Вы находитесь на странице: 1из 23

REFERAT

OBAT PENINGKAT NAFSU MAKAN (APPETITE ENHANCER) PADA GERIATRI

Oleh: Dwi Prasetyo N. Niawati Rokhaniah Maulia Prismadani Wildan Syamsudin F. (G9911112057) (G9911112104) (G9911112093) (G9911112143)

Pembimbing :

Dr. Fatichati B., SpPD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Proses menua pada manusia merupakan suatu proses alamiah yang tak terhindarkan, dan menjadi manusia lanjut usia (lansia) yang sehat merupakan suatu rahmat. Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya penurunan secara perlahan fungsi tubuh dan menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki, mengganti diri, dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Penuaan pada manusia ditandai dengan kehilangan lean body mass yang biasanya sudah dimulai sejak usia 40 tahun disertai dengan menurunnya metabolisme basal sebesar 2% yang kemudian disertai dengan perubahan pada semua sistem dalam tubuh manusia (Soegondo, et al., 2008). Seiring dengan proses penuaan, maka kondisi kesehatan tubuh juga akan semakin menurun. Muncul banyak kemunduran dan kelemahan fisik maupun psikis pada lansia yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I, yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar), intellectual impairment (gangguan intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), impotence (impotensi) dan inanition (malnutrisi). Inanition (malnutrisi) merupakan salah satu masalah yang paling sering ditemui pada usia lanjut. Malnutrisi atau kurang gizi yang dihadapi lansia berkaitan erat dengan menurunnya aktivitas biologis tubuhnya. Salah satu penyebab kurangnya asupan gizi pada usia lanjut adalah adanya penurunan nafsu makan (anoreksia). Nafsu makan yang berkurang pada

usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak hal, termasuk sakit, penurunan indera perasa, pembau, maupun karena depresi (Setiati, et al., 2006). Penurunan nafsu makan yang berkepanjangan harus segera diatasi karena dapat mempengaruhi status nutrisi pasien usia lanjut dan menyebabkan malnutrisi. Oleh karena itu diperlukan pemberian obat peningkat nafsu makan pada pasien usia lanjut yang mengalami anoreksia. Pemberian obat peningkat nafsu makan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya. Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada hasil uji klinik yang secara khusus di desain untuk pasien usia lanjut (Setiati, et al., 2006). Penulisan referat ini bertujuan untuk membahas obat peningkat nafsu makan yang aman untuk geriatri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Geriatri Membicarakan fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dari konsep homeostenosis yang diperkenalkan oleh Wallter Cannon pada tahun 1940. Homeostenosis merupakan keadaan penyempitan

(berkurangnya) cadangan homeostatis yang terjadi seiring meningkatnya usia pada setiap sistem organ. Dengan makin berkurangnya cadangan fisiologis maka seorang usia lanjut lebih mudah untuk mencapai suatu ambang yang dapat berupa keadaan sakit atau kematian (Setiati et al., 2006). Setiap individu tidak menua secara seragam, baik cara maupun laju kecepatannya. Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang berbeda, sebagian orang mengalami kehilangan fungsi sekitar 1% per tahun (Setiati et al., 2006). Proses menua merupakan sebuah waktu untuk berbagai kehilangan, antara lain kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata pencaharian, kehilangan teman atau keluarga. Pada proses ini, individu merasakan adanya ketakutan dan kecemasan (Setiati et al., 2006). Proses menua dapat terlihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut. Perubahan secara biologis ini dapat mempengaruhi status gizi pada masa tua, antara lain (Guyton and Hall, 2006): 1. Massa otot yang berkurang dan massa lemak yang bertambah, mengakibatkan juga jumlah cairan tubuh yang berkurang, sehingga kulit kelihatan mengerut dan kering, wajah keriput serta muncul garisgaris menetap. Oleh karena itu, pada lansia seringkali terlihat kurus. 2. Penurunan indera penglihatan akibat katarak pada lansia sehingga dihubungkan dengan kekurangan vitamin A, vitamin C dan asam folat.

