Вы находитесь на странице: 1из 12

BAHAN KULIAH ETIKA PROFESI

OLEH DR WATU YOHANES VIANEY,M.HUM PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA UNIVERSITAS KATOLIK WIRYA MANDIRA KUPANG 2013

SILABUS KULIAH ETIKA PROFESI


Kode MK : 231105 Jumlah SKS : 2 SKS Fakultas : Teknik Jurusan : Teknik Informatika Jenjang : S1 Semester/Tahun : Genap Dosen Pengasuh : Dr. Drs. Watu Yohanes Vianey, M.Hum Tujuan Umum Mahasiswa bertumbuh menjadi pribadi insani yang berakhlak mulia dan mampu melakukan penilaian etis atas profesi manusia dalam dunia kehidupan pada umumnya. Tujuan Khusus Mahasiswa memiliki kompetensi dalam memahami etika profesi sebagai bagian integral dari etika umum, etika terapan dan etika bisnis, terutama berdasarkan perspektif teori etika keutamaan neothomisme. Silabus Mata Kuliah 1. Pemahaman Dasar Etika (4 kali pertemuan) 1.1 Makna Etika dan Moral 1.2 Empat Teori Etika dan Lima Sumber Ajaran Moral 2. Kesadaran Moral dan Penalaran Etis (3 kali pertemuan) 2.1 Kesadaran Moral Manusia 2.2 Penalaran Etis Insani 3. Etika Profesi sebagai bagian dari etika terapan dan etika bisnis (3 kali pertemuan) 3.1 Makna profesi dan bisnis 3.2 Prinsip etika profesi yang bervisi bisnis: Berjuang menerapkan etika keutamaan dalam dunia kerja secara profesional yang membuahkan kesejahteraan ekonomi yang menopang peradaban kehidupan manusia dan alam semesta, perspektif teori etika keutamaan neothomisme. 4. Diskusi Kasus Etika Profesi (6 kali pertemuan) 4.1 Kasus Korupsi Pegawai Negri 4.2 Kasus Pemerasan Militer 4.3 Kasus Eksploitasi Industri Kayu 4.4 Kasus Periklanan Rokok, Obat dan Mobil 4.5 Kasus Penipuan Multi Level Marketing 4.6 Kasus Pekerja Seks Komersial Metode : Ceramah, diskusi, dan pengerjaan tugas

Daftar Pustaka
Bertens, K., 2000. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius Keraf, Sonny,A., 1998, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius Magnis-Suseno, Frans,SJ., 1993. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius. ______., 2005., Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. McIntyre, Alasdair, 1981. After Virtue. A Study in Moral Theory, London: Ducworth. Peschke, Karl Heinz., 2003. Etika Kristiani, (terj.) Alex Armanjaya dkk., Maumere: Ledalero. Vatikan II, 1993. Dokumen-Dokumen Konsili Vatikan II, (terj.) R. Hardawirjana, Jakarta: KWIObor. Velasques, Manuel G., 2002, Etika Bisnis, Konsep dan Kasus, (terj.) Ana Purwaningsih dkk, Yogyakarta: Andi. Watu, Yohanes Vianey., 1994/1995. Kalau Manusia Adalah Kita: Sebuah Catatan Holistik, Kebudayaan, No 8 Thn IV, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. ______, 2003. Korupsi dan Fungsi Profetis Agama di Negri Penyamun, Pos Kupang, 6 Juni. ______.,2009. Golput Pada Kamis Putih: Beberapa Pertanyaan Moral dan Pengolahan Kesadaran Kristus, Pos Kupang, 2009. ______.,2009. Meditasi Konteplasi Adorasi Kuasa YHWH Sabaoth, Kupang: Gita Kasih.

