Вы находитесь на странице: 1из 4

PERS RILIS

REFLEKSI TAHUNAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN SPEK-HAM, SOLO, JANUARI-DESEMBER 2010

KDRT SELALU RANKING SATU


Oleh: Tim Unit Khusus Penanganan Kasus SPEK-HAM

Selama kurun waktu lebih dari 11 tahun, yaitu sejak tahun 1999, SPEK-HAM telah melakukan penanganan kasus kekerasan tehadap perempuan dan anak berbasis gender di Solo Raya. Jumlah kasus yang masuk dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi yang cenderung naik. Data kasus kekerasan berbasis gender (selanjutnya disebut KBG) yang ditangani langsung oleh SPEK-HAM dari tahun 1999-2010 secara detail dapat digambarkan melalui table dan grafik sebagai berikut: TABEL DATA KASUS KEKERASAN BERBASIS GENDER SPEK-HAM (1999-2010)
TAHUN 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 JUMLAH PERKOSAAN PENCABULAN KDRT/KDP TRAFIKING JUMLAH 1 1 1 0 3 5 0 5 0 10 10 1 14 0 25 8 0 11 0 19 7 8 20 0 35 6 3 22 0 31 10 1 37 0 48 3 0 20 0 23 4 4 25 0 33 1 0 19 0 20 0 0 33 0 33 1 3 42 7 53 56 21 249 7 333

42

53

2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999

Sumber: Database Kasus KBG SPEK-HAM

3 1 33 0 19 0 1 4 0 0 3 10 6 7 8 10 3 0 1 1 1 20 0 1 10 3 8 11 0 14 0 5 0 5 4 20 1 22 0 25

7 33

0 20 0 23

33

0 37 0 20 19 0

48

0 31 35

PERKOSAAN

0 25 40

60 KDRT/KDP

80 TRAFIKING

100 JUMLAH

120

PENCABULAN

Berdasarkan table dan grafik di atas, penanganan kasus tertinggi terjadi pada tahun 2010 ini. Pada tahun 2010 ini (hingga 9 Desember 2010) terdapat kenaikan kasus sebesar 58% dibandingkan tahun 2009, yaitu sebesar 33 menjadi 53 kasus. Dari 53 kasus tersebut, 34 diantaranya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 2 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) dalam bentuk penganiayaan/kekerasan fisik, 5 kasus ingkar janji, 1 kasus penghinaan (psikis), 3 kasus pencabulan (persetubuhan dengan anak dibawah umur), 7 kasus trafiking, dan 1 kasus perkosaan. Meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan, bisa dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya meningkatnya kesadaran perempuan untuk memperjuangkan hak/keadilan. Adanya sosialisasi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang semakin meluas, sangat memungkinkan masyarakat semakin mudah mengakses informasi dan memperkuat kesadaran masyarakat bahwa kasus KBG penting untuk dilaporkan bahkan bisa diproses secara hukum. Menurut pengalaman SPEK-HAM selama tahun 2010 ini dalam mendampingi korban kasus KBG, biasanya korban melaporkan kasusnya ke SPEK-HAM diantaranya berdasarkan rujukan dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang membidangi persoalan kekerasan terhadap perempuan (5 kasus), rujukan lembaga mitra (6 kasus), informasi dari teman-teman korban (13 kasus), akses media massa (4 kasus), rujukan aparat penegak hokum/kepolisian (7 kasus), dan sisanya yaitu 10 kasus dilaporkan korban ke SPEK-HAM berdasarkan sumber yang tidak bisa diidentifikasi. Biasanya korban melaporkan kasusnya karena ada dorongan dari teman atau keluarga yang sudah mendapat informasi tentang KDRT dan kekerasan terhadap perempuan lainnya. Selain factor eksternal, ada factor yang berasal dari internal yaitu dinamika organisasi (SPEK-HAM) yang semakin memperkuat partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus KtP. SPEK-HAM mulai mendorong komunitas-komunitas dampingan untuk melakukan pencegahan maupun penanganan kasus KtP yang terjadi di wilayahnya masing-masing. Dalam hal ini semakin banyak elemen masyarakat yang melakukan aksi untuk mencegah maupun ikut melakukan penanganan pada korban KBG, sehingga semakin banyak pula kasus KBG yang teridentifikasi. Kecenderungan Kasus dan Ranah Kejadian PROSENTASE DATA KASUS KTP YANG DITANGANI SPEK-HAM (1999-2010)
25% NON KDRT 75% KDRT/KDP

