pada suatu konsep dapat menyebabkan miskonsepsi pada konsep lainnya. Akibatnya jika miskonsepsi ini terjadi berlarut-larut prestasi belajar kimia menjadi rendah. Miskonsepsi dapat terjadi pada diri peserta didik oleh berbagai sebab, seperti masih variatifnya teori-teori belajar yang digunakan guru, masih kurangnya kompetensi yang dimiliki guru, beragamnya cara dan gaya belajar peserta didik. Selain itu belum seragamnya cara pemaparan dan kualitas buku teks pelajaran kimia, perbedaan lingkungan belajar peserta didik, beragamnya metode mengajar yang digunakan guru

11

dalam penyampaian materi, bervariasinya media pembelajaran kimia yang digunakan sebagai alat bantu dalam pembelajaran, dan masih sangat terbatasnya peralatan dan bahan laboratorium kimia untuk melakukan eksperimen kimia, semuanya itu dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik. Penelitian miskonsepsi kimia selama ini masih jarang dilakukan, baru terlihat dominasi penelitian pendidikan kimia, khususnya miskonsepsi kimia sejak 15 tahun terakhir yang dipicu oleh kenyataan bahwa kimia berisi banyak konsep kimia yang selalu bersifat abstrak (Gabel, 1999). Berbeda dengan bidang fisika dan biologi yang telah banyak melakukan penelitian miskonsepsi sejak 1980-an (Nakhleh, 1992). Berdasarkan hal tersebut, maka adanya pengembangan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia sangat penting untuk dilakukan. Urgensi atau keutamaan penelitian pengembangan ini adalah diperolehnya sebuah model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia, khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia yang benarbenar dapat mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi pada peserta didik kelas XI SMA. Model instrumen ini dikembangkan dengan melalui langkah-langkah yang sistematis agar benar-benar diperoleh instrumen yang valid, baik secara teoretis maupun empirik. Selain itu melalui uji coba skala besar diharapkan akan diketahui visibilitas dari model instrumen yang dikembangkan di lapangan, baik mengenai mudah sukarnya diterapkan oleh guru kimia SMA, mudah sukarnya dianalisis, mudah tidaknya dalam mendeteksi dan mengidentifi-kasi penyebab terjadinya miskonsepsi, sehingga guru dapat menentukan langkah-langkah tepat untuk mengatasinya. Urgensi penelitian ini secara teoretis adalah dengan dihasilkannya sebuah model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia, memiliki arti penting bagi pengembangan sistem evaluasi pembelajaran kimia di sekolah, sehingga mampu memberikan inspi-rasi bagi peneliti lain dan guru-guru kimia SMA dalam mengembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia pada materi pokok lainnya. Di samping itu, instrumen yang telah dikembangkan dapat dijadikan landasan teoretis bagi pengembangan penelitian berikutnya dan dijadikan sebagai penelitian yang relevan. Dengan demikian, hasil penelitian pengembangan ini dapat dijadikan referensi bagi pengka-

12

jian model instrumen evaluasi pembelajaran bidang studi lain di berbagai jenjang dan jenis pendidikan.

BAB II STUDI PUSTAKA


A. Belajar Kimia Ilmu kimia memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya sebagian besar berisi konsep kimia yang selalu bersifat abstrak, konsep-konsep kimia sifatnya berurutan dan berkembang dengan cepat, tidak sekedar berisi pemecahan tes-tes, konsep-konsep kimia jumlahnya sangat banyak dengan karakteristik setiap topik berbeda-beda (Middlecamp & Kean, 1985: 5-9). Dengan ciri-ciri yang demikian menyebabkan sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam belajar kimia. Salah satu faktor yang sangat besar andilnya dalam menghambat pencapaian prestasi belajar yang memuaskan, yaitu adanya miskonsepsi kimia dalam diri peserta didik, baik disebabkan prakonsepsi yang dibawa peserta didik ketika mereka mencoba mengonstruksi sendiri konsep tersebut di pikirannya maupun miskonsepsi buatan sekolah (school made misconception) (Barke, 2009). Miskonsepsi kimia yang berlarut-larut akan merusak sistem pemahaman peserta didik terhadap ilmu kimia secara keseluruhan, mengingat konsep-konsep kimia sebagian besar saling berkaitan satu sama lain. B. 1. Miskonsepsi Kimia Pengertian Miskonsepsi Kimia Konsep pada dasarnya dibangun dari persamaan-persamaan objek, peristiwa, atau fenomena alam (Liliasari, et al., 1998: 1.26). Pendapat serupa dikemukakan De Cecco & Crawford. (1993: 288) yang mengartikan konsep sebagai suatu kelompok stimulus yang memiliki karakteristik tertentu yang sama, dimana stimulus ini dapat berupa objek, peristiwa, atau orang. Konsep kimia adalah abstraksi fakta-fakta kimia sejenis yang saling berhubungan, yang berarti konsep kimia dibangun oleh sejumlah fakta kimia. Oleh karenanya konsep kimia selalu bersifat abstrak.

13

Seseorang yang ingin mempelajari konsep dituntut adanya kemampuan untuk mengamati persamaan dan perbedaan yang ada, sehingga kemampuan ini akhirnya berguna dalam pengembangan konsep yang dikuasainya. Dengan penguasaan konsep tersebut memungkinkan individu dapat menerjemahkan/menafsirkan dunia fisik dan sosial atau membuat respon yang tepat. Konsep hanya ada dalam pikiran seseorang sebagai abstraksi dari kejadiankejadian, objek-objek, fenomena yang memiliki sifat-sifat atau atribut tertentu. Jadi, jika ada berbagai kejadian, objek, atau fenomena yang tidak memiliki ciri-ciri yang dituntut oleh sebuah konsep, maka ia berada di luar konsep itu. Sukar mudahnya suatu konsep untuk dipahami sangat tergantung pada tingkat keabstrakan dari konsepkonsep tersebut. Moh. Amien (1987: 18) membedakan konsep menjadi 3 jenis berdasarkan bentuknya, yaitu : a. b. konsep klasifikasional, mencakup bentuk konsep yang didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta ke dalam bagan-bagan yang terorganisir; konsep korelasional, mencakup kejadian-kejadian khusus yang saling berhu-bungan, atau observasi-observasi yang terdiri atas dugaan-dugaan terutama berbentuk formulasi prinsip-prinsip umum, dan c. konsep teoretik, mencakup bentuk konsep yang mempermudah kita dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang terorganisir. Nana Sudjana (1989: 27) mensyaratkan kondisi untuk mempelajari konsep, yaitu unsur-unsur prasyarat hendaknya diulang lagi; konsep yang lebih tinggi tingkatannya harus menekankan sifat-sifat umum yang memiliki hubungan dengan setiap konsep dasar; konsep prasyarat harus jelas dan siap terdapat dalam ingatan sebelum suatu konsep yang lebih tinggi dikembangkan. Hal ini berarti pemahaman terhadap konsep dasar kimia sangat memegang peranan dalam pemahaman konsepkonsep kimia selanjutnya. Oleh karena itulah, seorang guru kimia yang memperkenalkan pertama kali suatu konsep dasar kimia diharapkan tidak salah dalam

14

penyampaian, karena hal ini akan berakibat fatal ketika konsep tersebut digunakan sebagai prasyarat memahami konsep kimia yang lain. Konsep sebagai wujud hasil dari proses pembelajaran yang dicerminkan dalam bentuk nilai/prestasi belajar kimia akan melibatkan proses perubahan dari prakonsepsi awal yang dimiliki peserta didik sebagai usaha pencapaian keutuhan konsep, sehingga permasalahan salah konsep atau miskonsepsi tidak akan muncul. Setiap peserta didik telah memiliki struktur kognitif yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Sebelum peserta didik mempelajari konsep kimia, mereka telah memiliki konsep yang dibawa sebagai pengetahuan awal yang disebut prakonsepsi. Konsep yang dibawa dan dikembangkan sendiri ini tidak selalu sama dengan konsep sebenarnya yang dikemukakan para ahli kimia. Ketika mereka mengikuti proses pembelajaran dan menerima konsep baru, ia akan berusaha menyelaraskan konsep baru tersebut dengan konsep yang telah dimilikinya. Dalam proses penyelarasan ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu kemungkinan : a. b. c. guru menyampaikan konsep tetapi salah dan peserta didik mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya sudah benar; guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik tidak mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah; atau guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah. Jika kemungkinan (1) dan (2) yang terjadi, maka dalam diri peserta didik sebenarnya telah terjadi miskonsepsi yang disebabkan / dibuat sekolah (school made misconception) dan dibuat peserta didik itu sendiri. Jika hal ini tidak terdeteksi secara dini oleh guru, maka miskonsepsi akan berlarut-larut dan berakibat fatal pada pemahaman konsep kimia yang salah secara keseluruhan. Jika kemungkinan (3) yang terjadi, berarti aliran konstruktivistik telah terbentuk dalam diri peserta didik tersebut, dan inilah yang diharapkan dalam proses pembelajaran.

15

Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28), belajar dengan pendekatan konstruktivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman atau pengetahuan dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinterprestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan suatu konsep. Pemahaman setiap orang mengenai suatu konsep disebut konsepsi, dimana setiap orang memiliki konsepsi yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Daya pikir dan daya tangkap setiap peserta didik terhadap stimulus yang ada di lingkungan tidak akan persis sama. Ada kemungkinan beberapa peserta didik memiliki konsepsi yang salah terhadap suatu konsep, keadaan inilah yang disebut sebagai miskonsepsi (Liliasari, 1998: 1.29). Menurut Paul Suparno (2005: 4) miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Sebagai contoh, peserta didik berpendapat bahwa ketika suatu reaksi mencapai kesetimbangan, konsentrasi zat dalam reaksi akan tetap dan reaksi terhenti. Konsep tersebut salah, karena konsentrasi zat dalam reaksi kesetimbangan selalu berubah-ubah, hanya perubahan ini dalam skala yang sangat kecil (mikroskopis), tetapi dalam skala makroskopis atau dalam perhitungan, konsentrasi zat yang dapat diamati adalah tetap dan reaksi dianggap terhenti.

16

Novak & Gowin (1984) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima, sedangkan Brown (1989, 1992) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Feldsine (1987) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan atau hubungan tidak benar antar konsep. Arti miskonsepsi secara lebih rinci dikemukakan Fowler & Jaoude (1987), yaitu miskonsepsi diartikan sebagai pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsepkonsep yang berbeda, dan hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar. Beberapa ahli menyamakan miskonsepsi dengan salah konsep, namun sebenarnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda ditinjau dari sumber penyebabnya. Miskonsepsi kimia merupakan pemahaman yang salah terhadap suatu konsep kimia yang bersumber dari kesalahan peserta didik itu sendiri dalam memahaminya, sedangkan salah konsep pemahaman yang salah terhadap suatu konsep kimia karena sumber berasalnya konsep tersebut (buku kimia atau guru kimia) memang salah, akibatnya peserta didik juga salah memahami. Sebagai contoh miskonsepsi, peserta didik memahami ikatan dalam gas hidrogen klorida adalah ikatan ion, karena larutannya dalam air, HCl terurai menjadi ion H+ dan Cl-, padahal ikatan dalam bentuk gas adalah ikatan kovalen. Contoh salah konsep, dalam buku kimia tertulis perubahan fisika adalah perubahan dimana zat tidak dapat kembali ke bentuk semula. Peserta didik memahami konsep tersebut persis seperti yang tertulis dalam buku. Padahal konsep yang benar adalah perubahan fisika adalah perubahan yang tidak menghasilkan zat yang jenisnya baru. Jika salah konsep ini terjadi, maka ketika peserta didik menjumpai perubahan beras kasar menjadi tepung beras, ia akan mengkategorikan sebagai perubahan fisika, karena tepung beras tidak dapat kembali menjadi beras. Pada umumnya peneliti modern lebih menyukai penggunaan istilah konsep alternatif daripada miskonsepsi. Hal ini karena berbagai alasan (Wandersee, Mintzes, & Novak, 1994), yaitu:

17

a. b. c.

konsep alternatif lebih menekankan adanya kesalahan pemahaman berdasarkan pengalaman yang dikonstruksi oleh peserta didik sendiri; lebih memberikan penghargaan intelektual kepada peserta didik bahwa merekalah yang memiliki gagasan / ide tersebut; dan seringkali konsep alternatif secara kontekstual masuk akal dan berguna untuk menjelaskan beberapa persoalan yang sedang dihadapi peserta didik. Penggunaan istilah konsep alternatif memberikan penghargaan tersendiri bagi

peserta didik yang memiliki gagasan/ide berbeda dengan gagasan/ide para ahli. Konsep yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa dalam pembentukan pengetahuan, peserta didik berusaha mengontruksi konsep itu sendiri. Guru tidak perlu menyalahkan mentah-mentah konsep hasil konstruksi peserta didiknya, karena mereka mengonstruksi berdasarkan pengalaman hidupnya dan kadang-kadang konsep tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan permasalahan hidupnya sehari-hari. Sebagai contoh, ketika peserta didik mengonstruksi konsep bahwa semua zat padat jika dilarutkan dalam air panas akan lebih cepat melarut berdasarkan pengalamannya. Meskipun konsep yang terkonstruksi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena zat padat yang dilarutkan bukan berarti semua mengalami proses melarut (proses fisik), ada juga yang mengalami reaksi dengan pelarutnya (proses kimia), namun konstruksi konsep tersebut berguna dalam permasalahan sehari-hari yang berkaitan dengan pelarutan suatu zat padat dalam zat cair. Istilah miskonsepsi masih tetap dipertahankan dan digunakan oleh beberapa peneliti dengan berbagai alasan, yaitu miskonsepsi memiliki makna bagi orang awam; dalam pendidikan sains, istilah miskonsepsi membawa pengertian-pengertian tertentu sesuai dengan pemikiran saintifik saat ini; dan istilah miskonsepsi lebih mudah dimengerti, baik oleh para guru maupun orang awam (Wandersee, Mintzes, & Novak, 1994). Dengan kata lain, istilah miskonsepsi lebih mudah dipahami oleh siapa saja yang berhubungan dengan dunia pendidikan daripada istilah konsep alternatif, karena istilah miskonsepsi telah diketahui umum dan sudah mencerminkan arti dengan sangat jelas. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini

18

memilih menggunakan istilah miskonsepsi. Jadi, miskonsepsi kimia oleh peserta didik diartikan sebagai pemahaman yang salah terhadap konsep kimia. Berg (1991: 17) merangkum ciri-ciri miskonsepsi menurut beberapa literatur sebagai berikut : a. b. miskonsepsi sulit sekali diperbaiki; seringkali sisa miskonsepsi terus-menerus mengganggu. Soal-soal yang seder-hana dapat dikerjakan, tetapi dengan soal yang sedikit lebih sulit, miskonsepsi muncul lagi; c. d. dihindari; e. guru pada umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang lazim terjadi pada peserta didiknya dan tidak menyesuaikan proses pembelajaran dengan miskonsep-si yang dialami peserta didiknya. f. peserta didik yang pandai dan yang lemah dapat terkena miskonsepsi. Miskonsepsi kimia yang dialami peserta didik jelas sangat merugikan bagi kelancaran dan keberhasilan belajar mereka, apalagi jika miskonsepsi sudah terjadi lama dan tidak terdeteksi secara dini, baik oleh peserta didik itu sendiri maupun guru. Konsep-konsep kimia umumnya diajarkan secara hirarkhis dari konsep yang mudah ke sukar, dari konsep yang sederhana ke kompleks, sehingga jika konsep yang mudah dan sederhana saja sudah mengalami miskonsepsi, maka lebih lanjut pemahaman konsep-konsep kimia yang sukar dan kompleks, peserta didik akan semakin kesulitan dan mengalami kesalahan pemahaman konsep secara berlarut-larut. Meskipun miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik sulit diperbaiki dan selalu meninggalkan sisa yang berpengaruh pada pemahaman konsep kimia yang lain, tetapi seorang guru diharapkan tetap berusaha untuk membantu peserta didik untuk keluar dari miskonsepsi yang terjadi. Oleh karena itu pengetahuan tentang konsep-konsep kimia mana saja yang sering menimbulkan miskonsepsi sangat seringkali terjadi regresi, yaitu peserta didik yang sudah pernah mengatasi miskonsepsi, beberapa bulan mengalami miskonsepsi lagi; dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau

