Вы находитесь на странице: 1из 2

Pengelolaan hulu strategi modulasi LPS memaksa langsung dan serentak fasilitas hulunya dan hilirnya untuk bermodulasi.

Fasilitas hulu berupa modul bak sampah dan modul gerobak tarik terkandung di dalam modul area penanganan (MAP) nondomestik dan domestik. MAP nondomestik bersifat homogen sehingga secara prinsip wajib mempunyai sistem operasi dengan perlakuan dan penyelesaian setempat. Sementara itu masyarakat bersifat heterogen dan aspirasi masyarakat harus dikedepankan, maka dikembangkan MAP domestik homogen untuk memperbaiki penanganan sampah secara sistemik dan gradual dalam jangka ke depan. Sedangkan fasilitas hilir menyangkut modul TA dan modul LPA akhirnya menjadi suplemen simpul pengelolaan hulu, namun tetap diorientasikan bagi jaminan sinkronisasi pengelolaan sampah kota secara berlanjut jangka panjang. Sejalan dengan perbaikan di darat, sebagai penguatan jaminan sinkronisasi berlanjut penanganan jangka panjang dan mendayagunakan lingkungan kota Surabaya dianjurkan pula pengkajian LPA sentral di laut. Aplikasi semuanya diperlukan pemrograman menyeluruh untuk semua fasilitas dan komprehensif dalam segi teknik, ekonomi, finansial, sosial, institusional, regulasi dan lingkungan. Program bergulir waktu, sesuai sifat perbaikan gradual pengelolaan sampah, membutuhkan instrumen indikator kinerja guna pengendalian. Sebagai permulaan pelaksanaan program diperlukan proyek percontohan mulai dari perlakuan modul LPS hingga seluruh fasilitas, yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat, Dinas Kebersihan atau sektor swasta. I. PENDAHULUAN Sistem umum manajemen sampah Surabaya saat ini melingkup area kota dengan pembuangan akhir sentralistik. Simpul-simpul sistemnya terdiri dari 5 jenis fasilitas pembuangan, yang kesemuanya terbuka untuk pembuangan sampah campuran. Pertama adalah bak sampah (BS) yang dikelola oleh masyarakat. Jumlah BS setara jumlah rumah, sekitar 500.000 unit dengan volume rata-rata 0,5 m 3/unit. Tiap rumah menghasilkan sampah rata-rata 25 l/hari dan menuntut pengosongan BS berjalan 1 2 hari sekali, yang umumnya terpenuhi, sehingga fasilitas ini pada posisi tanpa masalah pembuangan. Sarwoko Mangkoedihardjo/12-Nov-2003 2 Fasilitas kedua, yaitu pengangkutan sampah dari BS ke lahan pembuangan sementara (LPS). Bentuk fasilitasnya setara dengan gerobak tarik (GT). Jumlah GT/RW sekitar 1 2 unit, jumlah RW/kelurahan antara 5 7 dan dengan jumlah 168 kelurahan maka diperkirakan terdapat GT sejumlah 1.500 unit. Sebagai konsekuensi tuntutan masyarakat mengenai pengosongan BS di atas, maka berapa pun kebutuhan GT, yang juga merupakan manajemen sekumpulan warga (RW), fasilitas ini tidak pada posisi bermasalah. Ketiga adalah LPS, yang dikelola Dinas Kebersihan. LPS dapat berupa depo berukuran luas rata-rata 250 m 2 dengan luas lahan aktif operasional pembuangan sekitar 150 m 2 dan berupa landasan berukuran luas rata-rata 100 m 2, yang dapat dioperasikan penuh. Jumlah depo sebanyak 70 unit dan landasan 124 unit. Dengan pengosongan BS setiap hari, maka tiap LPS menampung sampah 60 m 3/hari. Sampah dari LPS juga harus dikosongkan

tiap hari setelah pertama kali menampung 1 hari, sehingga ketebalan sampah tertinggal di dalamnya tidak melebihi 0,5 m. Di sini menunjukkan jumlah dan ukuran LPS tidak bermasalah. Keempat adalah fasilitas pengangkutan sampah dari LPS ke lahan pembuangan akhir sampah (LPA). Truk angkutan sampah (TA) adalah bentuk umum fasiltasnya, yang berjumlah aktif 85 unit. Ini berarti tiap TA melayani sekitar 2 LPS, atau 120 m 3/hari harus diangkut. Jika tiap truk bermuatan penuh 12 m 3 dan beroperasi 3 trip/hari, maka pengosongan sampah dari LPS ke LPA hanya sebesar 36 m 3/hari, atau 30 % dari seharusnya. Angka terakhir itu menunjukkan banyaknya sampah yang dapat ditangani Dinas Kebersihan dari sisi kekurangan jumlah TA. Akibatnya berbalik, yaitu LPS menjadi bermasalah karena mengakumulasi 70 % masukan sampahnya. Kelima adalah fasilitas LPA itu sendiri, yang dikelola Dinas Kebersihan. Pada saat ini terdapat LPA Keputih seluas 40 Ha dan LPA Lakarsantri seluas kurang lebih 10 Ha. Cara pembuangan yang dilakukan adalah hamparan terbuka (open dumping ). Dengan anggapan seluruh luas dipaksakan aktif operasional dan waktu perubahan ujud sampah menjadi lindi (cairan sampah) setelah 7 hari terhampar serta pengosongan LPS dapat dipenuhi 100 %, maka akan terdapat hamparan sampah seluruh kota setebal 20 cm. Pengalaman pembuangan sampah secara hamparan terbuka membuktikan bahwa kecepatan penipisan sampah karena perubahan ujud itu tidak pernah mampu melebihi kecepatan masukan sampah. Ini menunjukkan bahwa jumlah luas LPA dan cara pembuangan sampah sangat tidak memadai, yang ikut merefleksikan kecilnya penanganan sampah. Jelas, bahwa fasilitas manajemen sampah Surabaya saat ini setidaknya bermasalah pada posisi kekurangan kapasitas TA dan LPA. Apabila penyelesaian masalah dilakukan pada fasilitas bermasalah tersebut, dengan perlakuan seperti yang ada saat ini, yang terjadi adalah (1) kemungkinan pemborosan TA dan gangguan kepadatan lalu lintas jalan, dan (2) waktu penggunaan LPA menjadi dipersingkat secara drastis. Sebab, sampah sisa yang harus ditangani sebesar 70 % dan berarti harus menyediakan kapasitas tambahan 200 % kedua fasilitas dimaksud. Apabila penyelesaian masalah dimulai dari sumber sampah, misalnya separasi menjadi sampah kering dan sampah basah pada tiap rumah/bangunan, tidak efektif. Pengalaman imbauan sejak puluhan tahun silam ternyata belum menghasilkan harapan

Вам также может понравиться