Вы находитесь на странице: 1из 43

BAB 1 SEJARAH PERKEMBANGAN PERTANIAN DI INDONESIA

Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang menarik, dimana kita dapat mempelajari sesuatu yang telah ratusan tahun atau bahkan jutaan tahun berlalu. Sejarah menurut Rasyid (2011) adalah akumulasi rekaman pengalaman manusia, dengan mempelajari sejarah kita dapat mengetahui pencapaian-pencapaian apa yang telah digapai oleh pendahulu kita. Terdapat salah satu ungkapan yang berbunyi Historia Vitae Magistra yang berarti sejarah adalah guru kehidupan. Ungkapan ini tak berlebihan adanya, dengan mempelajari sejarah diharapkan kita mampu mengukir sejarah yang lebih baik dari kehidupan kita. Sehingga, mau tidak mau kita wajib mempelajari sejarah. Khususnya pada buku ini, sejarah pertanian. Secara etimologi, pertanianatau dalam Bahasa Inggris disebut Agricultureberasal dari Bahasa Latin. Kata Ager berarti lahan atau tanah, dan Cultus berarti

memelihara atau menggarap1. Jadi pengertian pertanian berdasarkan etimologi adalah kegiatan manusia untuk memelihara atau menggarap lahan. Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: pula crop cultivation) serta pembesaran cakupannya hewan dapat ternak (raising), berupa meskipun pemanfaatan

mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan2. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2007), pertanian merupakan (1) perihal bertani (mengusahakan tanah dengan tanam-menanam);
1

Colin A.M Duncan. The Centrality of Agriculture: Between Human Kind and The Rest of Nature. (Canada: McGill-Queens University Press, 1996)
2

Wikipedia, 2013

(2)

segala

yg

bertalian

dengan

tanam-menanam

(pengusahaan tanah dan sebagainya). Manusia pertama kali memperoleh makanan dengan cara mengumpulkan makanan. Saat itu mereka akan mencari dan mengambil tumbuhan yang menurut mereka dapat dimakan. Setelah mengumpulkan makanan, dikenal cara mendapatkan makanan yang lain, yakni berburu, dimana manusia memburu hewan-hewan untuk dijadikan makanan. Dapat kita lihat situasi pada saat tersebut pada Gambar 1.1. Setelah agak maju, akhirnya mereka dapat bercocok tanam.

Gambar 1.1 Manusia purba sedang membagi hasil buruannya (Sumber: Jalil, 2011)

Berdasarkan bukti-bukti peninggalan artefak, para ahli prasejarah saat ini bersepakat bahwa praktik pertanian pertama kali berawal di daerah "bulan sabit yang subur" di Mesopotamia sekitar 8000 SM3. Pertanian pada awalnya dilakukan secara berpindah-pindah, dengan sistem slash and burn (tebang dan bakar). Setelah mengetahui cara pengolahan tanah dan irigasi, pertanian mulai dilakukan secara menetap.

Pertanian zaman purba di Indonesia Sejak akhir zaman Mesolithikum dan

Neolithikum, kehidupan manusia purba ditandai dengan tradisi bercocok tanam dan menghasilkan makanan sendiri, tradisi seperti ini biasa disebut food producing.4 Dapat kita lihat sampai sekarang tradisi ini terus berlangsung dalam tingkatan yang lebih maju. Pembukaan lahan pertanian pada zaman purba hampir sama dengan cara pembukaan lahan pada sistem tebang
3

