Вы находитесь на странице: 1из 99

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG

SKRIPSI

ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA

Diajukan oleh: ARISNA HENDRAWAN NPM: 04460004173

AJUN AKUNTAN Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2002 Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sains Terapan Akuntansi Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2006

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI

NAMA NPM BIDANG SKRIPSI JUDUL SKRIPSI

: : : :

ARISNA HENDRAWAN 04460004173 PERPAJAKAN ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA

Mengetahui Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Menyetujui Dosen Pembimbing,

Suyono Salamun, Ph. D NIP 060052727

Dr. F. Zebua, MM.

ii

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG

PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF

NAMA NPM BIDANG SKRIPSI JUDUL SKRIPSI

: : : :

ARISNA HENDRAWAN 04460004173 PERPAJAKAN ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA

Jakarta,

1. . 2. . 3. .

(Ketua Penguji) (Anggota Penguji/Pembimbing) (Anggota Penguji)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA dapat diselesaikan guna memenuhi sebagian dari syarat-syarat lulus program Diploma IV pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya untuk membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada: 1. Ayahanda dan Ibunda tercinta. Almarhum dan Almarhumah yang telah

membesarkan, mengasuh, dan membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab dan rasa kasih sayang. 2. Bapak Suyono Salamun, Ph.D. selaku Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. 3. Bapak Dr. F Zebua, MM selaku dosen pembimbing materi skripsi yang meluangkan waktunya untuk membimbing penulis secara langsung. 4. Bapak Bambang Yuli Istanto, SE. selaku dosen pembimbing teknis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. telah

iv

5. Seluruh dosen dan widyaiswara yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. 6. Ibut dan Yoyok, adik-adikku yang selalu memberi semangat dan perhatian, serta seluruh rekan-rekan semuanya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang telah membantu baik secara moral maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan hanya kepada Allah SWT kita berharap.

Tangerang, Mei 2006 Penulis

Arisna Hendrawan

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ...................................................................... LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF ........................... KATA PENGANTAR ................................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................................ BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... B. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... D. Metodologi Penelitian ........................................................................ E. Sistematika Penulisan ........................................................................ BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................... A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai .............................. B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai .............................. C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai ............................................ 1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai ......................................... 2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai .................. 3. Dasar Pengenaan Pajak ................................................................. 4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ......................

ii iii iv vi 1 1 3 3 5 5 8 8 10 11 11 15 16 17

5. Faktur Pajak ......................................... ......................................... 18 6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai ................... 20 7. Sanksi Administrasi dan Pidana .................................................... 21

vi

BAB III.

MEKANISME

PENGKREDITAN

DAN

KECURANGAN 25 25 27

RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ................................. A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak .......................................................... B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai ..........................

C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ...... 30 D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ........... BAB IV. PEMBAHASAN .................................................................................... A. Tinjauan Penerapan Atas Asas Pemungutan Pajak ............................ 33 45 45

1. Asas Equality ................................................................................. 46 2. Asas Certainty ............................................................................... 3. Asas Convenience ......................................................................... 4. Asas Efficiency .............................................................................. B. Analisis dan Pembahasan ................................................................... 1. Sebab-sebab Munculnya Kecurangan Restitusi Pajak 59 70 78 88 88 49 53 56 59

Pertambahan Nilai ....................................................... ............... 2. Akibat Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ............... 3. Pencegahan dan Penanganannya .................................................. BAB V. SIMPULAN DAN SARAN .... A. Simpulan ............................................................................................

B. Saran ....... 90 DAFTAR PUSTAKA . DAFTAR RIWAYAT HIDUP .

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian Salah satu permasalahan utama dalam pelaksanaan pembangunan adalah tersedianya dana. Dalam sistem kenegaraan yang modern, pajak merupakan tulang punggung pembiayaan pelaksanaan pembangunan. Pajak juga sangat berperan dalam menggerakkan roda-roda perekonomian secara makro, yaitu sebagai stimulus fiskal yang terkait dengan iklim investasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kestabilan perekonomian. Sebagai wujud dari kemandirian bangsa, sudah seharusnya masyarakat sebagai Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya, sebagai kewajiban kenegaraan, dalam pembiayaan negara untuk pembangunan nasional. Mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia telah diatur melalui undang-undang perpajakan. Melalui reformasi perpajakan sejak tahun 1983 dan disusul dengan perubahan-perubahan lainnya dalam undang-undang perpajakan, sistem perpajakan Indonesia telah berubah dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Dalam sistem self assessment ini Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya. Penerapan sistem ini bukan berarti Wajib Pajak diberi kebebasan penuh untuk memenuhi kewajiban perpajakan sesuai kehendaknya sebab dalam undang-undang perpajakan juga telah diatur mekanisme pengawasan bagi

2 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar. Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakan melalui sistem self assessment ini diharapkan akan semakin meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak sehingga penerimaan negara diharapkan semakin meningkat. Disamping meningkatkan penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan, setiap tahun pasti terdapat kasus dimana Wajib Pajak memohon pengembalian atas pajak yang lebih bayar atau sering disebut restitusi, terutama di bidang Pajak Pertambahan Nilai. Wajib Pajak mempunyai hak atas restitusi karena adanya kelebihan pembayaran pajak yang telah disetor ke kas negara dan diharapkan dengan hasil dari restitusi tersebut akan dapat membantu arus kas usahanya. Bagi Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat yang sah untuk pengembalian kelebihan pajak sudah seharusnya segera dikabulkan permohonan restitusinya karena disamping pertimbangan ekonomi Wajib Pajak, hal ini merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Permasalahan yang timbul adalah adanya upaya kecurangan atas restitusi-restitusi Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Kasus-kasus kecurangan restitusi ini tentu saja sangat merugikan negara karena seharusnya pajak yang direstitusikan dapat digunakan sebagai biaya pembangunan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan untuk Tahun Anggaran 1999/2000 menunjukkan adanya kecurangan dalam kasus restitusi Pajak Pertambahan Nilai sebesar

3 Rp 642,11 Milyar. 1 Kerugian negara tersebut baru berdasarkan sampel saja karena tidak semua Kantor Pelayanan Pajak dan semua restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang telah dikeluarkan oleh fiskus diperiksa. Dapat dibayangkan kerugian negara akibat adanya kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang sangat besar, dan belum termasuk jenis pajak yang lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, skripsi ini berusaha untuk menganalisis kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan mencoba untuk memberikan saran-saran alternatif pencegahan dan upaya penanganannya. B. Ruang Lingkup Penelitian Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bagaimana peraturan perpajakan memandang permasalahan ini akan diuraikan oleh penulis tetapi sebelumnya akan diuraikan mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai dan mekanisme kompensasi serta restitusi Pajak Pertambahan Nilai. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara ringkas, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui penulisan skripsi ini, adalah:

Badan Pemeriksa Keuangan, Hasil Pemeriksaan Atas Pemberian Restitusi Pajak (Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2003), hal. 3.

4 1. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai b. Untuk mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan penggunaan Faktur Pajak. c. Mencari alternatif cara untuk menanggulangi kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai. d. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mahasiswa Program Diploma IV Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. 2. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : a. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai adanya kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak.

5 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dalam bidang perpajakan khususnya Pajak Pertambahan Nilai. c. Sebagai sarana pelatihan bagi penulis untuk menulis suatu karya ilmiah yang baik dan benar. D. Metodologi Penelitian Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian ilmiah tinjauan kepustakaan yang bersifat deskriptif berdasarkan data sekunder dengan mencoba memberikan gambaran mengenai permasalahan yang dibahas. Disamping itu juga digunakan pendekatan normatif dimana penulis akan mencoba memberikan saran-saran yang diharapkan dapat membantu pemecahan permasalahan yang ada. E. Sistematika Penelititan Dalam rangka pembahasan dan pemberian gambaran yang lebih sistematis, skripsi ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari beberapa subbab yang akan diuraikan sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, serta sistematika pembahasan yang menggambarkan secara garis besar/pokok-pokok permasalahan yang ditulis secara menyeluruh.

6 BAB II. LANDASAN TEORI Untuk mendukung dan memperkuat pembahasan yang akan dilakukan, bab ini akan menguraikan dasar-dasar teori yang akan digunakan sebagai pembahasan permasalahan yang meliputi pengertian dan sejarah Pajak Pertambahan Nilai, asas-asas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dan konsep dasar Pajak Pertambahan Nilai. BAB III. MEKANISME PENGKREDITAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN KECURANGAN RESTITUSI PPN Pada bab ini akan diuraikan secara garis besar kebijakan dan perlakuan perpajakan terhadap mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai serta mekanisme kompensasi dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bab ini juga akan mencoba memberikan kasus-kasus kecurangan restitusi Pajak

Pertambahan Nilai, tetapi sebelum menguraikan hal-hal tersebut akan diberikan gambaran tentang konsep mengenai Faktur Pajak dan jenis-jenis Faktur Pajak. BAB IV. PEMBAHASAN Bab ini berisi tinjauan dari segi asas pemungutan pajak serta analisis dan pembahasan mengenai sebab-sebab timbulnya kecurangan restitusi Pajak Pertambahan NilaI, akibat, serta alternatif pencegahan dan penanganannya. BAB V. SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan permasalahan yang

7 telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan beberapa saran-saran perbaikan yang diharapkan dapat bermanfaat.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Terdapat beberapa pengertian Pajak Pertambahan Nilai, antara lain disebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan

memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. 2 Sementara itu, Columbia Encyclopedia menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai adalah a tax levy imposed on business at all levels of the manufacture and production of a good or service and based on the increase in price, or value, provided by each level. 3 2. Sejarah Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia merupakan pengganti dari produk sebelumnya yang berlaku yaitu Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan

Muhammad Rusjdi, PPN dan PPnBM (Jakarta: PT Indeks, 2004), hal. 01-1.

Columbia Encyclopedia, edisi keenam 2005 (Columbia University Press, 2005) diunduh dari http://www.encyclopedia.com/html/v1/valueadd.asp per tanggal 16 Januari 2006.

9 Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1951 dan ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 1953. 4 Sejak tanggal 1 April 1985 pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya tetap disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984). Latar belakang penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai adalah: a. Dalam pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951 telah terjadi banyak perubahan fundamental baik yang bersifat sebagai penyempurnaan maupun tambahan. Sebagai akibatnya, hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya. b. Mekanisme pemungutan Pajak Penjualan berdasarkan Undang-undang Pajak Penjualan 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. Keadaan ini mendorong Wajib Pajak untuk berusaha menghindar dari pengenaan pajak bahkan kalau perlu menyelundupkan pajak. c. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan pajak, yaitu untuk pengusaha tertentu diterapkan self assessment system sedangkan untuk kelompok pengusaha lainnya digunakan official assessment system. Keadaan ini sangat menyulitkan pengawasan pelaksanaannya.

Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 15.

10 d. Dampak dari pengenaan pajak berganda membuat Pajak Penjualan menjadi tidak netral baik terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah beban pajak yang dipikul oleh konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan diekspor. e. Variasi tarif yang cukup banyak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga cukup besar pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak. 5 B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, asas pemungutan pajak dinamakannya The Four Maxims. 6 Asas pemungutan pajak tersebut juga harus dipenuhi dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: 1. Asas Equality Asas ini mengemukakan bahwa pembagian tekanan pajak di antara masing-masing subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya, di bawah perlindungan pemerintah. Dalam asas ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak

Ibid., hal. 15.

Erly Suandy, Hukum Pajak, edisi ke-2 (Revisi) (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002), hal. 27.

11 yang sama. 2. Asas Certainty Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus pasti (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. 3. Asas Convenience Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. 4. Asas Efficiency Asas ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemathematnya dan jangan sekali-kali biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajaknya. C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai 1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai antara lain: 7 a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang sebagai berikut:

Untung Sukardji, op.cit., hal. 19.