19

penting dimiliki guru, agar setiap kali menjumpai konsep-konsep tersebut guru berusaha menjelaskan secara lebih mendalam. Selain dari hasil penelitian, pendeteksian tentang konsep-konsep kimia yang menyebabkan miskonsepsi sudah waktunya dapat dilakukan oleh guru itu sendiri. Untuk itulah diperlukan instrumen yang mampu mendeteksi terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik. 2. Cara Mendeteksi Terjadinya Miskonsepsi Kimia Konsep-konsep kimia yang diajarkan guru tidak selalu dapat diterima secara utuh oleh peserta didik seperti yang diharapkan. Setiap peserta didik mengonstruksi konsepnya sendiri-sendiri, sehingga perbedaan konstruksi konsep individu inilah yang menyebabkan tingkat pemahaman konsep mereka berbeda-beda pula. Menurut Berg (1991: 11) dalam pembelajaran konsep, peserta didik diharapkan dapat : a. b. c. d. mendefinisikan konsep yang bersangkutan; menjelaskan perbedaan antara konsep yang bersangkutan dengan konsepkonsep yang lain; menjelaskan hubungan dengan konsep-konsep yang lain; dan menjelaskan arti konsep dalam kehidupan sehari-hari dan menerapkannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan keempat kriteria tersebut dapat diketahui apakah peserta didik sudah memahami konsep atau belum. Dengan kata lain, jika peserta didik telah memahami suatu konsep, maka ia seharusnya memenuhi keempat kriteria tersebut. Pada kenyataannya, tidak semua peserta didik memiliki pemahaman yang sama tentang suatu konsep. Abraham (1992: 112) menggolongkan derajat pemahaman peserta didik menjadi enam kategori berdasarkan soal yang diberikan padanya, yaitu : a. b. tidak ada respon, dengan kriteria tidak menjawab dan atau menjawab saya tidak tahu; tidak memahami, dengan kriteria mengulang pertanyaan, menjawab tetapi tidak berhubungan dengan pertanyaan dan atau jawaban tidak jelas;

20

c. d.

miskonsepsi, dengan kriteria menjawab tetapi penjelasannya tidak benar atau tidak logis; memahami sebagian dan terjadi miskonsepsi, dengan kriteria jawaban menunjuk-kan ada konsep yang dikuasai, namun ada pernyataan yang menunjukkan miskonsepsi;

e. f.

memahami sebagian, dengan kriteria jawaban menunjukkan hanya sebagian konsep yang dipahami tanpa miskonsepsi; dan memahami konsep, dengan kriteria jawaban menunjukkan konsep dikuasai dengan benar. Selanjutnya Abraham (1992: 113) mengkategorikan derajat pemahaman 1 dan

2 termasuk tidak memahami, 3 dan 4 termasuk miskonsepsi, 5 dan 6 termasuk memahami. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Feldsine (1987) bahwa miskonsepsi sebagai suatu kesalahan akibat hubungan tidak benar antar konsep dan pendapat Fowler & Jaoude (1987) yang menyatakan salah satu bentuk miskonsepsi adalah adanya hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar. Ketidakjelasan dan ketidaklogisan jawaban peserta didik disebabkan penguasaan suatu konsep yang salah yang berakibat pada kesalahan keseluruhan konsep yang ada, padahal ada keterkaitan yang erat antar konsep dalam suatu materi ajar. Seperti diketahui, konsepkonsep kimia dalam materi ajar kimia di SMA/MA sangat erat berkaitan satu dengan yang lain. Miskonsepsi terhadap suatu konsep kimia akan berpengaruh terhadap pemahaman konsep kimia yang lain. Hal inilah yang tidak diharapkan terjadi dalam pembelajaran kimia, karena berakibat akhir pada prestasi belajar kimia yang rendah (tidak memuaskan). Banyak cara untuk menentukan, mengidentifikasi dan mendeteksi terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik, dapat melalui (1) peta konsep (concept maps), (2) tes (pilihan ganda maupun esai), (3) wawancara diagnosis, (4) diskusi dalam kelas, maupun (5) praktikum disertai tanya jawab. Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan, biasanya seorang peneliti atau guru dalam memilih mempertimbangkan kemampuan, tujuan, waktu, tenaga, biaya, dan kemudahan dalam

21

menyusun instrumen dan menerapkannya, termasuk kemudahan menganalisis hasil deteksi tersebut. a. Peta konsep Peta konsep (concept maps) adalah bagan yang menunjukkan hubungan antar konsep atau gagasan-gagasan pokok dari suatu materi ajar yang disusun secara hirarkhis dan memberikan gambaran yang lebih lengkap (Liliasari, et al., 1998: 2.3). Miskonsepsi pada peserta didik dapat diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan antar konsep yang dimiliki mereka itu benar atau salah. Dengan peta konsep, dapat terlihat dengan jelas letak terjadinya miskonsepsi pada peserta didik (Feldsine, 1987: 181). Pada umumnya miskonsepsi tampak dari proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep (Novak & Gowin, 1984). Pada praktiknya, mengidentifikasi menggunakan peta konsep akan lebih akurat hasilnya jika disertai wawancara klinis yang berfungsi sebagai cara untuk mengungkap lebih mendalam tentang munculnya gagasan tersebut. Wawancara ini juga berfungsi sebagai teknik uji ulang atau pencocokan terhadap hasil peta konsep. Pada Gambar 1 diperlihatkan contoh peta konsep tentang unsur yang dibuat oleh seorang peserta didik. Berdasarkan peta konsep yang dibuat menunjukkan bahwa peserta didik tersebut memiliki dua miskonsepsi tentang unsur, yaitu (1) dia beranggapan bahwa jika atom-atom sejenis bergabung akan membentuk unsur, sedangkan jika beda jenis membentuk molekul. Padahal konsep yang benar, jika atom-atom bergabung, baik sejenis maupun beda jenis, keduanya membentuk molekul, namun jika sejenis disebut molekul unsur dan jika berbeda jenis disebut molekul senyawa, (2) nomor atom menyatakan banyaknya proton / elektron dalam atom, padahal nomor atom hanya menyatakan banyaknya proton dalam inti atom, kecuali untuk atom netral jumlah proton akan sama dengan jumlah elektron. Instrumen pendeteksi berupa peta konsep memiliki beberapa kelemahan, yaitu (1) tidak semua peserta didik mampu mengungkapkan hubungan antar konsep dalam bentuk peta konsep, sehingga kemungkinan banyak informasi miskonsepsi yang diharapkan tidak terjaring, (2) perlunya wawancara klinis untuk memperoleh data

22

yang lebih akurat memerlukan kemampuan berkomunikasi yang baik, waktu dan tenaga yang banyak, dan (3) data terjadinya miskonsepsi yang diperoleh sangat variatif, sehingga memerlukan kepiawaian dalam mengolah dan mengklasifikasikan agar data dapat diverifikasi sebaik-baiknya.

UNSUR terdiri atas Atom-atom memiliki Lambang unsur

bergabung sejenis unsur beda jenis molekul

terdapat

Nomor atom Banyaknya proton/ elektron dalam atom

Nomor massa Banyaknya netron dalam inti atom

Gambar 1. Peta Konsep tentang Unsur oleh Peserta Didik b. Tes pilihan ganda atau esai Tes pilihan ganda merupakan bentuk instrumen yang paling banyak digunakan dan dikembangkan oleh peneliti dalam mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Seperti penelitian Amir, et al. (1987) yang menggunakan tes pilihan ganda dengan alasan terbuka. Peserta didik harus menjawab dan menjelaskan mengapa ia menjawab seperti itu. Jawaban yang salah digunakan sebagai bahan tes selanjutnya. Bentuk tes pilihan ganda atau esai disertai alasan terbuka juga digunakan dalam penelitian Krishnan & Howe (1994) dengan memperkenalkan two-tier multiple choice items.

23

Contoh tes pilihan ganda dengan alasan terbuka pada materi kesetimbangan kimia: 3 Fe (s) + 4 H2O (g) Fe3O4 (s) + 4 H2 (g) H = positif Kesetimbangan akan bergeser ke kanan jika pada .... A. suhu tetap ditambah serbuk besi B. suhu tetap ditambah suatu katalis C. suhu tetap tekanan diperbesar dengan memperkecil volum D. volum tetap suhu dinaikkan E. volum tetap suhu diturunkan Alasannya : ..................................................................................................................... ..................................................................................................................... Instrumen berupa tes pilihan ganda dengan alasan terbuka relatif mudah dalam penyusunannya, tetapi setiap butir soal yang dibuat harus sudah dipikirkan ke arah mana sebenarnya soal tersebut mampu meramalkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Tes pilihan ganda dengan alasan ( reasoning) terbuka memiliki kelebihan, yaitu peserta didik diberi kebebasan mengemukakan alasan dari jawaban yang dipilihnya. Dengan demikian dapat diketahui semua alasan peserta didik, sehingga dengan mudah dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi. Namun bentuk instrumen ini memiliki kelemahan, yaitu jika banyak peserta didik yang tidak menuliskan alasan karena berbagai sebab, misalnya memang tidak dapat mengungkapkan alasan karena jawaban yang dipilih hanya menerka (spekulatif), malas menulis alasan karena dianggap tidak ada hubungannya dengan nilai, atau menulis alasan tetapi tidak relevan dengan jawaban yang dipilih, maka tujuan mendeteksi terjadinya miskonsepsi menjadi tidak tercapai seperti yang diharapkan. Kelemahan lainnya, kesulitan dalam menerjemahkan alasan yang diberikan peserta didik karena kekuranganjelasan kalimat yang dikemukakannya. Kelemahan inilah yang kemudian oleh peneliti lainnya, yaitu Treagust (1987: 519) diantisipasi dengan menggunakan tes pilihan ganda tetapi alasan (reasoning) pilihan jawaban tersebut sudah disediakan. Meskipun model ini memudahkan dalam menganalisis, tetapi jika terjadi miskonsepsi dengan alasan yang tidak tercantum

24

dalam soal tidak dapat diketahui. Selain itu peserta didik tidak memiliki kebebasan mengungkapkan alasan memilih jawaban, atau hanya memilih alasan yang tersedia secara spekulatif. Bentuk soal seperti ini juga dikembangkan oleh Odom & Barrow (1995) yang disebut two-tier diagnostic test pada konsep difusi dan osmosis. Sama halnya Treagust, soal ini terdiri dari batang soal dan pilihan alasan. Bentuk soal ini juga digunakan oleh Birk & Kurtz (1999) untuk mengungkap miskonsepsi (maha)siswa pada konsep struktur molekul dan ikatan kimia. Berikut ini contoh instrumen bentuk pilihan ganda dengan alasan tertutup. Harga tetapan kesetimbangan kimia untuk reaksi CaCO3 (s) adalah ... A. B. C. D. E.
K = K = [CaO ] [CO2 ] [CaCO3 ] [CaCO3 ] [CaO ] [CO2 ]

CaO (s) +CO2 (g)

K = [CaO] [CO2] K = [CO2]


K = [CaO ] [CaCO3 ]

Alasan, karena tetapan kesetimbangan adalah : A. B. C. D. konsentrasi semua zat produk dibagi konsentrasi zat reaktan dipangkatkan sesuai dengan angka koefisiennya. konsentrasi zat-zat reaktan dibagi konsentrasi zat-zat produk dipangkatkan sesuai dengan angka koefisiennya. berbanding lurus dengan konsentrasi zat-zat produk dipangkatkan sesuai dengan angka koefisiennya. berbanding lurus dengan konsentrasi zat-zat reaktan dipangkatkan sesuai dengan angka koefisiennya.

25

E.

konsentrasi semua zat produk dibagi konsentrasi zat reaktan yang berfase cair atau gas dipangkatkan sesuai dengan angka koefisiennya. Beberapa peneliti, seperti Clement (1987) dan Twiest & Twiest (1992)

menggunakan tes pilihan ganda, kemudian jawaban yang tidak benar ditelusuri lebih lanjut dengan wawancara. Bentuk instrumen ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan instrumen Treagust, karena dengan wawancara dapat diungkap lebih banyak penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, tetapi untuk wawancara memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang banyak. Selain itu keberhasilan wawancara sangat ditentukan oleh kemampuan pewawancara dalam mengorek informasi yang lebih mendalam (probing) hingga benar-benar memperoleh data yang diinginkan (Nasution, 2001: 122-126). Tes esai tertulis merupakan bentuk instrumen pendeteksi miskonsepsi yang memerlukan kecermatan dalam melihat jawaban peserta didik. Tahap-tahap jawaban yang diberikan peserta didik harus secara teliti dicermati agar dapat diketahui secara pasti pada bagian mana telah terjadi miskonsepsi. Biasanya tes esai tertulis disertai wawancara untuk melihat lebih jauh terjadinya miskonsepsi. Contoh tes esai tertulis pada materi pokok laju reaksi : 1. reaksi ? 2. Jelaskan bagaimana katalis dapat mempercepat suatu reaksi ? Kelemahan instrumen tes esai tertulis adalah adanya kemungkinan banyaknya peserta didik yang tidak menjawab atau menjawab tetapi tidak relevan dengan soal yang dijawab. Penelusuran lebih lanjut terhadap jawaban mereka melalui wawancara memerlukan waktu dan tenaga yang banyak, juga memerlukan pewawancara yang pandai mengorek informasi lebih mendalam tentang miskonsepsi yang terjadi. c. Wawancara diagnosis Jelaskan bagaimana pengaruh konsentrasi terhadap laju

26

Selain sebagai pelengkap dari bentuk instrumen pendeteksi miskonsepsi, wawancara diagnosis juga dapat berdiri sendiri sebagai teknik untuk mengungkap terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Pedoman wawancara dapat berbentuk bebas atau terstruktur. Pedoman wawancara bentuk bebas hanya berisi pertanyaan inti yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pewawancara sendiri ketika di lapangan dengan urutan pertanyaan yang tidak kaku (dapat dibolak-balik). Pedoman wawancara terstruktur berisi pertanyaan yang tersusun secara urut dan lengkap. Dengan adanya kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, maka wawancara akan lebih baik jika disertai rekaman untuk melengkapi catatan langsung di lapangan. Contoh wawancara diagnosis pada materi pokok sistem periodik unsur : a. b. elektron ? c. Berarti dalam satu periode elektronegativitas unsur semakin besar atau semakin kecil ? Ketiga soal tersebut diajukan untuk menuntun peserta didik pada pemahaman konsep tentang keperiodikan sifat elektronegativitas unsur-unsur yang terdapat dalam satu periode. Berdasarkan jawaban peserta didik terhadap ketiga soal tersebut, maka dapat dideteksi pada bagian mana sebenarnya peserta didik mengalami miskonsepsi. Meskipun sangat rinci dalam menelusuri terjadinya miskonsepsi, tetapi seperti biasanya teknik wawancara memiliki beberapa kelemahan dalam penerapannya. d. Diskusi dalam kelas Diskusi dalam kelas, terutama pada awal pembelajaran suatu konsep, sebagai penjajagan terhadap konsep yang telah dimiliki peserta didik sangat baik dilakukan guru. Hal ini berguna untuk menjajagi prakonsep dan konsepsi yang dimiliki mereka, sehingga pendeteksian terjadinya miskonsepsi dapat diketahui secara dini. Hanya satu hal yang perlu diingat, agar dapat dideteksi terjadi tidaknya miskonsepsi dari semua Dalam satu periode dari kiri ke kanan pada tabel periodik, bagaimana besarnya jari-jari atom? Mengapa demikian ? Jika demikian, bagaimana pengaruhnya terhadap kekuatan menarik

27

peserta didik, maka guru harus mampu menciptakan situasi yang kondusif yang memungkinkan semua peserta didik berani bicara dan mengungkapkan gagasannya. Contoh bahan diskusi dalam kelas pada materi pokok struktur atom : Pertanyaan untuk didiskusikan: Apa saja partikel penyusun atom itu ? Bagaimana struktur suatu atom dibangun oleh partikel-partikel penyusunnya ? Mengapa strukturnya harus demikian ? Berdasarkan hasil diskusi kelas yang diarahkan dan dibimbing guru, maka akan diperoleh informasi terjadi tidaknya miskonsepsi pada peserta didik. Kelebihan cara ini dalam mendeteksi miskonsepsi adalah guru secara langsung dapat melakukan pelurusan terhadap konsep-konsep yang dipahami secara salah oleh peserta didiknya. Namun demikian kelemahannya lebih banyak, mulai dari sulitnya mengungkap miskonsepsi dari semua peserta didik karena tidak semua mau aktif sampai pada penciptaan situasi belajar yang kondusif sehingga mampu memotivasi semua peserta didik untuk berpartisipasi secara aktif. e. Praktikum disertai tanya jawab Bentuk akhir untuk mendeteksi miskonsepsi berupa praktikum disertai tanya jawab. Selama ini praktikum yang dilaksanakan di berbagai sekolah hanya memfokuskan pada penilaian dan observasi terhadap aspek psikomotorik, namun ujian akhir praktikum dalam bentuk uji tertulis. Penilaian akhir seperti itu tidak tepat, karena uji tertulis bukan teknik penilaian yang sesungguhnya (authentic assessment) dari praktikum. Selain penilaian psikomotorik, praktikum juga dapat digunakan sebagai cara untuk mendeteksi terjadi tidaknya miskonsepsi, yaitu melalui tanya jawab langsung tentang konsep-konsep yang sedang dipraktikumkan ketika peserta didik sedang melakukan praktikum. Melalui cara ini, jika terjadi miskonsepsi dengan segera dapat diperbaiki. Namun demikian, untuk melaksanakan pendeteksian miskonsepsi dengan cara ini diperlukan banyak orang yang bertugas untuk melakukan tanya jawab. Jika tanya jawab hanya dilakukan pada beberapa peserta

28

didik dan tidak lengkap dari awal sampai akhir untuk setiap peserta didik, maka cara ini sangat tidak efektif untuk mendeteksi miskonsepsi seluruh peserta didik. Alternatif lain dari cara ini adalah pada akhir praktikum dicarikan waktu khusus untuk presentasi tiap-tiap peserta didik tentang konsep yang telah dipraktikumkan. Contoh penerapan praktikum dengan tanya jawab pada materi titrasi asam basa : Hal-hal yang dapat ditanyakan ketika peserta didik sedang melakukan praktikum : 1. 2. 3. 4. Bagaimana cara Anda mengisikan larutan ke dalam buret ? Mengapa harus menggunakan corong ? Bagaimana cara Anda melihat volum larutan dalam buret ? Kapan kita menambahkan indikator ke dalam erlenmeyer ? Apa fungsi indikator ? dan seterusnya Berdasarkan jawaban peserta didik, maka guru dapat menelusuri lebih lanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam dari jawaban yang tidak sesuai. Dengan demikian akan dapat ditemukan terjadi tidaknya miskonsepsi pada peserta didik. Namun demikian, pertanyaan yang diajukan ketika peserta didik sedang melakukan praktikum akan mengganggu konsentrasi dan kelancaran jalannya praktikum. Berdasarkan uraian kelima instrumen pendeteksi miskonsepsi tersebut menunjukkan bahwa masing-masing bentuk instrumen memiliki kelemahan di samping kelebihan yang ada. Dengan memperhatikan kelemahan dan mempertimbangkan bagaimana menutupi kelemahan yang ada, maka dalam penelitian ini akan dikembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia berbentuk tes pilihan ganda dengan alasan setengah terbuka. Bentuk ini dipilih mengingat instrumen tes pilihan ganda dengan alasan terbuka yang dikembangkan Amir, et al. (1987) memiliki kelemahan, yaitu dikhawatirkan banyaknya peserta didik yang tidak mengisi alasan dengan berbagai sebab. Demikian juga instrumen tes pilihan ganda dengan alasan tertentu yang telah disediakan yang dikembangkan Treagust (1987) memiliki kelemahan, yaitu terbatasinya kebebasan mengungkapkan alasan di luar yang tersedia

29

dan kemungkinan pilihan alasan yang hanya spekulatif. Jadi, instrumen soal pilihan ganda dengan alasan setengah terbuka merupakan adaptasi dengan cara menggabungkan kedua bentuk instrumen yang dikembangkan oleh Amir et al. dan Treagust agar kelemahan keduanya dapat diatasi.