Sedangkan gangguan pada indera pengecap dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn yang juga menyebabkan menurunnya nafsu makan. Penurunan indera pendengaran terjadi karena adanya kemunduran fungsi sel syaraf pendengaran. 3. Dengan banyaknya gigi yang sudah tanggal, mengakibatkan gangguan fungsi mengunyah yang dapat berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanjut. 4. Penurunan mobilitas usus, menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan, serta susah BAB yang dapat menyebabkan wasir. 5. Kemampuan motorik menurun, selain menyebabkan menjadi lamban, kurang aktif dan kesulitan menyuap makanan, juga dapat mengganggu aktivitas kegiatan sehari-hari. 6. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak, yang menyebabkan penurunan daya ingat jangka pendek, melambatnya proses informasi, kesulitan berbahasa, kesulitan mengenal benda-benda, kegagalan melakukan aktivitas yang mempunyai tujuan (apraksia) dan gangguan dalam menyususn rencana, mengatur sesuatu, mengurutkan, daya abstraksi, yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang disebut demensia atau pikun. Gejala pertama adalah pelupa, perubahan kepribadian, penurunan kemampuan untuk pekerjaan sehari-hari dan perilaku yang berulang-ulang, dapat juga disertai delusi paranoid atau perilaku anti sosial lainnya. 7. Akibat proses menua, kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar juga bekurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran natrium sampai dapat terjadi hiponatremia yang menimbulkan rasa lelah. 8. Incontinentia urine (IU) adalah pengeluaran urin diluar kesadaran merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar yang sering diabaikan pada kelompok usia lanjut, sehingga usia lanjut yang mengalami IU seringkali mengurangi minum yang dapat menyebabkan dehidrasi.

9. Secara psikologis pada usia lanjut juga terjadi ketidakmampuan untuk mengadakan penyesuaian terhadap situasi yang dihadapinya, antara lain sindrom lepas jabatan yang mengakibatkan sedih yang berkepanjangan. Pada geriatri, seringkali pasien merasakan depresi. Freud dan Karl Abraham menyatakan bahwa kejadian depresi pada geriatri dapat disebabkan oleh karena kehilangan objek dicinta. Selain itu ada juga obatobatan yang dapat menyebabkan depresi misalnya pada golongan analgetik (kodein dan morfin), OAINS (ibuprofen, naproksen,

danindometasin), antihipertensi (klonidin, proponolol, kaptopril), dan sebagainya. Keadaan depresi dapat menimbulkan penurunan nafsu makan dan penurunan libido pada pasien (Setiati et al., 2006).

B. Fisiologi Selera Makan Fisiologi selera makan pada manusia merupakan suatu hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain system saraf, endokrin, psikososial, dan faktor lainnya. Batasan istilah lapar adalah sensasi keinginan terhadap makanan dan berhubungan dengan efek fisiologis lain, seperti kontraksi ritmis pada lambung dan rasa gelisah sehingga menuntut ketersediaan makanan yang adekuat. Selera makan adalah hasrat untuk makan, dan sangat berguna dalam menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang akan dimakan. Kenyang adalah sensasi yang dirasakan jika keinginan untuk makan telah dipenuhi (Sari, 2007). 1. Regulasi Sistem Saraf dan Biokimia Terhadap Pengambilan Makan Sistem saraf berperan penting dalam fisiologi selera makan. Ada banyak daerah pada otak yang merupakan pusat-pusat selera makan, serta saraf-saraf tepi yang merupakan jaras untuk menyampaikan sinyal dari jaringan ke system saraf pusat dan sebaliknya. Hipotalamus adalah pusat pengendali selera makan terbesar. Ada dua daerah pada hipotalamus yang merupakan pusat penting, nucleus ventromedial (Sari, 2007). nucleus lateralis dan

a. Nukleus lateralis terletak di setiap sisi lateral hipotalamus dan berperan sebagai pusat lapar. Nukleus ini bekerja dengan cara mendorong sel saraf motorik untuk mencari makanan. Stimulasi di daerah ini akan menyebabkan makan dalam jumlah banyak (hiperfagia), sedangkan destruksi di daerah ini menyebabkan kehilangan selera makan, yang dapat berujung pada kehilangan berat badan, massa otot, dan penurunan metabolisme tubuh. b. Nukleus ventromedial adalah pusat kenyang. Stimulasi di daerah ini akan menyebabkan perasaan kenyang sehingga tidak mau makan (afagia), sebaliknya destruksi di daerah ini akan menyebabkan hasrat untuk makan yang berlebih dan dapat berakibat obesitas.

Gambar 1. Area respon makan pada hypothalamus (Sari, 2007).