12 1) Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak. 2) Sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang ini membawa konsekuensi filosofis bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha kena pajak, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut ke kas negara. b. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Objektif Yang dimaksud Pajak Objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak yang ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya tatbestand. Tatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak (disebut juga objek pajak). Oleh karena itu, faktor subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai. c. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Multi Stage Tax Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan kemudian di tingkat pedagang besar dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang eceran dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

13 d. Pajak Pertambahan Nilai Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Dihitung Menggunakan Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method. Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ke kepada Pengusaha Kena Pajak lain (disebut Pajak Masukan) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa (disebut Pajak Keluaran). Metode ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (Indirect Subtraction Method). Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar ke kas negara dinamakan kredit pajak, oleh karena itu metode ini dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Untuk memastikan bahwa jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang tercatat benar, diperlukan dokumen penunjang sebagai alat bukti yaitu Faktur Pajak (tax invoice) sehingga metode ini disebut metode faktur (invoice method). Sebagai konsekuensi dari metode pengkreditan, untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang maka pada setiap penyerahan barang atau jasa yang menjadi objek pajak (Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak), Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan pajak. Di pihak lain, bagi pembeli, penerima jasa, atau importir merupakan bukti pembayaran pajak. Berdasarkan Faktur Pajak inilah akan dihitung jumlah pajak yang terutang dalam satu masa pajak yang wajib dibayar ke kas negara.

14 e. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri. Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Pajak atas konsumsi sebagai tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai mempunyai maksud mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax consumption expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan pemerintah. f. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral. Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor, yaitu: 1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa. 2) Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tempat tujuan (destination principle) dalam pemungutannya. Pajak Pertambahan Nilai mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu: 1) Prinsip tempat asal (origin principle). Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi. 2) Prinsip tempat tujuan (destination principle). Berdasarkan prinsip tempat tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi. g. Pajak Pertambahan Nilai tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. Kemungkinan pengenaan pajak berganda dapat dihindari sebanyak mungkin

15 karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambahnya saja. 2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai Beberapa kelebihan dan kelemahan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan karateristiknya: 8 a. Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai. 1) Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda. 2) Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri. 3) Pajak Pertambahan Nilai sangat membantu likuiditas perusahaan. 4) Ditinjau dari sumber pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai tidak membebani konsumen selaku pemikul pajak sehingga memudahkan untuk memungutnya. b. Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai. 1) Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun Wajib Pajak. 2) Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif menimbulkan dampak regresif, yaitu: a) Semakin besar tingkat kemampuan konsumen maka semakin ringan beban pajaknya, dan sebaliknya; b) Semakin rendah tingkat kemampuan konsumen maka semakin berat beban pajaknya.
8

Ibid., hal. 29.

16 3) Pajak Pertambahan Nilai sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. 4) Pajak Pertambahan Nilai menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. 3. Dasar Pengenaan Pajak Dasar Pengenaan Pajak digunakan untuk menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dengan mengalikannya dengan tarif yang berlaku. Terdapat beberapa Dasar Pengenaan Pajak, yaitu: 9 a. Harga Jual Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. b. Penggantian Penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. c. Nilai Impor Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang, yang menjadi
9

Ibid., hal. 263.

17 dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. d. Nilai Ekspor Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. e. Nilai Lain Nilai Lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu. 4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Nilai Tambah (added value) dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan Nilai Tambah adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli dagangan.

18 Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas Nilai Tambah tersebut, dikenal tiga metode yaitu: 10 a. Addition Method Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai dihitung dari penjumlahan seluruh unsur Nilai Tambah dikalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku. b. Substraction Method Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dari selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian, dikalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku. c. Credit method Pajak Pertambahan Nilai yang terutang merupakan hasil pengurangan antara Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh pengusaha pada saat ia melakukan penjualan (Pajak Keluaran) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat ia melakukan pembelian (Pajak Masukan). Dari ketiga metode tersebut, Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menganut Credit Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method. 5. Faktur Pajak a. Pengertian Faktur Pajak Sesuai dengan Pasal 1 Nomor 23 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, definsi Faktur Pajak adalah: bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
10

Ibid., hal.32

19 Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. b. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak. 11 c. Faktur Pajak Fiktif Faktur Pajak Fiktif adalah Faktur Pajak yang dibuat tanpa adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. 12 Nama/jenis barang/jasa yang menjadi objek transaksi, jumlah dan harga yang ada di dalam faktur serta jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut semuanya fiktif.

11

Muhammad Rusjdi, op.cit., hal. 09-1.

Almuden Situmorang, Faktur Pajak Fiktif Siapa yang Terlibat?, Berita Pajak, Nomor 1333, hal.45-48.

12

20 d. Faktur Pajak Sebagai Alat Pengawasan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menjelaskan bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak tersebut kemudian dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak menunjukkan pertanggungjawaban pajak dari penjual dan bukti utama bagi pembeli untuk mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayarnya. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengawasi besarnya Pajak Keluaran dan Pajak Masukan Pengusaha Kena Pajak melalui sarana Faktur Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa. 6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Dalam hal terjadi kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengkompensasi atau merestitusi kelebihan Pajak Masukan tersebut. Hak tersebut dapat dipergunakan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-160/PJ.21/2001 adalah: a. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

21 b. Dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, disamping kelebihan Pajak Masukan sebagaiman dimaksud dalam huruf a, juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Mewah yang diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. 7. Sanksi Administrasi dan Pidana Berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengatur ketentuan sanksi dan/atau denda administrasi dan sanksi pidana yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai. a. Sanksi dan/atau Denda Administrasi 1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). 2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen), jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari Pajak

22 Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. 3) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu. 4) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

23 5) Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. 6) Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. 7) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. b. Sanksi Pidana 1) Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 2) Setiap orang yang dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak

24 Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

BAB III

MEKANISME PENGKREDITAN DAN KECURANGAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 pada prinsipnya pajak terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Ketentuan ini tidak mempersoalkan mengenai pembayaran, sehingga prinsip timbulnya utang pajak dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah prinsip akrual. Pada saat timbul utang pajak, maka pajak tersebut wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. Sarana untuk melakukan kewajiban memungut tersebut adalah Faktur Pajak. Faktur Pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai: 1. bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 2. bukti pembayaran pajak ditinjau dari pihak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak; 3. sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. 13 Pasal 13 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis Faktur Pajak, yaitu:

Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 ), hal.220.

13

25

26 1. Faktur Pajak Standar Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (yaitu Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984). Direktur Jenderal Pajak juga dapat menentukan dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar dalam rangka lebih memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Dokumen-dokumen tersebut antara lain: a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak; b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut; c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu; d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM; e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi; f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Deliverry Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan; i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik. 14 2. Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar yang memuat lebih dari satu Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP312/PJ./2001 tentang Perubahan Atas KEP-522/PJ./2000 tentang Dokumen-dokumen Tertentu yang Diperlakukan Sebagai Faktur Pajak Standar, tanggal 23 April 2001.
14

27 transaksi dalam satu Masa Pajak untuk pelanggan yang sama. 3. Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak yang dibuat sebagai bukti pemungutan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir atau kepada pembeli/penerima jasa dengan identitas tidak lengkap. B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai 1. Prinsip dasar pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai atau lebih sering disebut pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 secara garis besar sebagai berikut: a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. b. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. c. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak. Meskipun

28 berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. 2. Persyaratan Umum Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan a. Memenuhi persyaratan formal. Persyaratan formal tersebut yaitu : 1) Tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Faktur Pajak yang secara material dapat dikreditkan menjadi tidak dapat dikreditkan apabila tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang cara pengisiannya tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan; 2) Apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama karena Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak yang bersangkutan, maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 jo Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

29 143 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. b. Memenuhi persyaratan material. Persyaratan material material tersebut yaitu: 1) Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) jo ayat (8) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Kegiatan usaha yang dilakukan dalam rangka penyerahan kena pajak antara lain kegiatan produksi, manajemen, distribusi, dan pemasaran; 2) Belum dibebankan sebagai biaya. Pada hakikatnya pengkreditan Pajak Masukan sama dengan upaya untuk memperoleh kembali Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar. Dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat meminta restitusi dari negara. Apabila Pajak Masukan ini telah dibebankan sebagai biaya, maka Pajak Masukan ini menjadi unsur harga jual barang dagangan sehingga akan diperoleh kembali dari pembeli. Oleh karena itu apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan telah dibebankan sebagai biaya maka Pajak Masukan yang telah dibebankan sebagai biaya ini tidak boleh dikreditkan.

30 C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan hasil pengkreditan Pajak Masukan dapat menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi karena: 1. Jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak yang dapat disebabkan oleh: a. Pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang dilakukan sebelum usaha dimulai atau pada awal usaha dimulai. b. Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak. c. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. d. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang dananya berasal dari bantuan luar negeri baik berupa hibah maupun pinjaman. e. Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah lebih lanjut kepada Enterport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE). f. Penyerahan Barang Kena Pajak berupa bahan baku atau bahan pembantu dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Perusahaan Eksportir Tertentu (PET). 2. Kemungkinan adanya kekeliruan pembayaran pajak karena terjadi kesalahan pemungutan atau pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Dalam kasus ini yang berhak mengajukan restitusi adalah pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sepanjang Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya

31 atau belum dikreditkan jika pembeli/penerima jasa tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak. Terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut Wajib Pajak dapat memilih untuk melakukan kompensasi atau restitusi atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Mekanisme untuk melakukan kompensasi dan restitusi sebagai berikut: 1. Mekanisme Kompensasi Pajak Pertambahan Nilai Atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan kompensasi terhadap kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai tersebut ke Masa Pajak berikutnya (dioffset ke Masa Pajak berikutnya). Mekanisme kompensasi atas Pajak Pertambahan Nilai lebih sederhana

dibandingkan dengan mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai yaitu dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atau melalui permintaan tertulis dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. 2. Mekanisme Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-160/PJ./2001 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan mekanisme sebagai berikut:

32 a. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atau dengan surat tersendiri, dan dilampiri dengan bukti-bukti dan atau dokumen yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. b. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak dan dapat dilakukan permohonan restitusi pada setiap akhir Masa Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undangundang Pajak Pertambahan Nilai 1984. c. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu (ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai) harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat: 1) 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya permohonan, kecuali permohonan yang penyelesaiannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak; 2) 12 (dua belas) bulan sejak saat diterimanya permohonan sepanjang penyelesaian atas permohonannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, maka permohonan pengembalian

33 kelebihan pembayaran pajak yang diajukan dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Secara umum, kasus kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dilakukan melalui penyalahgunaan Faktur Pajak dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. Oleh karena itu penyalahgunaan ini dapat ditinjau dari sudut pandang Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan dan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran. 1. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan (selanjutnya disebut Faktur Pajak Masukan) dalam Pajak Pertambahan Nilai dapat berupa pelaporan secara tidak benar semua unsur dalam Faktur Pajak atau hanya sebagian saja. Umumnya penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan ini dilakukan dalam rangka restitusi atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan ini antara lain: a. Melakukan Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif Wajib Pajak dalam usahanya memperbesar Pajak Masukan diantaranya melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif. Dalam hal ini asumsi yang digunakan adalah Wajib Pajak telah mengetahui bagaimana mekanisme proses penyelesaian restitusi di Kantor Pelayanan Pajak dimana dalam pemeriksaan untuk restitusi salah satunya adalah prosedur konfirmasi terhadap kebenaran Pajak Masukan secara on-line. Sehingga

34 mau tidak mau Wajib Pajak tersebut mencoba mengakalinya dengan kegiatan seperti ini. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi dengan cara mendirikan perusahaan fiktif tetapi juga dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama maupun tidak sama. Diperlukan administrasi yang baik dalam rangka permohonan restitusi agar usaha dari Pengusaha Kena Pajak ini lancar. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini bertindak seolah-olah sebagai penjual kepada Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi dan atas transaksi penjualannya juga dibuatkan Faktur Pajak serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai di Kantor Pelayanan Pajak tempat dikukuhkan. Dalam kenyatannya sebenarnya tidak pernah dilakukan penjualan barang secara nyata. Jadi hanya pencatatan atas transaksi penjualan tetapi barang tidak pernah diserahkan bahkan tidak ada. Administrasi dari kedua belah pihak harus sangat rapi agar usaha memohon restitusi ini dapat berjalan dengan lancar. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sesuai dengan tujuannya untuk memohon restitusi biasanya hanya berdiri untuk beberapa saat dan selanjutnya akan bubar atau menghilang agar dalam melakukan usahanya lebih aman. Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat agar terjadi Pajak Masukan yang besar bagi Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi sehingga atas kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai pembelian tersebut dapat dimintakan restitusi. Meskipun dapat dimintakan kompensasi tetapi biasanya Pengusaha Kena Pajak seperti ini cenderung memohon restitusi atas kelebihan bayar yang fiktif ini.