Wikipedia, 2013

Nana Supriatna Dalam Buku Sejarah. (Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2007)

dan bakar, yakni dengan cara membakar hutan. Penduduk di hutan hujan tropis menebang dan membakar hutan untuk menanam tanaman. Ketika tanah sudah tidak produktif lagi, mereka membuka lahan baru dan memungkinkan lahan yang lama ditumbuhi kembali, cara pertanian ini masih dipraktikkan oleh beberapa penduduk hutan.5 Pada zaman ini, tanaman yang ditanam berasal dari tumbuhan liar yang tumbuh di hutan ataupun di sekitar tempat tinggal mereka. Tanaman yang ditanam merupakan jenis biji-bijian dan umbi-umbian, karena tanaman ini mempunyai viabilitas yang tinggi. Sehingga mudah tumbuh dimana saja. Dalam masyarakat yang hidup menetap dan bercocok tanam, diperlukan pembagian tugas dan peran yang lebih rumit. Oleh karena itu, diperlukan sebuah organisasi sosial yang lebih jelas dan teratur.6. Pada masa ini mulai dikenal tradisi gotong royong, tradisi ini secara tidak langsung diakibatkan oleh sistem bercocok tanam yang membuat petani penggarapnya harus menetap di suatu
5

Philip Stelle, Neil Morris, dan Nicola Barber. Planet yang Bergolak. (Jakarta : Erlangga, 2007)
6

Nana Supriatna Dalam Buku Sejarah. (Bandung: PT. Grafindo Media Pratama, 2007)

daerah sampai tanamannya panen. Sekumpulan manusia yang tinggal dalam waktu yang cukup lama dapat kita sebut sebagai komunitas. Komunitas sosial masyarakat pada zaman purba mempunyai pemimpin yang bertugas mengatur segala aturan hidup di lingkungan kelompoknya. Ketua kelompok juga bekerja sama secara komunal dengan anggota kelompok lainnya. Kegiatan ini dapat kita lihat sampai sekarang, yang kita kenal dengan tradisi gotong royong.

Gambar 1.2 Manusia masa bercocok tanam (Sumber: Pustaka Sekolah, 2013) Pertanian Tradisional Di Indonesia sendiri, baik pertanian menetap maupun pertanian berpindahatau dikenal dengan bercocok

tanam di ladangmerupakan hal yang umum. Menurut Koentjaraningrat (1984)7 Komunitas desa di Indonesia dapat kita bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan: (1) Desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, terletak di sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian dan Timor, dengan perkecualian beberapa beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku. (2) Desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Terutama terletak di Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Bercocok tanam di ladang (pertanian ladang) Teknologi bercocok tanam di ladang suatu komunitas desa berpindah-pindah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas di suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan. Proses bercocok
7

tanam

di

ladang

dimlai

dengan

Koentjaraningrat dalam Masyarakat Desa Di Indonesia. (Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI, 1984)

membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan, kemudian menebang pohonpohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahandahan serta daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air atau pupuk secara khusus. Abu yang berasal dan pembakaran pohon cukup untuk memberi kesuburan pada tanaman. Air pun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi yang mengaturnya. Metode penanaman biji tanaman juga sangatlan sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tugal berupa tongkat yang berujung runcing yang diberati dengan batu, dekat pada ujungnya yang runcing itu. Dengan tongkat itulah para petani pria menusuk lubang ke dalam tanah, di mana biji-biji tanaman dimasukkan, pekerjaan yang dilakukan oleh wanita. Pekerjaan selanjutnya ialah membersihkan ladang dari tanaman liar, dan menjaganya terhadap serangan babi hutan, tikus dan hama lainnya.

Teknik bercocok-tanam seperti itu menyebabkan adanya sebutan slash and burn agriculture, atau "bercocok-tanam menebang dan membakar", yang seringkali diberikan oleh para ahli kepadanya; sedangkan sebutan yang lain adalah shifting cultivation, atau "pertanian berpindah-pindah", yang menggambarkan keadaan bahwa setiap kali setelah suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali panen, tanah yang tak digarap dulu serta tak disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu, lama-lama akan kehabisan zat hara dan tidak akan menghasilkan lagi. Akibatnya ialah bahwa para petaninya harus meninggalkannya dan membuka ladang baru dengan teknik yang sama, yaitu menebang dan membakar bagian yang baru dari hutan. Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap duatiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali. Dalam waktu itu ladang yang pertama sudah kembali menjadi hutan, yang kemudian ditempati lagi. Walaupun demikian kita dapat membayangkan