Bab I PEMAHAMAN DASAR ETIKA


A. Makna Etika dan Moral Etika berasal dari kata Yunani ethos (semangat dan sikap hidup) yang dalam bentuk jamaknya ta etha berarti adat istiadat atau kebiasaan. Hal itu terkait dengan nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu komunitas (adat, agama, negara, PBB, dll) yang berfungsi untuk menata tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang diyakini kebaikannya bagi manusia dalam serba relasinya. Kebiasaan yang baik itu diwariskan dari generasi ke generasi. Etika itu sepatutnya terungkap dalam perilaku berpola yang terus menerus berulang sebagai sebuah kebiasaan (habitus) yang baik bagi kebaikan manusia, sekedar sebagai manusia (simple human). Pemahaman etika tersebut di atas relatif sama luasnya dengan pengertian moralitas. Moralitas berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk jamaknya mores yang artinya adat istiadat dan kebiasaan. Jadi dalam pengertian harafiah (pengertian pertama), etika dan moralitas itu sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan, yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang terulang dalam kurun waktu yang lama sebagai sebuah kebiasaan hidup yang terwariskan para pendukungnya dalam sebuah komunitas. Namun dari sisi kedalamannya,etika dan moralitas ada perbedaan pemahamannya. Etika dalam pengertian ini (pengertian kedua) adalah filsafat moral atau ilmu yang mengkaji nilai dan norma1 secara radikal dan kritis, yang diberikan oleh moralitas yang berasal dari sebuah komunitas (adat, agama, Negara, dan PBB, dll). Dengan demikian , etika dalam pengertian pertama sebagaimana halnya moralitas berisikan nilai dan normanorma konkret tentang hal yang baik dan buruk, yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam perjuangannya menjadi manusia yang baik. Karena itu etika dalam pengertian ini bersifat normatif. Sebaliknya, etika dalam pengertian kedua sebagai filsafat moral, tidak langsung memberi perintah konkret sebagai pegangan siap pakai. Ia merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang aksiologi (ilmu nilai) yang mengevaluasi tentang aksi atau tindakan insani. Penilaian moralnya jelas menekankan penalaran yang kritis (sesuai dengan kriterium) yang berbasis pada aliran-aliran etika yang dianut oleh seseorang atau sebuah komuntias. Etika dalam pengertian kedua tersebut dapat dirumuskan sebagai sebuah refleksi kritis/kontemplasi rasional tentang nilai dan norma1, yang menyangkut (a) bagaimana
1 1

Norma itu member pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan. Norma itu terdiri dari norma umum dan norma khusus. Norma umum terdiri dari norma sopan santun atau norma etiket; norma hukum, dan norma moral. Norma sopan santun mengatur pola perilaku lahiriah dalam bertamu, berpakian, duduk-berdiri, makan-minum, dll dalam tata karma atau tata cara lahiriah keseharian kita. Norma hukum adalah norma yang dituntuk keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteran manusia dan komunitasnya. Dalam tradisi etika norma hukum ada sangsi yang tegas terhadap orang yang melanggar hukum, sesuai dengan pasal-pasal hukum yang berlaku. Hukum adalah positivasi norma moral manusia pada komunitas manusia. Di depan norma hukum semua manusia sama derajatnya, namun di depan norma sopan santun, semua manusia tidak sama status sosialnya (ada orang tua, ada pimpinan dsbnya). Norma moral adalah aturan mengenai perilaku