Daerah lain pada otak yang berperan dalam pengaturan selera makan adalah nukleus paraventrikular, nukleus dorsomedial, dan nukleus arkuata pada hipotalamus. Lesi pada nukleus paraventrikular

mengakibatkan makan dalam jumlah berlebih, sedangkan lesi pada nukleus dorsomedial menyebabkan tidak mau makan. Adapun nukleus arkuata merupakan daerah di mana hormon-hormon berpusat dan dikoordinasikan untuk mengatur pengambilan makanan. Batang otak juga berperan dalam pengambilan makanan. Dalam hal ini batang otak lebih ke arah mekanisme makan, seperti sekresi air liur, menjilat, mengunyah, menelan dll. Adapun daerah lain pada otak yang berperan dalam pengambilan makanan adalah amygdala dan korteks prefrontalis. Keduanya berperan dalam penginderaan bau makanan. Lesi pada amygdala dapat meningkatkan selera makan namun dapat juga menurunkannya, bergantung kepada daerah lesi itu sendiri. Salah satu efek penting dari kerusakan di daerah amygdala adalah kebutaan psikis, dimana penderita mengalami kendala selera makan parsial dan tidak bisa menentukan jenis/kualitas makanan yang dimakannya (Sari, 2007). Pada daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, neurotransmitter dan hormon memegang peranan penting. Substansi biokimia tersebut yang menentukan apakah selera makan akan dihambat (kenyang) atau dicetuskan (lapar). Untuk itu dikenal pengkategorian sebagai berikut (Sari, 2007): a. Substansi orexigenic, yaitu substansi yang mencetuskan rasa lapar b. Substansi anorexigenic, yang menghambat selera makan (dengan kata lain, kenyang). Neuron yang menghambat selera makan adalah neuron

proopiomelanocortin (POMC), dimana substansi yang diproduksinya adalah I-melanocyte-stimulating hormone (I-MSH) bersama dengan cocaine-and-amphetamine-related bersifat anorexigenic. transcript (CART). Keduanya factor, 5-

Corticotropin

releasing

hydroxytriptamine (serotonin) dan isatine juga menghambat nafsu makan. Corticotropin releasing factor merupakan factor anorexigenic paling kuat.

Sedangkan substansi yang mencetuskan rasa lapar adalah neuropeptide Y (NPY) dan agouti-related protein (AGRP). Keduanya bersifat orexigenic. Selain itu, neurotransmitter seperti norepinefrin (menstimulus reseptor gamma amino butirat acid) dan nitric oxide synthase / NO-synthase (melalui mekanisme di system saraf pusat) juga mencetuskan rasa lapar (Soejono, 2003). Neuron POMC bekerja dengan cara melepas I-MSH yang akan berikatan dengan reseptor melanocortin (MCR) pada nukleus paraventrikular. Aktivasi pada MCR akan mengurangi pengambilan makanan dan meningkatkan pemakaian energi, sebaliknya inhibisi (defek) akan meningkatkan pengambilan makanan dan mengurangi pemakaian energi sehingga dapat menyebabkan obesitas (khusus untuk peningkatan pemakaian energy). MCR bekerja diperantarai oleh nucleus tractus solitarius dan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis. AGRP, yang bersifat orexigenic, adalah antagonis alami dari MCR. Dengan demikian, AGRP bekerja dengan cara menginhibisi efek dari MCR dan meningkatkan pengambilan makanan.

Pembentukan AGRP yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas (Sari, 2007). NPY, yang juga bersifat orexigenic, dilepaskan dari nukleus arcuata. NPY dilepaskan ketika simpanan energi menurun, dan di saat bersamaan aktivitas POMC dihambat sehingga mengurangi aktivitas melanocortin dan meningkatkan pengambilan makanan. Tabel 1. Substansi yang mempengaruhi pusat rasa lapar dan kenyang di Hipotalamus (Guyton and Hall, 2006).

Hipotalamus (nucleus paraventrikular dan ventromedial)

Nucleus dekat ventrikel ke 4

Endogenous opioid

Neuropeptide Y

Corticotropin releasing factor

Galanine Norepinefrin

Serotonin

NO

MCH

Isatin

Stimulus

Inhibisi

Sentral
Nafsu Makan

Perifer
Stimulus Inhibisi

Satiatin Relaksasi fundus

Nucl.Tr. Solitarius hipotalamus Citokine Amili n Leptin Glucosa Pilorus (naik) NX

A dipsin

NO

Body Fat

RA,CA, AIDS

CC K

Testosteron (naik)

Appetite gene

Gambar 2. Appetite Control (Soejono, 2003)