Contoh instrumen soal pilihan ganda dengan alasan setengah terbuka : Diketahui reaksi setimbang : 2 SO3 (g) SO2 (g) + O2 (g) H = - 45 kkal. Pada suhu dan volum tetap, jika ke dalam campuran ditambah katalis, maka A. letak kesetimbangan akan bergeser ke kiri B. letak kesetimbangan akan bergeser ke kanan C. oksigen akan terurai D. letak kesetimbangan tidak berubah E. panas yang dibebaskan bertambah besar Alasan, karena penambahan katalis : A. B. C. D. E. F. ...... Dengan memberikan tempat kosong pada option alasan diharapkan peserta didik memiliki kebebasan untuk mengungkapkan alasan selain yang disediakan. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan peserta didik merasa tidak setuju dengan semua option alasan yang telah tersedia, sehingga dia ingin mengungkapkan dengan bahasanya sendiri atau menambahkan option yang telah dipilih untuk memantapkan tidak mempengaruhi letak kesetimbangan menyebabkan kesetimbangan bergeser ke arah zat produk menyebabkan kesetimbangan bergeser ke arah zat reaktan menyebabkan zat produk yang ringan terurai kembali memperbesar jumlah energi yang dibebaskan .............................................................................................................................

30

alasan. Seperti contoh di atas, alasan dari jawaban bahwa katalis tidak mengubah letak kesetimbangan (D) adalah karena katalis tidak mempengaruhi letak kesetimbangan (A), kemungkinan ada sebagian peserta didik yang ingin mengungkapkan dengan bahasanya sendiri, misal penambahan katalis hanya mempercepat tercapainya kesetimbangan atau berfungsi pada awal reaksi sebelum kesetimbangan tercapai, maka mereka diberi kebebasan untuk mengungkapkannya. Pada penerapannya nanti, peserta didik diberitahu bahwa jawaban alasan juga akan diberi skor sendiri, artinya jawaban dan alasan masing-masing memperoleh skor. Dengan demikian peserta didik diharapkan akan lebih serius dan termotivasi dalam mengerjakan, baik dalam menjawab soal maupun alasannya. 3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Miskonsepsi Kimia Pembelajaran adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen yang saling berinteraksi dan bekerja sama dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka terjadinya prestasi belajar kimia yang rendah dapat disebabkan tidak berfungsinya salah satu atau beberapa komponen yang terlibat dalam sistem pembelajaran sebagaimana mestinya. Miskonsepsi sebagai kesalahan pemahaman konsep yang disebabkan oleh kesalahan konstruksi kognitif peserta didik itu sendiri merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya prestasi belajar kimia. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, miskonsepsi dapat disebabkan oleh banyak hal. Paul Suparno (2005: 29) menyatakan secara garis besar ada lima kelompok penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, yaitu (1) peserta didik, (2) guru, (3) buku teks pelajaran, (4) konteks, dan (5) metode mengajar. a. Miskonsepsi karena peserta didik Filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan itu dikonstruksi oleh peserta didik sendiri ketika berhubungan dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997). Oleh karena peserta didik mengonstruksi sendiri pengetahuannya, maka sangat mungkin terjadi salah konstruksi yang

31

disebabkan mereka belum memiliki bekal cukup yang berkaitan dengan konsep yang sedang dikonstruksi atau belum memiliki kerangka ilmiah yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mengonstruksi pengetahuan yang benar. Dalam proses konstruksi ulang setelah menerima penjelasan dari guru, dapat saja terjadi peserta didik mengonstruksi secara tidak utuh karena keterbatasan kemampuan atau bercampur dengan gagasan lain yang kebetulan dialami dan dianggap berhubungan. Sebagai contoh, ketika guru menjelaskan tentang reaktor nuklir yang berguna sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir, mungkin beberapa peserta didik hanya berpikir bahwa semua yang berhubungan dengan nuklir pasti membahayakan kehidupan, karena yang ada di pikirannya hanya tentang bom nuklir yang sering mereka dengar. Dalam pengertian konstruktivisme, miskonsepsi dianggap hal yang wajar terjadi pada peserta didik, karena mereka memang melakukan proses pembentukan pengetahuan itu sendiri. Tugas seorang guru adalah membantu meluruskan dan memperbaiki miskonsepsi secara sabar, karena miskonsepsi tidak mudah diperbaiki hanya dengan menjelaskan konsep tersebut secara sistematis dan menerapkan banyak metode mengajar. Miskonsepsi kimia terjadi paling banyak disebabkan peserta didik itu sendiri, karena banyaknya konsep kimia yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Adapun beberapa hal yang dapat menyebabkan miskonsepsi yang berasal dari peserta didik antara lain : 1) Prakonsepsi atau konsep awal peserta didik Konstruksi awal suatu konsep dinamakan prakonsepsi yang kemungkinan besar peserta didik mengalami kesalahan karena prakonsepsi dibentuk sebelum mereka mendapatkan pelajaran formal tentang konsep yang dimaksud. Sebagai contoh, meskipun peserta didik belum diajarkan tentang kesetimbangan kimia, tetapi ia telah mengonstruksi sendiri bahwa reaksi yang setimbang pasti massanya sama. Prakonsepsi ini terbentuk hanya berdasarkan pengalaman yang ada di lingkungannya bahwa sesuatu yang setimbang pasti berkaitan dengan kesamaan massa, seperti

32

halnya fungsi suatu timbangan. Prakonsepsi yang salah ini dapat menimbulkan miskonsepsi, karena peserta didik belum mengenal konsep kesetimbangan kimia yang benar menurut para ahli kimia. Miskonsepsi kadang-kadang mudah diluruskan melalui proses pembelajaran formal di sekolah, tetapi kadang-kadang sulit, terutama jika prakonsepsi tersebut telah mengendap dalam pikirannya dan berkaitan dengan istilah atau peristiwa yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Seperti contoh tadi, setimbang sangat dekat dengan peristiwa menimbang yang dapat dijumpai sehari-hari dalam kehidupan mereka. Adanya prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran manusia sejak lahir selalu dinamis dan aktif untuk memahami sesuatu. Rasa ingin tahu manusia menyebabkan alam pikiran manusia berkembang sejalan dengan perkembangan usia dan jaman, sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang menjadi milik diri (Das Salirawati, 2008: 2-3). Pengetahuan dan pemahaman awal suatu konsep (prakonsepsi) yang dimiliki seseorang akan menjadi acuan ketika ia harus berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dalam interaksinya dengan guru secara formal di sekolah. Tidak selalu penjelasan yang diberikan guru mampu mengubah prakonsepsi yang sudah ada dalam pikiran peserta didik, karena peserta didik tidak akan menerima begitu saja penjelasan suatu konsep dari guru, akan tetapi senantiasa mengolah dan mencerna dengan mengaitkan prakonsepsi yang telah dimiliki. Akan sulit bagi guru untuk memperbaiki pemahaman suatu konsep jika prakonsepsi yang dimiliki peserta didiknya telah mengakar dalam pikirannya. Prakonsepsi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik sangat sulit diperbaiki dan diluruskan, karena adanya anggapan bahwa prakonsepsi yang dimiliki memang benar. Sebagai contoh, massa dan berat memiliki pengertian yang sangat berbeda, berat suatu zat dipengaruhi oleh gravitasi bumi, sedangkan massa tidak. Namun prakonsepsi mereka, keduanya sama karena secara umum dalam kehidupan sehari-hari keduanya tidak dibedakan. Kita biasa menyatakan berat badan seseorang hanya dengan satuan kg,

33

padahal seharusnya jika yang disebutkan berat, maka satuan yang benar adalah kgf (kilogram gaya). Miskonsepsi dapat dikurangi atau diminimalisasikan tetapi memerlukan proses. Piaget (1972) yang dikutip oleh Ratna Wilis Dahar (1988: 18) menjelaskan tahap perkembangan kemampuan kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik (konkret) sampai tahap formal / abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret menjadi abstrak inilah peserta didik banyak mengalami miskonsepsi disebabkan terbatasnya kemampuan mengonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya pengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengonstruksi suatu konsep secara tepat dan benar. Namun secara perlahan sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka akan terus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga akhirnya diperoleh pemahaman yang benar tentang konsep tertentu. Phelps & Cherin Lee (2003) menyatakan perlunya seorang guru mengembangkan pemahaman pembelajaran yang konsisten dengan filosofi konstruktivisme, artinya peserta didik harus senantiasa dilatih menjadi aktif dalam pembelajaran dan menanamkan konsep utama ke dalam konstruksi berpikir mereka, sehingga dapat menjadi dasar bangunan terhadap informasi baru yang diterima. Lebih lanjut dikemukakan adanya kecenderungan konsep yang dimiliki peserta didik resisten terhadap perubahan, sehingga tugas guru untuk selalu mengingatkan mereka dalam mengontruksi ulang prakonsepsi yang telah dimilikinya. 2) Pemikiran asosiatif peserta didik Menurut Arons (1981: 166), asosiasi peserta didik terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang-kadang dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Sebagai contoh, peserta didik mengasosiasikan perubahan tekanan akan menyebabkan pergeseran kesetimbangan. Jika peserta didik tidak melihat bahwa perubahan tekanan hanya akan mempengaruhi zat reaktan dan produk yang berwujud gas, maka ia akan selalu salah dalam menentukan arah pergeseran, karena angka koefisien dari semua zat yang terlibat dalam kesetimbangan dihitung.

34

Demikian juga jika peserta didik mengasosiasikan berlangsungnya reaksi dengan zat hasil reaksi. Peserta didik beranggapan jika suatu reaksi telah berlangsung, maka zat hasil reaksi selalu jumlahnya lebih banyak daripada zat reaktan. Pemikiran asosiatif ini dapat menyebabkan miskonsepsi ketika diterapkan dalam reaksi kesetimbangan (reversibel) dimana zat hasil reaksi tidak selalu jumlahnya lebih banyak daripada zat reaktan ketika kesetimbangan tercapai dan reaksi dianggap terhenti. Pengertian yang berbeda dari kata-kata yang digunakan guru dan peserta didik juga dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi (Marshall & Gilmour, 1990: 332). Kata dan istilah yang digunakan guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan berbeda oleh peserta didik. Sebagai contoh, guru menjelaskan basa sebagai semua zat yang larutannya dalam air dapat melepaskan ion OH- tanpa penjelasan dan contoh lebih lanjut. Peserta didik yang tidak dapat memahami makna penjelasan tadi akan berpikir asosiatif bahwa semua senyawa yang rumus molekulnya mengandung OH pasti ia termasuk basa. Tentu saja pemikiran asosiatif menyebabkan miskonsepsi, karena senyawa seperti CH3COOH, HCOH dipahami sebagai basa. Oleh karena itu penting bagi guru memberikan penjelasan serinci mungkin agar peserta didik tidak salah dalam menangkap penjelasan tersebut. Menurut Barke (2008: 23), guru-guru perlu menyadari kegelisahan peserta didik ketika mereka tidak memahami bahasa yang digunakannya dalam menjelaskan materi di kelas. Sebagian besar peserta didik akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelami makna bahasa yang digunakan guru, tetapi sebagian dari mereka mengalami kesalahan dalam membentuk pemikiran asosiatif. Sebagai contoh, peserta didik mencoba berpikir asosiatif tentang penjelasan pengertian disosiasi yang diberikan guru, tetapi karena penjelasan guru dirasakan membingungkan, maka proses pemahaman peserta didik ini menimbulkan kegelisahan. Mungkin sebagian peserta didik pemahamannya benar, tetapi sebagian lagi salah. Disosiasi yang dijelaskan sebagai peristiwa terurainya suatu zat menjadi zat yang lebih sederhana disertai beberapa contoh reaksi kesetimbangan yang merupakan peristiwa ionisasi

35

akan menghasilkan pemikiran asosiatif peserta didik bahwa disosiasi sebagai peristiwa terurainya suatu zat menjadi ion-ion. Padahal peristiwa disosiasi tidak selamanya menghasilkan ion-ion. 3) Pemikiran humanistik Manusia adalah makhluk hidup yang unik, karena meskipun ia lemah dibandingkan makhluk hidup lainnya, tetapi ia memiliki kelebihan berupa akal pikiran yang mampu mengendalikan keinginannya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringkali memandang semua benda di sekitarnya sesuai dengan nalurinya sebagai manusia atau bersifat manusiawi (Gilbert, Watts, & Osborne, 1982: 62). Naluri yang demikian kadang-kadang dapat membawa kesalahan dalam pemahaman suatu konsep. Sebagai contoh, miskonsepsi tentang peranan katalis dalam reaksi. Sulit bagi peserta didik untuk memahami bahwa setelah reaksi berakhir, katalis akan diperoleh kembali pada akhir reaksi. Hal ini karena berdasarkan pengalaman dan pemikirannya, sesuatu yang telah bereaksi tidak akan mungkin kembali seperti semula. Oleh karena itu penjelasan lebih lanjut perlu disampaikan guru kepada peserta didik, bahwa suatu katalis yang telah ditambahkan dalam reaksi tidak menjadi produk reaksi. 4) Penalaran (reasoning) yang tidak lengkap atau salah Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan (Jujun S. Suriasumantri, 1970: 18). Pada kenyataannya, miskonsepsi dapat pula disebabkan oleh penalaran (reasoning) peserta didik yang tidak lengkap atau salah. Ketika peserta didik belum memperoleh pembelajaran suatu konsep, ia telah memiliki prakonsepsi yang dibentuk berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan (Berg, 1991: 4). Setelah ia memperoleh pembelajaran konsep tersebut dari guru, maka ia akan mengonstruksi ulang prakonsepsinya. Mungkin konstruksi ulang tersebut benar mungkin pula salah. Kesalahan konstruksi ulang karena prakonsepsi yang dimiliki tidak lengkap dan keterbatasan kemampuan untuk mengaitkan secara benar konsep yang diterima dengan struktur kognitifnya.