manusia harus hidup baik sebagai manusia; (b) mempertimbangkan secara evaluatif masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan normanorma moral komunitarian itu. Dalam perspektif ini, etika adalah sebuah ilmu bukan sekedar sebuah ajaran (Magnis Suseno, 1987: 14; Keraf, 2005: 14-15). Pertimbangan evaluatif ini membutuhkan semua informasi yang seluas dan selengkap mungkin, yang berbasis data empirik, dengan segala macam pertimbangan mengenai motif, tujuan, akibat, pihak yang terkena, berapa banyak orang yang terlibat dalam tindakan pelanggaran moral tertentu itu, besarnya risiko yang dibandingkan dengan manfaat dari tindakan, keadaan tubuh-jiwa-roh pelaku dalam bertindak, termasuk ilmu yang terkait dengan tindakan tersebut, dsbnya. Maka bisa dipahami, etika menjadi sebuah ilmu lintas disiplin, yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Etika dalam pengertian kedua ini jelas membutuhkan bantuan dan masukan dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk ilmu eksakta yang memberi informasi tentang genetika atau ilmu ekonomi yang member informasi tentang kegiatan bisnis. Sebagai ilmu interdisipliner itu, di satu pihak ia bertumpu pada nilai dan norma moral yang ada, tetapi di pihak lain ia juga mengandalkan kajian dan informasi dari ilmu lain untuk bisa mengambil keputusan yang tepat, baik untuk bertindak maupun untuk mengevaluasi tindakan yang telah dilaksanakan dalam menjamin kebaikan manusia sebagai manusia. Contoh konkretnya dapat dibaca pada karya Dr. A. Sonny Keraf, 205: 16-17. Sebagai sebuah ilmu, etika itu terdiri dari etika umum dan etika khusus. Etika umum adalah filsafat moral yang dalam perkembangan mutakhir pada era multicultural dewasa ini, keuniversalan prinsip etika itu tidak bersifat absolut, tetapi bersifat dinamis dan relative, karena terkait dengan komunitas-komunitas budaya manusia. Etika umum seperti ini disebut etika komunitarian.2 Etika khusus disebut pula etika terapan. Ia merupakan penerapan prinsip-prinsip (norma-norma) moral umum dalam bidang kehidupan yang khusus. Selanjutnya dalam tradisi filsafat moral, etika terapan itu terdiri dari etika individual, etika sosial, dan etika
yang baik sebagai manusia, bukan tergantung pada apa profesinya, status gender atau status-status sosial lainnya. Tetapi semata-mata karena dia adalah seorang manusia. Norma hukum adalah positivasi norma moral, karena itu apa yang menjadi norma moral biasanya berlaku sebagai norma hukum. Misalnya norma moral agama Yahudi dan Kristen terkait erat dengan sepuluh hukum Tuhan (Kel 20:1-17). Namun tidak semua norma hukum menjadi norma moral. 2 Moralitas dalam diskursus etika atau filsafat moral sejak era 1980-an cenderung ke arah komunitarisme, yang relatif berseberangan dengan liberalisme (Watu, 2009: 14). Aliran komunitarisme berpendapat bahwa dalam dunia kehidupan insani (Jerman: lebenswelt) tidak ada moralitas tunggal dan individual , yang ada adalah moralitas-moralitas menurut tradisi atau komunitas tertentu. Karena itu usaha liberalisme untuk merumuskan prinsip-prinsip keadilan dasar, sebagai prinsip kebaikan yang berlaku universal dan netral, yang tidak tergantung dari pandangan-pandangan komunitas atau tradisi tertentu tentang apa yang baik dan buruk, atau apa yang adil dan tidak adil, adalah tidak mencukupi dan cenderung salah arahnya.Mengapa demikian? Menurut MacIntyre (dalam Magnis-Suseno, 2005: 204) liberalisme salah paham bila mengklaim dapat merumuskan suatu paham keadilan universal dan netral. Ia hanya merumuskan apa yang dianggapnya sendiri sebagai keadilan. Liberalisme merupakan salah satu tradisi yaitu tradisi Barat dan bukan sebuah rasionalitas universal. Ia juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan pandangan liberalisme tentang kehidupan yang baik adalah individualismenya yang cenderung atomistik dan kurang holistik. Argumentasi komunitarian itu mempunyai dasar antropologis. Tidak mungkin ada subjek tanpa konteks; dan oleh karena itu juga tidak mungkin ada moralitas tanpa konteks sosial. Konsekuensinya adalah bahwa dimensi moralitas itu sesungguhnya lebih berkaitan dengan aspek sosialitas manusia dalam menata relasi yang dianggap baik dengan sesamanya dalam sebuah komunitas atau masyarakat.