2. Faktor yang Meregulasi Kuantitas Pengambilan Makanan Berdasarkan Pemeliharaan Simpanan Energi pada Tubuh Regulasi kuantitas pengambilan makanan dapat dibagi menjadi (Sari, 2007; Soejono, 2003): a. Regulasi jangka pendek yang bertujuan untuk mencegah seseorang makan terlalu banyak dalam suatu kesempatan demi optimalisasi sistem pencernaan. Dengan demikian maka sistem perncernaan dapat bekerja secara optimal dalam mengolah dan menyerap sari makanan. Jika hanya mengandalkan sinyal yang dihasilkan oleh simpanan energi (regulasi jangka panjang) maka perlu waktu yang sangat lama untuk menghentikan seseorang makan. Oleh karena itu, regulasi jangka pendek melibatkan mekanisme yang mampu bekerja dengan cepat dalam menstimulasi dan menginhibisi selera makan. 1) Inhibisi akibat pengisian lambung. Ketika makanan masuk ke lambung maka lambung akan mengalami distensi. Peregangan (mekanik) yang terjadi ini menyebabkan sinyal ditransmisikan melalui nervus vagus ke pusat kenyang-lapar sehingga selera makan akan berkurang atau hilang. 2) Inhibisi yang disebabkan hormon gastrointestinal.

Kolesistokinin (CCK) adalah hormon yang dilepaskan ketika lemak memasuki duodenum. CCK ini akan menurunkan selera makan dengan cara mengaktivasi jaras melanokortin. Peptide YYA (PYY) adalah hormon yang dilepaskan oleh traktus gastrointestinal (khususnya ileum dan kolon) yang bersifat menekan rasa lapar. Pengeluaran hormon PYY ini dipengaruhi oleh jumlah kalori yang dicerna dan komposisi makanan, di mana semakin banyak lemak yang masuk semakin banyak hormon PYY yang dikeluarkan. b. Regulasi jangka panjang yang bertujuan memelihara simpanan energi secara konstan dalam waktu yang relatif lama dan erat kaitannya dengan status gizi.

Gambar 3. Mekanisme kontrol umpan balik nafsu makan (Guyton and Hall, 2006)

C. Penurunan Nafsu Makan pada Geriatri Berkurangnya asupan makanan pada geriatri secara fisiologi dapat disebabkan oleh beberapa hal. Perubahan komposisi tubuh (kehilangan massa otot) menyebabkan penurunan kalori seiring dengan bertambahnya usia. Dengan begitu, aktivitas fisik juga akan berkurang. Semakin berkurangnya massa tubuh maka akan mengurangi rerata metabolisme basal dan energy makanan. Berkurangnya metabolisme basal pada usia lanjut disebabkan oleh adanya reduksi ion Na+, K+, ATPase, dan sedikit penurunan triiodothyronine (Kehayias, 2002; Bayling DJ, 1999). Kurangnya asupan makanan karena anoreksia bisa disebabkan oleh gigi dan gusi yang sudah tidak utuh, berkurangnya daya pengecap dan penciuman, berkurangnya endogenous opioid, rasa cepat kenyang akibat peningkatan CCK, gerakan lambung yang lambat dan penurunan kadar NO di daerah fundus.

Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami anoreksia, bisa disebabkan karna faktor sosial, psikologi, dan kesehatan. Faktor social yang paling banyak menyebabkan anoreksia adalah kemiskinan. Faktor psikologi yang paling sering menyebabkan anoreksia pada geriatric adalah depresi. Demensia atau penurunan fungsi kognitif juga menyebabkan pasien usia lanjut menjadi sering lupa, bahkan lupa apakah dirinya sendiri sudah makan atau belum. Sulit menelan dan obat-obat dementia sering menyebabkan intake makanan pasien dementia berkurang (Rumawas, 1994; Soejono, 2003). Anoreksia nervosa juga bisa terjadi pasien usia lanjut dan biasanya merupakan suatu kekambuhan dari anoreksia di usia muda. Meskipun demikian, anoreksia nervosa lebih sering muncul disaat usia tua (Salzman JR, 1995). Kondisi medis seperti malignansi, PPOK, gagal jantung,