36

Kesalahan penalaran dapat pula terjadi karena kesalahan logika berpikir yang digunakan untuk menarik kesimpulan, atau kesalahan menggeneralisasikan suatu konsep dalam ruang lingkup yang lebih luas, akibatnya terjadi miskonsepsi. Pengamatan yang tidak lengkap dan teliti terhadap berbagai fakta atau fenomena di lingkungan sekitar juga dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan yang berakibat terjadinya miskonsepsi. Sebagai contoh, senyawa ionik adalah senyawa yang dapat terurai menjadi ion-ion. Kesimpulan yang dibuat hanya berdasarkan logika berpikir bahwa senyawa ionik mengandung ikatan ion, yaitu ikatan antara ion positif dan ion negatif. Hal ini akan berakibat terjadinya miskonsepsi jika tidak ada tambahan bahwa ionisasi hanya terjadi ketika senyawa ionik dilelehkan/ dilarutkan dalam air. Dengan demikian guru perlu selalu mengingatkan kepada peserta didik untuk berhati-hati dalam menggeneralisasikan fakta-fakta menjadi suatu konsep agar tidak terjadi over generalization (generalisasi yang terlalu luas). 5) Intuisi yang salah Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang non analitik dan tidak mendasarkan kepada suatu pola berpikir tertentu. Dengan kata lain, intuisi merupakan kegiatan berpikir yang tidak berdasarkan penalaran (Jujun S. Suriasumantri, 1970: 19). Kadang-kadang dalam diri seseorang muncul perasaan yang secara tiba-tiba mengungkapkan sikap atau ide dalam memahami sesuatu keadaan atau gejala/kejadian, tanpa melalui pemikiran atau penalaran. Sebagai contoh, peserta didik memiliki intuisi bahwa jika suatu zat padat dicampurkan ke dalam air, maka setelah diaduk dan didiamkan pasti akan terbentuk endapan. Pemikiran intuitif ini seringkali menjebak peserta didik untuk tidak bersikap kritis pada berbagai keadaan yang sejenis, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Hal ini karena tidak semua zat padat yang dicampurkan dalam air akan mengendap kalau didiamkan, karena adanya dua jenis campuran, yaitu homogen (larutan) dan heterogen. Biasanya pemikiran intuitif akan muncul di benak peserta didik secara spontan ketika secara terus-menerus melihat keadaan atau kejadian. Ketika dihadapkan pada pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman kejadian tersebut,

37

maka secara spontan pula peserta didik akan menjawab / menanggapi sesuai dengan pemikiran intuitif yang dimiliki, tanpa berpikir benar salahnya. Jika hal ini terjadi dan dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu pemahaman konsep lain yang berkaitan dengan konsep yang dipahami berdasarkan pemikiran intuitif tadi. 6) Tahap perkembangan kognitif peserta didik Seperti yang dikemukakan Piaget (Ratna Wilis Dahar, 1988: 18) bahwa tahap perkembangan kognitif anak dimulai dari tahap konkret sampai tahap abstrak, sehingga pemberian materi pelajaran kepada peserta didik harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Miskonsepsi dapat terjadi apabila peserta didik menerima materi ajar yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Sebagai contoh, anak SD yang diberi penjelasan tentang atom yang sangat abstrak, tidak akan dapat menerima dan memahami dengan benar konsep atom tersebut, karena tingkat perkembangan kognitifnya belum mampu menjangkau yang konsep yang abstrak. Peserta didik di SMA, meskipun mereka sudah termasuk pada tahap berpikir abstrak, tetapi kadang-kadang mereka masih memerlukan bantuan berupa model, ilustrasi, atau analogi dengan fenomena kehidupan sehari-hari untuk memahami konsep yang abstrak. Sebagai contoh, ketika mereka dijelaskan tentang bentuk molekul tetrahedral, maka tidak cukup hanya digambarkan/dideskripsikan dengan kata-kata, tetapi guru perlu menunjukkan model molekul tetrahedral, mungkin dengan molimood/model tiruan dari kertas atau bola pingpong untuk memberikan gambaran konkretnya. Jika guru tidak membantu dengan model, maka miskonsepsi sangat mungkin terjadi tentang bentuk molekul tetrahedral yang sesungguhnya. Contoh lain, guru menjelaskan bahwa kenaikan suhu pada reaksi kesetimbangan akan menyebabkan reaksi bergeser ke arah endoterm. Konsep ini tidak mudah dipahami atau sekedar dihafal. Oleh karena itu, guru dapat membantu menganalogikan dengan kehidupan sehari-hari. Jika suhu dianalogikan dengan uang, lalu reaksi digambarkan sebagai kesetimbangan antara dua keluarga yang satu kaya (eksoterm) dan satu lagi miskin (endoterm), tetapi kedua keluarga tersebut hidup

38

damai (untuk menggambarkan setimbang). Jika keluarga yang kaya mendapat tambahan rejeki uang, tentu ia akan memberikan kepada keluarga yang miskin (bergeser ke endoterm). Dengan cara analogi yang demikian dapat membantu pemahaman peserta didik dan sekaligus mengantisipasi terjadinya miskonsepsi. 7) Kemampuan peserta didik Kemampuan yang dimiliki peserta didik ada dua macam, yaitu bakat dan kecerdasan. Secara umum bakat diartikan sama dengan inteligensi, yaitu kemampuan mental yang dimiliki seseorang. Berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan, bahwa inteligensi merupakan hasil interaksi antara faktor lingkungan dan bawaan, sehingga keberadaannya tidak konstan melainkan dapat berubah. Namun demikian, sampai seberapa besar inteligensi berubah tidak dapat dipastikan, yang jelas bila seseorang mempunyai kemampuan khusus sebagai bagian dari kemampuan mental umumnya (inteligensi) bila dikembangkan, maka kemampuan itu akan bertambah. Inteligensi yang kurang (rendah) tentu sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan peserta didik dalam menangkap dan memahami materi yang sedang dipelajarinya. Selain itu bakat yang kurang juga berakibat tidak dapatnya peserta didik memahami materi secara ;engkap dan utuh, apalagi menghu-bungkan antar konsep. Oleh karena itu kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam diri peserta didik dengan inteligensi rendah lebih besar dibandingkan peserta didik yang memiliki inteligensi tinggi. Sebagai contoh, ketika diminta mengerjakan soal kesetimbangan kimia, yaitu menghitung konstanta kesetimbangan berdasarkan tekanan (Kp), maka peserta didik dengan inteligensi rendah akan menuliskan rumus Kp sebagai perbandingan tekanan zat produk dibagi zat reaktan, tanpa memperhatikan fase zatnya. Hal ini karena yang ada dalam struktur kognitifnya berupa konsep bahwa konstanta kesetimbangan adalah zat produk dibagi zat reaktan. Struktur kognitifnya tidak mampu menghubungkan konsep lain yang menyatakan bahwa hanya zat yang berupa gas yang dapat memberikan tekanan.

39

Seperti halnya inteligensi, maka kecerdasan seseorangpun berbeda-beda. Piaget merumuskan tingkat perkembangan kecerdasan manusia ke dalam empat tahap, yaitu: sensori-motorik (usia 0 1,5 tahun), pre-operasional / pre-konseptual (usia 1,5 6 tahun), operasi konkret (usia 6/7 - 10/11 tahun), dan operasi formal (usia 10/11 ke atas). Pentahapan kecerdasan tersebut berlaku secara umum, meskipun dalam praktiknya ada penyimpangan. Hal ini karena meskipun kecerdasan individu berkembang mengikuti umur kronologisnya, namun kecerdasan dapat diasah sehingga seseorang dapat memiliki pengetahuan yang melebihi umur kronologisnya. Kecerdasan juga mempengaruhi mudah tidaknya peserta didik mengalami miskonsepsi. Semakin cerdas seseorang tentu saja semakin kecil kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam struktur kognitifnya, dan sebaliknya. Bagi peserta didik yang cerdas, memahami bahwa penentu laju reaksi adalah tahap reaksi yang lambat sangatlah mudah memahaminya. Namun tidak demikian bagi peserta didik yang kurang cerdas. Dia kesulitan dalam memahami konsep tersebut, karena dalam struktur kognitifnya ia membayangkan dalam suatu balap sepeda motor/mobil yang lajunya tercepat itulah yang menang. Di sini terjadi miskonsepsi analogi, bahwa laju reaksi disamakan dengan laju sepeda motor/mobil dalam suatu arena balap, padahal laju reaksi berkaitan dengan penambahan jumlah zat produk tiap satuan waktu, tidak ada kaitannya dengan laju sepeda motor / mobil. 8) Minat belajar Perasaan senang dan rasa ingin tahu merupakan sebagian indikator yang dapat dijadikan kriteria bahwa seseorang berminat terhadap suatu objek (Moh. Uzer Usman, 2000: 2). Dengan demikian bila peserta didik berminat belajar kimia, maka tentu ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai materi kimia dengan baik dan benar. Selain itu, minat yang tinggi dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, karena adanya minat dapat memberikan dorongan untuk selalu semangat belajar dan menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan objek yang diminatinya Wasty Soemanto (1987: 16).

40

Minat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar, semakin tinggi minat seseorang semakin besar semangatnya untuk belajar (Sri Esti Wuryani D, 1989: 156). Jika materi pembelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik, maka mereka tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang guru untuk menumbuhkan minat belajar peserta didiknya sebelum ia memulai pelajaran (Slameto, 1995: 180). . Menurut Singer (1987: 92-93), peserta didik yang memiliki minat terhadap objek tertentu cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap objek tersebut. Oleh karena itu penting bagi seorang guru mengetahui minat peserta didik dalam rangka meningkatkan prestasi belajarnya (Wayan Nurkancana,1982: 215216). Secara umum dapat dikatakan bahwa peserta didik yang berminat belajar kimia cenderung memiliki miskonsepsi lebih rendah daripada peserta didik yang tidak berminat belajar kimia. Hal ini karena peserta didik yang kurang berminat belajar kimia cenderung kurang memperhatikan penjelasan guru di kelas dan sangat jarang beraktivitas membaca buku pelajaran kimia. Akibatnya mereka akan lebih mudah mengalami kesalahan penangkapan materi, karena yang mereka dengarkan hanya sepotong-potong materi, tidak keseluruhan. Ketika mereka mencoba membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, maka cenderung mengalami miskonsepsi karena pemahaman yang tidak lengkap dan utuh. Sebagai contoh, guru menjelaskan penerapan prinsip pergeseran kesetimbangan dalam industri pembuatan ammonia. Oleh karena peserta didik kadang memperhatikan kadang tidak, maka ia hanya menangkap bahwa agar produk ammonia menjadi optimal suhu reaksi harus dinaikkan setinggi-tingginya dan tekanan dinaikkan sebesar-besarnya. Padahal untuk menaikkan suhu dan tekanan diperlukan pertimbangan biaya operasional yang harus dipikirkan oleh pabrik. Penjelasan yang terakhir ini jika tidak didengarkan akan berakibat terjadinya miskon-sepsi pada peserta didik yang kurang berminat belajar kimia, karena ia tidak mau mendengarkan keseluruhan penjelasan guru.

41

b. Miskonsepsi karena guru Perubahan kurikulum saat ini menjadi kurikulum 2006 memunculkan paradigma baru dalam pendidikan dimana proses pembelajaran diharapkan tidak lagi berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered). Peranan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pembelajaran. Perubahan paradigma ini tidak serta merta berubah secara drastis, tetapi peran guru sebagai pendidik yang bertugas menyampaikan ilmu tetap berlaku Komunikasi verbal yang terjadi ketika seorang guru menerapkan metode ceramah dalam proses pembelajaran, memiliki kelemahan bahwa peserta didik tidak dapat secara keseluruhan menangkap materi yang disampaikan guru. Hal ini karena komunikasi verbal memiliki banyak kelemahan, diantaranya persepsi guru dengan peserta didik yang berbeda karena masing-masing memiliki dunia dan bahasa yang berbeda serta pengalaman dan pengetahuan yang berbeda pula (Carter, dkk, 1989). Hasil penelitian yang dilakukan Garrett & Jimenez (1994) menunjukkan salah satu penyebab peserta didik sulit menangkap pelajaran disebabkan bahasa yang digunakan guru dalam mengajar membingungkan, sehingga peserta didik kesulitan menghubungkan antar konsep yang diterimanya. Penelitian tentang pentingnya kualitas komunikasi di kelas dan peranan bahasa dalam pembelajaran Sains dilakukan oleh Lynch (1989). Hasilnya menunjukkan bahwa semua yang diucapkan guru di depan kelas belum tentu dapat dipahami oleh peserta didik. Hal yang menyebabkan diantaranya karena dalam Sains (termasuk kimia) terlalu banyak dimuati oleh katakata yang bersifat teknis dan hubungan logis, perbedaan bahasa yang digunakan guru dengan bahasa yang digunakan peserta didik, beragamnya bahasa yang digunakan peserta didik yang tidak dipahami guru, kebingungan guru dalam menggunakan kata penghubung yang bersifat logis, dan ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan konteks kata yang dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan. Berdasarkan paparan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat dipahami bahwa guru dapat menjadi sumber terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik. Seperti diketahui bahwa berdasarkan aliran konstruktivisme, seorang peserta didik

42

akan berusaha mengontruksi ulang atau mencoba melakukan penyelarasan konsep yang dimiliki dengan konsep yang baru diterima. Jika penangkapan terhadap konsep yang disampaikan guru oleh peserta didik ternyata salah (bukan karena guru yang salah konsep), maka akan terjadi konstruksi konsep baru yang salah yang termasuk miskonsepsi. Miskonsepsi ini akan jauh lebih parah jika ternyata konstruksi kognitif awal peserta didik didik tentang konsep tersebut memang sudah salah. Miskonsepsi dapat pula terjadi ketika guru menyampaikan konsep salah dan peserta didik mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sebenarnya sudah benar, atau sebaliknya guru sudah menyampaikan konsep dengan benar, tetapi peserta didik tidak mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sebenarnya salah. Jika kedua hal ini terjadi, maka ini disebut school made misconception, yaitu miskonsepsi yang disebabkan sekolah yang dibuat oleh peserta didik sendiri. Oleh karena itu sangat penting bagi guru, meskipun saat ini ia hanya diposisikan sebagai fasilitator dan motivator untuk tetap dapat melakukan pengecekan atau deteksi terhadap kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Lebih penting lagi, seorang guru perlu lebih berhati-hati dan berusaha menguasai konsep dengan baik dan benar agar dalam penyampaiannya tidak salah yang dapat berakibat miskonsepsi pada diri anak didiknya. Contoh miskonsepsi yang disebabkan guru salah dalam menyampaikan materi adalah ketika guru menjelaskan perhitungan konstanta kesetimbangan (Kc), yaitu perbandingan konsentrasi zat produk dibagi zat reaktan. Jika ketika menjelaskan guru memberikan contoh reaksi kesetimbangan terjadi pada volum 1 L dan ketika memasukkan dalam rumus konsentrasi (mol / L) harga 1 L tidak dituliskan, karena menganggap tidak berpengaruh pada perhitungan, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Bisa jadi konstruksi kognitif peserta didik berubah bahwa konsentrasi yang dimaksud hanyalah mol. Contoh lain miskonsepsi yang disebabkan kesalahan peserta didik meskipun guru sudah menyampaikan konsep dengan benar adalah ketika guru menjelaskan pergeseran kesetimbangan yang disebabkan oleh suhu. Peserta didik lalu menghu-

43

bungkan penjelasan guru dengan harga Kc, maka jika peserta didik salah dalam mengontruksi akan mendapatkan konsep baru hasil konstruksi yang salah pula, yaitu anggapan bahwa harga Kc dapat berubah ketika suhu berubah. Penjelasan guru yang terlalu cepat dan kurang mendalam juga dapat memicu terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Hal ini disebabkan terkadang dalam benak guru menganggap bahwa materi tersebut sangat mudah dipahami dan tidak memerlukan penjelasan yang mendalam, dengan harapan peserta didik membaca sendiri penjelasan lengkap konsep yang dimaksud dari buku. Pada kenyataannya, tidak semua anggapan guru tersebut benar, karena sebagian peserta didik hanya mengandalkan penjelasan guru dan baru membaca buku ketika akan menghadapi ujian. Akibatnya penjelasan yang tidak lengkap dari guru tadi memunculkan miskonsepsi yang tidak disadari, baik oleh guru maupun peserta didik itu sendiri. Sebagai contoh, guru menjelaskan bagaimana memasukkan data mol dari zatzat dalam reaksi kesetimbangan dan menentukan mol dari zat-zat yang belum diketahui. Guru beranggapan peserta didik sudah mengetahui bahwa menentukan mol dari zat-zat yang belum diketahui dilakukan dengan melihat perbandingan angka koefisien seperti biasa yang dilakukan dalam perhitungan stoikiometri yang berkaitan dengan persamaan reaksi, sehingga guru merasa tidak perlu memberitahukan hal itu. Anggapan seperti ini dapat berakibat fatal, karena peserta didik tidak memperoleh penjelasan lengkap materi tersebut. Contoh lainnya, ketika guru memberikan contoh soal-soal perhitungan kesetimbangan kimia dimana data yang diberikan selalu dalam bentuk mol dan tidak menjelaskan bagaimana jika data yang diketahui dalam bentuk massa atau volum. Peserta didik yang tidak ingat lagi tentang peta konsep jalur stoikiometri yang diajarkan di kelas sebelumnya, kemungkinan akan mengerjakan soal dengan cara salah, yaitu langsung memasukkan data massa atau volum tanpa mengubah terlebih dahulu menjadi mol. Penelitian yang dilakukan Lynch (1989: 33-41) menunjukkan adanya miskonsepsi pada peserta didik yang disebabkan kesalahan dalam komunikasi,

44

dimana guru menjelaskan dengan bahasanya sendiri tanpa peduli peserta didik mengerti atau menangkap isi dari penjelasannya atau tidak (perbedaan bahasa guru dan peserta didik), guru mendominasi pembicaraan di kelas tanpa berusaha menggunakan kata penghubung yang besifat logis, ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan konteks kata. Akibatnya peserta didik sibuk menghubungkan sendiri istilah-istilah yang digunakan guru dengan mengasosiasikan hal-hal yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, guru menjelaskan susu sebagai suatu protein yang tersuspensi, tetapi karena penjelasan ini tidak dimengerti kemudian peserta didik mengasosiasikan susu sebagai suatu larutan yang ditempatkan dalam botol untuk pembuatan keju dan dapat menjadi asam dan inilah yang disebut protein tersuspensi. Berdasarkan hal tersebut, maka seorang guru sangat mungkin menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, terutama peserta didik yang memiliki kemampuan menengah ke bawah. Penyebab khusus yang mungkin menjadikan peserta didik mengalami miskonsepsi adalah (1) guru tidak menguasai bahan / materi secara baik, utuh, dan benar (tidak memiliki kompetensi profesional dan pedagogik), (2) guru tidak berlatar belakang sarjana bidang ilmu yang diajarkan, misal sarjana pendidikan matematika tetapi mengajar kimia, (3) jarang melakukan aktivitas pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik mengemukakan gagasan / ide, sehingga tidak dapat mendeteksi terjadinya miskonsepsi secara dini, dan (4) tidak terjalin baik hubungan antara guru dengan peserta didik, sehingga ketika peserta didik mengalami kesulitan dalam pemahaman suatu konsep tidak berani bertanya (Paul Suparno, 2005: 53). Dengan demikian saat ini guru dituntut untuk senantiasa mengembangkan keprofesionalannya dengan selalu berusaha menjadi lebih baik dan memperluas wawasannya. Dengan kata lain guru diharapkan mampu mengembangkan kompetensi profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadiannya sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat 1 PP No 19/ 2005 (Standar Nasional Pendidikan) dan Pasal 8 UU RI No 14/2005 (UU Guru dan Dosen).