lingkungan. Dalam kajian tentang etika sosial ada kajian tentang etika keluarga, etika politik, dan etika profesi. Dalam kajian tentang etika profesi ada etika bisnis, etika biomedis, etika informatika, dsbnya sesuai dengan disiplin ilmu yang ada dalam pohon ilmu pengetahuan manusia. B. 4 Teori Etika dan 5 Sumber Ajaran Moral 1. 4 Teori Etika Teori etika adalah kerangka pemikiran yang sistematis tentang etika, yang dapat menjelaskan tentang perilaku manusia yang pantas disebut baik atau etis Tentu perbuatan baik secara moral. Dengan demikian teori etika akan membantu kita untuk menilai sebuah keputusan yang etis atau sebuah keputusan moral yang tahan uji. Secara historis ada banyak teori etika. Karena itu terbuka kemungkinan ada banyak perspektif tentang perbuatan yang disebut baik. Berikut akan dibahas 4 teori etika yang cukup berpengaruh dalam wacana etika manusia, yaitu: teori utilitarisme; teori deontologi, teori hak; dan teori keutamaan. Pertama, teori utilitarisme. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan hanya untuk satu dua orang, melainkan bermanfaat untuk sekurang-kurangnya untuk sebuah komunitas masyarakat sebagai sebuah totalitas atau keseluruhan. Jadi utilitarisme tidak berciri egoistis, tetapi berciri altruistis. Dengan demikian kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbanyak. Utilitarisme ada dua macam, yaitu utilitarisme perbuatan (act utilitarism) dan utilitarisme peraturan (rule utilitarism). Prinsip utilitarisme tentang manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak diterapkan pada perbuatan. Untuk memperoleh manfaat yang banyak sekaligus benar dan bermutu, perbuatan bermanfaat itu harus taat pada peraturan, hukum positif atau janji, dsbnya, yang telah disepakati bersama. Karena sebuah perbuatan yang bermanfaat bagi sebuah kelompok dapat saja melanggar hak asasi seseorang atau hak ulayat kelompok lain. Selain itu perbuatan demi tercapainya sebuah manfaat dapat saja ditempuh dengan cara-cara yang melanggar aturan, hukum, norma, dsbnya. Contoh kasus istri dari Ishak yaitu Rachel yang menipu suaminya agar suaminya member berkat kesulungan pada anak keduanya Yakub, bukan pada anak pertama Esau. Atau contoh kasus Bank Centuri. Kebijakan rejim SBY melanggar aturan perbankan demi menyelamatkan perekonomian nasional dari ancaman krisis ekonomi global. Kedua, teori deontologi. Jika utilitarisme menekankan bobot moralitas manusia pada perbuatan yang bermanfaat atau pada konsekuensinya, maka deontology melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensinya. Istilah deontology ini berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Atas pertanyaan pertama mengapa suatu perbuatan ini adalah baik dan pertanyaan kedua mengapa perbuatan itu haruslah ditolak sebagai buruk, teori deontologi menjawab: karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang. Singkatnya yang menjadi dasar penilaian suatu perbuatan itu bermoral atau tidak adalah sejauh mana perbuatan itu memenuhi kewajiban atau mentaati perintah dan larangan. Dengan kata lain perbuatan yang dianggap baik adalah perbuatan-perbuatan yang melakukan kewajiban-kewajiban. Untuk itu manusia harus tahu dan sadar apa yang kewajiban dan apa yang menjadi