bahwa rangkaian ladang baru yang dibuka oleh para petani ladang itu makin jauh letaknya dari komunitas desa pemukimannya. Oleh karena itu para petani seringkali mendirikan gubuk-gubuk sementara dekat ladang yang mereka kerjakan, di mana mereka dapat tinggal selama musim sibuk dalam lingkaran usaha tani mereka. Hanya dalam musim-musim tatkala kesibukan bercocok-tanam mengendur mereka pulang ke desa induk mereka untuk melakukan pesta-pesta dan upacara bersama warga komunitas yang lain. Tidak jarang terjadi bahwa sekelompok gubuk tempat mereka itu tinggal sementara pada waktuwaktu sibuk, menjadi suatu pusat pemukiman baru, dengan suatu identitas tersendiri, sehingga dapat memisahkan diri dari desa induknya dan membentuk suatu desa yang baru. Bercocok tanam di sawah (pertanian menetap) Menurut Koentjaraningrat (1984), berdasarkan tipe penggunaan tanah, ada 3 macam tanah pertanian, yaitu:

1. Kebun kecil di sekitar rumah petani 2. Tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi, dan 3. Tanah pertanian basah yang diirigasi

Selain pertanian purba dan pertanian tradisional, di Indonesia juga dikenal pertanian konvensional dan pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian ini akan diulas pada bab-bab selanjutnya.

Periodisasi Pertanian Berikut ini adalah periodisasi pertanian menurut

Mutowal (2011)8 1. Era abad ke-19 1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah
8

Dalam website Pemerintah Kabupaten Grobogan

oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro. 1830-1870: Era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah

era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerhi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839. 1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas

desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani Indonesia, kemelaratan, penindasan. 1890: Dimulainya Politik Etnik, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang lebih besar. 2. Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945) 1918: Berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor den Landbouw), yang kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar hanya menghadirkan sejarah kelam dan kemiskinan, keterbelakangan

Penyelidikan Landbouw).

Pertanian Selanjutnya

General tahun

Agriculture menjadi

Experiment Station (Algemeen Proefstation voor den 1966 Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) 3. Era 1945-1967 1960: Lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia Soewahjo" (1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo"

(1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk dalam mewujudkan menuju kemakmuran, adil kebahagiaan, dan makmur. keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, masyarakat Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari

tujuan UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial. 4. Era Orde Baru (1967-1997) 1974: Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan Biologi dan Pertanian, dan Pusat Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian (Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Kehutanan, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan). 1980 : Berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang mendasar dalam

mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi dirasakan sebagai paksaan sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD. 1983: Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan Litbang Pertanian sehingga terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit AgroEkonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri, Puslitbang Hortikultura, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan. 1993: Sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu juga terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No. 633/Kpts/OT.140/12/2003). 5. Era Reformasi (1998 Sekarang) 1998: Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini dikarenakan pudarnya Pembangunan jangka Panjang ke 6 yang menjadi ciri khas tahap orientasi pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan, meski tidak semuanya, tapi mendominasi. Dampak yang ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan intensifikasi pertanian melambat. Dampak yang ditimbulkannya adalah rendahnya produktivitas hortikultura. 2005: Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah dalam melakukan revitalisasi pertanian di Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan UU No.16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan pertanian tanaman pangan dan

Peraturan Menteri Pertanian No.273 Tahun 2007 terkait tentang penjabaran Penyuluhan Pertanian. Konsentrasi peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian ini mengantarkan Indonesia mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008. Hal ini ditunjang dengan penambahan tanaga penyuluh pertanian melalui Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP). 2010: Pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Pada awalnya pada tahun ini dicanangkan program pertanian organik, karena banyak hal tentang kekurangsiapan para petani di Indonesia menjadikan rencana pertanian organik diundur sampai 2014. Akan tetapi pada tahun 2010 ini penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan pertanian organik mulai digalakkan di beberapa daerah.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Duncan , Colin A.M. 1996. The Centrality of Agriculture: Between Human Kind and The Rest of Nature. Canada: McGill-Queens University Press Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa Di Indonesia. Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI. Jalil, Abdul. 2011. Siapakah Penduduk Asli Nusantara? (online). Jalils Blog. http://yogadesign.wordpress.com/2011/07/24/siap akah-pribumi-asli-nusantara. Diakses tanggal 31 Mei 2013 pukul 08.27 WIB Mutowal. 2011. Sejarah Singkat Pertanian Indonesia. (online). Pemerintah Kabupaten Grobogan. http://grobogan.go.id/info-daerah/artikel/361sejarah-singkat-pertanian-di-indonesia.html. Diakses tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.04 WIB Pustaka Sekolah. 2013. Masa Bercocok Tanam. (online). http://www.pustakasekolah.com/masa-bercocok-