malabsorbsi, rematoid arthritis, dan polifarmasi juga menyebabkan anoreksia pada usia lanjut. Malignansi dan rematoid arthritis menyebabkan peningkatan sitokin berpengaruh pada nafsu makan. PPOK sering menyebabkan aerophagia dan meningkatkan penggunaan otot-otot pernapasan, mengurangi asupan makanan dan status nutrisi. Obat yang digunakan pasien PPOK dan gagal jantung juga sering menyebabkan dyspepsia dan mengganggu asupan makanan. Pengunaan multifarmasi karna multipatologi tentunya juga meningkatkan terjadinya dyspepsia sehingga mengurangi asupan makanan. Obat-obatan yang sering digunakan yaitu digoxin, teophylin, fluoxetin, NSAID dan suplemen Fe (Soejono, 2003). D. Obat Peningkat Nafsu Makan pada Geriatri Obat penambah nafsu makan merupakan golongan obat yang diberikan untuk mencegah penurunan massa tubuh pada pasien usia lanjut dan pasien yang menderita penyakit seperti AIDS atau kanker, yang sering menyebabkan hilangnya jaringan otot tubuh sebanyak hilangnya berat badan secara keseluruhan. Bentuk medis obat ini adalah orexigenic. Obat

yang biasa digunakan antara lain mirtazapine (Remeron), yang merupakan tetracyclic antidepressant; cyproheptadine (Periactin), antihistamine; dronabinol (Marinol, THC), antiemetic; nandrolone, oxymetholone, and oxandrolone (Anadrol-50, Durabolin, Hybolin, Oxandrin), anabolic steroids yang berkaitan dengan hormone testosterone pada pria; dan megestrol acetate (Megace), derivate sintetik dari hormone progesterone pada wanita. Sebagai tambahan, minyak ikan (fish oil atau

eicosapentaenoic acid atau EPA) juga direkomendasikan sebagai alternative terapi untuk kehilangan berat badan akibat penurunan nafsu makan. 1. Mirtazapine. Mirtazapine adalah antidepresan tetrasiklik yang telah ditetapkan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1996 sebagai pengobatan untuk sebagian besar depresi. Menurut beberapa penelitian, mirtazapine dipercaya mampu meningkatkan kadar noradrenalin dan serotonin di otak. Mirtazapine lebih sering diberikan sebagai peningkat nafsu makan untuk pasien yang sebelumnya pernah didiagnosis depresi. Dosis : Mirtazapine diberikan dengan dosis 15-30 mg sediaan tablet. Umumnya dosisnya dimulai dari 15 mg 1 x sehari, biasanya sebelum tidur, dapat diminum sebelum atau setelah makan. Precaution : Mirtazapine dapat menyebabkan hipertensi dan kenaikan suhu tubuh yang abnormal apabila dikonsumsi bersama obat MAO inhibitors (furazolidon, fenelzin, prokarbazin, selegilin, or tranylsipromin). Selain itu, mirtazapine memperkuat efek sedasi dari alkohol, benzodiazepin, transquilizer, antihistamin, antidepresan trisiklik, analgesik narkotik, dan beberapa obat-obatan yang diberikan untuk mengatasi hipertensi. Mirtazapine tidak diberikan pada anak dibawah 18 tahun. Penggunaan pada wanita hamil atau menyusui perlu dikontrol secara ketat. Pasien yang menggunakan mirtazapine

diharapkan

segera

menghentikan

konsumsi

setelah efek oreksigenik didapatkan; penghentian tidak dilakukan secara mendadak tapi tetap dikonsumsi dalam dosis yang semakin kecil dalam tahap waktu tertentu, terutama bagi pasien yang telah menggunakan mirtazapine dalam jangka waktu yang lama. Efek Samping : Mirtazapine menyebabkan perubahan mood, termasuk perburukan depresi atau pikiran untuk bunuh diri. Obat ini juga dapat menyebabkan serangan panik, iritabilitas, kesulitan dalam

pengontrolan impuls, euforia, atau insomnia. Efek samping fisik meliputi mengantuk, mulut kering, konstipasi, mual dan muntah, flulike symptoms, nyeri dada, dan takikardi. Pasien dengan salah satu atau beberapa efek samping diatas harus segera berkonsultasi dengan dokter.

2. Cyproheptadine Cyproheptadine merupakan antihistamin yang diberikan untuk mengatasi gejala pilek, alergi pada hidung, dan alergi serbuk bunga. Obat ini juga diberikan untuk meringankan gatal akibat gigitan serangga dan sengatannya. Obat ini sangat efektif sebagai terapi untuk hilangnya nafsu makan pada anak dan dewasa dengan cystic fibrosis. Dosis: Cyproheptadine diberikan secara oral, sediaan tablet atau cair. Dosis dewasa biasanya 4 mg, 3-4 x/ hari. Precaution : Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan asma akut atau yang memiliki hipersensitivitas tidak terhadap antihistamin. kepada Selain pasien itu, yangu

cyproheptadine

boleh

diberikan

mengonsumsi fenelzine (Nardil), tranylsipromin (Parnate), atau obat MAO inhibitor lainnya selama lebih dari 2 minggu. Pemberian cyproheptadine harus sangat dipantau pada geriatri dengan glaukoma, hipertensi, atau penyakit jantung dan pembuluh darah.