haknya. Setiap sumber ajaran moral yang berasal dari agama-agama, biasanya mengenal sejumlah prinsip yang berisikan perintah dan larangan. Mutu tertinggi dari kesadaran moral deontologis adalah jika kita mentaati imperatif kategoris yang menegaskan bahwa suatu perbuatan adalah baik hanya kalau dilakukan karena kewajiban atau ada rasa keharusan bahwa engkau harus begitu saja melakukan sesuatu (Jerman: du sollst), tanpa motif lain selain perasaan wajib itu. Dengan demikian, suatu perbuatan yang baik dari segi hukum belum tentu baik dari segi imperative kategoris ini. Misalnya bayar pajak. Bisa saja ketika kita membayar pajak kita bersungut-sungut. Kita tidak melihat tindakan membayar pajak sebagai kewajiban. Secara hukum kita tidak bersalah. Tetapi secara moral, dengan perilaku bersungut itu sudah mencedrai imperatif kategorisnya. Atau pada masa rejim Soeharto. Petrus (penembakan misteirus) untuk membasmi para penjahat di Jakarta dan bebearpa kota besar lain di Indonesia dilakukan demi keamanan dan kesejahteraan masyarakat umum. Dari sisi teori moralitas act untulitarism bisa diterima, tetapi dari sisi teori etika deontologi jelas salah. Karena aparat Negara berkewajiban untuk melindungi rakyatnya, termasuk para penjahat itu. Setiap orang, termasuk para penjahat memiliki hak hidup dan dari sisi hukum positif ia berhak untuk diadili dulu untuk membuktikan kejahatannya. Bukan main tembak saja. Ketiga, teori hak. Teori hak adalah pendekatan yang paling popular dalam penilaian moral. Nilai moral dari PBB menekankan teori hak ini yang tertenun dalam deklarasi HAM-nya. Jika dicermati secara akademis, teori hak ini merupakan varian dari teori deontologi, karena hak berkaitan erat dengan kewajiban. Misalnya jika saya berjanji sesuatu kepada teman, saya berkewajiban menepati janji saya, sedangkan teman saya berhak untuk menerima apa yang saya janjikan kepadanya. Teori hak didasari oleh keluhuran martabat manusia, di mana kemuliaan martabat semua manusia itu sama derajatnya. Semua manusia merupakan tuan bagi dirinya sendiri (Latin: dominus sui) sekaligus suatu tujuan pada dirinya sendiri atau memiliki tujuan yang intrinsik. Karena itu teori ini relevan untuk wacana kesetaraan manusia yang sering ditipu daya oleh adanya status-status sosial berdasarkan harta milik, kewenangan memimpin, dsbnya. Karena itu manusia harus diperlakukan sebagai sahabat yang setara dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sarana atau alat yang bertujuan eksetral atau demi tercapainya sebuah tujuan lain di luar dari kemuliaan martabat dirinya. Dalam konteks etika profesi dalam berbisnis, misalnya. Manusia tidak boleh menjadi budak bagi yang lain. Karyawan mempunyai hak atas gaji yang adil, lingkungan kerja yang sehat dan aman. Karyawan wanita berhak untuk tidak dilecehkan di tempat kerja. Konsumen berhak atas produk yang sehat serta aman dan sesuai dengan harapannya ketika membeli, dsbnya. Jaminan atas hak mengandaikan adanya penegakan standar keadilan, yang terdiri keadilan distributif, keadilan komutatif, keadilan hukum, keadilan prosedural, dan keadilan sosial. Hal keadilan ini merupakan sebuah keutamaan moral yang ditegaskan oleh teori keutamaan berikut. Keempat, teori keutamaan. Dalam tiga teori terdahulu, baik buruk perilaku manusia tergantung pada tindakan yang berdasarkan suatu prinsip atau norma ( rule based). Kalau sesuai dengan norma, suatu perbuatan adalah baik. Kalau suatu perbuatan bertentangan dengan norma maka suatu perbuatan adalah buruk. Dalam konteks