Sumber: Database Kasus KBG SPEK-HAM Menurut ranah terjadinya kekerasan, jumlah kasus KDRT selalu menempati ranking pertama dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari tabel di atas, SPEK-HAM selalu menerima pengaduan kasus KDRT lebih dari 50% setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2009 kami menangani 100% kasus KDRT, dan pada tahun 2010 menangani 79% kasus KDRT dari seluruh kasus KtP yang kami tangani secara langsung. Sedangkan jika dilihat secara akumulatif dari tahun 1999-2010, maka SPEK-HAM telah menangani 75% kasus KDRT, dan 25% non KDRT. Kecenderungan data ini merupakan bukti bahwa kebijakan negara berupa UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah berimplikasi pada kesadaran publik untuk melihat bahwa isu KDRT bukan lagi menjadi persoalan privat, namun menjadi isu publik. Dibandingkan tahun 2009, kasus KDRT pada tahun 2010 ini meningkat sekitar 6,25%. Faktor utama terjadinya kasus KDRT adalah dominasi suami terhadap istri dan faktor ekonomi. Kekerasan ekonomi yang dialami korban sebagian besar adalah tidak diberi nafkah untuk biaya hidup sehari-hari, dalam bentuk lainnya adalah korban ditelantarkan suaminya yakni ditinggal pergi oleh suaminya sehingga otomatis juga tidak diberi nafkah. Penelantaran yang dilakukan oleh suami ini banyak dilatarbelakangi oleh adanya pihak ketiga (perselingkuhan) . Dalam beberapa kasus kekerasan ekonomi (penelantaran) terdapat korban (perempuan) yang akhirnya sampai menjadi PSK (pekerja seks komersial), karena dia harus menanggung biaya hidup dirinya dan anak-anak yang tinggal bersamanya. Sedangkan pada kasus KDP (kekerasan dalam pacaran) baik dalam bentuk fisik, psikologis,

maupun seksual disebabkan karena relasi kuasa yang tidak imbang, tidak ada keberanian untuk menolak apalagi melawan. Faktor Terjadinya Kekerasan Dari pengalaman pendampingan kami, faktor pendidikan tidak begitu banyak mempengaruhi perempuan dalam menjadi korban KBG. Data yang ada menunjukkan perempuan yang menjadi korban secara keseluruhan merata dari semua level pendidikan dari SD hingga Sarjana. Dari 53 kasus pada tahun 2010, terdapat 13 korban yang berpendidikan tinggi, 22 orang berpendidikan SMA, dan sisanya belum diketahui latar belakang pendidikannya. Pada kasus KBG dalam bentuk KDRT perempuan sebagai korbannya, faktor yang melatarbelakangi terjadinya kasus tersebut pertama berawal dari dominasi suami. Dalam posisi ini suami melakukan perannya sebagai kepala keluarga yang berhak memutuskan suatu persoalan. Sehingga terjadi hubungan yang tidak setara dalam melakukan peran-peran di keluarga, yaitu perempuan tidak dapat menentukan pilihan. Kedua, tuntutan/persoalan ekonomi yang sulit untuk dipenuhi. Pengeluaran kebutuhan dalam keluarga seringkali tidak imbang dengan pendapatan yang diperoleh suami yang sedikit, tidak menentu, atau bahkan menganggur. Dalam situasi tertekan dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, suami seringkali melakukan kekerasan fisik. Sebenarnya suami juga menjadi korban budaya patriarkhi yang hidup dalam masyarakat kita, ketika suami berperan sebagai kepala keluarga, otomatis beban untuk menafkahi keluarga ada di pundak suami. Istri cukup untuk mengurus rumah dan anak. Padahal urusan ekonomi sebenarnya bisa dikompromikan kedua belah pihak. Ketiga, alasan perempuan menuntut cerai pada suaminya diantaranya disebabkan karena perselingkuhan dan juga sifat posesif yang dimiliki pasangannya (suami) yakni menganggap istri sebagai hak milik sehingga bisa diperlakukan sesukanya. Hal ini menimbulkan kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran ekonomi. Pada kasus-kasus KBG lainnya seperti kasus-kasus KDP, kekerasan seksual dilatarbelakangi karena relasi yang tidak setara antar korban dan pelaku. Seringkali perempuan dihadapkan pada situasi dan posisi yang lemah, tidak dapat memilih. Pada kasus KDP juga ditemukan dimana keluarga juga turut menyumbang terjadinya kekerasan terhadap anak perempuan yakni dianggap sebagai aset/hak milik. Ada hal yang menarik ketika kita melihat kecenderungan kasus KtP yang terjadi seiring dengan perkembangan teknologi. Penggunaan kamera handphone menjadi alat bagi pelaku untuk mengintimidasi korban dan memaksa korban untuk menuruti kemauan pelaku secara berulang-ulang dengan ancaman akan disebarluaskan melalui internet jika korban tidak menuruti kemauannya. Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, pelaku kekerasan hampir selalu orang atau kelompok yang mempunyai relasi kekuasaan dengan korban. Dalam keluarga, dimana suami atau orang yang seharusnya melindungi, cenderung untuk menjadi pelaku kekerasan. Demikian pula dalam komunitas, orang dari lembaga yang sebenarnya berfungsi melindungi masyarakat, justru menjadi pelaku kekerasan. Lalu, apa makna pelindung? Apakah pelindung berarti penguasa, sehingga melindungi cenderung diartikan menguasai? Relasi menguasai dan dikuasai, ketika diberi label budaya dan didukung oleh politik kekuasaan, menjadi kuat bahkan mengkristal menjadi batu. Relasi antar manusia yang membatu, akan menjauh dari prinsip dasar relasi kemanusiaan. Baik budaya maupun politik adalah karya manusia, sehingga manusia pula yang sebenarnya dapat menentukan pilihan. Kendala Hukum Trend kasus KDP dalam bentuk kekerasan seksual baik dari tahun ke tahun seperti pada tahun 2009 dan 2010 dilatarbelakangi bahwa pihak laki-laki selalu menjanjikan untuk dinikahi. Dari keseluruhan kasus KBG yang dialami oleh perempuan, kekerasan ini terjadi disebabkan oleh dominasi laki-laki terhadap kehidupan perempuan sehingga perempuan diposisikan tidak dapat menolak dan melawan terhadap kekerasan yang dialami. Kasus yang sering terjadi adalah ketika korban seorang perempuan dewasa menjalani hubungan dengan laki-laki (bisa dikatakan pacaran) kemudian hamil dan laki-laki tidak mau bertanggungjawab. Biasanya korban melaporkan kejadian yang dialaminya pada kepolisian. Kendala yang terjadi adalah lemahnya aturan hukum yang melindungi perempuan untuk memperoleh keadilan. Dari aparat penegak hukum sendiri enggan memproses kasus semacam ini karena tidak ada pasal yang mengatur dalam aturan hukumnya. Hal ini otomatis menjadi kendala bagi korban untuk memperoleh haknya. Kalaupun toh korban berupaya memperjuangkan dengan mendesak aparat hukum melalui pasal-pasal yang sekiranya dapat menjerat pelaku itupun seringkali aparat hukum menolak untuk memprosesnya karena pasal tersebut dianggap pasal karet/sampah sehingga mereka tidak mau repot mengurusi kasus-kasus semacam ini. Namun apabila dipaksakan, seringkali korban tidak memiliki saksi dan bukti-bukti lain yang mendukung.