tanam.html Diakses tanggal 9 Juni 2013 pukul 10.22 WIB Rasyid, Maimun. 2011. Manfaat Belajar Sejarah. (online). Berusahalah Menjadi yang Terbaik. http://akhimaimun.wordpress.com/. Diakses tanggal 31 Mei 2013 pukul 14.50 WIB Supriatna, Nana. 2007. Sejarah. Bandung: PT. Grafindo Media Pratama Stelle, P., Neil Morris & Nicola Barber. 2006. Planet yang Bergolak. Terjemahan oleh Teuku Kemal Hussein. 2007. Jakarta : Erlangga Wikipedia, 2013. Pertanian (online). http://id.wikipedia.org/wiki/pertanian. Diakses tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.11 WIB Wikipedia, 2013. Sejarah Pertanian (online). http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah-Pertanian. Diakses tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.00

BAB 2 PERTANIAN TRADISIONAL

Kebutuhan manusia pada pangan telah membawa manusia untuk mulai belajar tentang bertanam meskipun dengan alat yang sederhana yang menjadi penciri pertanian tradisional. Kesederhanaan itulah yang sebenarnya yang membuktikan naluri manuusia untuk survive atau bertahan hidup dari desakan kehidupan yang dilaluinya. Karena penggunaan alat yang sederhana, ditambah dengan bantuan hewan ternak dalam mengelola lahan inilah maka sesungguhnya pertanian tradisional ini sangat cocok dengan alam, arif dalam pengelolaan dan sangat sesuai dengan ekosistem. Pertanian tradisional menitik beratkan pada kesetimbangan ekosistem sehingga semua menjadi sangat natural, alam akan dengan mudah memulihkan diri bila ada kerusakan. Sesungguhnya dikarenakan pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu saja kurang mendorong manusia untuk selalu mencari celah upaya agar dapat

memperoleh hasil yang lebih sehingga terkadang kita lupa berpikir tentang apa yang alam sediakan pada kita dan sebaliknya apa yang kita berikan pada alam. Selama ini kita telah mengeruk begitu banyak dari alam. Dengan alasan apapun takkan pernah cukup bagi kita untuk mengesampingkan bahwa betapa kita sangat tergantung pada alam. Alam dengan segala isinya dengan sangat sempurna mencukupkan segala kebutuhan manusia. Pertanian Tradisional menggunakan alat-alat sederhana yang digerakkan oleh tenaga manusia maupun hewan seperti pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Pengolahan tanah tradisional (Sumber: Ariesta, 2011) Alat-alat Pertanian Tradisional

Para petani membutuhkan alat-alat pertanian untuk menjalankan pekerjaannya. Apabila dikerjakan dengan tenaga sendiri tentu akan sangat sulit menyelesaikan pekerjaan, melihat waktu dan energi yang dibutuhkan. Di Indonesia para petani masih banyak menggunakan alat pertanian tradisional daripada mesin. Ada beberapa alasan mengapa para petani masih menggunakan alat-alat yang sederhana. Beberapa alasan tersebut antara lain, mahalnya harga peralatan modern sehingga para petani masih belum mampu untuk membelinya, kebiasaan menggunakan alat tradisional, tidak bisa mengoperasikan mesin pertanian, dan banyak alasan lainnya. Beberapa jenis alat pertanian tradisional yang masih setia digunakan oleh para petani di Indonesia diantaranya adalah: Kampak Pipa Alat ini berguna untuk memilih kayu. Sebenarnya kampak ini sama dengan kampak pada umumnya, namun tetap memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut

terletak pada garan yang digunakan. Garan dari kampak biasa terbuat dari kayu, sementara garan kampak pipa terbuat dari besi yang menyatu langsung dengan mata kampak.