45

c. Miskonsepsi karena buku teks pelajaran Buku ajar merupakan salah satu masukan (input) dalam proses pembelajaran yang ikut menentukan keberhasilan pencapaian tujuan instruksional, kurikulum, institusional, dan bahkan tujuan pendidikan nasional (Taya, et al., 1990: 75). Buku ajar umumnya disusun berdasarkan kurikulum atau tafsiran kurikulum yang berlaku. Buku ajar berisi tentang pendekatan implementasi kurikulum yang berlaku, sehingga ada kemungkinan terdapat beberapa macam buku ajar untuk satu bidang studi tertentu (Nasution, 1982: 119-120). Buku ajar dapat merupakan komponen penting dari suatu kurikulum. Oleh karena itu materi yang terkandung dalam buku ajar harus sesuai dengan sistematika rincian bahan pelajaran yang tertera dalam silabus mata pelajaran yang bersangkutan (Muhammad Ansyor & Nurtain, 1991: 17). Buku ajar kimia merupakan buku yang memuat materi kimia sesuai dengan bahan kajian kimia dan tujuan pembelajaran kimia yang tertera dalam silabus mata pelajaran kimia kurikulum yang berlaku. Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan buku teks pelajaran yang bermutu, maka pada penerapan Kurikulum 2006 ini Depdiknas mengeluarkan Kebijakan Standar Mutu Buku Pelajaran yang tertuang dalam Permendiknas No. 2 tahun 2008 tentang buku, termasuk buku teks pelajaran . Kebijakan ini dimaksudkan agar dapat dihasilkan buku teks pelajaran yang bermutu dan dapat digunakan untuk jangka waktu yang relatif lama (5 tahun). Dengan demikian, ketika ada pergantian kurikulum yang kurang dari 5 tahun, tidak akan mempengaruhi buku ajar yang digunakan. Menurul Bahrul Hayat, et al. (2001) dalam Pedoman Sistem Penilaian dikatakan bahwa buku teks adalah buku teks pelajaran yang memiliki peranan dalam menentukan keberhasilan pendidikan peserta didik. Buku teks pelajaran juga dipandang sebagai sarana untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan. Buku teks pelajaran yang digunakan guru dan peserta didik di sekolah harus secara jelas dapat mengkomunikasikan informasi, konsep, pengetahuan, dan mengembangkan kemampuan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan baik oleh guru dan peserta didik.

46

Banyaknya buku teks pelajaran yang beredar di pasaran dari berbagai pengarang dan penerbit tentunya memiliki perbedaan dari berbagai aspek, seperti pemaparan isi, keluasan dan kedalaman materi, tampilan, dan lain-lain sesuai dengan falsafah dan gaya mengajar dari masing-masing pengarangnya, walaupun disusun atas dasar standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama (Thiessen, Wild, & Baum, 1989). Sehubungan dengan fungsinya sebagai pegangan dalam mengajar guru dan pedoman belajar peserta didik, maka dengan semakin banyaknya buku teks pelajaran yang beredar semakin besar kemungkinan tidak terkontrolnya kualitas buku ajar tersebut. Penilaian buku teks pelajaran tidak menjamin sepenuhnya akan kebenaran konsep yang dipaparkan dalam buku tersebut. Apalagi kenyataan menunjukkan sebagian besar guru menggunakan buku teks pelajaran bukan berdasarkan pada kualitas buku, melainkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti sudah terbiasa dengan buku dari pengarang dan penerbit tertentu, kepraktisan dalam penggunaan, banyaknya soal dalam buku, dan lain-lain. Menurut Taya, et al. (1990: 31) kualitas buku teks pelajaran dapat dilihat dari segi fisik, seperti desain grafis, ukuran kertas, ukuran kuarto, dan lain-lain, dan dari segi isi, sejauhmana materi yang ada memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku dan kebenaran dan keutuhan materi yang ada sesuai dengan disiplin ilmunya. Standar mutu buku pelajaran yang dimaksud oleh Pusbuk adalah menyangkut kebenaran isi, kejelasan penyajian materi, keterurutan penyajian, ilustrasi yang jelas, soal dengan tingkat kesulitan dan konteks yang bervariasi, bahasa yang baik dan komunikatif, memunculkan cara berpikir logis, dan lain-lain. Namun kriteria buku yang berkualitas seperti yang diisyaratkan Pusbuk kurang mendapat perhatian guru ketika memilih buku ajar yang akan digunakan sebagai pedoman pembelajaran. Buku teks pelajaran merupakan sumber belajar bagi peserta didik yang bersifat pasif, artinya peserta didik hanya berkomunikasi dengan tulisan-tulisan dan gambar-gambar dalam buku tersebut dan tidak dapat bertanya langsung jika ada kalimat yang kurang jelas dan tidak dipahami. Semua kalimat dalam buku dicoba

47

dipahami sendiri oleh peserta didik, sehingga kadang-kadang pemaksaan pemahaman ini dapat berakibat terjadinya miskonsepsi. Oleh karena itu buku teks pelajaran juga dapat menyebarkan miskonsepsi bagi peserta didik (Paul Suparno, 2005: 44). Hal ini karena bahasa yang digunakan oleh pengarang buku untuk memaparkan suatu konsep mungkin diartikan atau ditangkap berbeda oleh peserta didik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya beberapa miskonsepsi yang disebabkan dari buku teks pelajaran yang dibaca oleh peserta didik (Abraham, et al., 1992). Penelitian yang dilakukan Garnett & Treagust (1992) menunjukkan miskonsepsi peserta didik terhadap materi elektrokimia disebabkan oleh buku teks yang digunakan untuk belajar mereka. Penelitian serupa dilakukan George (1989) yang menyatakan sebagian besar miskonsepsi yang dimiliki peserta didik bersumber pada buku yang digunakan. Kemajuan teknologi juga membawa dampak pada dunia perbukuan, terbukti semakin banyaknya buku yang dicetak dengan tulisan yang indah, cover yang mewah disertai gambar-gambar yang menarik. Namun sebenarnya kualitas buku tidak ditentukan oleh keindahan fisiknya, tetapi pada kebenaran dan kejelasan konsep yang dipaparkan. Desain dan gambar fullcolour yang menarik belum menjamin buku tersebut tidak mendatangkan miskonsepsi bagi pemakainya (peserta didik), sebab tulisan dan ilustrasi gambar yang tidak tepat dapat memunculkan kesalahan pemahaman peserta didik yang berujung pada terjadinya miskonsepsi. Sebagai contoh, pada sebuah buku teks kimia SMA kelas XI dipaparkan tentang pergeseran kesetimbangan disebabkan oleh perubahan konsentrasi salah satu zat, perubahan tekanan atau volum, perubahan suhu, dan katalis. Padahal sebenarnya katalis tidak dapat menggeser suatu reaksi kesetimbangan. Namun karena katalis diletakkan pada paparan tentang faktor-faktor yang dapat menggeser letak kesetimbangan, maka peserta didik menganggap katalis dapat menggeser reaksi yang telah setimbang. Hal yang benar seharusnya pembahasan tentang katalis terpisah dari paparan tentang pergeseran kesetimbangan, karena katalis hanya berfungsi mempercepat tercapainya keadaan setimbang.

48

Ilustrasi gambar yang disertakan dalam buku teks pelajaran sangat memungkinkan munculnya miskonsepsi, karena gambar merupakan wujud konkrit yang mudah ditangkap dan dipahami peserta didik Oleh karena itu ilustrasi gambar dari suatu konsep sangat penting diperhatikan guru agar ketika dijumpai ilustrasi gambar yang salah segera dapat diluruskan, sehingga miskonsepsipun dapat dihindarkan. Berikut ini adalah contoh gambar yang menganalogikan keadaan kesetimbangan dinamis yang kemungkinan dapat menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik.

Gambar 2. Analogi Keadaan Kesetimbangan Dinamis yang Kurang Tepat (Sumber Gambar: Michael Purba, 2006, 170) Berdasarkan gambar tersebut, maka peserta didik mengalami miskonsepsi, dimana kesetimbangan dinamis tercapai ketika volum kedua larutan sama. Penggunaan analogi dalam menyampaikan suatu konsep sangat baik, karena membantu peserta didik dalam memahami konsep, tetapi kadang-kadang analogi tersebut dapat menimbulkan miskonsepsi (Dupin & Jhosua, 1987). Penggambaran keadaan kesetimbang dinamis yang kemungkinan juga dapat menyebabkan miskonsepsi adalah kesetimbangan dianalogikan seperti setimbangnya permainan jungkat-jungkit. Penganalogian tersebut akan berakibat terjadinya miskon-

49

sepsi bahwa keadaan kesetimbangan dinamis tercapai jika berat/massa sama. Jika hal ini diterapkan dalam suatu reaksi kimia, maka reaksi kesetimbangan terjadi jika massa zat-zat reaktan sama dengan massa zat-zat produk. Contoh lainnya adalah ketika dalam sebuah buku kimia SMA kelas XI menjelaskan tentang pengaruh tekanan terhadap kesetimbangan dengan memberikan contoh suatu reaksi kesetimbangan CO (g) + 3 H2O (g) CH4 (g) + H2O (g) disertai Gambar 3.

Gambar 3. Ilustrasi tentang Pengaruh Tekanan terhadap Kesetimbangan Kimia (Sumber Gambar: Michael Purba, 2006, 178) Ilustrasi gambar yang diberikan dalam buku tersebut sangat membingungkan bagi peserta didik, karena adanya perubahan jumlah molekul zat-zat yang terlibat dalam reaksi kesetimbangan. Gambar yang membingungkan akan berujung pada pemahaman yang salah dan akhirnya terjadilah miskonsepsi pada diri peserta didik tentang konsep yang dimaksud. Menurut Paul Suparno (2005: 53), penyebab khusus terjadinya miskonsepsi karena keberadaan buku teks diantaranya karena (1) penjelasan yang keliru dalam buku tersebut, (2) kesalahan penulisan yang tidak diikuti dengan ralat (dalam ilmu kimia kesalahan penulisan rumus sangat berakibat fatal), (3) penggunaan bahasa yang terlalu tinggi untuk level peserta didik yang dituju, (4) banyak peserta didik yang

50

membaca buku teks sepotong-sepotong (tidak utuh) sehingga memberikan pemahaman yang tidak utuh dan kurang tepat / benar, (5) pemberian ilustrasi gambar yang diambil dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan makna konsep yang sesungguhnya, dan (6) penggunaan gambar kartun yang sering mengandung miskonsepsi.

d. Miskonsepsi karena konteks Menurut Carter & Brikhouse (1989), konteks materi pelajaran dapat dipahami secara berbeda oleh peserta didik dan guru. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pengalaman, pengetahuan, tujuan, keperluan, dan motivasi. Oleh karena itu untuk memahami kesulitan peserta didik, guru terlebih dahulu harus memahami bahwa persepsi yang dimiliki peserta didik sering tidak sama dengan persepsi guru, karena peserta didik memiliki dunia dan bahasa yang berbeda. 1) Pengalaman Setiap peserta didik memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam kehidupannya yang mempengaruhi pola pikir dan kemampuan dalam mengatasi permasalahan. Pengalaman peserta didik dapat menyebabkan miskonsepsi. Sebagai contoh, pengertian setimbang selalu disamakan dengan sesuatu yang jumlahnya sama, karena demikianlah pengalaman dalam kehidupannya. Peserta didik menemukan setimbang ketika membeli sesuatu dan ditimbang dengan timbangan, melihat permainan jungkat-jungkit yang dapat setimbang ketika jumlah anak-anak yang duduk di ujung kedua sisi sama. Hal inilah yang mempengaruhi pola pikirnya ketika harus memahami kesetimbangan reaksi. Kesidou & Duit (1993) telah melakukan penelitian terjadinya miskonsepsi pada materi termodinamika yang salah satunya disebabkan latar belakang pengalaman hidup sehari-hari peserta didik, yaitu ketika memahami tentang pengertian suhu dan panas. Peserta didik menyatakan suhu adalah variabel yang dapat diukur, sedangkan panas tidak dapat diukur. Pemahaman yang salah ini dilatarbelakangi peristiwa kehidupannya dimana seseorang yang menderita demam diukur suhunya

51

dengan termometer, sedangkan panas dipandang sesuatu yang dihasilkan api sehingga tidak dapat diukur. 2) Bahasa sehari-hari Seperti diketahui, semua bidang ilmu memiliki istilah-istilah yang berbeda dengan istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jika bahasa sehari-hari disamakan artinya dengan istilah yang ada dalam bidang ilmu tertentu akan dapat menimbulkan miskonsepsi. Ilmu kimia banyak memiliki bahasa dan istilah yang spesifik yang berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa ilmu yang lain. Sebagai contoh, istilah resonansi dalam ilmu kimia tidak sama artinya dengan istilah resonansi dalam ilmu fisika. Demikian juga istilah setimbang dalam ilmu kimia tidak sama artinya dengan istilah setimbang dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perbedaan makna bahasa dan istilah dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Penelitian yang dilakukan Lynch (1989) menyatakan bahwa faktor bahasa mempengaruhi kemampuan peserta didik dalam membangun konsep, seperti bagaimana menggunakan kata penghubung yang bersifat logis, ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan konteks kata. Penelitian serupa dilakukan oleh Beek & Louters (1991) yang hasilnya dari 234 maha(siswa) menunjukkan rerata skor masalah dalam menyelesaikan soal kimia yang diberikan pengajar yang berkaitan dengan bahasa umum dan bahasa kimia sebesar 87% dan 84%, artinya sumber utama kesulitan maha(siswa) dalam memahami konsep kimia terletak pada penggunaan bahasa umum dan bahasa kimia. 3) Teman Setiap peserta didik tidak pernah terlepas dari pergaulan dengan teman-teman sebayanya. Pergaulan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan kemampuan seseorang (Slameto, 1995 : 71). Dalam pergaulan antar peserta didik, terutama dalam hal belajar dan mempelajari suatu materi pelajaran, peserta didik yang memiliki kepandaian lebih belum tentu dapat mempengaruhi teman, sebab anak-anak seusia

52

remaja (anak SMA) lebih mudah dipengaruhi oleh teman yang suaranya vokal. Padahal mereka yang bersuara vokal belum tentu memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, tetapi mungkin memiliki miskonsepsi satu atau beberapa konsep. Hal ini berakibat ketika seorang peserta didik berada satu kelompok diskusi/belajar dengan peserta didik yang vokal, dapat tertular miskonsepsi tersebut, karena peserta didik yang vokal dapat berbicara meyakinkan kepada teman satu kelompoknya. 4) Agama Agama adalah keyakinan seseorang terhadap sesuatu dzat pencipta alam semesta. Ajaran agama yang dipahami secara kurang atau tidak tepat dapat berakibat fatal ketika pemahaman tersebut diterapkan dan dihubungkan dengan bidang ilmu tertentu. Sebagai contoh, menurut ajaran agama Islam manusia diciptakan dari tanah (QS Faathir: 11), jika pemahaman ini salah maka terjadilah miskonsepsi bahwa komposisi zat-zat yang terkandung dalam tubuh manusia sama dengan zat-zat yang terkandung dalam tanah. Kesalahan pemahaman agama dikarenakan kita hanya mengambil penggalan ayat-ayat, sehingga tidak diperoleh pemaknaan yang utuh dan benar dari suatu firman Tuhan. e. Miskonsepsi karena metode mengajar Kurikulum baru memberikan ruang gerak yang bebas bagi guru untuk mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran, tetapi kenyataannya guru tetap berorientasi pada penyelesaian semua materi untuk tiap semesternya ( subject matter oriented). Hal ini disebabkan pada akhirnya nanti peserta didik harus dibekali semua materi ajar dalam menghadapi ujian akhir, sehingga guru berusaha keras untuk menyelesaikan dan menyampaikan materi tepat pada waktunya. Akibatnya sebagian guru masih sangat jarang menerapkan metode pembelajaran tanya jawab, diskusi, demonstrasi, praktikum, eksperimen, dan metode-metode selain ceramah dalam proses pembelajarannya, karena metode-metode tersebut dianggap banyak menyita waktu pembelajaran, padahal materi yang harus disampaikan relatif banyak, sehingga guru takut tidak selesai menyampaikan semua materi. Menurut sebagian guru, hanya

53

dengan metode ceramah, maka ia dapat mengejar target materi yang harus disampaikan kepada peserta didik. Pembelajaran dengan ceramah memang menghemat waktu, karena komunikasi terjalin hanya satu arah, yaitu dari guru kepada peserta didik. Namun bahasa verbal yang digunakan guru dalam ceramah sangat memungkinkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, karena pemahaman dan penangkapan yang salah tentang kalimat yang digunakan guru, penjelasan yang terlalu cepat dan kurang mendalam, dan sulitnya guru mendeteksi sudah atau belumnya materi tersebut dikuasai peserta didik ketika materi tersebut diajarkan. Oleh karena itulah perlu bagi guru menerapkan metode ceramah yang diselingi dengan tanya jawab atau diskusi, dimana peserta didik diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang konsep atau materi yang sedang dibahas dengan bahasa mereka sendiri, sehingga jika terjadi miskonsepsi dapat segera terdeteksi dan diperbaiki (Arons, 1981). Namun demikian, bukan berarti metode ceramah merupakan metode pembelajaran yang buruk, karena baik buruknya metode sangat tergantung dari karakteristik materi dan kemampuan guru dalam menerapkannya. Metode ceramah baik dan tepat digunakan untuk menyampaikan materi yang sederhana, tidak terlalu abstrak, dan konsepnya mudah dicerna oleh peserta didik. Demikian juga jika metode ceramah diterapkan oleh guru yang piawai mentransfer ilmu dengan bahasa yang lugas, menarik, dan jelas akan dapat menutupi semua kekurangan yang ada dan sedikit kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Kepiawaian guru berbicara di dalam kelas dapat menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar sekaligus menarik perhatian mereka untuk mau mendengarkan dengan seksama (Tjipto Utomo & Kees Ruijter, 1994 : 185). Dengan mendengarkan secara seksama, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menangkap materi dapat diminimalisir, sehingga miskonsepsi dapat terhindarkan. Baik buruknya suatu metode pembelajaran sangat tergantung kecakapan guru dalam memilih dan menggunakan metode tersebut (Pasaribu & Simanjuntak, 1983: 15). Pengguna metode memberi warna dan nilai pada metode yang digunakan.