utilitarisme, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Dalam konteks deontology, suatu perbuatan adalah baik jika sesuai dengan perintah dan larangan. Dalam konteks hak, suatu perbuatan adalah baik jika sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Dengan demikian, teori keutamaan tidak berfokus pada perbuatan manusia yang berbasis norma, tetapi berbasis pada manusia itu sendiri sebagai pelaku moral. Tidak ditanyakan What should he/she do?; tetapi pada pertanyaan what kind of person should he/she be. Ini adalah teori keutamaan (Latin, virtue). Lawannya adalah vice (keburukan). Dalam perspektif teori keutamaan ini, tidak dipertanyakan apakah suatu perbuatan tertentu itu adil, jujur, murah hati, dll; melainkan apakah orang itu bersikap adil, jujur, murah hati, dll. Dalam diskursus etika, teori keutamaan ini pada dasarnya kembali merevitalisasi etika warisan filsuf Yunani Kuno dan filsuf Skolastik, yaitu Aristoteles dan Thomas Aqinas. Hidup yang baik adalah hidup menurut keutamaan, yang terdiri dari keutamaan kebenaran-kejujuran; keadilan - fairness - kewajaran; keberanian-keuletan ketangguhan, dan pengendalian diri. Orang yang mempunyai keutamaan kebenaran kejujuran dan pengendalian diri pasti tidak berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis, misalnya. Orang yang berlaku adil niscaya adalah orang yang memiliki ethos fairness dengan kesediaan untuk memberikan apa yang menjadi hak yang lain secara wajar, dan dengan wajar pula dapat memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengembangkan diri. Dalam konteks Neothomisme, teori etika keutamaan ini adalah kebajikan horizontal insani yang kiranya diimbangi dengan kebajikan vertikal. Kebajikan vertikal adalah adalah kebajikan insani dalam dunia hubungan kehidupan beragama, yang terdiri kebajikan iman, harapan, dan kasih (1 Kor 13:13). 2. 5 Sumber Ajaran Moral 5 sumber ajaran moral itu adalah adat istiadat, agama, negara, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan suara hati. Maksudnya apa yang menjadi sumber ajaran moral yang dianggap baik dalam dunia kehidupan manusia adalah apa yang dinyatakan baik oleh adat, agama, Negara, PBB, dan suara hati. Kelima sumber ini dapat saja ada kesamaan dan perbedaan dalam menegaskan suatu perbuatan itu disebut baik atau buruk. Apa yang dianggap baik oleh adat istiadat dari etnik tertentu, dapat saja dianggap kurang baik oleh adat istiadat etnik lain, oleh agama; negara, PBB, dan bertentangan dengan suara hati. Di NTT, misalnya. Belis adalah suatu perbuatan yang baik dalam rangka perkawinan, sesuai dengan sistem perkawinan yang dianut, baik dalam perkawinan monogami maupun poligami. Namun, belis ini belum tentu dianggap baik oleh lembaga agama yang menganut moral perkawinan dan sistem perkawinan yang berbeda. Dalam perkawinan berdasarkan agama Katolik, misalnya. Dasar perkawinan adalah hukum cinta kasih pria dan wanita yang berciri monogami dan tak terceraikan (Mat 19: 6). Sistem perkawinannya adalah sistem parental, yang mengandaikan tidak memerlukan adanya mekanisme belis (pertukaran status sosial wanita dengan sejumlah barang berharga). Kempat sumber nilai moral (adat, agama, negara, dan PBB) dalam konteks penalaran dan keputusan moral, dianjurkan untuk mengimbanginya dengan instansi suara hati. Suara hati adalah suara manusia dan suara Tuhan yang ada dalam hati atau roh manusia. Suara hati itu secara intuitif dan inspiratif, mempengaruhi energi manusia untuk

berani berbuat baik dan teguh menolak yang jahat. Suara hati dalam perspektif teologi Katolik adalah suara roh manusia yang tertenun dengan suara Roh Kudus yang menetap dalam diri manusia yang dimeteraikan oleh sakramen baptis (Rom 5: 5). Diri manusia itu menurut St. Paulus terdiri dari unsur tubuh jiwa roh (1 Tes 5: 23). Namun suara hati itu dapat saja keliru, karena tidak persis sama dengan suara Tuhan.