35 b. Transaksi Fiktif Transaksi fiktif terjadi karena adanya kerja sama antar Pengusaha Kena Pajak. Dalam kasus ini hampir sama dengan kasus Pengusaha Kena Pajak fiktif hanya saja yang fiktif adalah transaksi penjualan. Kedua pihak Pengusaha Kena Pajak yang melakukan transaksi merupakan Pengusaha Kena Pajak yang benar-benar dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan dalam melakukan transaksi penjualan juga dibuatkan Faktur Pajak, hanya saja barang yang tercantum dalam Faktur Pajak sebenarnya tidak ada atau tidak dijual. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan ini biasanya tidak berdiri hanya sementara waktu dan bisa dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang sudah lama dikukuhkan. Transaksi fiktif biasanya berupa transaksi barang yang berkaitan langsung dengan usaha Pengusaha Kena Pajak tersebut. Dalam transaksi fiktif ini, Pengusaha Kena Pajak yang menjual membuat Faktur Pajak berkolusi dengan Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh Faktur Pajak tersebut dengan maksud untuk memperoleh imbalan. Atau dengan kata lain Pengusaha Kena Pajak penjual menjual Faktur Pajak yang berisi transaksi fiktif kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya (sebagai Pengusaha Kena Pajak pembeli) yang mana akan digunakan sebagai Faktur Pajak Masukan. Pengusaha Kena Pajak yang membeli Faktur Pajak tersebut kemudian menggunakannya dengan maksud agar jumlah Pajak Masukan bisa lebih besar daripada Pajak Keluaran sehingga dapat dimintakan restitusi. Selain untuk keperluan restitusi, transaksi fiktif ini juga dilakukan untuk keperluan kompensasi dengan Pajak Keluaran

36 yang besar jumlahnya. Hal ini akan lebih sulit diketahui karena Pengusaha Kena Pajak akan tetap menyetorkan kelebihan pajak yang dipungut walaupun jumlahnya sangat kecil. c. Faktur Pajak Fiktif Penggunaan Faktur Pajak fiktif atau Faktur Pajak yang dipalsukan atau diubah isinya baik nilai transaksi maupun nilai Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut biasanya dilakukan bukan untuk melakukan restitusi. Pihak Direktorat Jenderal Pajak biasanya menemukan Faktur Pajak fiktif ini setelah dilakukan konfirmasi dan klarifikasi dalam pemeriksaan dan biasanya Pengusaha Kena Pajak pembuat Faktur Pajak yang diubah isinya tidak mengetahui mengenai hal tersebut. Penyalahgunaan dengan menggunakan Faktur Pajak fiktif ini sulit diketahui tanpa dilakukan penelitian atau pemeriksaan yang seksama. Kesulitan yang terjadi karena keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak seperti nama Pengusaha Kena Pajak, Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan nomor seri Faktur Pajak adalah benar. Hanya saja isinya telah diubah tanpa sepengetahuan Pengusaha Kena Pajak yang membuatnya. Dalam melakukan penyalahgunaan ini Pengusaha Kena Pajak berusaha menghindari pemeriksaan material seperti bila memohon restitusi. Mengkreditkan Faktur Pajak Masukan fiktif dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut (Faktur Pajak Keluaran) akan menguntungkan Pengusaha Kena Pajak karena tidak perlu menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang sebenarnya. Isi dari Faktur Pajak Masukan telah disesuaikan dengan peredaran usaha Pengusaha Kena Pajak dan berapa Pajak

37 Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor sehingga jumlah yang harus disetor dapat ditekan sekecil mungkin. Setoran ini tetap perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan fiskus dan menghindari pemeriksaan material. d. Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembelian dari penjual yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak akan memperoleh Faktur Pajak atas pembelian yang dilakukannya. Hal ini akan mengakibatkan penjualan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut akan menimbulkan Pajak Keluaran yang harus disetor. Salah satu cara untuk mengurangi jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor adalah dengan membuat transaksi pembelian dari pengusaha non Pengusaha Kena Pajak seolah-olah melakukan pembelian dari Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak tersebut akan melengkapi pembeliannya dengan Faktur Pajak fiktif yang dibuat dengan sengaja untuk tujuan di atas. Penjual yang bukan Pengusaha Kena Pajak tersebut dibuat seolah-olah sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam Faktur Pajak fiktif tersebut dan jenis barang yang dijual dibuat seolah-olah sebagai Barang Kena Pajak sehingga telah dipungut Pajak Masukannya. Seperti halnya dengan penyalahgunaan Faktur Pajak fiktif pada huruf c sebelumnya, biasanya untuk transaksi dengan penjual non Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan untuk memperkecil jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor dan bukan untuk memohon restitusi karena akan sangat berisiko bagi Pengusaha Kena Pajak tersebut.

38 e. Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha Banyak pengusaha yang mempunyai lebih dari satu perusahaan yang sejenis dan berdiri sendiri dalam satu kelompok usaha serta biasanya tidak semuanya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sengaja dilakukan untuk meminimalkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh kelompok usaha tersebut. Penyalahgunaan yang dilakukan adalah jika terdapat transaksi pembelian maka akan ditangani oleh perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pada saat melakukan transaksi penjualan, penjualan akan dilakukan oleh semua perusahaan dalam satu kelompok usaha tersebut dan calon pembeli akan ditanya apakah bersedia atau tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Jika calon pembeli bersedia dipungut Pajak Pertambahan Nilai maka transaksi akan dilakukan oleh perusahaan yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan dibuatkan Faktur Pajak. Jika calon pembeli tidak bersedia dipungut Pajak Pertambahan Nilai maka faktur penjualan akan dibuat oleh perusahaan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sehingga tidak perlu dibuat Faktur Pajak. Dalam kasus penyalahgunaan ini Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut dan disetor dapat diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dari pihak pembeli. Jika ditinjau dari sudut pandang Pajak Penghasilan, besar kemungkinan terjadi transfer pricing dalam kasus satu kelompok usaha ini. 2. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran (selanjutnya disebut Faktur

39 Pajak Keluaran) selalu berkaitan dengan Faktur Pajak Masukan. Penyalahgunaan Faktur Pajak Keluaran berkaitan dengan pelaporan Pajak Keluaran yang tidak benar. a. Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen) dan guna keperluan pengkreditan Pajak Masukan maka atas ekspor tetap dibuat Faktur Pajak Keluaran. Penyalahgunaan Faktur Pajak ini umumnya dilakukan dalam rangka restitusi, jika dilihat secara sepintas kasus penyalahgunaan ini hampir sama dengan kasus L/C fiktif yang terjadi di perbankan Indonesia. Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan ekspor fiktif disertai dengan dokumendokumen yang diperlukan (biasanya asli tetapi palsu) kemudian melakukan permohonan restitusi kepada Kantor Pelayanan Pajak. Pengusaha Kena Pajak ini sebelumnya telah memperoleh Faktur Pajak Masukan yang biasanya juga telah dipalsukan terlebih dahulu seperti kasus-kasus penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan pada bagian sebelumnya. Beberapa kemungkinan indikasi adanya manipulasi restitusi melalui mekanisme ekspor (fiktif) ini antara lain: 1) Tempat dihasilkan Barang Kena Pajak, tempat kedudukan Pengusaha Kena Pajak, dan tempat melakukan ekspor berbeda-beda dan terkadang agak aneh. Sebagai contoh Pengusaha Kena Pajak berkedudukan di Jakarta kemudian membeli barang-barang di Semarang dan kemudian mengekspornya melalui pelabuhan di Surabaya padahal di Surabaya tidak terdapat kantor cabang atau pabrik dari si Pengusaha Kena Pajak.

40 2) Barang-barang yang diekspor merupakan jenis barang yang pada umumnya diproduksi oleh para pengusaha kecil atau pengrajin yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Seperti halnya kondisi penyelewengan Faktur Pajak Masukan melalui transaksi dengan pengusaha yang Non Pengusaha Kena Pajak, maka apabila pengusaha tersebut mengajukan restitusi atas Faktur Pajak Masukan dimana memuat jenis barang yang dibeli (dari pengusaha kecil) tersebut ada kemungkinan Faktur Pajak tersebut juga diperoleh melalui jual beli Faktur Pajak. 3) Barang yang diekspor merupakan barang yang termasuk dalam kategori Non Laporan Pemeriksaan Surveyor Ekspor (LPSE). 4) Jenis dan uraian barang yang dilaporkan dalam PEB tidak spesifik. b. Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan yang menjadi rekanan pemerintah, baik dalam penyediaan barang maupun jasa mensyaratkan perusahaan sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Atas barang dan jasa yang diterima oleh pemerintah, pemerintah akan langsung memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara. Kewajiban seperti ini seharusnya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sendiri tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 16A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, kewajiban ini dilakukan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,

41 dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut. Pemungutan yang dilakukan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai mempunyai tujuan untuk mengamankan penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha yang menjadi rekanan pemerintah dan mempunyai kontrak kerja dan/atau menerima pembayaran dari pemerintah akan biasanya akan mempunyai kelebihan jika tidak mempunyai penghasilan dari pihak lain. Diantara pengusaha ini ada yang dengan sengaja tidak meminta kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas Pajak Masukan pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Hal ini disebabkan pengusaha akan berurusan dengan fiskus dan khawatir akan mengakibatkan efek samping yang lebih buruk bagi pengusaha tersebut. Jalan keluar yang biasanya dilakukan oleh para pengusaha tersebut adalah sesedikit mungkin mempunyai Pajak Masukan atau membuat Pajak Keluaran fiktif. Mengurangi Pajak Keluaran dengan jalan melakukan pembelian tanpa Pajak Pertambahan Nilai sangat berisiko pada kewajiban Pajak Penghasilan. Jika dilakukan pemeriksaan Pajak Penghasilan maka pemeriksa akan menolak mengakui pembelian tanpa Pajak Pertambahan Nilai sebagai biaya. Hal tersebut dikarenakan pembelian barang hasil olahan/pabrikan akan terutang Pajak Pertambahan Nilai. Tidak diakuinya biaya akan mengakibatkan bertambahnya jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sebagai akibat pemeriksaan tersebut.

