Вы находитесь на странице: 1из 2

Menunggu Proaktif Panwaslu

Oleh : Muhammad Sholeh*)

Faj bin Ml, remaja berusia 18 tahun tertunduk lesu di kursi pesakitan Pengadilan
Negeri Bireuen Nangro Aceh Darussalam. Gara-gara merusak baliho salah satu Caleg,
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut warga Cot Rabo Tunong Kecamatan Peusangan
tersebut dengan ancaman 6 bulan penjara dan denda 6 juta rupiah. Perbuatan sepele yang
kelak akan merampas sekian waktu kebebasannya.
Belas kasih belum benar-benar kering sebetulnya. Hati ini cukup bisa ikut merasakan
kesedihan remaja yang seharusnya menghabiskan waktu di bangku sekolah itu. Senda
gurau dengan teman saat jajan, keriangan saat loceng pulang berdentang atau saat malu
dimarahi ibu guru, untuk beberapa waktu musnah begitu saja akibat perbuatan yang
sebenarnya mudah dimaafkan.
Namun UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu terlanjur menjeratnya. Walaupun langit
runtuh hukum harus ditegakkan, demikian adagium yang berlaku di dunia hukum.
Kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa supremasi hukum hanyalah mimpi. Demokrasi
yang dicita-citakan dan sedang kita bangun bersama saat ini, mengharuskan penegakan
pilar-pilarnya meski harus mengorbankan anak ingusan. Terima kasih Gakkumdu dan
Panwaslu Kabupaten Bireuen. Maaf dan harap maklum, Faj bin Ml.
Kisah yang kurang lebih sama juga terjadi di luar Aceh. Karena keseriusan Panwaslu
dan Gakkumdu di wilayahnya, beberapa orang harus duduk di depan meja hijau atas
dugaan pidana Pemilu. Tonaji warga Pakusari Jember divonis 4 bulan dan denda 4 juta
rupiah. Seorang guru PNS, Ahmad Fahrurazi di Mataram, harus menjalani hukuman 3
bulan dan denda 3 juta rupiah. Juga Mubalighul Haq, PNS kota Bima, pegawai PPL
berinisial M warga Kediri, dan banyak lainnya.
Hingga Rabu, 16 Apirl 2009, Panwaslu Bali mencatat sedikitnya 14 pelanggaran
Tipilu berupa politik uang. Hanya satu yang berhasil diseret ke meja hijau. Lainnya,
gugur di tengah jalan karena tidak ada saksi yang bersedia memberikan keterangan.
Angka yang cukup kecil sebenarnya, tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa proses
pengawasan berjalan di sana.
Kasus serupa juga terjadi di Sidoarjo. Usaha pembuktian tindakan pidana Pemilu juga
kandas. Oleh pengadilan negeri, Mahmudatul Fatchiyah, Caleg DPRD setempat
dibebaskan dari segala tuntutan. Banyak yang menuding itu layaknya sandiwara, tapi
tidak masalah. Pengadilan memiliki alur logika sendiri dan Panwaslu serta Gakkumdu di
sana terbukti tidak diam.
Sia-sia? Sama sekali tidak! Hasil akhir dari penanganan kasus Tipilu oleh Panwaslu
dan implementasi tugas serta kewajiban Panwaslu -sebagaimana diatur dalam UU
10/2008 dan Peraturan Bawaslu No. 4 tahun 2008 tentang Mekanisme Pengawasan-
adalah dua hal yang berbeda. Kerja penanganan Panwaslu ada pada proses, sementara
hasil akhirnya, biarkan nanti pengadilan yang menentukan.
Di Jombang, kesungguhan ke arah penyelesaian pelanggaran belum terlihat memadai.
Kasus distribusi LPG program konversi minyak tanah yang di tumpangi dengan alat
peraga kampanye salah satu Caleg, tidak terdengar kabar beritanya. Paling baru, kasus
beredarnya video pemungutan suara di TPS I Desa Sumbernongko Kecamatan Ngusikan
yang menggambarkan adanya pelanggaran, cukup diselesaikan dengan cara pemungutan
suara ulang. Ada kesan usaha membawa kasus Sumbernongko ke tindak pidana pemilu
berjalan setengah hati.
Hingga hari ke lima sejak diajukannya laporan, Panwaslu bahkan belum bisa
memastikan ada tidaknya Tipilu dalam kasus tersebut. Menurut pasal 247 ayat (7) UU
10/2008, batas waktu maksimal yang dimiliki Panwaslu untuk mengkaji suatu kasus
adalah 5 hari. Dengan demikian, tertutuplah pintu tindaklanjut Tipilu Sumbernongko.
Hal lain yang mengesankan Panwaslu setengah hati dalam menangani dugaan Tipilu
dalam kasus Sumbernongko, terlihat pada ketergantungannya terhadap prosedur
pelaporan. Padahal, menurut Perbawaslu No. 4/2008 tidak seperti itu. Ayat (1) item (19)
menyebutkan, maksud dari istilah temuan yang nantinya ditangani Panwaslu adalah hasil
pengawasan yang didapat secara langsung maupun tidak langsung berupa data atau
informasi tentang dugaan terjadinya pelanggaran Pemilu. Dari perspektif tersebut,
sebenarnya Panwaslu cukup memiliki ruang untuk pro aktif.
Semangat kerja yang berorientasi pada terlaksananya Pemilu yang berkualias menjadi
tanggung jawab besar Panwaslu. Oleh karena itu, seperti diamanatkan oleh Perbawaslu
No. 4/2008 pasal (3), Panwaslu harus bisa menjamin terselenggaranya Pemilu secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil. Juga, berkualitas serta tidak melenceng dari
peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu.
Dari sini, ketegasan bertindak mutlak diperlukan untuk menjamin kepatuhan warga
negara terhadap peraturan perundangan. Pertimbangan lain juga perlu, misalnya
kondusifitas dan stabilitas. Namun, keduanya tidak boleh mengalahkan kepentingan
penegakan hukum dan keadilan. Mengedepankan kondusifitas dan stabilitas sama halnya
mengembalikan perjalanan bangsa ini ke masa lampau. Dominasi keduanya akan
melahirkan kesengsaraan yang terulang bagi bangsa ini. Pembungkaman hak berpendapat
dan cengkeraman militer atas kedaulatan sipil, adalah sedikit contoh hasil dari teori
stabilitas. Wallahua'lamu Bishawab.

*) Penulis adalah kader muda NU dan Sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten
Jombang (http://www.caksholeh.blogspot.com)

Вам также может понравиться