Gambar 2.1 Kampak Pipa (Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)

Nama

kampak

pipa

digunakan

karena

garan

kampaknya memang terbuat dari pipa. Kualitas kampak ini bagus, karena terbuat dari besi yang awet. Lempak

Sebelum menanam, petani selalu membuat garis di tanah (alur). Alat untuk membuat garis ini disebut lempak. Garis ini dibuat dengan tujuan agar tanaman yang ditanam lebih rapi. Alat ini sering digunakan terutama oleh petani sawah. Sawah yang diberi garis atau alur ini dapat membuat hasil panen meningkat, karena distribusi radiasi sinar matahari yang merata, dan ruang tumbuh yang cukup tersedia.

Gambar 2.3 Lempak (Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)

Lempak biasanya terbuat dari besi, namun ada jga yang terbuat dari baja. Bentuknya mirip dengan pacul

namun pegangannya pendek dan terbuat dari besi, sehingga alat pertanian ini tidak berat ketika digunakan. Cangkul Cangkul atau pacul dalam bahasa Sunda digunakan untuk mengolah tanah pada lahan pertanian. Cangkul adalah alat paling penting dalam pertanian dan hampir selalu digunakan. Cangkul sangat berguna untuk lahan atau ladang yang kering. Bahan pembuat cangkul ini adalah baja, sehingga daya tahan dan kekuatan cangkul besar.

Gambar 2.4

Cangkul atau pacul

(Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011) Cangkul adalah penggabungan dari bawak dan cangkul. Bawak adalah kepala dari cangkul. Bagian depan merupakan bagian yang disebut cangkul. Pada kepala cangkul terdapat lubang, yang fungsinya untuk dipasangi garan cangkul yang disebut dengan doran. Dengan adanya doran, penggunaan cangkul akan lebih mudah karena kepala cangkul yang besar dan berat. Arit Babatan Arit digunakan untuk memanen padi. Bentuk dari arit tipis sehingga sangat ringan ketika dibawa. Bentk dan berat itu menjadi kelebihan arit, yang besar. Sementara itu, arit babatan bentuknya berbeda dengan arit yang lain. Dengan arit babatan para petani bisa memanen padi dengan lebih mudah dan cepat. Meskipun bentuknya tipis dan ringan, bahan untuk membuat arit babatan berasal dari besi baja, sehingga karena mudah digunakan untuk memanen padi walau dalam skala

arit babatan daya tahannya kuat, awet dan kualitasnya terjamin.

Gambar 2.5 Arit Babatan (Sumber: HTN Alat Pertanian, 2011)

Ani-Ani Ani-ani atau disebut juga ketam merupakan pisau kecil untuk memanen padi. Tangkai bulir padi akan dipotong satu persatu menggunakan alat ini. Oleh karena itu prosesnya sangat lama dan membutuhkan kesabaran. Hanya saja ani-ani memiliki kelebihan, yaitu hanya bulir padi yang sudah jadi saja yang

terpotong sehingga bulir yang belum matang tidak ikut terpotong. Menurut tradidi masyarakat tradisional Jawa dan Sunda, memanen padi hanya boleh dilakukan dengan menggunakan ani-ani. Tidak boleh menggunakan arit maupun golok untuk memanen. Ani-ani ini bentuknya kecil, sehingga bisa disembunyikan di telapak tangan.