2. Kesadaran Moral dan Penalaran Etis


2.1 Kesadaran Moral Manusia Kesadaran moral manusia diasumsikan dibentuk selama masa kanak-kanak dan berkembang seiring dengan kedewasaan jasmani dan kejiwaan insani. Psikolog Lawrence Kohlberg, misalnya yang mempelopori riset dalam bidang ini, menyimpulkan bahwa ada 3 tingkat perkembangan kesadaran moral. Setiap tingkat ada 2 tahap pertumbuhan. Uraian lengkapnya adalah sebagai berikut. Pertama, level Prakonvensional. Pada tahap ini, seorang anak dapat merespons peraturan dan harapan tentang hal yang baik, buruk, benar, dan salah. Benar dan salah diinterpretasikan dalam pengertian konsekuensi tindakan yang menyenangkan atau menyakitkan. Jika seorang bertanya kepada seorang anak yang berumur 5 tahun, mislnya. Apakah mencuri itu salah? Ia akan menjawab ya. Jika seorang menanyai anak itu mengapa salah? Jawabannya akan muncul: Karena ibu akan menghukum saya jika saya mencuri! Itulah tipe jawaban kesadaran moral level I tahap 1; yaitu kesadaran moral dipengaruhi oleh hukuman dan ketaatan. Orang yang tidak taat pada norma moral akan mendapat hukuman. Selanjutnya tahap 2 adalah kesadaran moral dari seseorang yang orientasinya bukan lagi pada hukuman tetapi pada instrumen dan relasi. Pada tahap kesadaran moral ini, tindakan yang dianggap baik dan benar adalah tindakan yang berfungsi sebagai intrumen atau alat yang memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan orang yang dipedulikan anak tersebut. Kedua, level Konvensional. Orang pada level kesadaran moral ini tidak hanya menaruh harapan dan cinta pada norma moral yang ada, yang sudah menjadi konvensi bersama; tetapi juga menunjukkan loyalitas dan komitmen pada nilai-nilai moral yang dianut oleh kelompok komunitasnya. Ketaatan pada aturan atau norma tersebut bukan karena takut atau karena akan mendapat imbalan seperti ketaatan seorang hamba (Latin: obedentia servilis), tetapi manusia taat pada norma moral itu karena ia mencintainya, ketaatannya adalah bagaikan ketaatan seorang anak yang mengasihi orang tuanya (obedentia filialis). Pada kesadaran moral level konvensional, tahap perkembangan moral yang ke-3, kesadaran moral berorientasi pada kesesuaian dengan relasi interpersonal. Maksudnya, relasi moral yang dibangun adalah relasi yang memperlakukan sesama berdasarkan status personanya sebagai manusia. Perilaku yang baik pada tahap ini adalah perilaku yang memperlakukan sesama tersebut sebagai keluarga dan sahabat. Selanjutnya pada tingkat ke-4 dalam level konvensional ini timbul pula kesadaran terhadap kebutuhan untuk tindakan penegakkan hukum dan aturan. Tindakan penegakkan hukum dan aturan itu didasari oleh rasa wajib atau rasa harus yang timbul dari kedalaman hatinya. Sesama yang diperlakukan sebagai keluarga dan sahabat itu adalah bagian integral dari entitas kehidupan sosial yang terlibat dalam perjuangan bersama untuk mewujudkan nilai-nilai moral. Peran dan kewajiban individual dan komunal di wilayah domestik, tertenun erat