Pada konteks kasus tersebut, pengalaman korban maupun pendamping korban mencoba untuk melaporkan kasus dengan pemahaman bahwa pelaku mengingkari janjinya berarti pelaku telah melakukan penipuan terhadap korban (pasal 378 KUHP). Namun penafsiran dari APH (kepolisian) berpendapat lain bahwa unsur-unsurnya tidak memenuhi jika dikategorikan sebagai pengingkaran janji/menipu. Bagi aparat penegak hokum, penipuan masih ditafsirkan dalam wujud terdapat penyerahan barang. Unsur penyerahan barang ini masih sangat bias ditafsirkan. Dikatakan apabila pihak pelaku bermaksud mengambil untung dengan membujuk korban untuk menyerahkan suatu barang secara melawan hukum, sehingga dalam kasus tersebut sulit untuk diproses hukum. Sedangkan pada pasal pencabulan dan persetubuhan dapat diproses apabila terdapat unsur ancaman terhadap keselamatan jiwa korban dapat terpenuhi (misalnya korban ketika melakukan persetubuhan dengan pelaku dalam penguasaan pelaku yakni diancam dengan menggunakan senjata). Pada umumnya, kasus tersebut dapat terjadi ketika korban tidak dalam posisi mendapat ancaman dari pelaku melainkan dalam bentuk bujuk rayu dan janjijanji. Hal ini tidak berlaku sebagai unsur kekerasan dalam penafsiran APH. Apabila dalam kasus ingkar janji tersebut korbannya adalah anak secara khusus telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak seperti dalam kasus pencabulan, persetubuhan dengan anak definisi suka sama suka, tidak ada bujuk rayu, tidak adanya ancaman baik secara fisik maupun psikis tidak berlaku. Sehingga secara otomatis apapun alasannya pelaku kasus persetubuhan terhadap anak tetap dapat dituntut pidana.

Вам также может понравиться