Efek Samping : Efek samping meliputi mengantuk, kelelahan, mulut kering, bintikbintik merah, kongesti dada, pusing, diare, mual dan muntah, sulit berkemih, dan pandangan kabur. Pasien dengan kesulitan urinasi atau penglihatan sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter. Interaksi: Cyproheptadine memperkuat dan memperpanjang efek antihistamin lain, alkohol, barbiturat, analgesik narkotik, benzodiazepin,

transquilizer, dan anti depresan.

3. Dronabinol Dronabinol merupakan bentuk sintetis dari tetrahydrocannabinol (THC), sebuah senyawa yang dapat mengubah suasana hati yang ada pada marijuana (Cannabis sativa). Marijuana dikenal sebagai penambah nafsu makan selama berabad-abad dengan kandungan orexigenicnya. Dronabinol paling umum digunakan untuk mengatasi nausea dan vomitus pada pasien AIDS dan kemoterapi. Dosis: Sebagai penambah nafsu makan, dronabinol diberikan 2,5 mg, sediaan kapsul, 2x/ hari, sebelum makan siang dan sebelum makan malam. Pada pasien AIDS bias diberikan sebanyak 10 mg per hari. Precaution : Konsumsi dronabinol harus mendapatkan pengawasan dari dokter karena efek sampingnya yang menyebabkan perubahan tekanan darah dan detak jantung yang tidak terprediksi, selain menyebabkan memburuknya status mental pada pasien, khususnya pasien anak. Penggunaan dronabinol mudah untuk disalahgunakan. Pasien dengan riwayat konsumsi minuman beralkohol dan penyalahgunaan narkotika perlu mendapatkan perhatian khusus dalam penggunaannya.

Dronabinol berinteraksi dengan obat anestesi, baik lokal maupun umum, memperkuat efek anestesinya sehingga perlu diberitahukan kepada ahli bedah atau ahli gigi yang akan melakukan operasi.

Tambahan, pasien dilarang untuk menyetir atau mengoperasikan mesin-mesin beberapa saat setelah mengonsumsi dronabinol karena dapat menimbulkan kantuk, pusing, dan koordinasi yang kurang. Efek Samping : Dronabinol mungkin menyebabkan perubahan status mental; meliputi delirium, kebingungan, halusinasi, memory loss, delusi, euforia, kegugupan atau kecemasan. Overdosis konsumsi dronabinol harus segera ditangani medis. Selain itu, obat ini juga menyebabkan kurangnya koordinasi, mulut kering, kelelahan, pusing, berkeringat, wajah memerah, diare atau konstipasi, nyeri otot, hipertensi, kejang, masalah urinasi, mata merah, atau muntah. Interaksi : Dronabinol memperkuat efek alkohol dan obat anti depresan yang bekerja pada SSP (barbiturat, analgesik narkotik, benzodiazepin, transquilizer, tetrasiklik dan trisiklik antidepresan, anti kejang, antihistamin, relaksan otot, dan anestesi.

4. Steroid Anabolik Obat-obat ini diberikan pada pasien usia lanjut untuk meningkatkan massa otot dan kekuatannya, atau untuk membantu pemulihan pasien dari penyakit berat atau trauma untuk mengembalikan berat badannya. Dosis: Oxandrolone dan oxymetholone dengan sediaan tablet, sedangkan nandrolone diberikan melalui suntikan. Untuk membangun jaringan tubuh setelah trauma atau sakit serius, dosis dewasa oxandrolone adalah 2.5 mg tablet diberikan per oral, 2-4x/hari selama 4 minggu. Total dosis per hari 20 mg. Nandrolone diberikan melalui suntikan setiap 3-4 minggu selama 12 minggu. Dosis untuk wanita 50-100 mg, pria 50-200 mg. Precaution : Untuk mendapatkan efek yang nyata, konsumsi obat ini harus selalu diikuti dengan diet tinggi proein dan kalori dan selalu berada dalam

pengawasan dokter. Pasien anak atau dewasa muda yang mengonsumsi obat ini harus melakukan rontgen tubuh setiap 6 bulan untuk