Gambar 2.6 Ani Ani (Sumber: Widodo, 2012) Menurut masyarakat Sunda yang masih percaya dengan keberadaan Dewi Padi, sang dewi akan ketakutan jika melihat senjata yang tajam serta besar. Kepercayaan lainnya adalah padi merupakan perwujudan dari dewi sehingga harus dilakukan

dengan hormat dan lembut. Tidak boleh dibabat dengan cara kasar dan harus dipotong satu persatu. Pertanian adalah sektor paling penting bagi kehidupan rakyat Indonesia. Jika tidak ada, bagaimana kita bisa makan dan bertahan hidup? Pertanian tradisional harus dilestarikan sampai kapanpun agar supaya kekhasan Indonesia tidak hilang terhapus zaman.9 Jika memperhatikan sistem pertanian di Indonesia, sebagian besar masih dikerjakan secara tradisional, dimana posisi petani adalah orang yang paling berkepentingan terhadap sistem pertanian itu sendiri. Pertanian Indonesia seakan hanya untuk memenuhi kebutuhan skala mikro, yaitu petani dan keluarganya (subsisten). Padahal, seyogyanya Indonesia dengan lahan pertanian 191.946.000 ha mampu menjadi lumbung pangan dunia yang pada saat sekarang ini kebutuhan akan bahan pangan dunia terus meninggi (Kompas, 7 Februari 2011), dan tidak sebaliknya Indonesia justru memperkeruh kondisi pangan dunia dengan melakukan kebijakan fiskal dengan peniadaan bea masuk impor
9

Anne Ahira

pangan,

ini

artinya

pemerintah

sama

saja

tidak

mengutamakan produktifitas pangan nasional. Sistem pertanian tradisional semacam ini pasti sangat sulit untuk berkembang, dan petani (baik pemilik apalagi penggarap lahan) akan selalu jauh dari kemakmuran. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi ekonomi petani Indonesia yang mengandalkan pertanian sebagai satusatunya gantungan hidup, ketika mereka sedikit saja keluar dari wilayah makan untuk memenuhi kebutuhan sekundernya maka hasil pertanian itu sungguh tidak signifikan. Pupuk merupakan sarana yang sangat penting bagi para petani karena berperan menentukan kualitas hasil pertanian10 Pupuk organik (kompos) sudah tidak asing lagi bagi petani-petani di Indonesia. Pada era pertanian tradisional, kompos yang biasanya terbuat dari kotoran hewan maupun sisa-sisa tumbuhan yang telah membusuk digunakan sebagai bahan andalan penyubur tanaman. Seiring dengan maraknya penggunaan pupuk kimia keberadaan pupuk organik pun mulai ditinggalkan oleh para petani. Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya
10

Yovita (2001)

merupakan bagian dari pada sejarah pertanian. Di Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para petani. Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik sebelum diterapkannya revolusi hijau di Indonesia. Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganyapun relatif murah, dan mudah diperoleh. Kebanyakan petani sudah sangat tergantung pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian. Tumbuhnya kesadaran para petani akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional kepertanian organik. Begitu-pun dengan perkembangan hama dan penyakit , banyak yang menilai hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor , seperti ; anomali cuaca dan rusaknya ekosistem alam. Tetapi meningkatnya hama dan penyakit tanaman dewasa ini juga tidak menutup kemungkinan karena berkurangnya musuh alami (predator) di alam bebas, sehingga terjadi ketidak seimbangan ekosistem.

Contohnya;

mewabahnya

hama

tikus

dikarenakan

populasi ular yang sudah langka, mewabahnya wabah belalang karena menurunnya populasi burung pemakan belalang, dan lain sebagainya. Disamping penggunaan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit, penggunaan pestisida nabati juga sangat mungkin untuk diterapkan. Indonesia memiliki varitas tumbuhan obat untuk penggunaan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati ini juga sudah tidak asing lagi penggunaannya oleh para petani tradisional. Seperti penggunaan tembakau untuk mengusir hama wereng dan lain sebagainya. Di era sekarang ini pun semakin banyak ditemui beberapa ekstrak tanaman untuk menanggulangi hama dan penyakit, seperti penggunaan ekstrak lengkuas untuk pengendalian penyakit layu pada pisang, ekstrak daun sirih untuk mengurangi kebusukan pada buah salak dan tentunya masih banyak lagi model pengendalian hama terpadu dengan menggunakan teknik non kimiawi dengan menggunakan ekstrak tumbuhan yang berfungsi untuk mengendalikan Hama dan Penyakit pada tanaman. 11
11