dengan peran dan kewajiban kehidupan sosial (ekonomi, politik, keamanan) di wilayah publik. Ketiga, level Postkonvensional. Pada tahap ini seseorang tidak lagi secara sederhana menerima dan memperjuangkan nilai dan norma komunitariannya. Dia justru berusaha untuk melampaui norma komunitariannya. Pada tahap ini muncul semacam kritisisme yang rasional dalam dirinya untuk mempertanyakan kembali norma-norma dan hukum komunitariannya. Pada perkembangan moral tahap 5, seseorang menjadi sadar tentang adanya keberagaman atau pluralitas norma moral yang pantas dihadapai secara toleran dan adil berdasarkan perjanjian atau kontrak sosial. Dia mulai meyakini adanya kebaikan yang melampaui kebaikan komunitariannya. Teristimewa dia menyadari adanya nilai-nilai yang berciri perenial yang ada pada berbagai elemen komunitas di luar komunitasnya. Karena itu nilai dan norma itu cenderung bersifat relative (tidak absolut) dan keadilan menjadi pilihan utama dalam beriteraksi dengan sesama. Pada perkembangan moral tahap 6, nilai-nilai yang berciri perenial dan sejatinya yang ada dan menjadi nilai yang relative berlaku universal itu, hadir dalam prinsipprinsip HAM dan bagi yang beragama Yahudi dan Kristen juga hadir dalam 10 perintah TUHAN (Kel 20:1-17). Pada tahap terakhir ini ajaran dan tindakan yang etis itu dimaknai dan dipilih karena adanya derajat dan konsistensi dimensi komprehensivitas dan universalitasnya. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang baik dan benar itu, wajib berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral universal itu dan sekaligus melihatnya sebagai kriterium tertinggi untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang ada baik secara praktis (yang nampak dalam perilaku), maupun secara teoritis, yang nampak dalam diskusi-diskusi, dsbnya . Pada level keenam ini, seseorang menjadi otonom dalam kesadaran moralnya. 2.2 Penalaran Etis Insani Penalaran adalah gerak pemikiran. Penalaran etis adalah proses penilaian moral berdasarkan standar etis terhadap fakta dari kebijakan, institusi dan perilaku moral, secara rasional, konsisten, dan holistik. Agar bisa menjadi pribadi penilai, manusia harus memiliki kesadaran moral level konvensional/postkonvensional dan prapaham yang memadai tentang standard moral. Standard atau prinsip-prinsip yang memuat elemen perintah dan larangan tentang hal yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah, perlu dipahami dengan baik secara utuh dan total (holistic) sesuai dengan sumber-sumber konvensinya yang berbasis adat, agama, negara, dan PBB, yang idealnya telah terpahat atau tertanam dalam hati nuraninya dan melaluinya dapat terungkap dalam suara hatinya. Untuk mengolah, menumbuhkan, mengembangkan, dan memberdayakan hal itu, manusia dianjurkan menjadi manusia pembelajar, manusia meditatif, manusia kontemplatif dan memuncak menjadi pribadi yang setia melakukan adorasi, yaitu sebagai manusia penyembah TUHAN dalam roh dan kebenaran. Contoh bagan dari penalaran moral atau penalaran etis itu dapat dilihat pada skema berikut.

Gambar 1 : Bagan Penaralan Etis Standar moral berdasarkan sumber ajaran moral: Adat; Agama; Negara; PBB Informasi faktual yang berkaitan dengan kebijakan dan tingkah laku Penilaian moral atas kebenaran atau kesalahan kebijakan, dan perilaku manusia Hal itu dinilai secara rasional, konsisten, dan holistik

Penalaran adalah gerak pemikiran. Penalaran etis adalah proses penilaian moral berdasarkan standar etis terhadap fakta dari kebijakan, institusi dan perilaku moral, secara rasional, konsisten, dan holistik. Agar bisa menjadi pribadi penilai, manusia harus memiliki kesadaran moral level konvensional/postkonvensional dan prapaham yang memadai tentang standard moral. Standard atau prinsip-prinsip yang memuat elemen perintah dan larangan tentang hal yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah, perlu dipahami dengan baik secara utuh dan total (holistic) sesuai dengan sumber-sumber konvensinya yang berbasis adat, agama, negara, dan PBB, yang idealnya telah terpahat atau tertanam dalam hati nuraninya dan melaluinya dapat terungkap dalam suara hatinya. Untuk mengolah, menumbuhkan, mengembangkan, dan memberdayakan hal itu, manusia dianjurkan menjadi manusia pembelajar, manusia meditatif, manusia kontemplatif dan memuncak menjadi pribadi yang setia melakukan adorasi, yaitu sebagai manusia penyembah TUHAN dalam roh dan kebenaran.

3. Etika Profesi Sebagai Etika Terapan 3.1Makna Profesi: Pekerjaan yang dilakukan berdasarkan keahlian untuk memperoleh nafkah demi menggapai kebebasan finasial dan kebahagiaan hidup yang integral dan komprehensif di tengah pertumbuhan peradaban insani. 3.2 Prinsip-Prinsip Etika Profesi: Menerapkan etika keutamaan dalam dunia kehidupan 4. Pertimbangan Etis Terhadap Kasus-Kasus Etika Profesi 4.1 Kasus Korupsi Pegawai Negri 4.2 Kasus Pemerasan Militer

4.3 Kasus Eksploitasi Industri 4.4 Kasus Periklanan 4.5 Kasus Penipuan Multi Level Marketing 4.6 Kasus Pekerja Seks Komersial

Вам также может понравиться