42 Pengusaha cenderung untuk membuat Faktur Pajak Keluaran fiktif sehingga tidak terjadi kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai. Kemudian atas Faktur Pajak Keluaran fiktif tersebut sengaja diperjualbelikan kepada Pengusaha Kena Pajak lain yang berminat dan juga mempunyai itikad yang tidak baik seperti untuk melakukan restitusi fiktif. Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atas semua Faktur Pajak Keluaran yang dibuat termasuk Faktur Pajak Keluaran fiktif akan dilaporkan seluruhnya sehingga tidak mengundang kecurigaan dari fiskus. Fiskus biasanya akan menaruh perhatian yang lebih besar terhadap Pajak Masukan daripada Pajak Keluaran sehingga penelitian diutamakan pada Faktur Pajak Masukan dibandingkan Faktur Pajak Keluaran. Penghasilan fiktif dari transaksi yang dikeluarkan Faktur Pajak Keluaran fiktif ini diatur sedemikian rupa biaya-biayanya sehingga akan mengakibatkan laba yang kecil dan jumlah Pajak Penghasilan pengusaha tersebut otomatis juga akan berkurang. Bagi pengusaha tersebut ada dua keuntungan yaitu dari sisi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan dimana jumlah pajak yang harus disetor ke Kas Negara akan semakin kecil. c. Pembuatan Faktur Pajak Ganda Penyalahgunaan Faktur Pajak Keluaran yang dilakukan dengan membuat Faktur Pajak ganda merupakan hal yang sering ditemui di lapangan. Inti dari pembuatan Faktur Pajak ganda yaitu terhadap beberapa penjualan akan dibuatkan beberapa Faktur Pajak dengan nomor seri yang sama. Perbedaannya hanya terdapat dalam informasi dari pembeli. Hal ini biasanya dilakukan atas penjualan yang mempunyai jumlah yang sama

43 dalam Masa Pajak yang sama pula. Biasanya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan barang hasil pabrikan masal, bukan atas dasar pesanan. Pembeli tidak menyadari bahwa Faktur Pajak yang diterimanya sama dengan pembeli yang lain karena faktur tersebut asli. Pembeli akan melaporkan Faktur Pajak tersebut sebagai Faktur Pajak Masukan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Laporan tersebut jarang menimbulkan kecurigaan fiskus. Meskipun fiskus melakukan konfirmasi terhadap nomor seri Faktur Pajak dan jumlahnya tidak akan ditemui keganjilan. Keganjilan baru akan ditemui jika Kantor Pelayanan Pajak pembeli melakukan konfirmasi terhadap Faktur Pajak Masukan sebagai akibat pembelian tersebut. Penjual yang membuat Faktur Pajak Keluaran ganda tersebut akan memilih salah satu dari beberapa Faktur Pajak yang bernomor sama untuk dilaporkan sementara yang lainnya tidak dilaporkan dan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai nomor seri Faktur Pajak yang dilaporkan akan urut. d. Tidak Membuat Faktur Pajak Penyalahgunaan Faktur Pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai dengan tidak membuat Faktur Pajak merupakan hal yang sering terjadi. Pengusaha yang melakukan penyalahgunaan ini biasanya didasari niat pribadi dan juga desakan dari pembeli yang tidak ingin dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Biasanya Penjual tetap memungut Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli tetapi tidak memberikan Faktur Pajak kepada pembeli. Jika pembeli menginginkan dibuatkan Faktur Pajak maka penjual akan membuatkan Faktur Pajak, jika tidak menginginkan

44 maka tidak akan dibuat. Disamping itu, pembeli terkadang tidak mengerti bahwa atas pembelian tersebut telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai tetapi tidak dilaporkan oleh penjual. Pembeli yang tidak mengerti peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai akan menganggap tidak terjadi sesuatu yang menyimpang dari ketentuan.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Penerapan Atas Asas Pemungutan Pajak Seperti telah disebutkan dalam Bab II bahwa dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai maka asas-asas pemungutan pajak juga harus dipenuhi, hal ini dikarenakan agar pemungutan pajak tersebut sesuai dengan tujuan dan tidak membebani Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban atas pembayaran pajak yang dipungut tersebut. Adam Smith membagi asas pemungutan pajak tersebut menjadi empat asas pemungutan pajak atau lebih sering dikenal dengan nama The Four Maxims. Meskipun demikian terdapat beberapa ahli ekonomi yang kurang setuju terhadap The Four Maxims ini seperti David Ricardo. 15 Tetapi karena asas-asas pemungutan pajak ini telah lama dipakai sebagai dasar dalam pemungutan pajak di berbagai negara dan masih relevan penggunaannya maka pembahasan mengenai asas pemungutan pajak dalam hubungannya dengan permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini menggunakan asas pemungutan pajak menurut Adam Smith tersebut. Subbab ini akan mencoba menguraikan bagaimana penerapan atas asas pemungutan pajak tersebut khususnya terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan dikaitkan dengan kondisi

David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation, Bab 12,(1871) diunduh dari http://www.hard-loans.com/Principles%20Ch%2012.htm per tanggal 20 April 2006.

15

45

46 mengenai penyalahgunaan Faktur Pajak utamanya dalam memohon pengembalian kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai. 1. Asas Equality Asas ini mengatur bahwa pengenaan pajak terhadap subjek pajak harus seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. Asas ini juga menerangkan bahwa tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. Jika kita tarik kesimpulan maka pemungutan pajak harus mencerminkan adanya keadilan dalam pelaksanaannya, yaitu terhadap Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan lebih banyak harus dikenakan pajak dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan Wajib Pajak yang jumlah penghasilannya lebih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa faktor subjektif keadaan dari Wajib Pajak menjadi faktor yang utama dalam penentuan besarnya pajak yang harus dibayar. Dibandingkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan pajak objektif dimana timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif (tatbestand, keadaan, peristiwa, perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak) maka asas ini lebih cenderung kepada pajak yang bersifat subjektif seperti Pajak Penghasilan yang lebih menekankan

47 pada faktor subjektif daripada faktor objektif dari Wajib Pajak. Menurut Nadia Werner 16 , asas pemungutan pajak dari Adam Smith ini pada saat dikembangkan saat itu lebih ditekankan terhadap pajak terhadap barang mewah (di Indonesia disebut Pajak Penjualan Atas Barang Mewah) dan pajak atas sewa tanah dimana kondisi perekonomian yang tidak sekompleks saat ini. Perbedaan kedua jenis pajak ini (Pajak Penghasilan merupakan pajak subjektif) pula yang menyebabkan Pajak Pertambahan Nilai menimbulkan dampak regresif karena tidak memperhatikan keadaan subjektif dari subjek pajak yaitu semakin besar tingkat kemampuan konsumen maka semakin ringan beban pajaknya, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan konsumen maka semakin berat beban pajaknya. Meskipun prinsip dasarnya sedikit berbeda tetapi terdapat beberapa hal yang menghubungkan keberadaan asas ini dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Keadilan dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yaitu dilakukannya pemungutan terhadap pihak yang menikmati dari barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (yaitu Barang Kena Pajak). Jika pihak yang menikmati tersebut merupakan Pengusaha Kena Pajak dan Barang Kena Pajak yang dibeli digunakan untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya maka terhadap Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut kepada Pengusaha Kena Pajak tersebut (Pajak Masukan) dapat dilakukan pengurangan terhadap Nadia Werner, Adam Smiths Recommendation on Taxation, (Banneker Center, 2005) diunduh dari http://www.progress.org/banneker/adam.html per tanggal 20 April 2006.
16

48 Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut (Pajak Keluaran) dan harus disetor ke Kas Negara (Prinsip Pengkreditan Pajak Masukan). Sehingga Pengusaha Kena Pajak tidak akan terbebani dengan jumlah pajak yang besar yang harus dibayarkan karena terlebih dahulu Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan. Asas equality (asas keadilan) dapat pula dihubungkan dengan adanya kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal ini apabila terjadi kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai maka Pengusaha Kena Pajak dapat memohon pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Hal ini merupakan penerapan dari asas keadilan dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Asas keadilan ini tidak hanya adil bagi pihak Wajib Pajak (Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi) tetapi juga adil bagi negara (Pemerintah selaku penyelenggara negara) sesuai dengan penggunaan asas-asas pemungutan ini dalam tujuan negara dalam memungut pajak. Keadilan harus berlaku bagi kedua pihak, jika Pengusaha Kena Pajak memohon restitusi dimana dari hasil restitusi tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan usahanya maka pemerintah harus segera memberikannya sesuai dengan tata cara yang berlaku. Sebaliknya pemerintah juga berhak untuk mengetahui berapa jumlah pajak yang sebenarnya harus dibayar oleh Wajib Pajak tersebut, apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika kedua pihak saling mengerti dan mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku tanpa merugikan satu sama lain

49 maka kasus-kasus penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka restitusi sebenarnya tidak perlu terjadi. Ditinjau dari asas keadilan, penyalahgunaan Faktur Pajak terjadi kemungkinan karena pemerintah sering berlaku tidak adil (seperti adanya kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang diistimewakan dalam proses restitusi) dalam melakukan pelayanan terhadap para Wajib Pajak. Disamping itu sering terdapat celah (loop holes) dalam ketentuan perundang-undangan yang memang sengaja dimanfaatkan oleh para Pengusaha Kena Pajak nakal untuk merugikan keuangan negara. 2. Asas Certainty Asas ini memiliki pengertian bahwa pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. Agar ketentuan mengenai pemungutan pajak lebih jelas cara pelaksanaannya, maka diperlukan suatu kepastian (hukum). Di Indonesia, pajak dipungut berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Segala pajak untuk kegunaan Kas Negara berdasarkan Undang-undang. Pasal inilah yang melandasi dibuatnya beberapa Undang-undang Perpajakan yang masih berlaku hingga saat ini. Dalam hubungannya dengan Pajak Pertambahan Nilai, maka berlaku ketentuan Undang-undang Nomor 16 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut

50 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) sebagai ketentuan formal dalam pemungutan pajak. Sedangkan untuk ketentuan material Pajak Pertambahan Nilai menggunakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (disebut juga Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984). Apabila dalam ketentuan material tidak diatur ketentuan tersendiri mengenai suatu ketentuan tertentu maka kita mengacu kembali kepada ketentuan material, seperti misalnya ketentuan mengenai sanksi dan/atau denda administrasi serta sanksi pidana yang tidak diatur dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 maka kita mengacu kepada ketentuan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 secara tegas telah mengatur mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya seperti yang paling diutamakan dalam asas certainty ini. Oleh karena itu asas ini telah dipenuhi dalam rangka pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Dua hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana asas certainty ini dihubungkan dengan proses restitusi dan juga penyalahgunaan Faktur Pajak. Proses restitusi merupakan hak dari Wajib Pajak untuk memperoleh kembali uang yang telah disetorkannya ke Kas Negara dikarenakan adanya kelebihan pembayaran pajak, oleh karena itu sudah seharusnya negara memberikan hak dari Wajib Pajak tersebut sesuai

51 dengan ketentuan yang berlaku. Apabila Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan yang diperlukan baik formal maupun material dan hasil pemeriksaan terhadap permohonan restitusi dari Wajib Pajak adalah benar adanya maka sudah sepatutnya negara segera memberikan hak Wajib Pajak tersebut tanpa harus ada upaya untuk membuat lebih lama atau menyusahkan Wajib Pajak. Kepastian hukum dalam restitusi ini sebenarnya sudah diwadahi dalam peraturan pelaksanaan dilapangan yaitu melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep160/PJ./2001 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Meskipun sudah ada kepastian dalam proses restitusi ini tetapi terkadang tidak semua Wajib Pajak mengerti mengenai ketentuan ini, disamping itu terdapat beberapa hal yang membingungkan Wajib Pajak terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini. Contohnya adalah mengenai tidak diaturnya secara tegas mengenai jangka waktu penyelesaian permohonan restitusi yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Kriteria Tertentu. Asas kepastian hukum ini juga diperlukan oleh Wajib Pajak dalam menentukan apakah akan memperoleh imbalan bunga jika jangka waktu penyelesaian restitusi yang diajukannya lebih lama dari ketentuan yang berlaku. Sedangkan bagi pihak Kantor Pelayanan Pajak sendiri merupakan sebagai alat pengawasan agar jangka waktu penyelesaian tidak melebihi ketentuan yang berlaku sehingga juga tidak merugikan keuangan negara.