memastikan mereka tetap tumbuh normal, sebagaimana stroid anabolik dapat mempengaruhi pertumbuhan. Pasien diabetes harus selalu dicek kadar gula darah dengan intensif, sebagaimana obat ini dapat menyebabkan fluktuasi kadar gula darah yang sangat cepat. Efek Samping : Steroid anabolik dilaporkan dapat menyebabkan beberapa macam jenis penyakit liver yang langka. Pasien dengan mata dan kulit tampak kekuningan, atau kehitaman, melena, nyeri tenggorokan dan demam, hematemesis, bintik-bintik ungu atau merah pada tubuh harus segera berkonsultasi dengan dokter. Efek samping lain seperti, merasa kedinginan, diare, kram otot, peningkatan atau penurunan libido seksual yang tidak biasa, wajah berminyak atau berjerawat, nyeri tulang, mual dan muntah. Dewasa perempuan mungkin terjadi pendalaman suara, rambut rontok, hirsutism, atau menstruasi yang tidak teratur. Dewasa pria mungkin terjadi ginekomastia, poliusi, dan sering ereksi. Pada lansia pria seringkali terjadi kesulitan dalam urinasi. Interaksi : Steroid anabolik memperkuat efek antikoagulan (aspirin, kumadin, warfarin). Selain itu, obat ini juga meningkatkan resiko terjadinya kerusakan liver pada pasien yang mengonsumsi emas, fenitoin, fenotiazin, metotreksat, plikamisin,

asamvalproat, karbamazepin,

kontrasepsi amiodaron,

oral,

garam

merkaptourin,

disulfram, daunorubisin, klorokuin, metildopa, atau naltrekson.

5. Megestrol Asetat Megestrol asetat pertama kali dikenalkan oleh FDA pada tahun 1976 untuk terapi paliatif pasien dengan metastasis kanker payudara atau kanker endometrium. Pada tahun 1993, obat ini diterima sebagai salah satu terapi untuk anoreksia dan kehilangan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan pada pasien dengan AIDS. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana obat ini mampu mencegah pertumbuhan sel kanker dan merangsang nafsu makan. Dosis : Megestrol asetat diberikan dengan sediaan suspensi dengan dosis 200 mg tiap 6 jam. Precaution : Obat ini tidak boleh digunakan oleh wanita hamil atau sedang menyusui, atau wanita yang berencana untuk segera hamil. Wanita dewasa dalam masa fertil yang mengonsumsi megestrol asetat sebaiknya mengkaji ulang kontrasepsi yang akan dipakai karena penggunaan megestrol asetat berinteraksi dengan siklus hormonal wanita. Efek samping : Megestrol asetat dapat menyebabkan bengkak pada tangan, kaki dan tungkai, pusing, nyeri dada, atau turunnya libido seksual. Dewasa pria dapat terjadi impotensi. Dewasa wanita dapat terjadi perdarahan vagina atau nyeri perut. Interaksi : Belum ada laporan signifikan mengenai interaksi megestrol asetat dengan obat-obatan lain. Pasien dengan regimen megestrol asetat harus selalu diawasi dosis pakainya. Penyesuaian dosis juga perlu dilakukan.

6. Fish oil Fish oil atau minyak ikan direkomendasikan oleh beberapa praktisi sebagai suatu suplemen nutrisi untuk kehilangan berat badan yang disebabkan oleh kanker atau AIDS. Hal ini karena asam lemak omega3 yang terkandung di dalam minyak ikan membantu mengurangi peradangan akibat terapi kanker dan membantu pasien mengembalikan berat badannya yang hilang. Dosis : dosis yang direkomendasikan untuk induksi kanker dengan penurunan berat badan adalah 12 g per hari per oral. Sediaannya kapsul dan cair.

Precaution : Minyak ikan dapat diberikan tanpa resep dokter. Pasien yang menggunakan minyak ikan Cod sebaiknya memastikan mengenai kadar vitamin A dan D didalamnya tidak melebihi batas maksimum harian konsumsi vitamin-vitamin tersebut. Kedua vitamin ini larut dalam lemak dan dapat disimpan didalam tubuh, bahkan hingga level toksik. Batas maksimum konsumsi harian vitamin A adalah 3000 mcg. Efek samping : Minyak ikan dapat menyebabkan terjadinya sendawa berlebihan karena sensasi berminyak yang ditinggalkannya dimulut. Interaksi : Minyak ikan dilaporkan dapat memperkuat efek kerja antikoagulan seperti kumadin dan warfarin. Pasien dengan regimen antikoagulan yang berkeinginan untuk menggunakan minyak ikan harus

berkonsultasi dengan dokter terlebih dulu.