54

Penggunaan metode yang tepat dapat membantu mempermudah peserta didik dalam memahami suatu konsep dan sekaligus meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa keunggulan pembelajaran di Jepang terutama disebabkan oleh peranan guru yang mampu memilih strategi pembelajaran yang efektif termasuk di dalamnya memilih metode pembelajaran (Aleks Masyunis, 2000 : 7). Metode pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang berada di bawah kontrol guru. Oleh karena itu gurulah yang harus mempersiapkan penerapan suatu metode pada pembelajaran suatu konsep. Sebelum merencanakan untuk menerapkan metode baru, guru sebaiknya memikirkan kesesuaiannya dengan materi yang akan diajarkan, termasuk kelancaran penerapannya dengan meninjau alokasi waktu yang tersedia dan sarana prasarana pendukung yang ada. Ketika akan menerapkan suatu metode pembelajaran, guru perlu mempersiapkan dengan baik agar metode yang digunakan benar-benar membantu pemahaman peserta didik, bukan sebaliknya membingungkannya. Banyak metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran kimia, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, resitasi (penugasan), demonstrasi, praktikum, dan eksperimen. Pengkombinasian beberapa metode dalam suatu pembelajaran konsep tertentu akan menjadikan peserta didik memperoleh pemahaman dengan berbagai cara. Metode tanya jawab dapat menimbulkan miskonsepsi jika guru tidak memberikan simpulan yang benar dari seluruh konsep yang digunakan sebagai bahan tanya jawab. Demikian juga metode diskusi, guru harus memberikan simpulan akhir yang berupa penjelasan yang benar tentang konsep yang didiskusikan, sehingga jika ada peserta didik yang salah dalam memahami segera dapat memperbaiki dan mengontruksi ulang struktur kognitif baru. Hal ini juga berlaku pada penerapan metode resitasi (penugasan), baik yang berupa pekerjaan rumah (PR) maupun tugas yang dikerjakan di kelas. Lain halnya dengan metode demonstrasi dimana guru ingin menunjukkan suatu proses/reaksi kimia di hadapan peserta didik. Guru perlu mempersiapkan sebaik

55

mungkin dan melakukan uji coba sebelum demonstrasi di depan kelas. Hal ini sebagai antisipasi agar tidak terjadi kegagalan yang berakibat terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik. Sebagai contoh, ketika guru akan mendemonstrasikan pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi, maka harus dicoba terlebih dahulu agar ketika didemonstrasikan di depan kelas tidak mengalami kegagalan. Seseorang dapat dikatakan sudah belajar kimia secara lengkap ketika dalam proses pembelajarannya disertai kegiatan kerja ilmiah, yaitu praktikum maupun eksperimen. Keduanya hampir sama, tetapi dalam eksperimen selain peserta didik dilatih kerja ilmiah, terampil menggunakan alat dan bahan kimia, juga dilatih untuk menggunakan penalaran dan logikanya dalam menemukan sesuatu yang baru (inovatif), baik dalam hal prosedur, bahan yang digunakan maupun alat alternatif yang mungkin dapat diciptakan. Pelaksanaan praktikum dan eksperimen hendaknya didasari pada suatu prinsip bahwa segala gejala dan reaksi kimia yang terjadi dan dipraktikkan tidak selalu memberikan hasil yang sama, karena ilmu pengetahuan termasuk ilmu kimia memiliki sifat relatif (tidak absolut), artinya selalu ada kemungkinan terjadi penyimpangan (Das Salirawati, 2008: 18). Hal ini perlu disampaikan kepada peserta didik agar ketika mereka menemukan penyimpangan yang terjadi dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari tidak kebingungan, bahkan kemudian terbentuk kontruksi konsep yang saling kontradiktif yang akhirnya menyebabkan miskonsepsi. Sebagai contoh, semua logam jika dipanaskan akan bertambah panjang. Jika guru tidak memberitahukan bahwa ada satu logam yang berwujud cair, yaitu air raksa, maka peserta didik akan kebingungan ketika melihat air raksa dipanaskan tidak bertambah panjang. Demikian pula ketika peserta didik bereksperimen menguji adanya gula pereduksi dari berbagai macam sampel yang mengandung karbohidrat dengan reagen Barfoed, maka endapan yang terbentuk tidak selalu merah bata, tetapi dapat berwarna hijau atau coklat, tergantung dari banyaknya gula pereduksi yang terkandung dalam sampel. Dengan demikian guru harus tetap ambil bagian dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik.

56

Secara khusus cara mengajar guru yang diwujudkan dalam bentuk metode pembelajaran dapat menimbulkan miskonsepsi jika guru (1) hanya menggunakan metode ceramah dan menulis tanpa berusaha mencari umpan balik dikuasai atau belumnya materi yang disampaikan, (2) tidak menjelaskan penurunan rumus dari konsep awalnya, sehingga peserta didik hanya menghafal dan tidak adaptif terhadap penerapan rumus dalam perhitungan dengan berbagai situasi, (3) tidak menyampaikan terjadinya miskonsepsi yang dialami sebagian peserta didik, sehingga kemungkinan peserta didik yang tidak terdeteksipun akan mengalami miskonsepsi, (4) tidak memberikan simpulan akhir setelah menerapkan metode tanya jawab, diskusi, maupun resitasi (penugasan), (5) memberikan analogi yang salah pada saat ceramah, (6) tidak mengujicoba terlebih dahulu demonstrasi yang akan dilakukan, dan (7) tidak menjelaskan adanya penyimpangan gejala atau reaksi kimia. C. Teori Respon Butir Tes sebagai instrumen dalam bidang pendidikan berguna untuk mengetahui karakteristik peserta didik yang dikenai instrumen tersebut. Informasi tentang karakteristik peserta didik akan tepat jika instrumen yang digunakan benar-benar baik kualitasnya. Pada saat ini ada dua teori pengukuran yang dapat digunakan untuk menganalisis kualitas suatu instrumen, yaitu teori tes klasik dan teori respons butir. Menurut teori respon butir, butir tes yang baik adalah butir tes yang memiliki tingkat kesukaran berkisar antara -2 dan +2, daya pembeda antara 0 dan 2, dan pseudo-guessing lebih kecil dari 1/m atau 1/k (m atau k = banyaknya option) (Hambleton & Swaminathan, 1985: 36, 107; Hullin, Drasgow, & Parsons, 1983: 36). Pada penelitian ini akan digunakan dua parameter, yaitu daya pembeda dan tingkat kesukaran. D. Tes Diagnostik Mehrens & Lehmann (1984: 410) berpendapat bahwa tes diagnostik adalah bagian dari tes prestasi. Menurut Djemari Mardapi (2008: 89) tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik. Tes ini dilakukan

57

apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam mengikuti proses pembelajaran. Hasil tes diagnostik memberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami. Konsep yang belum dipahami tersebut salah satunya dapat disebabkan terjadinya miskonsepsi yang dialami peserta didik. Berkaitan dengan hal itu, maka tes diagnostik juga dapat digunakan untuk mengetahui materi-materi yang dirasa sulit dipahami oleh peserta didik, termasuk materi yang sering menyebabkan miskonsepsi. Tes diagnostik yang baik dapat memberikan gambaran akurat tentang miskonsepsi yang dialami peserta didik berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya. Menurut Zeilik (1998), tes diagnostik digunakan untuk menilai pemahaman konsep peserta didik terhadap konsep-konsep kunci (key concepts) pada topik tertentu, khususnya konsep-konsep yang cenderung dipahami secara salah oleh peserta didik. Dengan demikian ciri-ciri tes diagnostik adalah topik terbatas dan spesifik, serta dilakukannya tes ini dengan tujuan untuk mengungkap miskonsepsi. Menurut Zeilik (1998) untuk membedakan tes pilihan ganda biasa (bukan untuk diagnosa) dengan tes pilihan ganda untuk diagnosa, pengecoh pada tes pilihan ganda untuk tes diagnostik dirancang berdasarkan miskonsepsi yang telah teridentifikasi melalui penelitian, masukan dari peserta didik maupun pendidik (guru). E. Penelitian Pengembangan Menurut Gay (1990), tujuan utama Research & Development (R & D) adalah bukan untuk menguji hipotesis, tetapi untuk menghasilkan produk-produk efektif yang dapat digunakan di sekolah. Produk yang dihasilkan dapat berupa instrumen/tes, bahan-bahan pelatihan guru, bahan-bahan belajar, media, dan sistem pengelolaan. Pendapat serupa dikemukakan oleh Borg & Gall (1983) yang menyatakan bahwa R & D merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan menvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan. Pada penelitian pengembangan ini guru-guru kimia SMA dipandang sebagai orang yang mengetahui secara pasti sering atau tidaknya suatu konsep kimia yang ada

58

dalam kurikulum yang diajarkan menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Oleh karena itu pada studi pendahuluan mereka dimintai masukan untuk menentukan materi pokok kimia yang paling sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik. Penelitian ini mengadaptasi prosedur pengembangan yang dikemukakan oleh Borg & Gall yang terdiri dari 10 (sepuluh) langkah, diadaptasi secara operasional ke dalam aksi kegiatan penelitian ini menjadi 5 (lima) langkah, yaitu (1 ) analisis produk yang akan dikembangkan; (2) pengembangan produk awal; (3) validasi produk; (4) uji coba lapangan; dan (5) revisi produk F. Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian miskonsepsi peserta didik terhadap kesetimbangan kimia dilakukan oleh Bergquist & Heikkinen (1990) dengan instrumen yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berupa pilihan ganda kemudian diikuti wawancara. Miskonsepsi yang ditemukan Bergquist & Heikkinen akan digunakan sebagai dasar dalam pengembangan instrumen pendeteksi miskonsepsi kesetimbangan kimia dalam penelitian ini. Odom & Barrow (1995) meneliti tentang miskonsepsi dengan mengembangkan instrumen diagnostik miskonsepsi diawali melalui validasi isi oleh satu orang ahli kimia, satu orang ahli pendidikan kimia, dan satu ahli biologi. Pada penelitian yang akan dilakukan ini juga akan dilakukan validasi isi yang ditetapkan oleh ahli pendidikan kimia, ahli ilmu kimia, dan ahli psikometri. Krishnan & Howe (1994) telah mengembangkan instrumen tes pilihan ganda dan tes uraian. Bentuk ini kemudian dinilaikan kepada para pakar yang terdiri dari 2 profesor, 4 guru kimia, 4 mahasiswa pendidikan sains, dan 2 instruktur laboratorium kimia. Hasil revisi kemudian diujikan kepada 20 mahasiswa untuk analisis butir tes dengan teori tes klasik. Langkah-langkah penelitian Krishnan & Howe hampir sama dengan penelitian yang akan dilakukan, hanya berbeda dalam hal studi pendahuluan, validator, dan analisis butir tes yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Sidauruk (2005) telah berhasil mengembangkan instrumen Tes Diagnostik Stoikiometri (TDS) berupa tes pilihan ganda dengan alasan tertentu seperti yang dikembangkan Treagust dan berhasil mengidentifikasi 30

59

miskonsepsi dan 9 penyebab miskonsepsi stoikiometri dan mampu menentukan bahwa frekuensi miskonsepsi stoikiometri terbukti tidak tergantung pada perbedaan jenis kelamin, tetapi tergantung pada bahasa yang digunakan dan jenjang kelas. Berdasarkan hasil penelitian Sidauruk, maka penelitian ini tidak menggunakan materi kimia yang terpisah pada jenjang kelas yang berbeda, karena jenjang kelas terbukti berpengaruh terjadinya miskonsepsi. ] G. Kerangka Pikir Setiap peserta didik memiliki prakonsepsi yang dibawa sebagai pengetahuan. Sejalan dengan perkembangan daya pikirnya, mereka mengembangkan prakonsepsi yang dimilikinya, tetapi kadang-kadang pengembangan konsep yang dilakukan berbeda dengan konsep sebenarnya yang dikemukakan para ahli dan jika hal ini tidak terdeteksi akan menghasilkan miskonsepsi yang berlarut-larut. Demikian juga setiap peserta didik memiliki konsepsi yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Daya pikir dan daya tangkap setiap peserta didik terhadap stimulus yang ada di lingkungan tidak akan persis sama. Ada kemungkinan beberapa diantara mereka memiliki konsepsi yang salah terhadap suatu konsep yang akhirnya menghasilkan miskonsepsi. Pengetahuan yang berkembang pada diri peserta didik tidak hanya diperoleh ketika mereka diajarkan suatu konsep oleh seorang guru atau membaca buku, tetapi sebagai manusia mereka senantiasa aktif membangun struktur kognitifnya berdasarkan pemilihan informasi yang tersedia sesuai dengan keinginannya. Berdasarkan hal ini, maka seringkali miskonsepsi terjadi. Ketika mereka berusaha membangun struktur kognitif dengan memilih informasi yang ada, kemungkinan ada kesalahan dalam mengaitkan keduanya. Prakonsepsi dan konsepsi yang benar dapat menjadi salah ketika ia membangun struktur kognitif baru berdasarkan masukan informasi yang salah, atau sebaliknya. Semuanya itu menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik. Materi kesetimbangan kimia sebagian besar berisi perhitungan, tetapi juga mengandung banyak konsep yang perlu kemampuan yang lebih dari sekedar dihafal. Oleh karena itu untuk menguasai materi ini dengan baik dan benar sangat diperlukan

60

kemampuan peserta didik untuk mendalami hubungan antar konsep agar mampu membangun struktur kognitif yang benar tentang materi kesetimbangan kimia. Namun demikian karena isi materi ini sangat kompleks dan abstrak, kemungkinan terjadi miskonsepsi peserta didik pada materi kesetimbangan kimia relatif besar, baik disebabkan peserta didik itu sendiri maupun guru dan buku teks. Miskonsepsi merupakan suatu keadaan yang dapat dialami oleh setiap peserta didik, namun bukan berarti dibiarkan begitu saja terjadi. Banyak instrumen pendeteksi miskonsepsi telah dikembangkan, mulai dari yang berbentuk (1) peta konsep; (2) tes pilihan ganda dan tes esai tertulis; (3) wawancara diagnostik; (4) diskusi kelas; sampai yang berupa (5) praktikum dengan tanya jawab. Semua instrumen memiliki kelebihan di samping kekurangan. Penelitian ini mengadaptasi dengan cara menggabungkan dua instrumen yang telah dikembangkan, yaitu tes pilihan ganda dengan alasan terbuka (Amir, 1987, Krishnan & Howe, 1994) dan tes pilihan ganda dengan alasan tertentu (Treagust, 1987). Dengan mempertimbangkan kelemahan kedua instrumen tersebut, maka dalam penelitian ini akan dikembangkan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) berbentuk tes pilihan ganda dengan alasan setengah terbuka. Bentuk ini dipilih mengingat instrumen tes pilihan ganda dengan alasan terbuka memiliki kelemahan adanya peserta didik yang tidak mengisi alasan dengan berbagai sebab. Demikian juga instrumen tes pilihan ganda dengan alasan tertentu memiliki kelemahan terbatasinya kebebasan mengungkapkan alasan di luar yang tersedia dan kemungkinan pilihan alasan yang hanya spekulatif. Ketepatan IPMK yang dikembangkan akan divalidasi awal oleh expert jugdment yang memiliki keahlian bidang ilmu kimia/pendidikan kimia/psikometri/ miskonsepsi yang dipilih dari beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia berdasarkan keahliannya. Berdasarkan masukan dan rekomendasi mereka diharapkan IPMK yang dikembangkan dapat tepat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik, khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia. Instrumen yang telah direvisi kemudian divalidasi empirik tes intinya (tanpa alasan) kepada 850 peserta didik SMA kelas XI di DIY yang hasilnya dianalisis dengan teori

61

respon butir. Berdasarkan analisis teori respon butir, maka diperoleh tes yang baik yang akan diuji visibilitasnya kepada sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA yang ada di DIY berdasarkan area proportional sampling.