52 Salah satu kepastian yang berkaitan dengan proses restitusi yang cukup menarik adalah apakah hasil pemeriksaan yang memberikan koreksi terhadap permohonan restitusi Wajib Pajak adalah sesuai atau tidak dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini juga menjadi salah satu kepastian hukum yang harus diberikan oleh negara, koreksi yang dilakukan oleh fiskus harus benar dan tidak dibuat-buat. Wajib Pajak yang baik tentu saja akan merasa sangat dirugikan dengan koreksi yang tidak jelas dan mengadaada bahkan terkadang fiskus sengaja melakukan hal ini hanya untuk memohon imbalan atau gratifikasi. Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Berkaitan dengan asas certainty, penyalahgunaan Faktur Pajak sangat bertentangan dan tidak dibenarkan secara hukum. Karena secara jelas telah diatur dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dimana sarana untuk memungutnya adalah Faktur Pajak tersebut. Oleh karena itu kepastian hukum bagi pihak-pihak yang

menyalahgunakan Faktur Pajak tersebut harus secara tegas dilaksanakan. Hal-hal mengenai sanksi dan/atau denda administrasi serta sanksi pidana mengenai penyalahgunaan Faktur Pajak ini telah diatur secara tegas dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan Faktur Pajak ini apakah sudah sesuai atau belum. Pihak-pihak yang menyalahgunakan Faktur Pajak bisa berasal dari Wajib Pajak yang sengaja melakukannya atau dari oknum fiskus sendiri yang dengan

53 sengaja membantu kemudahan pelaksanaan restitusi fiktif ini. Karena itu hukuman bagi pihak-pihak yang menyalahgunakan harus sesuai dengan ketentuan dan dilaksanakan dengan tegas. 3. Asas Convenience Teknik pemungutan pajak ini menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. Asas convenience ini sangat berkaitan dengan asas yang terakhir yaitu asas efficiency. Asas ini memberi pengertian bagaimana agar pemungutan pajak dapat dilaksanakan pada saat yang tepat sehingga akan memberikan hasil yang maksimal. Berkaitan dengan asas convenience ini, sesuai dengan Pasal 11 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 telah diatur mengenai saat terutangnya pajak. Saat terutangnya pajak ini sangat diperlukan untuk menentukan saat Pengusaha Kena Pajak melaksanakan kewajiban melunasi utang pajaknya. Pajak Pertambahan Nilai menganut ajaran material dalam menentukan timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang menentukan demikian. Atau timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Ajaran material dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajaknya menggunakan sistem self assessment. Mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran

54 material. Seperti telah disebutkan bahwa asas ini menginginkan agar pemungutan pajak dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat yang paling baik bagi Wajib Pajak dimana saat yang sesuai tersebut adalah pada saat diterimanya penghasilan oleh Wajib Pajak. Secara implisit, asas ini cenderung menekankan kepada jenis pajak subjektif daripada jenis pajak objektif. Meskipun demikian kita dapat mengambil esensinya yaitu pemungutan pajak dilakukan pada saat yang tepat. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ditentukan berdasarkan saat terutangnya pajak, oleh karena itu Wajib Pajak yang harus membayar Pajak Pertambahan Nilai karena menikmati Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak seharusnya sudah mengerti konsekuensi atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang akan menimbulkan adanya utang pajak. Atas utang pajak ini harus segera dipungut sesuai dengan mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Bagi Pengusaha Kena Pajak mungkin hal ini dapat diberikan kemudahan dengan menggunakan prinsip pengkreditan Pajak Masukan sebelum mengetahui berapa jumlah pajak yang seharusnya disetor ke Kas Negara. Tetapi bagi konsumen akhir yang bukan Pengusaha Kena Pajak hal ini merupakan konsekuensi dari menggunakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dimana akan dipungut kepadanya Pajak Pertambahan Nilai. Prinsip pengkreditan Pajak Masukan merupakan salah satu cara sesuai dengan asas convenience ini. Dimana pada tiap tingkat produksi sampai dengan konsumsi akan

55 dikenakan pajak, dan pajak tersebut dipungut pada saat yang tepat yaitu pada saat terutang pajak tersebut harus segera dipungut. Salah satu cara lain untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan asas ini adalah dengan melalui pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Disamping sesuai dengan tujuan dalam asas convenience ini, pemungutan melalui Pemungut Pajak Pertambahan Nilai ini dimaksudkan untuk mengamankan penerimaan pajak dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun demikian pemungutan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut Pajak Pertambahan Nilai masih saja menimbulkan penyalahgunaan dalam rangka untuk restitusi atau kompensasi Pajak Pertambahan Nilai. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebenarnya sudah diberikan kemudahan dengan melalui sistem self assessment dan saat terutangnya pajak hingga saat pembayaran pajak yang sangat jelas aturannya. Prinsip pengkreditan Pajak Masukan merupakan salah satu kemudahan untuk memperingan beban Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak, tetapi tetap saja terdapat penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka restitusi maupun kompensasi. Jika dihubungkan dengan asas ini, hal ini sebenarnya disebabkan oleh keengganan pihak-pihak tertentu untuk menyetorkan pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sudah menjadi sesuatu yang jamak jika Wajib Pajak selalu ingin agar beban pajaknya lebih ringan bahkan jika perlu tidak membayar pajak yang sudah menjadi kewajibannya. Begitu pula dengan Pengusaha Kena Pajak yang dengan sengaja

56 menyalahgunakan Faktur Pajak untuk tujuan restitusi atau kompensasi, mereka justru tidak ingin membayar kewajiban pajaknya dan bahkan malah merugikan keuangan negara dengan memohon restitusi fiktif atau kompensasi fiktif tersebut. 4. Asas Efficiency Asas ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemathematnya dan jangan sekali-kali biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajaknya. Asas ini sangat dipengaruhi oleh pandangan ekonomi liberal pada saat itu dimana dengan biaya yang seminimal mungkin untuk memperoleh hasil yang maksimal. Pokok permasalahan asas efficiency (asas efisiensi) ini adalah bagaimana membuat suatu administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan mudah baik bagi pihak fiskus maupun Wajib Pajak. Jika administrasi perpajakan yang rumit dan bertele-tele akan menimbulkan banyak penyimpangan baik dari pihak Wajib Pajak maupun adanya oknum fiskus yang mencoba bermain didalamnya. Oleh karena itu, jika dilihat dari sektor Pajak Pertambahan Nilai maka sudah seharusnya administrasi dari pihak fiskus harus efisien. Hal ini menjadi suatu kewajiban agar suatu proses restitusi sebagai contoh tidak memakan terlalu lama dan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Jangka waktu penyelesaian restitusi harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan karena negara juga mempunyai kewajiban jika adanya keterlambatan penyelesaian yaitu pemberian imbalan bunga. Penyederhanaan proses agar tercapai adanya efisiensi dalam Pajak Pertambahan Nilai khususnya sangat diperlukan. Penyederhanaan proses ini bukan berarti

57 menghilangkan prosedur yang telah ditentukan tetapi bekerja sesuai dengan prosedur dan meminimalkan adanya manipulasi dalam restitusi. Jika kita lihat secara keseluruhan terhadap asas pemungutan pajak dalam The Four Maxims maka terdapat beberapa perbedaan antara asas tersebut dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terutama dalam asas equality. Tetapi ini bukan menjadi suatu masalah yang besar, karena asas-asas tersebut secara keseluruhan masih dapat digunakan. Masih berkaitan antara asas-asas pemungutan pajak dengan Pajak Pertambahan Nilai, disamping untuk mengamankan penerimaan negara melalui penghindaran pajak, Everett Gross menyebutkan bahwa sudah seharusnya pemungutan pajak juga memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 17 a. Economic neutrality, Pajak harus bersifat netral dan tidak menimbulkan distorsi dalam kehidupan ekonomi dalam suatu negara. b. Efficiency, Seperti halnya dengan asas efficiency dari The Four Maxims, pajak yang dipungut harus mengeluarkan biaya yang seminimal mungkin tetapi dengan tambahan bahwa pengenaan pajak terhadap suatu objek pajak tidak boleh mengganggu permintaan dan penawaran pasar terhadap objek pajak tersebut.

Everett Gross, How to Separate Smart and Dumb Taxes, (Nebraska: Everett Gross, 2004) diunduh dari http://www.progress.org/2004/gross06.htm per tanggal 24 April 2006.

17

58 c. Equity, Prinsip ini merupakan pusat dari segala perencanaan pemungutan pajak. Perencanaan dalam pemungutan pajak harus adil dan sampai pada tingkat mana dapat disesuaikan dengan prinsip yang lain. d. Administrability, Bagaimana suatu pajak dapat diadministrasikan dengan mudah dan juga dalam hal pemungutannya. Pajak yang menimbulkan distorsi dalam kehidupan ekonomi tidak akan efisien dan dapat menimbulkan berbagai efek samping lainnya seperti penghindaran pajak, ketidakadilan, dan biaya untuk pemeriksaan yang akan menjadi lebih besar. e. Simplicity, Semakin kompleks suatu peraturan perpajakan, maka akan ditemukan celah-celah (loopholes) untuk melakukan penyimpangan, menimbulkan ketidakadilan, dan membuat biaya administrasi semakin besar. f. Stability, Prinsip ini mempunyai arti kemampuan pajak untuk menghadapi berbagai perubahan kehidupan ekonomi yang sering terjadi g. Sufficiency Prinsip ini menekankan bagaimana menilai suatu jenis pajak akan menghasilkan penerimaan bagi negara yang sangat potensial.

59 B. Analisis dan Pembahasan 1. Sebab-sebab Munculnya Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan suatu tindakan kejahatan dan dapat dikenakan sanksi pidana. Tindakan kejahatan didasari atas adanya niat dan kesempatan. Niat berasal dari diri Wajib Pajak atau dorongan dari pihak lain sedangkan kesempatan timbul karena adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan serta kejadian atau perbuatan berulang-ulang yang tidak diketahui. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi begitu banyak tindakan penyalahgunaan Faktur Pajak ini terutama dalam rangka memohon restitusi. Penyalahgunaan Faktur Pajak terjadi berulang kali dan di tempat yang berbeda dan menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Hal ini membuktikan bahwa sistem administrasi Kantor Pelayanan Pajak utamanya seksi Pajak Pertambahan Nilai kurang tertata dengan baik. Menurut Direktur Pemeriksan, Penyelidikan, dan Penyidikan Pajak Direktorat Jenderal Pajak, Gunadi, banyaknya kasus restitusi pajak terjadi karena tiga hal, yakni transparansi keuangan perusahaan wajib pajak, moral pengusaha wajib pajak, dan integritas petugas pajak. 18 Uraian berikut ini mencoba membahas sebab-sebab munculnya kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan melalui penyalahgunaan Faktur Pajak sesuai dengan kondisi yang sering terjadi seperti yang diuraikan pada Bab III.

Majalah Trust, Restitusi Tanpa Transaksi, Majalah Trust, 2, No.35 (Tanggal 31 Mei-6 Juni 2004)

18

60 a. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan 1) Melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif Beberapa sebab terjadinya penyalahgunaan Faktur Pajak dengan melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif, yaitu: a) Pengusaha Kena Pajak merasa keberatan untuk menyetor Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan/atau ingin memperoleh jumlah restitusi yang lebih besar daripada yang seharusnya. b) Adanya penelitian yang kurang mendalam terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai terutama untuk Pajak Masukan selama Pengusaha Kena Pajak tidak memohon restitusi. c) Pengusaha Kena Pajak mengetahui bagaimana sistem administrasi dalam rangka restitusi. Hal ini biasanya dilakukan kerjasama dengan konsultan pajak dan oknum fiskus yang memberitahukan celah mana saja yang bisa ditembus, terutama dalam sistem konfirmasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan. Sehingga pembuatan perusahaan fiktif untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak fiktif dapat berjalan dengan baik. d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus dalam proses restitusi. Misalnya memberikan bantuan untuk mempercepat proses restitusi dengan tidak melakukan konfirmasi terhadap semua Faktur Pajak Masukan sehingga proses restitusi dapat berjalan dengan cepat dan meminimalisasi terbongkarnya kejahatan ini.

61 e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya. f) Ancaman hukuman yang kurang berat terhadap penyalahgunaan jenis ini yaitu ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi. 2) Transaksi Fiktif Penyebab penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini hampir sama dengan jenis yang sebelumnya yaitu antara lain: a) Pengusaha Kena Pajak merasa keberatan untuk menyetor Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan/atau ingin memperoleh jumlah restitusi yang lebih besar daripada yang seharusnya. b) Terdapat Pengusaha Kena Pajak lain yang mau diajak kerjasama untuk membuat Faktur Pajak yang sebenarnya tidak pernah terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. c) Penelitian yang kurang mendalam terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai terutama untuk Pajak Masukan selama Pengusaha Kena Pajak tidak memohon restitusi dan terhadap daftar lampiran pembelian juga tidak dilakukan penelitian secara seksama. d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus untuk memperlancar proses restitusi.

62 e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya. f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada yang diancamkan dalam perundang-undangan. 3) Faktur Pajak Fiktif Terdapat beberapa kesamaan penyebab penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini dengan kedua jenis sebelumnya, yaitu: a) Adanya niat dan kesempatan yang dilakukan oleh pengusaha untuk melakukan kejahatan perpajakan ini. b) Faktur Pajak yang yang diterima atas pembelian barang dan/atau jasa mudah untuk dibuat sendiri tanpa sepengetahuan Pengusaha Kena Pajak pembuat Faktur Pajak yang asli. c) Pengusaha Kena Pajak mengetahui dengan baik mengenai prosedur penelitian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan pemeriksaan dalam rangka restitusi. d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus yang dengan sengaja ingin memperoleh imbalan atau gratifikasi.