IAAS

Petani Tradisional Vs Petani Konvensional Dahulu petani menanam padi tidak menggunakan pupuk karena menurut mereka dapat merusak tanaman. Pikiran petani pada saat itu memang benar adanya karena unsur hara yang terkandung pada lahan petani memang masih melimpah. Akan tetapi, lama kelamaan produksi petani makin menurun, dan pemerintah memberikan bantuan pupuk untuk menambah unsur hara tanah. Waktu itu, dibutuhkan proses yang cukup lama untuk meyakinkan petani agar memakai pupuk sampai akhirnya petani berkenan. Dan, hasilnya produksi padi semakin meningkat sehingga petani baru mempercayai manfaat dari pupuk tersebut. Sekarang, keinginan pemerintah berbalik untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia karena dengan penggunaan pupuk dapat merusak tanah. Dan, lagi-lagi petani mati-matian untuk tidak ingin mengurangi penggunaan pupuk kimia bahkan mereka ingin penyaluran pupuk diperbaiki agar petani mendapatkan pupuk sesuai jenis dan kebutuhannya. Padahal sekarang populer "save our earth" dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia dan mengganti atau mencampur sebahagian dengan pupuk organik.

Pada zaman dulu petani menggunakan pupuk kandang. Hasilnya sudah bagus, Penyakit tanaman belum seberapa banyak dan aneh-aneh, Tanah masih gembur dan subur. Ketika Petani dikenalkan oleh pemerintah, pupuk kimia/urea pada era pemerintahan orde baru pada tahun 1980an. Semua petani didaerah-daerah dianjurkan untuk memakai pupuk urea gratis. Namun para petani tak semudah itu menerima sesuatu yang baru. Banyak petani yang masih ragu dengan pupuk tersebut untuk dicoba bahkan ada petani yang menukar pupuk gratis bagiannya dengan beras. Ketika ada salah satu petani yang mau mencoba, ternyata hasilnya sangat luarbiasa meningkat pesat. Akhirnya semua petani kita menggunakan pupuk kimia tersebut sampai sekarang. Namun petani sekarang sudah banyak yang lupa dan meninggalkan pupuk kandang ataupun kompos. Pertanian Indonesia pada waktu itu sampai bisa mengekspor beras dan swasembada pangan. Setelah sekian waktu, ternyata grafik pertanian kita terlihat seperti huruf u terbalik, yaitu semakin tahun semakin menurun. Ternyata setelah diteliti oleh pakar ilmu pertanian, ternyata lahan pertanian kita mengalami degradasi mutu

lahan ini semua dampak dari penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan terus menerus. Dapat kita simpulkan bahwa masyarakat di negeri kita termasuk golongan Early Majority. Early Majority adalah kelompok yang lebih moderat dalam menerima inovasi. Early Majority mengadaptasi inovasi setelah ada yang mencontohkan.12 Semakin tahun penggunaan pupuk kimia tidak semakin sedikit tetapi produksi pupuk kimia tetap akibatnya pupuk sering kehabisan atau langka. Untuk mengatasi Solusi dari kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus kerusakan tanah Pemerintah melalui Menteri Pertanian menganjurkan pemakaian pupuk secara berimbang antara pupuk kimia dan pupuk organik. Untuk mengembalikan lahan agar kembali subur, diperlukan pupuk kandang atau kompos 20 sampai 40 ton per hektar atau minimal 5 ton pupuk kandang setiap kali musim tanam. Tetapi kendala dilapangan ketersedian pupuk kandang sulit. Kalaupun ada butuh biaya lagi untuk sampai ke lahan.