BAB III PENUTUP

Lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Proses menua dapat terlihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut. Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka akan terjadi penurunan kemampuan kerja yang merupakan gabungan penurunan kemampuan fungsi organ dan sistem. Masalah-masalah luar biasa besar pada pasien lanjut usia, yaitu imobilisasi, instabilitas dan jatuh, inkontinensia uri dan alvi, gangguan intelektual (demensia), infeksi, gangguan penglihatan dan pendengaran, impaksi (konstipasi), isolasi (depresi), impecunit (kemiskinan), iatrogenesis (sering karena terlalu banak obat), insomnia, imunodefisiensi, impotensi dan Inanisi (malnutrisi). Penurunan berat badan yang drastis pada lansia merupakan pertanda kekurangan gizi (inanisi) akibat rendahnya nafsu makan (anoreksia) yang berkepanjangan. Seringkali gizi kurang merupakan akibat dari penyakit infeksi kronis, keganasan, penyakit jantung kongestif, masalah sosial ekonomi atau sebab lain yang tidak diketahui. Selain itu, pada beberapa keadaan-keadaan tertentu ditemukan kekurangan vitamin dan mineral, khususnya defisiensi Fe, vitamin C, vitamin B12 dan vitamin B6 karena kurangnya asupan makanan, penyakit tertentu dan obat-obatan yang dikonsumsi. Faktor psikologi seperti depresi, kecemasan dan demensia juga mempunyai kontribusi yang besar dalam menentukan asupan makanan dan zat gizi seseorang. Fisiologi selera makan pada manusia merupakan suatu hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain system saraf, endokrin, psikososial, dan faktor lainnya. Obat penambah nafsu makan merupakan golongan obat yang diberikan untuk mencegah penurunan massa tubuh pada pasien usia lanjut dan pasien yang menderita penyakit seperti AIDS atau kanker, yang sering menyebabkan hilangnya jaringan otot tubuh sebanyak hilangnya berat badan secara keseluruhan. Bentuk medis obat ini adalah orexigenic. Obat yang biasa digunakan antara lain tetracyclic antidepressant; cyproheptadine (Periactin), antihistamine; dronabinol

(Marinol, THC), antiemetic; nandrolone, oxymetholone, and oxandrolone (Anadrol-50, Durabolin, Hybolin, Oxandrin), anabolic steroids yang berkaitan dengan hormone testosterone pada pria; dan megestrol acetate (Megace), derivate sintetik dari hormone progesterone pada wanita. Sebagai tambahan, minyak ikan (fish oil atau eicosapentaenoic acid atau EPA) juga direkomendasikan sebagai alternative terapi untuk kehilangan berat badan akibat penurunan nafsu makan.

DAFTAR PUSTAKA

Baylink DJ, Jennings JC, Mohan S. 1999. Calcium and bone homeostasisand changes with aging. In: Hauard WR,Blass IP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology. 4'ed. New York: McGraw-hill companies, inc. p. 1042-4. Fauci, et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. New York : McGraw-Hill. Guyton., Hall. 2006. Fisiologi Kedokteran Edisi 9.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kehayias JI. 2002. Aging and body composition. In: Rosenberg IH, Sastre A; editors. Nutritionand aging. Switzerland: Karger-baselnestec Ltd. p.63-73. Rumawas SSP. Pentingnya gizi bagi lansia sehat. Makalah. Lokakarya nutrisi pada geriatri, bag. Ilmu penyakit dalam FKUII RSCM. Jakarta. 28 Nov 1994 : lampiran 1. Salzrnan JR, Russell RM. 1995. Gastrointestinal function and aging. In: J E Morley, Z Glick, L Z Rubinstein, editors. Geriatric nutrition, a comprehensive review. 2"" ed. New York: Raven Press Ltd. p. 186-7. Sari, Mutiara I. 2007. Regulasi Sistem Saraf pada Nafsu Makan. Medan : USU. Setiati, et al. 2006. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FK UI. Soegondo, et al. 2008. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. Soejono, CZ H. 2003. All About Anorexia in The Elderly. Jakarta : Acta Medica Indonesiana. Soejono CZ H. 2003. Suplementasi vitamin dan mineral pada pasien geriatri, apa manfaatnya?. Jakarta: KPPlK FKUI.

Вам также может понравиться