BAB III METODE PENELITIAN


A. Model Pengembangan Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan, yaitu penelitian yang bertujuan menghasilkan suatu produk dan meneliti kualitas produk tersebut. Produk yang akan dihasilkan adalah Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) pada peserta didik kelas XI SMA. Produk yang berupa IPMK kemudian diteliti kualitasnya berdasarkan penilaian para ahli melalui expert judgment dengan menggunakan teknik FGD; analisis menggunakan Teori Respons Butir (TRB) atau Item Response Theory (IRT) dengan dua parameter; dan visibilitas penggunaannya di lapangan. B. Prosedur Pengembangan Prosedur pengembangan penelitian ini mengadaptasi dari model Educational Research & Development (R & D) yang dikemukakan Borg & Gall (1983: 775). Desain R & D dari Borg & Gall yang terdiri dari 10 (sepuluh) langkah, diadaptasi secara operasional ke dalam aksi kegiatan penelitian ini menjadi 5 (lima) langkah, yaitu: 1. Analisis Produk yang Akan Dikembangkan Sebagai langkah awal adalah melakukan analisis kebutuhan (need assessment) yang dilakukan dengan menjaring pendapat dari 125 guru kimia SMA di DIY dan Jawa Tengah. Berdasarkan analisis kebutuhan ini, maka dipandang penting penelitian pengembangan instrumen miskonsepsi ini dilakukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan bentuk produk yang akan dihasilkan melalui kaji pustaka. Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari setiap instrumen pendeteksi yang ada, maka penelitian ini memilih bentuk instrumen Tes Pilihan

62

Ganda dengan Alasan Setengah Terbuka (TPGAST) dan diberi nama Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK).

2. Pengembangan Produk Awal Langkah awal pengembangan produk dilakukan dengan membuat kisi-kisi tes agar butir-butir tes yang dibuat memenuhi validitas isi. Langkah berikutnya adalah menyusun tes berdasarkan kisi-kisi yang dibuat. Setiap butir tes dibuat dengan mendasarkan pada prediksi kemungkinan konsep tersebut dapat menimbulkan miskonsepsi pada peserta didik. Suatu butir tes terdiri atas 3 (empat) komponen, yaitu komponen inti tes berupa pokok tes dan alternatif jawaban atau opsi utama ( main option). Komponen lain ialah opsi alasan (reason option) dan opsi komentar (commentary option). Produk awal ini disajikan pada Lampiran 2. Prinsip penting pada pengembangan produk awal adalah menyusun buram produk sehingga memenuhi validitas teoretis. Sebelum divalidasi secara empirik, buram awal perlu dinilai, terutama aspek kelayakan dasar-dasar konsep atau teori yang digunakan yang dapat dilakukan melalui expert judgment dengan teknik FGD. 3. Validasi Produk a. Validasi oleh ahli (expert judgment) Butir tes dalam IPMK yang dikembangkan dibuat berdasarkan kisi-kisi tes yang terdistribusi proporsional sesuai uraian materi pokok kesetimbangan kimia yang tercantum dalam kurikulum dan konsep-konsep yang diprediksikan sering menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, sehingga secara validitas isi atau validitas teoretis telah memenuhi syarat. Validasi isi juga dilakukan dengan cara melakukan penilaian terhadap IPMK yang telah disusun melalui expert jugdment menggunakan teknik FGD dengan melibatkan ahli bidang ilmu kimia, pendidikan kimia, psikometri, dan miskonsepsi dari beberapa Perguruan Tinggi berdasarkan keahliannya.

63

Melalui teknik FGD diharapkan setiap ahli yang menjadi peserta FGD akan memberikan masukan dan penilaian terhadap IPMK yang dikembangkan dengan alasan dan argumentasi yang dapat menjadi pegangan untuk penyempurnaan IPMK tersebut. b. Validasi empirik Setelah direvisi berdasarkan hasil FGD, maka dilakukan validasi empirik terhadap inti tes (tanpa alasan) dengan mengujicobakan pada 850 peserta didik SMA kelas XI dari beberapa SMA yang ada di DIY. Hasil uji coba dianalisis dengan menggunakan teori respons butir (TRB) dua parameter dengan cara dikalibrasi menggunakan software BILOG Multi Group untuk menentukan butir-butir tes yang baik dengan kriteria yang ditetapkan dalam teori respons butir. 4. Uji Coba Lapangan Butir tes yang baik hasil analisis respons butir selanjutnya digunakan untuk uji coba terhadap sejumlah peserta didik SMA kelas XI di DIY sebagai uji visibilitas IPMK yang dikembangkan. Uji visibilitas dilakukan untuk mengetahui mudah tidaknya IPMK yang dikembangkan diterapkan dan dianalisis oleh guru kimia SMA, serta mudah tidaknya dalam mendeteksi terjadinya miskonsepsi. 5. Revisi Produk Berdasarkan hasil uji coba lapangan, kemungkinan masih ada hal-hal yang perlu diperhatikan yang dapat menjadi masukan akhir bagi penyempurnaan IPMK yang dikembangkan. Secara garis besar lima langkah tersebut dapat digambarkan: Analisis Produk yang Akan Dikembangkan

Pengembangan Produk Awal

Validasi Produk Uji Coba Lapangan 64

Revisi Produk Gambar 4. Diagram Alir Langkah-langkah Pengembangan IPMK Uji Coba Produk Lima langkah pengembangan IPMK pada Gambar 4 digambarkan secara rinci menjadi 10 langkah pada Gambar 5. Produk awal atau Produk I IPMK divalidasi oleh para ahli melalui expert judgment menggunakan teknik FGD. Para ahli tersebut terdiri atas ahli pendidikan kimia, ahli ilmu kimia, ahli psikometri, dan ahli miskonsepsi. Data berupa masukan dari para ahli dianalisis dan hasilnya digunakan untuk melakukan revisi Produk I IPMK menjadi Produk II IPMK. Produk II IPMK berupa perangkat IPMK yang sudah valid dan reliabel dari segi teoretis. Produk II IPMK divalidasi secara empirik dengan subjek uji coba 850 peserta didik SMA kelas XI dari beberapa SMA yang ada di DIY. Data berupa skor dan hasilnya digunakan untuk melakukan revisi Produk II IPMK menjadi Produk III IPMK. Produk III IPMK berupa perangkat IPMK yang sudah valid dan reliabel dari segi empirik. 2. Subjek Uji Coba Subjek uji coba lapangan untuk tujuan uji visibilitas IPMK adalah sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA yang ada di DIY berdasarkan area proportional sampling, artinya diambil peserta didik kelas XI jurusan IPA di setiap Kabupaten secara proporsional. 3. Jenis Data Data yang diperoleh, dianalisis, dan digunakan untuk pengambilan keputusan dalam penelitian pengembangan ini adalah: a. Data kualitatif

C.

1. Desain Uji Coba IPMK

65

Data kualitatif berupa penilaian dan masukan dari para ahli yang menjadi peserta FGD, baik penilaian dan masukan yang berkaitan dengan kebenaran konsep kimia dalam instrumen, ketepatan butir-butir tes, maupun ketepatan instrumen dalam mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi kimia pada materi pokok kesetimbangan kimia.

Studi Pendahuluan Studi Pustaka Materi Kimia yang Dipilih sebagai Subjek Penelitian (Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Studi Lapangan

Penyusunan Kisikisi IPMK

Konstruksi IPMK

PRODUK I (PRODUK AWAL) IPMK Kesesuaian dengan Konten Materi dalam Kurikulum 2006

Validasi Isi Data Validasi dan Analisis Data Revisi IPMK

Expert Judgment

PRODUK II IPMK (Valid & Reliabel) Validasi Empirik

Revisi IPMK PRODUK III IPMK (Valid & Reliabel Empirik) Revisi IPMK

Data Validasi dan Analisis Data

Uji Coba Lapangan/ Uji Visibilitas Data Validasi dan Analisis Data

PRODUK AKHIR IPMK

66

Gambar 5. Desain Uji Produk b. Data kuantitatif Data kuantitatif berupa skor peserta didik setelah mengerjakan tes pilihan ganda yang ada dalam IPMK yang akan digunakan untuk validasi empirik menggunakan analisis teori respon butir (TRB) dengan dua parameter. Demikian pula skor peserta didik pada uji coba lapangan digunakan untuk uji visibilitas. 4. Instrumen Pengumpulan Data a. Instrumen I IPMK untuk para ahli Teknik penilaian dalam penelitian ini berupa angket, sedangkan instrumen berupa lembar angket yang berisi kriteria IPMK yang baik ditinjau dari aspek materi, konstruksi, dan bahasa dengan mengacu pada ketentuan yang dikemukakan Ditjen Dikti (2005). Angket dapat dilihat pada Lampiran 3. Instrumen berikutnya berupa lembar penilaian dan masukan untuk diisi oleh seluruh peserta FGD yang terdiri dari ahli bidang ilmu kimia, ahli pendidikan kimia, ahli psikometri, dan ahli miskonsepsi. Semua data penilaian dan masukan ini digunakan sebagai dasar untuk merevisi produk awal IPMK yang dikembangkan. Instrumen lembar penilaian ini disajikan pada Lampiran 4. b. Instrumen II IPMK untuk peserta didik Instrumen II IPMK berupa seperangkat tes, yaitu produk II IPMK hasil revisi IPMK I setelah mendapat masukan dari para ahli (lihat Lampiran 5 dan 6). Berdasarkan hasil uji validitas empirik diperoleh data berupa skor setiap peserta didik yang menjadi sampel. Semua data hasil validasi empirik digunakan sebagai dasar untuk merevisi Produk II IPMK yang dikembangkan, sehingga diperoleh Produk III IPMK. Adapun hasil validasi empirik dengan analisis respon butir (IRT) yang dikalibrasi menggunakan software Bilog Multi Group dapat dilihat pada Lampiran 8. c. Instrumen III IPMK untuk uji coba lapangan

67

Uji coba dilakukan untuk mengetahui visibilitas IPMK. Instrumen untuk peserta didik berupa IPMK Produk III yang sudah valid dan reliabel secara empirik. Berdasarkan uji coba lapangan diperoleh data berupa skor setiap peserta didik yang menjadi sampel. Selain skor, kedua langkah uji tersebut juga menghasilkan data berupa miskonsepsi yang dialami peserta didik yang akan dijadikan sebagai dasar untuk memberikan pemecahan tentang cara-cara mengatasinya. Pada uji coba lapangan juga dijaring data dari para guru kimia tentang aspek atau variabel-variabel visibilitas atau keterlaksanaan IPMK. D. Teknik Analisis Data Data yang berupa masukan dari para ahli melalui expert judgment terhadap produk awal IPMK yang dikembangkan dianalisis secara deskriptif dengan cara memverifikasi masukan yang diberikan yang akan menjadi bahan untuk merevisi produk awal IPMK. Masukan dapat berupa revisi kesalahan materi, konstruksi tes, atau kebahasaan. Demikian pula dengan data yang berupa penilaian aspek materi, konstruksi, dan bahasa yang diberikan oleh ahli pendidikan kimia digunakan sebagai dasar revisi butir-butir tes dalam IPMK. 2. Data hasil uji coba untuk validasi empirik Setelah produk I atau produk awal IPMK direvisi berdasarkan data hasil penilaian dan masukan para ahli melalui expert judgment, maka dilakukan validasi empirik terhadap inti tes dengan mengujicobakan kepada 850 peserta didik SMA kelas XI dari beberapa SMA yang ada di DIY. Hasil uji coba menghasilkan skor, dimana untuk tes yang dijawab benar diberi skor 1 dan tes yang dijawab salah diberi skor 0 (data dikotomus). Peserta didik yang tidak menjawab satu atau lebih butir tes, hasil pekerjaannya tidak dianalisis (lihat Lampiran 7). Data jawaban dari seluruh peserta didik dimasukkan dalam program excell yang selanjutnya dianalisis melalui teori respons butir (TRB) dua parameter dengan cara dikalibrasi menggunakan

1. Data penilaian dan masukan dari para ahli melalui expert judgment

68

software BILOG Multi Group untuk menentukan butir-butir tes yang baik dengan kriteria yang ditetapkan dalam teori respons butir. Butir tes yang baik adalah butir tes yang memiliki tingkat kesukaran berkisar antara -2 dan +2, daya pembeda antara 0 dan 2 dan (Hambleton & Swaminathan, 1985: 36, 107; Hullin, Drasgow, & Parsons, 1983: 36). 3. Data uji coba lapangan Setelah diperoleh butir-butir tes yang valid dan reliabel menggunakan analisis teori respon butir (TRB) dengan tiga parameter, maka selanjutnya dilakukan uji coba lapangan terhadap sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA yang ada di DIY sebagai uji visibilitas (keterlaksanaan) IPMK yang dikembangkan. Berdasarkan uji coba lapangan diperoleh data kemungkinan pola jawaban peserta didik yang dapat dikategorikan dalam beberapa tingkat pemahaman seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kemungkinan Pola Jawaban Peserta Didik dan Kategorinya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pola Jawaban Peserta Didik Jawaban inti tes benar alasan benar Jawaban inti tes benar alasan salah Jawaban inti tes salah alasan benar Jawaban inti tes salah alasan salah Jawaban inti tes salah alasan tidak diisi Jawaban inti tes benar alasan tidak diisi Tidak menjawab inti tes dan alasan Kategori Tingkat Pemahaman memahami (M) miskonsepsi (Mi-1) miskonsepsi (Mi-2) tidak memahami (TM-1) tidak memahami (TM-2) memahami sebagian tanpa miskonsepsi (MS-1) tidak memahami (TM-3)

Berdasarkan kategori tersebut, maka data uji coba lapangan dapat dianalisis untuk menentukan pada butir-butir tes mana saja peserta didik mengalami miskonsepsi dan seberapa besar (persentase) peserta didik yang mengalami miskonsepsi. Adapun tabel yang digunakan untuk memasukkan data dasar dapat dibuat seperti Tabel 2. Tabel 2. Data Dasar Hasil Uji Coba Lapangan

69

Subjek Uji Coba 1 2 3 4 dst

1 M Mi-1 Mi-2 TM-1

Nomor Butir Tes 3 4 5 6

dst

Berdasarkan data dasar yang telah diisi tersebut, maka dapat dihitung persentase peserta didik yang memahami, miskonsepsi, tidak memahami, dan memahami sebagian tanpa miskonsepsi untuk setiap butir tes (lihat Tabel 3). Dengan persentase tersebut dapat diketahui pula uraian materi pokok kesetimbangan kimia mana yang memiliki kecenderungan peserta didik mengalami miskonsepsi. Tabel 3. Persentase Tiap Butir Tes dalam Berbagai Kategori Tingkat Pemahaman Uraian Materi Pokok Kesetimbangan Kimia 1. Kesetimbangan dinamis No. Kategori Tingkat Pemahaman Butir M Mi-1 Mi-2 TM-1 TM-2 MS-1 MS-2 Tes % % % % % % % 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2. Kesetimbangan homogen dan heterogen 3. dst

Alasan terbuka (komentar) yang ditulis oleh sampel diverifikasi dimana alasan yang memiliki maksud yang sama disatukan, sehingga akan diperoleh sekumpulan alasan/ komentar untuk setiap butir tes, baik alasan yang benar/relevan maupun yang salah/tidak relevan dengan inti tes. Selanjutnya untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya miskonsepsi ditinjau dari substansi materi, maka dibuat tabel khusus untuk memasukkan data pola jawaban

70

pada butir tes yang mengalami miskonsepsi berdasarkan lembar pekerjaan peserta didik yang menjadi sampel. Adapun tabel yang dimaksud disajikan sebagai Tabel 4. Berdasarkan data pada Tabel 4 ini, maka dapat diketahui kecenderungan miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik sebagian besar mengarah pada option pengecoh (distraktor) yang mana pada inti tes dan option alasan yang mana dari alasan-alasan yang tersedia maupun isian dari peserta didik sendiri. Dengan demikian akan dapat dipetakan bagian-bagian mana dari uraian materi kesetimbangan kimia yang sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik. Tabel 4. Pola Jawaban Peserta Didik pada Butir Tes yang Mengalami Miskonsepsi No. Butir Tes 1 2 3 dst Pedoman langkah-langkah dalam mengumpulkan dan merekapitulasi data seperti yang dikemukakan tersebut dapat digunakan guru dalam penerapan IPMK untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada peserta didiknya. Tabel-tabel tersebut juga akan mempermudah guru dalam menganalisis bagian-bagian mana dari materi kesetimbangan kimia yang terbanyak menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Kunci Soal Inti dan Alasan B-D B-B C-C Jumlah Peserta Didik yang Mengalami Miskonsepsi B-A ...... B-A ...... C-A ...... B-B ...... B-C ...... C-B ...... B-C ...... B-D ...... C-D ...... B-E ...... B-E ...... C-E ....... A-D ...... A-B ...... A-C ...... C-D ...... C-B ...... B-C ....... D-D ...... D-B ...... D-C ...... E-D ....... E-B ...... E-C ......