12

Leibo, Jefta Drs. SU. 1995. Sosiologi Pedesaan. Andi: Yogyakarta

Pupuk kandang dari kotoran sapi tidak bisa langsung dipakai, butuh waktu sekitar 3-6 bulan.

Pertanian tradisional Indonesia saat ini Pertanian pedesaan. tradisional Apalagi sering dilakukan masyarakat hanya

pertanian

tradisional

menggunakan alat-alat sederhana seadanya yang mereka miliki. Pupuk dan harga jual hasil pertanian menjadi alasan banyak petani kembali dengan pertanian tradisional. Alasan kesadaran masyarakat kembali ke pertanian tradisional, selain harga pupuk yang mahal juga dikarenakan harga jual panen sering merosot. Apalagi hasil pertanian tradisional sering lebih banyak diminati pembeli, karena hasil panennya murni tanpa ada bahanbahan pestisida. Selain itu, biaya produksinya pun murah. Cara ini juga bisa mengembalikan kesuburan lahan yang alami tanpa mengurangi hasil panen yang diharapkan. Metode

pertanian

tradisional

sangat

efektif

melindungi

masyarakat dari dampak krisis global, yang sering kali dirasakan oleh para petani. Munculnya kembali proses pertanian tradisional ini dapat digunakan sebagai sarana untuk melawan sistem pertanian industri. Jenis pertanian ini merusak lingkungan sekitar lahan pertanian, yang hingga saat ini masih dilakukan oleh sebagian para petani. Namun, kepedulian terhadap tanaman tradisional tidak begitu saja bisa mendapatkan respons dari para petani lain. Sebab, masyarakat masih banyak tergantung pada bahan-bahan kimia. Sangat wajar, karena sudah puluhan tahun sistem pertanian mereka itu bergantung pada bahan-bahan kimia yang mampu membuat tanaman cepat subur dan tampak bagus. Padahal, tumbuhan itu dipengaruhi oleh bahan-bahan kimia. Sudah saatnya petani diperbolehkan menanam semua jenis tanaman lokal, karena banyak sekali manfaat dari sistem pertanian tradisional ini dibandingkan pertanian industri. Selain pertanian tradisional ramah lingkungan dan tidak memerlukan biaya yang sangat besar, hasil

panen yang diperoleh sangat memuaskan juga tidak jauh berbeda dengan hasil pertanian industri. Malahan, hasil pertanian tradisional lebih banyak diminati masyarakat. Sebab, hasil panennya alami dan tidak terkandung pada bahan-bahan kimia.13

13

Rustami, Syarif Darmawan dan Al Ghazali

DAFTAR PUSTAKA Ahira, Anne. 2013. Pertanian Tradisional. (Online). http://www.anneahira.com/pertaniantradisional.htm Diakses tanggal 4 Mei 2013 pukul 11.44 WIB Ariesta, Rezky. 2011. Kearifan Lokal Petani Tradisional dan Teknologi. (online). http://blog.umy.ac.id/rezkyariesta/2011/10/14/keari fan-lokal-petani-tradisional-dan-teknologi/ Diakses tanggal 31 Mei 2013 pukul 08.27 WIB HTN Alat Pertanian. 2011. http://htnalatpertanian.blogspot.com/ Diakses tanggal 9 Juni 2013 pukul 12.00 WIB IAAS LC UNS. 2012, Pertanian Organik Solusi Pertanian Modern. (online). http://iaaslcuns.blogspot.com/2012/09/pertanianorganik-solusi-pertanian.html Diakses tanggal 4 Mei 2013 pukul 13.37

Leibo, Jefta Drs. SU. 1995. Sosiologi Pedesaan. Andi: Yogyakarta Rustami, Syarif Darmawan dan Al Ghazali. 16 Desember 2012. Pertanian Tradisional Lebih Diminati. Harian Rakyat Kalbar Widodo, Winarso D. 2012. Ani Ani. (online). Winarso D. Widodos Blog http://wdwidodo.blogspot.com/2012/07/aniani.html. Diakses tanggal 9 Juni 2013 pukul 12.00 WIB Yovita. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Вам также может понравиться