63 e) Kurangnya sosialisasi mengenai beberapa jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya. f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada yang diancamkan dalam perundang-undangan. 4) Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini memiliki latar belakang antara lain: a) Pengusaha Kena Pajak berniat mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor. Transaksi pembelian dari penjual non Pengusaha Kena Pajak tidak akan dibuatkan Faktur Pajak, oleh karena itu Pengusaha Kena Pajak sengaja membuat Faktur Pajak fiktif (Pajak Masukan) untuk dikreditkan dengan Pajak Keluaran sehingga jumlah yang seharusnya disetor lebih sedikit. b) Pengusaha Kena Pajak mengetahui bahwa terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang kurang bayar dengan jumlah yang sedikit tidak akan diteliti secara mendalam. c) Kemudahan dalam membuat Faktur Pajak fiktif, baik dengan membuat sendiri maupun bekerja sama dengan Pengusaha Kena Pajak lain. d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus yang dengan sengaja ingin memperoleh imbalan atau gratifikasi.

64 e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya. f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada yang diancamkan dalam perundang-undangan. 5) Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak dengan melalui cara transaksi dalam satu kelompok usaha dapat dikarenakan oleh beberapa alasan, antara lain: a) Pengusaha Kena Pajak berniat mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor bahkan jika bisa tidak menyetor Pajak Pertambahan Nilai ke Kas Negara. b) Terdapat banyak pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak menginginkan terhadap Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mereka beli dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. c) Pengawasan terhadap pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang kurang ketat karena untuk usaha yang sama terkadang tidak semua perusahaan dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Biasanya atas permohonan Wajib Pajak sendiri baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

65 d) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya. e) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada yang diancamkan dalam perundang-undangan. b. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran 1) Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif Kegiatan ekspor fiktif dilakukan dengan sebab antara lain: a) Pengusaha Kena Pajak ingin memperoleh kembali Pajak Masukan yang telah dipungut pada saat pembelian. Hal ini disebabkan terhadap ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen) sehingga Pajak Masukan akan lebih besar daripada Pajak Keluaran dan dapat menimbulkan kelebihan bayar pajak. b) Adanya kerjasama dengan instansi terkait lain seperti pihak Bea dan Cukai, Departemen Perdagangan, bank, Kantor Pelayanan Pajak dan pihak-pihak lain yang terkait guna memperoleh dokumen asli tetapi palsu berkaitan dengan kegiatan ekspor yang sengaja digunakan untuk permohonan restitusi. Penyalahgunaan Faktur Pajak dengan melakukan kegiatan ekspor fiktif ini memerlukan administrasi yang baik dan kompleks dari Pengusaha Kena Pajak karena banyak berkaitan dengan banyak pihak dan dokumen yang harus disiapkan

66 oleh karena itu mungkin tidak terlalu banyak penyalahgunaan jenis ini. 2) Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Penyebab mengapa terjadi penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini antara lain: a) Banyak Wajib Pajak yang hanya mengandalkan penghasilannya dari proyek pemerintah sehingga sering menimbulkan kelebihan Pajak Masukan. Terhadap kelebihan Pajak Masukan ini, Pengusaha Kena Pajak enggan untuk memperoleh kembali kelebihan bayar Pajak Masukan tersebut dikarenakan anggapan proses yang akan terlalu lama dan biaya yang akan jauh lebih besar jika memohon restitusi. b) Wajib Pajak merasa takut terhadap adanya pemeriksaan terhadap kegiatan usahanya karena fiskus akan mengetahui keadaan Wajib Pajak yang sebenarnya dan akan menimbulkan biaya yang lebih besar. c) Adanya Pengusaha Kena Pajak lain yang mau membeli Faktur Pajak Keluaran fiktif yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut. d) Proses pembuatan Faktur Pajak Keluaran relatif mudah dan sederhana dan tidak diperlukan pengetahuan lebih dalam Pajak Pertambahan Nilai. e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya.

67 3) Pembuatan Faktur Pajak Ganda Pembuatan Faktur Pajak Keluaran ganda merupakan perbuatan yang sengaja dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sendiri. Terdapat beberapa sebab mengapa dilakukan pembuatan Faktur Pajak ganda, antara lain: a) Pengusaha Kena Pajak sengaja ingin memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya dari Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut olehnya dan tidak disetorkan ke Kas Negara. b) Pengetahuan yang cukup dari Pengusaha Kena Pajak mengenai prosedur administrasi dari Pajak Pertambahan Nilai. c) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya. d) Ancaman hukuman yang tidak terlalu berat dan sering adanya negosiasi antara Pengusaha Kena Pajak dengan oknum fiskus untuk melancarkan usaha ini. 4) Tidak Membuat Faktur Pajak Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: a) Niat dari Pengusaha Kena Pajak untuk memperoleh keuntungan bagi diri Pengusaha Kena Pajak sendiri. Hal ini dilakukan kepada konsumen yang tidak mengerti mengenai Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak

68 memungut Pajak Pertambahan Nilai dari konsumen tetapi tidak dibuatkan Faktur Pajak dan konsumen sendiri tidak mengetahui mengenai haknya. b) Banyak konsumen yang merasa senang jika atas pembelian yang dilakukannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Terutama jika konsumen tersebut bukan Pengusaha Kena Pajak maka sangat ingin menghindari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. c) Pengawasan yang kurang dari Direktorat Jenderal Pajak dan Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang mengantisipasinya. d) Ancaman hukuman yang tidak terlalu berat dan sering adanya negosiasi antara Pengusaha Kena Pajak dengan oknum fiskus untuk melancarkan usaha ini. Dari beberapa sebab-sebab penyalahgunaan Faktur Pajak di atas maka akan dapat kita tarik suatu kesimpulan mengenai sebab-sebab penyalahgunaan Faktur Pajak, antara lain: a. Lemahnya pengawasan terhadap Wajib Pajak, baik pada saat Wajib Pajak mulai dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun setelah Wajib Pajak menjadi Pengusaha Kena Pajak. Hal ini yang menyebabkan Wajib Pajak menyalahgunakan Faktur Pajak dalam rangka memohon restitusi maupun kompensasi.

69 b. Kerja sama antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak lain yang dengan sengaja menyalahgunakan Faktur Pajak untuk memohon restitusi maupun kompensasi. Pihakpihak lain tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak lain baik yang fiktif maupun tidak fiktif, konsultan pajak, dan oknum fiskus sendiri. c. Pengetahuan dari Wajib Pajak yang dibantu oleh konsultan pajak maupun oknum fiskus yang dengan sengaja memberitahukan mengenai celah yang dapat ditembus dalam memohon restitusi. Hal ini terutama berhubungan dengan sistem konfirmasi Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang masih terdapat kelemahan. Misalnya penyalahgunaan dengan membuat Pengusaha Kena Pajak fiktif, mereka sengaja mendirikan suatu perusahaan untuk sementara waktu dengan maksud untuk melakukan restitusi fiktif. Perusahaan ini juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan juga Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang tercatat di administrasi Kantor Pelayanan Pajak. Hal ini dilakukan karena sistem konfirmasi yang sekarang dilakukan sudah online antar Kantor Pelayanan Pajak dan sudah banyak diketahui oleh Pengusaha Kena Pajak. Sehingga mereka sengaja mendirikan perusahaan fiktif ini agar proses konfirmasi berjalan lancar. d. Fiskus yang tidak profesional dalam pekerjaannya. Permohonan restitusi sengaja dibuat sebagai ajang bagi oknum fiskus untuk meminta imbalan atau gratifikasi.

70 Sudah menjadi rahasia umum jika hasil dari restitusi akan dicairkan maka fiskus akan meminta bagian dari hasil restitusi tersebut.19 e. Pemeriksaan umumnya diutamakan kepada pemeriksaan terhadap Surat

Pemberitahuan Masa pada akhir tahun pajak dimana beban pemeriksaan sangat besar sehingga ketelitian dalam pemeriksaan sering kurang mendalam. Disamping itu, pemeriksaan hanya dilakukan jika terdapat permohonan restitusi, kalaupun tidak biasanya bersamaan dengan pemeriksaan segala jenis pajak terhadap Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu. Banyak kemungkinan akan lolosnya restitusi fiktif jika fiskus tidak melakukan pemeriksaan terutama terhadap Wajib Pajak yang mempunyai peredaran usaha yang sangat fluktuatif jika hanya mengandalkan pemeriksaan pada akhir tahun atau secara bersamaan dengan jenis pajak yang lain. 2. Akibat Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Secara umum akibat dari kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok antara lain: a. Bidang Keuangan Negara Adanya penyalahgunaan Faktur Pajak sangat merugikan keuangan negara dengan berkurangnya jumlah penerimaan negara dari sektor pajak khususnya jenis Pajak Pertambahan Nilai. Tri Wibowo, Studi Pelaksanaan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, 2005, (Jakarta: Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional, 2005 ), hal. 6.
19

71 b. Bidang Ekonomi Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan salah satu jenis kejahatan, hal ini akan sangat mempengaruhi persaingan yang sehat dalam dunia usaha karena adanya keunggulan biaya dari pengusaha dengan menggunakan cara yang tidak sehat tersebut. Seperti telah disebutkan sebelumnya kebijakan ekonomi dari pemerintah haruslah jelas agara tidak menimbulkan adanya kejahatan-kejahatan dalam bidang perpajakan khususnya Pajak Pertambahan Nilai, oleh karena itu penyalahgunaan Faktur Pajak secara tidak langsung juga dapat menimbulkan kurang lancarnya perputaran roda perekonomian dan langkanya modal karena pengusaha akan berusaha

menyembunyikan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan yang dilakukannya. c. Bidang Psikologis Wajib Pajak Wajib Pajak yang terbiasa melakukan kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak ini dan tidak diketahui oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak akan terbiasa untuk melakukannya lagi dan terbiasa untuk melanggar ketentuan perundang-undangan. Sedangkan akibat dari penyalahgunaan Faktur Pajak secara khusus dari setiap penyalahgunaan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan 1) Melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif Akibat yang ditimbulkan dari kegiatan melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif adalah:

72 a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Faktur Pajak Masukan fiktif akan mengurangi besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor. Jika Pengusaha Kena Pajak melakukan restitusi dengan Faktur Pajak fiktif maka kerugian negara akan menjadi lebih besar. b) Perusahaan yang melakukan kegiatan ini akan mempunyai biaya tambahan dari penjual fiktif. Biaya ini (biasanya disarukan ke dalam suatu jenis biaya) akan mengurangi laba dari pengusaha yang juga akan mengakibatkan jumlah Pajak Penghasilan yang seharusnya disetor menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan kerugian negara selain dari sektor Pajak Pertambahan Nilai juga berasal dari sektor Pajak Penghasilan. c) Terlambatnya antisipasi dari pihak Direktorat Jenderal Pajak serta hukuman yang ringan akan mengakibatkan pengusaha lain juga mencoba untuk melakukan kegiatan yang sama. d) Semakin banyak pengusaha yang melakukan kegiatan ini berarti juga akan menambah jumlah oknum-oknum fiskus yang terlibat kolusi. Hal ini akan membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang. Untuk itu pemerintah (khususnya Direktorat Jenderal Pajak) perlu lebih meningkatkan pengawasan terhadap pegawainya karena yang terlibat sering tidak hanya oknum fiskus di tingkat pelaksana tetapi juga atasan dari oknum fiskus tersebut. e) Kelemahan dibidang peraturan dan kurangnya penegakan hukum dibidang