71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian Produk awal yang berupa kisi-kisi tes beserta soal dan alasan yang telah disusun mula-mula divalidasi isi oleh sejumlah reveiwer dan expert melalui FGD. Berdasarkan analisis data berupa penilaian dari para reveiwer sebanyak 9 orang, terdiri dari 4 dosen Pendidikan Kimia FMIPA UNY dan 5 guru kimia SMA (ketua MGMP untuk setiap Kabupaten), maka diperoleh kesimpulan ada 10 soal dari 40 soal yang yang dikembangkan dinyatakan kurang memenuhi syarat, dengan tinjauan alasan dari aspek materi, konstruksi, atau bahasa. Namun demikian sebagai bahan FGD, ke-40 soal tetap dilampirkan untuk mendapat persetujuan dari para expert, baik expert miskonsepsi, pendidikan kimia, ilmu kimia, maupun psikometri. Berdasarkan masukan para expert (lihat Lampiran 5), maka kemudian disepakati soal dikurangi menjadi 30 butir dengan alasan utama jumlah 40 terlalu banyak, ada beberapa soal yang dipandang terlalu sulit untuk peserta didik (soal setingkat untuk olimpiade), dan soal tersebut sudah diwakili oleh soal yang lain sehingga dapat dihilangkan. Hasil masukan para expert kemudian digunakan sebagai dasar untuk merevisi produk IPMK, sehingga dihasilkan Produk IPMK II yang valid dan reliabel secara isi. Selanjutnya dilakukan validasi empirik dengan mengujicobakan pada 850 peserta didik, namun sebanyak 47 data tidak dapat dianalisis karena banyak soal yang tidak dijawab. Validasi empirik ini hanya diperlakukan bagi soal inti (tanpa alasan) dengan

72

maksud agar diperoleh soal yang valid dan reliabel secara empirik, sehingga ketika akan digunakan untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi (soal yang telah disertai alasan) benar-benar dihasilkan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan analisis teori respon butir (TRB) dua parameter yang dikalibrasi dengan menggunakan software Bilog Multi Group yang sebelumnya diawali dengan analisis klasik Korelasi Biserial butir soal terhadap skor total, dan ternyata butir 2 dan butir 24 ke skor total adalah negatif, masing-masing adalah -0.238 dan -0.033, sehingga kedua butir soal tersebut kemudian dikeluarkan dalam analisis butir secara IRT. Dengan menggu-nakan dua parameter, yaitu daya pembeda dan tingkat kesukaran dihasilkan ada 19 butir soal yang fit (valid secara IRT) dan 9 butir soal tidak fit (gugur). Data hasil analisis ini disajikan pada Lampiran 8. Analisis butir secara IRT setelah butir soal nomor 2 dan 24 dikuluarkan dari data hasilnya adalah sebagai berikut: 1. berikut:
Matrix Plot of Item Characteristic Curv es

Matriks kurva karakteristik butir setelah 2 butir soal didrop sebagai

1-6

7 - 12

13 - 18

19 - 24

25 - 28

73

2.

Butir fit/tidak fit berdasarkan signifikansi 2 menghasilkan sebanyak 19 soal yang fit dan 9 soal yang tidak fit. Adapun butir soal yang tidak fit adalah nomor 1, 5, 7, 12, 14, 15, 18, 19, 23, dan 24.

3.

Person fit yang theta-nya dapat dihitung berjumlah 198 dari 803 peserta didik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pelaksanaan dari uji coba ini yang tidak semuanya dapat terpantau oleh peneliti, sehingga kebiasaan buruk peserta didik yang selama ini lazim dilakukan, seperti saling menyontek tidak dapat dihin-darkan. Setelah validasi empirik dilakukan selanjutnya butir soal pada IPMK ditata

kembali dan kemudian ditambahkan alasan untuk setiap soal yang fit (Produk III IPMK). Tahap terakhir adalah uji visibilitas, yaitu mengujicobakan Produk III IPMK ini kepada sejumlah peserta didik SMA Kelas XI IPA yang ada di DIY berdasarkan area proportional sampling. Pada penelitian ini digunakan 1000 peserta didik dengan perincian, Kota sebanyak 217, Bantul sebanyak 179, Sleman 196, Kulon Progo sebanyak 200, dan Gunung Kidul sebanyak 208. Berdasarkan uji coba ini diperoleh pemetaan tentang uraian materi kesetimbangan yang sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik. Adapun data yang telah direkap disajikan pada`Lampiran 10. B. Pembahasan Penelitian ini terutama bertujuan untuk menghasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan (validasi isi, validasi ahli, dan validasi empirik) dan uji coba di lapangan sebagai uji visibilitas. Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh 9 reveiwer yang terdiri atas 4 dosen Pendidikan Kimia dan 5 guru kimia SMA sekaligus Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Kimia dari kelima Kabupaten, maka ada 10 soal yang disarankan untuk dikurangi dengan pertimbangan utama terlalu banyak jika soal berjumlah 40 dan ada beberapa soal yang sebenarnya dapat diwakili oleh satu soal.

74

Adapun soal yang disarankan dikurangi/dihilangkan tersebut adalah butir nomor 3, 11, 16, 20, 22, 30, 31, 33, 39, dan 40. Butir soal nomor 3 dihilangkan karena sebenarnya konsep tersebut jika dipertanyakan dalam soal akan menimbulkan banyak persepsi. Sedangkan butir soal nomor 16, 20, dan 22 sudah tercakup dan dapat diwakili oleh butir soal nomor 17 21.Butir soal nomor 30, 31, dan 33 terutama menurut guru merupakan materi kesetimbangan kimia pengayaan dan soal yang sering muncul pada olimpiade, sehingga dikhawatirkan tidak semua peserta didik menguasai materi tersebut. Butir soal nomor 39 dan 40 merupakan soal yang berisi materi kesetimbangan kimia yang merupakan fakta yang hanya sekedar dihafal dan kemungkinan kecil untuk terjadinya miskonsepsi. Hasil penilaian ini selanjutnya dibawa dalam forum diskusi formal, yaitu Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh expert pendidikan kimia, ilmu kimia, psikometri, dan miskonsepsi. Banyak masukan berharga pada FGD ini, diantaranya dari expert pendidikan kimia tentang pentingnya instrumen ini memperhatikan kebenaran konsep dan bahasa, sehingga jangan sampai soal ini justru mengandung miskonsepsi. Expert ilmu kimia menyampaikan beberapa pertimbangan materi yang ada dalam setiap butir soal secara terperinci yang kemudian memberikan usulan beberapa butir soal untuk ditiadakan. Dua expert psikometri menyatakan bahwa untuk validasi empirik sebenarnya tidak harus dilakukan, mengingat instrumen yang dikembangkan lebih pada diagnosa terhadap terjadinya miskonsepsi. Namun demikian jika hal itu dilakukan akan menghasilkan instrumen yang lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Demikian juga menanggapi tentang perlu tidaknya wawancara, kedua ahli psikometri menyatakan bahwa jika alasan yang menyertai soal inti adalah hasil masukan yang diberikan guru-guru pada saat studi pendahuluan dan juga melihat hasil-hasil penelitian miskonsepsi pada materi yang sama, maka wawancara tidak wajib dilakukan, kecuali jika dari awal alasan pada soal tersebut diharapkan berasal dari penjaringan pendapat peserta didik.

75

Masukan yang diberikan dua expert miskonsepsi hampir sama, yaitu sebaiknya penelitian ini fokus pada pemetaan terhadap bagian-bagian dari materi kesetimbangan kimia yang menyebabkan miskonsepsi dan tidak perlu terlalu jauh mencari penyebabnya, karena mencari penyebab miskonsepsi merupakan judul tersendiri yang akan memberatkan jika penelitian ini harus sampai pada pembahasan itu. Kedua expert miskonsepsi memberikan banyak masukan dan jurnal-jurnal miskonsepsi untuk digunakan sebagai bahan studi lebih lanjut. Adapun masukan para expert dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan kesepakatan dalam FGD yang melibatkan expert dan reveiwer serta kedua Promotor, maka diperoleh 30 butir soal yang akan digunakan sebagai instrumen pendeteksi miskonsepsi. Ke-30 butir soal ini kemudian ditata kembali dan selanjutnya dilakukan persiapan validasi empirik terhadap sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA di DIY. Instrumen yang telah direvisi berdasarkan masukan pada FGD disebut Produk II IPMK. Hasil uji coba terhadap 850 peserta didik menunjukkan hanya 803 yang dapat dianalisis IRT dua parameter, karena sebanyak 47 data jawaban yang diberikan tidak lengkap (banyak soal tidak dijawab). Analisis IRT semula direncanakan menggunakan tiga parameter, yaitu daya pembeda, tingkat kesukaran, dan guessing (tebakan semu), namun ternyata analisis dengan tiga parameter tidak mampu menghitung skor theta (kemampuan) peserta didik, sehingga dicoba analisis IRT dengan dua parameter. Hasilnya, theta dapat dihitung, meskipun banyak butir soal yang tidak fit, yaitu sebanyak 9 soal. Sebelum analisis IRT dilakukan analisis butir soal dengan teori klasik, yaitu melihat Korelasi Biserial butir soal terhadap skor total, ternyata butir 2 dan butir 24 ke skor total adalah negatif, masing-masing adalah -0.238 dan -0.033, sehingga kedua butir soal tersebut dikeluarkan dalam analisis butir secara IRT. Banyaknya butir soal yang gugur terutama kemungkinan disaebabkan kurang ketatnya pelaksanaan uji coba ini, mengingat pelaksanaan diserahkan kepada masingmasing guru kimia SMA yang menjadi tempat sekolah sampel. Hal ini karena pelaksanaannya hampir bersamaan di 5 Kabupaten, sehingga sangat sulit bagi peneliti

76

untuk memantau satu persatu secara jeli dan cermat. Meskipun sebenarnya semua guru yang dimintai bantuan telah diberi pengarahan secara bersama-sama dalam satu forum pertemuan MGMP, namun tentu hal ini tidak dapat menjamin bahwa pelaksanaannya dapat seperti yang diharapkan. Seperti diketahui, kebiasaan saling menyontek antar teman dengan segala cara yang sulit dimonitoring guru akan memberikan dampak pada kurang akuratnya data pelaksanaan uji coba ini. Gugurnya 11 soal dari 30 soal adalah hal yang wajar dan masih dapat diterima, mengingat dari soal yang fit (valid) masih mewakili semua uraian materi kesetimbangan kimia. Dengan kata lain, soal-soal yang fit (cocok dengan model yang digunakan) masih representatif mewakili materi pokok kesetimbangan kimia. Penelitian yang dilakukan oleh Djemari Mardapi (1994) dengan analisis IRT satu parameter (Model Rasch) menunjukkan dari 40 soal dengan sampel sebanyak 50 mahasiswa ada 8 soal yang tidak fit dengan model yang digunakan. Semakin banyak parameter yang digunakan tentu semakin ketat model tersebut menguji keterandalan butir soal. Pada penelitian ini digunakan dua parameter, yaitu tingkat kesukaran dan daya pembeda. Setelah uji validasi empirik selesai dilakukan, selanjutnya instrumen direvisi dan ditata kembali hingga menghasilkan Produk IPMK III yang valid dan reliabel secara empirik. Selanjutnya dilakukan uji visibilitas terhadap 1000 peserta didik SMA kelas XI IPA dari 5 Kabupaten di DIY yang diambil secara area proportional sampling. Perincian selengkapnya ada di Lampiran 9. Penelitian ini belum dapat mengemukakan hasil pemetaaan miskonsepsi yang terjadi dari 1000 sampel yang dikenai IPMK pada uji visibilitas, tetapi telah berhasil mengembangkan dan menghasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan (validasi isi, validasi ahli, dan validasi empirik).

77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa telah dikembangkan dan dihasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan, yaitu validasi isi, validasi ahli (expert judgment) melalui FGD, dan validasi empirik menggunakan analisis teori respon butir dua parameter. B. Saran Penelitian miskonsepsi kimia masih jarang dilakukan di Indonesia, padahal miskonsepsi merupakan masalah serius yang dihadapi peserta didik yang sangat mengganggu mereka dalam menguasai materi kimia dengan benar, baik dan tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengembangan model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia untuk materi pokok yang lain yang ada di SMA dan dengan instrumen yang berbeda, agar dapat digunakan oleh guru-guru kimia SMA dengan mudah dan cepat dalam mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada peserta didiknya.

78

DAFTAR PUSTAKA
Abraham, M. R, Grzybowski, E. B, Renner, J. W, et al. (1992). Understandings and misunderstandings of eighth graders of five chemistry concepts found in textbooks. Journal of Research in Science Teaching, 29(2), 105-120. Amir, Frankl, & Tamir. (1987). Justifications of answers to multiple choice items as a means for identifying misconceptions. In Proceedings of the Second Internati-onal Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 15-25. Ithaca, New York: Cornell University. Barke, H. D. (2008). Chemistry misconception-diagnosis, prevention, and cure. Paper Bandung: Second International Seminar on Science Education, IUE. Bergquist, W. & Heikkinen, H.. (1990). Student ideas regarding chemical equilibrium, what written test answers do not reveal. Journal of Chemical Education, 67(12), 1000-1003. Borg, W. R.& Gall, M. D. (1983). Educational Research : An introduction, Fourth edition. New York : Longman, Inc. Brown. T. L. (1992). Using examples and analogies to remediate misconceptions in physics: Factors influencing conceptual change. Journal of Research in Science Teaching, 29(1), 17-34. Brown. (1989). Studentss concept of force: The importance of understanding Newtons third law. Physics Education, 24, 353-357. Carter, C. & Brikhouse, N. W. (1989). What makes chemistry difficult ?. Journal of Chemical Education, 66(3), 223-225.

79

Djemari Mardapi. (2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Yogyakarta Press. Feldsine, J. (1987). Distinguishing student misconceptions from alternate conceptual frameworks through the construction of concept maps. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 177-181. Ithaca, New York: Cornell University. Fowler & Jaoude. (1987). Using hierarchical concepts/proposition maps to plan instruction that addresses existing and potential student misunderstandings in science. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics . Vol I. 182-186. Ithaca, New York: Cornell University. Gabel, D. (1999). Improving teaching and learning through chemistry education research : a look to the future. Journal of Chemical Education, 76(4), 548554. Garnett, P. J. & Treagust, D. F. (1992). Conceptual difficulties ezperience by senior high school students of electrochemistry: Electrochemical (Galvanic) and electrolytic cells. Journal of Research in Science Teaching, 29(6), 1079-1099. Gay, L. R. (1990). Educational Research : Competencies analysis and application . 3rd ed. Singapore : Macmillan Publishing Company. George, J. (1989). Sources of students conception in science, the cultural context . Journal of Science and Mathematics Education in SE Asia, XII(2), 13-20. Hambleton, R. K. & Swaminathan, H. (1985). Item response theory. Boston, MA: Kluwer Nijhoff Publishing. Hullin, C. L., Drasgow, F., & Parsons, C. K. (1983). Item response theory: Application to psychological measurement. Homewood, Illinois: Dow JonesIrwin. Krishnan, Shanti R, & Howe, Ann C. (1994). The mole concept: Developing in instrument to assess conceptual understanding. Journal of Chemical Education, 71(8), 653-655. Liliasari, et al. (1998). Kurikulum dan materi kimia SMU. Jakarta : UT Lynch, Patrick. (1989). Language and communication in the Science Classroom. Journal of Science and Mathematics Education in S. E. Asia, XII(2), 33-41.

80

Mehrens, W. A. & Lehmann, I. J. (1984). Measurement and evaluation: In education and psychology. New York: Holt, Rinehart and Winston. Middlecamp, C. & Kean, E. (1985). Panduan belajar kimia dasar. Jakarta: Gramedia. Nakhleh, M. B. (1992). Why some students dont learn chemistry: Chemical misconceptions. Journal of Chemical Education, 69(3), 191. Novak & Gowin. (1984). Learning how to learn. Cambridge: University Press. Odom, A. L. & Barrow, L. H. (1995). Development and application of a two-tier diagnostic test measuring college biology students understanding of diffusion and osmosis after a course of instruction. Journal of Research in Science Teaching, 32(1), 45-61. Paul Suparno. (2005). Miskonsepsi & perubahan konsep pendidikan fisika. Jakarta: Grasindo. Sidauruk, S. (2005). Miskonsepsi stoikiometri pada siswa SMA. Disertasi. Yogyakarta: PPs UNY Treagust, D. (1987). An approach for helping students and teachers diagnose misconceptions in specific science content area. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol II. 519-520. Ithaca, New York: Cornell University. Zeilik, M. (1998). Conceptual diagnostic tests. Diakses pada tanggal 30 Maret 2010 jam 11.00 dari www.flaguide.org/extra/download/cat/diagnostic.pdf.

81

82

Вам также может понравиться