73 perpajakan akan mengakibatkan masyarakat menganggap pemerintah tidak tegas dan kurang berwibawa khususnya dalam dunia usaha. f) Dengan adanya penyalahgunaan ini akan mengakibatkan pengawasan yang lebih ketat dan dapat menimbulkan beban administrasi tambahan bagi Wajib Pajak, tidak hanya Wajib Pajak yang melakukan penyalahgunaan tetapi juga bagi Wajib Pajak yang termasuk patuh. 2) Transaksi Fiktif Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini menimbulkan beberapa akibat, yaitu: a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai. b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan mengalami penurunan karena adanya upaya untuk membuat laporan yang tidak benar. c) Pengusaha yang telah berhasil untuk melakukan kegiatan ini akan cenderung untuk mengulanginya dan bagi pengusaha lain akan mencoba untuk melakukannya. d) Bertambahnya jumlah oknum fiskus yang terlibat dalam kejahatan perpajakan. e) Berkurangnya wibawa pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. f) Pemerintah akan cenderung memandang Wajib Pajak dengan sikap curiga karena sistem Self Assessment yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya

74 telah disalahgunakan. 3) Faktur Pajak Fiktif Akibat dari kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini adalah: a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai karena adanya kompensasi dan/atau restitusi dengan menggunakan Faktur Pajak fiktif. b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan mengalami penurunan karena adanya Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan berkurang. c) Pengusaha yang melakukan kejahatan ini semakin banyak dan jumlah Faktur Pajak Masukan fiktif juga semakin besar akibat kurangnya pengawasan dari fiskus. d) Kepercayaan fiskus kepada Wajib Pajak dalam menerapkan sistem Self Assessment pada umumnya menurun. e) Pengusaha Kena Pajak yang Faktur Pajaknya dipalsukan akan menderita kerugian yang sangat besar. Kerugian tersebut dapat berupa pencemaran nama baik dan adanya kecurigaan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini akan menyulitkan bagi Pengusaha Kena Pajak karena kemungkinan besar akan diperiksa dan bisa dilakukan penyidikan. 4) Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini mempunyai beberapa akibat, yaitu:

75 a) Penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai akan mengalami penurunan. Pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak secara tidak sah dan tidak benar akan mengakibatkan berkurangnya Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor. b) Penerimaan negara dari sektor pajak khusunya Pajak Penghasilan secara tidak langsung juga akan berkurang. Hal ini karena pembelian yang menggunakan Faktur Pajak Masukan fiktif tersebut akan dijadikan biaya yang menyebabkan berkurangnya Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak yang berkurangnya tentu akan mengurangi besarnya Pajak Penghasilan yang disetorkan ke Kas Negara. 5) Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha Penyalahgunaan Faktur Pajak dalam transaksi dalam satu kelompok usaha mempunyai beberapa akibat, yaitu: a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai. b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan mengalami penurunan karena adanya upaya untuk membuat laporan yang tidak benar dengan membuat perencanaan pajak yang cenderung

menggelapkan pajak melalui mekanisme transfer pricing.. c) Berkurangnya wibawa pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

76 d) Pemerintah akan cenderung memandang Wajib Pajak dengan sikap curiga karena sistem Self Assessment yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya telah disalahgunakan. b. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran 1) Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif Kegiatan ini mengakibatkan beberapa hal, yaitu: a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi jika restitusi fiktif yang diajukan dikabulkan permohonannya. b) Tidak ada devisa yang masuk bagi negara karena ekspor yang dilakukan tidak benar-benar terjadi. c) Adanya upaya manipulasi untuk jenis pajak yang lain seperti Pajak Penghasilan dengan membuat pelaporan yang tidak benar agar jumlah pajak yang seharusnya disetor tidak besar. Hal ini dilakukan karena pengusaha tersebut tentu saja tidak ingin mengalami kerugian bagi usahanya akibat adanya kewajiban perpajakan. 2) Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini mempunyai beberapa akibat, antara lain: a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengkreditan Pajak

77 Pertambahan Nilai yang tidak benar dengan menggunakan Faktur Pajak Keluaran fiktif. b) Penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Penghasilan juga akan mengalami penurunan karena adanya pelaporan yang tidak benar atau adanya rekayasa dalam laporan keuangan Wajib Pajak. c) Kecenderungan Wajib Pajak akan melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak dengan cara yang sama untuk waktu yang akan datang dengan tujuan menghindari adanya pemeriksaan dan memperkecil jumlah pajak yang seharusnya disetor ke Kas Negara. 3) Pembuatan Faktur Pajak Ganda Kegiatan Pengusaha Kena Pajak dengan membuat Faktur Pajak ganda akan mengakibatkan beberapa hal, antara lain: a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi karena adanya Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dalam pnejualan yang dilakukan pengusaha tidak dilaporkan dan tidak disetorkan ke Kas Negara. b) Dengan membuat Faktur Pajak Keluaran Ganda, pengusaha dengan sendirinya akan menyembunyikan penjualan yang sebenarnya yang berarti mengurangi peredaran usaha pengusaha. Berkurangnya peredaran usaha ini akan mengakibatkan Pajak Penghasilan yang seharusnya disetor akan berkurang dan akan mengurangi penerimaan negara.

78 c) Kurangnya pengawasan akan mengakibatkan kejahatan serupa sering terjadi, khususnya Wajib Pajak dengan produk massal. 4) Tidak Membuat Faktur Pajak Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak akan mengakibatkan beberapa hal, yaitu: a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai. Jika Faktur Pajak Keluaran tidak dibuat, maka dengan sendirinya tidak akan ada Pajak Pertambahan Nilai yang disetorkan ke Kas Negara dan penerimaan negara pun akan berkurang. b) Pajak Penghasilan pengusaha tersebut akan berkurang karena peredaran usaha yang sebenarnya tidak dilaporkan dengan benar. Hal ini tentu saja mengakibatkan penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan akan berkurang. c) Bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli maka tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang sebenarnya telah dipungut karena tidak memiliki Faktur Pajak Masukan. 3. Pencegahan dan Penanganannya Setelah pembahasan mengenai penyebab timbulnya kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan juga mengetahui akibat-akibat yang mungkin dapat ditimbulkan dari kecurangan tersebut, pada pembahasan kali ini penulis mencoba untuk mencari

79 alternatif pencegahan dan penanganan kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai melalui penyalahgunaan Faktur Pajak. Alternatif pencegahan dan penanganan ini dibahas secara keseluruhan untuk semua jenis penyalahgunaan Faktur Pajak. Beberapa alternatif pencegahan dan penanganan yang coba diberikan penulis antara lain: a. Pengukuhan Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak harus dilaksanakan dengan ketat dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Meskipun saat ini Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak tetapi pemberiannya harus selektif dan ketat. Hal ini agar tidak timbul banyak Pengusaha Kena Pajak tetapi mereka tidak aktif, mereka hanya aktif pada tahun-tahun awal berdirinya perusahaan. Peningkatan Pengusaha Kena Pajak haruslah diiringi dengan peningkatan penerimaan negara dari pajak jenis Pajak Pertambahan Nilai, hal ini sesuai dengan asas efficiency dalam Four Maxims dari Adam Smith. b. Perlunya peningkatan pengawasan terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak baik yang skalanya kecil, menengah, atau besar. Pengawasan ini dapat dilakukan baik melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi. Kegiatan ekstensifikasi sesuai dengan sasaran yaitu mencari yang tersembunyi untuk mengamankan penerimaan negara. 20 Kegiatan ini dapat dilakukan antara lain dengan melakukan penjaringan Pengusaha Kena Pajak baru. Sedangkan kegiatan intensifikasi Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep178/PJ/2004 tentang Cetak Biru (Blue Print) Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2001 sampai dengan 2010, tanggal 22 Desember 2004.
20

80 dilakukan untuk mengungkapkan suatu kondisi yang tidak jujur. 21 Kegiatan ini dapat dilakukan antara lain dengan: 1. Pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai indikasi melakukan kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak baik penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan maupun Faktur Pajak Keluaran dalam rangka memohon restitusi maupun kompensasi Pajak Pertambahan Nilai. Perlu ditekankan apakah barangbarang dalam Faktur Pajak benar-benar dijual dengan melakukan pemeriksaan kepada catatan bukti penyerahan barang dan tidak hanya dengan konfirmasi. Dengan kata lain dilakukan pemeriksaan secara acak terhadap Pajak Keluaran disamping Pajak Masukan yang sudah sering biasa dilakukan dalam pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai. 2. Penelitian dan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya sangat fluktuatif dan mempunyai deviasi sangat besar terlebih jika Pengusaha Kena Pajak tersebut memohon restitusi atau kompensasi. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang melakukan kompensasi terus-menerus disamping yang sering memohon restitusi juga harus dilakukan karena potensi penyimpangan terhadap Wajib Pajak yang melakukan kompensasi tersebut juga sama besarnya. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang sering melakukan kompensasi tersebut juga harus memperhatikan tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan

21

Ibid.

81 dari Wajib Pajak terhadap jenis pajak lainnya seperti Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25 serta Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang sering menjadi rekanan pemerintah perlu dilakukan equalisasi antara Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 25 dengan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, perlu dinilai kewajaran apakah jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang disetor ke Kas Negara sudah benar. Hal ini terutama terhadap Pengusaha Kena Pajak di daerah, karena penyalahgunaan sering terjadi. 4. Kebanyakan proses penyelesaian permohonan restitusi hanya dilakukan melalui Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) dimana kegiatan PSK ini hanya lebih bersifat penelitian bukan pemeriksaan yang mendalam. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih mendalam misalnya dengan melakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) agar hasil pemeriksaan lebih akurat dan dapat mengetahui ada tidaknya kecurangan yang dilakukan Wajib Pajak. 5. Pemeriksaan tidak hanya dilakukan pada masa-masa akhir pada suatu tahun pajak seperti yang sudah sering dilakukan karena beban pemeriksaan pada akhir tahun pajak sangat berat dan hal ini akan mempermudah Pengusaha Kena Pajak untuk melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka memohon restitusi atau kompensasi. 6. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang tergabung dalam satu kelompok usaha untuk mencari adanya kemungkinan penyelundupan pajak baik Pajak

Pertambahan Nilai maupun Pajak Penghasilan.

82 7. Pemeriksaan terhadap permohonan restitusi melalui mekanisme ekspor perlu lebih mendalam karena hal ini berkaitan dengan dokumen yang harus diperiksa yang lebih banyak dan kompleks. Kebenaran dokumen ekspor yang dilampirkan harus diperiksa kebenarannya dengan melakukan konfirmasi dengan pihak yang berkaitan. Beberapa dokumen ekspor yang harus dilakukan pemeriksaan adalah PEB, Letter of Credit (L/C), Bill of Lading (B/L), Price List, Packing List, Dokumen Surveyor, Surat Sertifikasi dari Departemen Perdagangan atau Departemen Perindustrian atau Departemen Kehutanan, Nota Kredit dari Bank, Invoice, Kontrak Penjualan, Kuota, dan Biaya Muat untuk menguji kebenaran transaksi ekspor. c. Pada bab II telah disebutkan bahwa Faktur Pajak dapat digunakan sebagai alat pengawasan dalam penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini sangatlah penting karena Faktur Pajak merupakan sarana utama dalam mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai dan sebagai alat kelengkapan untuk memohon restitusi atau kompensasi. Kebenaran material dalam Faktur Pajak sangat penting, oleh karena itu pengawasan dimulai dari proses penerimaan sampai dengan proses perekaman agar data yang dimasukkan ke dalam sistem perpajakan benar-benar valid. Kantor Pelayanan Pajak terutama seksi Pajak Pertambahan Nilai sering menggunakan tenaga honorer untuk melakukan perekaman Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, hal ini dapat juga menjadi salah satu penyebab adanya penyalahgunaan dalam rangka

83 restitusi, harus ada pengawasan terutama pemberian login dan password kepada tenaga honorer itu. Sebab hal ini juga menyangkut kerahasiaan negara dan juga kerahasiaan negara menjaga data dari Wajib Pajak. Dengan data yang valid akan mempermudah dalam melakukan proses konfirmasi terhadap kebenaran Faktur Pajak jika terdapat permohonan restitusi atau kompensasi dari Pengusaha Kena Pajak sehingga jangka waktu penyelesaian dapat segera terpenuhi. d. Sistem konfirmasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan di Direktorat Jenderal Pajak sekarang ini sudah dilakukan secara langsung antar Kantor Pelayanan Pajak (on-line system). Hal ini sudah menjadi suatu kebutuhan dimana dengan sistem teknologi informasi yang berkembang pesat maka kegiatan konfirmasi juga dapat lebih dipercepat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan sistem konfirmasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan secara on-line ini benar-benar sudah dioptimalkan? Sekarang ini data yang direkam hanyalah untuk Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah diatas Rp 200.000,00 sedangkan yang wajib dilakukan konfirmasi dalam rangka restitusi adalah Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah di atas Rp 500.000,00. Hal ini tentu akan menimbulkan pemborosan dalam space kapasitas penyimpanan data karena Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah antara Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00 tidak akan dikonfirmasi. Belum lagi jika Pengusaha Kena Pajak sengaja memecah nilai nominal Pajak Pertambahan Nilai menjadi di bawah

84 Rp 200.000,00 sehingga tidak akan terekam dalam sistem dan jika Pengusaha Kena Pajak tersebut melakukan restitusi atau kompensasi tentu dengan mudah akan terlewatkan karena banyak data yang tidak terekam. Oleh karena itu sebaiknya perlu kebijakan yang sama antara jumlah yang direkam dengan jumlah yang dikonfirmasikan. Salah satu cara untuk memudahkan perekaman sekarang ini adalah penggunaan media elektronik sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai terutama untuk Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai volume transaksi sangat besar (atau disebut e-filling) dimana otomatis dari hasil pembukuan Pengusaha Kena Pajak akan masuk ke dalam lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini akan sangat membantu fiskus dan meminimalisasi adanya penyalahgunaan Faktur Pajak dan mempercepat pencarian data serta memudahkan administrasi. Tetapi tidak semua Pengusaha Kena Pajak terkomputerisasi pembukuannya bahkan yang sudah terkomputerisasi terkadang tidak sinkron dengan komputer di Kantor Pelayanan Pajak. Oleh karena itu sebaiknya pihak Direktorat Jenderal Pajak membuat program perekaman Surat Pemberitahuan Masa dan dibagikan secara gratis kepada para Pengusaha Kena Pajak serta cara penggunaannya. Program ini juga harus disertai alat kontrol agar Pengusaha Kena Pajak yang akan menyalahgunakan Faktur Pajak tidak dapat melakukannya.

85 Selain proses konfirmasi terkadang perlu dilakukan proses klarifikasi jika jawaban konfirmasi menunjukkan ketidaklengkapan, sebaiknya hal ini juga dapat dilakukan secara on-line karena dalam praktik sering proses klarifikasi ini memakan waktu yang lama sehingga terkadang jangka waktu penyelesaian restitusi atau kompensasi menjadi sempit atau terlampaui. e. Pengawasan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai-nya melalui sistem e-filing karena bukan tidak mungkin dapat terjadi penyalahgunaan melalui sistem ini. Harus terdapat pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap sistem ini, karena di masa yang akan datang akan banyak Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan sistem ini dan untuk mencegah adanya kebocoran penerimaan negara. f. Banyak kasus penyalahgunaan Faktur Pajak melibatkan fiskus baik dalam rangka administrasi maupun pada saat pemeriksaan. Hal ini menunjukkan mental yang tidak baik dari fiskus dan akan semakin mengurangi kepercayaan dari masyarakat kepada fiskus yang sudah bersikap antipati sebelumnya. Oleh karena itu, profesionalisme fiskus dalam melaksanakan pekerjaannya harus ditingkatkan. Kontak langsung dengan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sebisa mungkin dikurangi dan hanya untuk pembahasan yang penting saja, hal ini agar independensi fiskus tetap terjaga dan tidak terpengaruh dalam pengambilan keputusan baik untuk pekerjaan saat ini maupun untuk masa yang akan datang.

86 g. Hampir setiap tahun terjadi penyalahgunaan Faktur Pajak baik dalam rangka restitusi maupun kompensasi. Kejadian yang lebih sering terjadi dan sering diekspos oleh media kebanyakan adalah kasus restitusi fiktif dengan jumlah yang sangat besar. Jumlah ini akan bertambah besar jika tidak adanya kerjasama antar Kantor Pelayanan Pajak untuk menangulangi permasalahan ini dan mengamankan penerimaan negara dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu perlu segera dilakukan penyebarluasan informasi mengenai adanya tindak kejahatan ini dan modus operandi yang sering dilakukan. Meskipun restitusi fiktif lebih sering diberitakan sangat merugikan keuangan negara tetapi kompensasi fiktif juga sangat perlu diwaspadai karena bukannya tidak mungkin jumlah kompensasi fiktif bisa sama besar dengan restitusi fiktif. Walaupun uang negara tidak masuk ke kantong Pengusaha Kena Pajak nakal tetapi hal ini sama saja merugikan keuangan negara karena seharusnya penerimaan negara bertambah. h. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap kejahatan penyalahgunaan Faktur Pajak. Hal ini untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sanksi hukuman yang telah diatur harus ditegakkan baik kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan tindakan kejahatan maupun kepada fiskus yang ikut serta memberikan kemudahan terhadap penyalahgunaan ini. Meskipun penegakan hukum di Indonesia dengan adil merupakan hal yang sangat sulit tapi hal ini menjadi suatu kewajiban. Berkaitan dengan tindakan kejahatan menyalahgunakan Faktur Pajak maupun jenis kejahatan perpajakan lainnya sebaiknya dikenakan sanksi hukuman yang berlapis

87 agar membuat jera para pelakunya dan mencegah adanya perbuatan yang sama dikemudian hari. Pengenaan hukuman berkaitan dengan kejahatan perpajakan dapat pula dikenakan sanksi hukuman yang berlapis yaitu selain melalui Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur mengenai sanksi dan/atau denda administrasi serta sanksi pidana, dapat juga dikenakan sanksi sesuai dengan Undangundang Korupsi karena kejahatan perpajakan merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah: 1. Kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai melalui penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan salah satu kejahatan perpajakan. Kejahatan perpajakan timbul karena adanya niat dan kesempatan. Niat berasal dari diri Wajib Pajak atau dorongan dari pihak lain sedangkan kesempatan timbul karena adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan serta kejadian atau perbuatan berulang-ulang yang tidak diketahui. 2. Kejahatan perpajakan khususnya penyalahgunaan Faktur Pajak dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai umumnya melibatkan beberapa pihak. Salah satunya seringkali melibatkan oknum-oknum fiskus untuk memperlancar kegiatannya. Keterlibatan dari oknum-oknum fiskus tersebut dapat secara langsung terlibat dengan kegiatan Pengusaha Kena Pajak untuk menyalahgunakan Faktur Pajak atau melalui pemberian saran, bantuan administrasi, memperlancar dan mempermudah proses restitusi maupun kompensasi (dari proses penelitian, pemeriksaan, sampai dengan pencairan restitusi Pajak Pertambahan Nilai). Pemberian informasi oleh oknum fiskus mengenai kelemahan sistem konfirmasi juga dapat dijadikan sarana untuk memudahkan adanya manipulasi restitusi.

88

89 3. Proses konfirmasi sebagai pendukung utama dalam rangka pemeriksaan untuk restitusi Pajak Pertambahan Nilai kurang dioptimalkan penggunaannya. Kurang optimalnya proses konfirmasi bisa dikarenakan data yang sering tidak lengkap atau karena kualitas sumber daya manusia yang berbeda-beda untuk tiap kantor yang menyebabkan proses konfirmasi juga klarifikasi berjalan kurang lancar. 4. Kerugian negara yang diakibatkan kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai melalui penyalahgunaan Faktur Pajak sangat besar. Bahkan lebih besar dari jumlah yang tercantum dalam Faktur Pajak fiktif. Kerugian negara ini tidak hanya dari jenis Pajak Pertambahan Nilai tetapi juga jenis Pajak Penghasilan. Dengan tarif progresif yang diterapkan untuk Pajak Penghasilan bukan tidak mungkin kerugian negara dari jenis pajak ini lebih besar dari Pajak Pertambahan Nilai yang hanya menerapkan tarif tunggal 10%. 5. Ancaman sanksi hukuman terhadap kejahatan perpajakan yang terkadang dalam penerapannya lebih ringan membuat para pelaku cenderung untuk mengulanginya. Penegakan hukum terhadap pelaku kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang diekspos keluar biasanya hanya yang menyangkut restitusi fiktif yang jumlahnya besar. Jarang sekali adanya kasus kompensasi fiktif yang diungkapkan, karena bukan tidak mungkin kasus restitusi fiktif yang terkadang diungkapkan hanyalah puncak gunung es dari berbagai macam kasus kejahatan perpajakan. 6. Profesionalisme dari fiskus sering menjadi pertanyaan masyarakat terutama berkaitan dengan restitusi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa restitusi menjadi salah satu

90 sumber utama bagi oknum fiskus untuk meminta imbalan atau gratifikasi. Jika ingin proses penyelesaian restitusi dipercepat maka biasanya oknum fiskus akan meminta imbalan untuk proses tersebut. Hal ini merupakan sumber dari salah satu penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka proses restitusi. B. Saran Saran yang penulis coba berikan dari pembahasan mengenai permasalahan penyalahgunaan Faktur Pajak ini antara lain: 1. Adanya persamaan pandangan untuk setiap Kantor Pelayanan Pajak dalam penerapan sistem konfirmasi Faktur Pajak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ.2001 tanggal 26 Desember 2001 mengenai Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan. Sistem konfirmasi Faktur Pajak ini juga harus lebih dioptimalkan penggunaannya agar dapat lebih memuaskan semua pihak dan utamanya dapat mengamankan penerimaan negara. Perlu juga diatur sanksi yang diberikan apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ.2001 tanggal 26 Desember 2001, sehingga akan lebih meningkatkan ketertiban pelaksanaannya. 2. Penyuluhan Pajak Pertambahan Nilai khususnya mengenai permasalahan restitusi Pajak Pertambahan Nilai perlu lebih ditingkatkan agar Wajib Pajak lebih mengerti mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Hal ini perlu

91 dilakukan agar Wajib Pajak lebih nyaman dalam memohon restitusi sehingga penyalahgunaan Faktur Pajak dapat diminimalisasi dan dihilangkan. 3. Penggalian potensi perpajakan khususnya pengukuhan Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak perlu dilakukan dengan hati-hati dan ditingkatkan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar penerimaan negara dapat lebih meningkat tetapi juga tidak terjadi kebocoran seperti adanya restitusi fiktif. Oleh karena itu pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan secara selektif dan hati-hati untuk menghindari adanya kebocoran. 4. Pengamanan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan dengan memberikan data yang akurat dan valid mengenai transaksi yang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 telah dipungut. Pajak Penghasilan Pasal 22 ini dapat digunakan sebagai data pembanding apakah Pajak Pertambahan Nilai yang dilaporkan telah sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. 5. Pemeriksaan pajak khususnya yang berkaitan dengan restitusi agar lebih profesional. Hal ini perlu karena restitusi merupakan salah satu sumber utama kebocoran penerimaan negara. Semua prosedur pemeriksaan harus dilakukan dengan benar dan dilakukan oleh fiskus yang mempunyai cukup pengetahuan. 6. Penegakan hukuman disiplin terhadap oknum fiskus yang melakukan kejahatan perpajakan harus dilakukan dengan tegas oleh Direktorat Jenderal Pajak sehingga menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan yang berniat melakukannya.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Tempat/Tanggal Lahir Agama Alamat

: Arisna Hendrawan : Jombang, 29 Oktober 1973 : Islam : Jalan Basuki Rahmad Gg II No. 4 Rt 4/1 Jabon, Kab. Jombang

Nama Ibu Nama Ayah Pendidikan

Surmini (Almh.) : Soebowo (Alm.) : 1. D IV Akuntansi, 2004-2006 2. Ajun Akuntan dengan Kurikulum Khusus, 2002 3. Pembantu Akuntan, 1998 4. Prodip III Keuangan Spesialisasi Anggaran, 1996 5. SMA Negeri II Jombang, 1992 6. SMP Negeri I Jombang, 1989 7. SD Negeri Kepanjen II Jombang, 1986

Pengalaman Kerja

: 1. Pelaksana KPP Padang Sidempuan (1996 s.d. 1997) 2. Pelaksana KPP Surabaya Krembangan (1998 s.d. 2000) 3. Pelaksana KPP Palembang Ilir Barat (2002 s.d. 2004)

Вам также может понравиться