Вы находитесь на странице: 1из 156

PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS

Departemen Kesehatan RI, 2011

PENATALAKSANAAN PENGOBATAN
1. ABORTUS Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 17; 1701

ICD X : O03

a. Definisi Terhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat janin kurang dari 500 g. b. Penyebab Sebagian besar disebabkan karena kelainan kromosom hasil konsepsi. Beberapa penyebab lain adalah trauma, kelainan alat kandungan dan sebab yang tidak diketahui. c. Gambaran Klinis Adanya gejala kehamilan (terlambat haid, mual/ muntah pada pagi hari) yang disertai perdarahan pervaginam (mulai bercak sampai bergumpal) dan/atau nyeri perut bagian bawah, mengarah ke diagnosis abortus. 1) Abortus Imminens (Ancaman Keguguran) Ditandai dengan perdarahan pervaginam sedikit, nyeri perut tidak ada atau sedikit. Belum ada pembukaan serviks. 2) Abortus Insipiens (Keguguran sedang berlangsung) Perdarahan pervaginam banyak (dapat sampai bergumpal-gumpal), nyeri perut hebat, terdapat pembukaan serviks. Kadang-kadang tampak jaringan hasil konsepsi di ostium serviks. 3) Abortus Inkompletus (Keguguran tidak lengkap) Perdarahan pervaginam banyak, nyeri perut sedang sampai hebat. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi sebagian, ostium serviks bisa masih terbuka atau mulai tertutup. 4) Abortus Kompletus (Keguguran lengkap) Perdarahan pervaginam mulai berkurangberhenti, tanpa nyeri perut, ostium serviks sudah tertutup. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi utuh, seluruhnya.

Milik: dr. Malisa Lukman

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5) Missed Abortion (Keguguran yang tertahan) Abortus dengan hasil konsepsi tetap tertahan intra uterin selama 2 minggu atau lebih. Riwayat perdarahan pervaginam sedikit, tanpa nyeri perut, ostium serviks masih tertutup. Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih kecil) dari usia gestasi yang seharusnya. d. Diagnosis 1) Terlambat haid (amenore) kurang dari 22 minggu. 2) Perdarahan pervaginam, mungkin disertai jaringan hasil konsepsi. 3) Rasa nyeri di daerah atas simpisis. 4) Pembukaan ostium serviks. e. Penatalaksanaan 1) Puskesmas non PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar): a) Abortus Imminens (1) Tirah baring sedikitnya 23 hari (sebaiknya rawat inap) (2) Pantang senggama (3) Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis, bila masih abortus imminens tirah baring dilanjutkan (4) Mobilisasi bertahap (dudukberdiriberjalan) dimulai apabila diyakini tidak ada perdarahan pervaginam 24 jam b) Abortus tingkat selanjutnya (1) Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan pembebasan jalan napas, pemberian oksigenasi (O2 2-4 liter/menit), pemasangan cairan intravena kristaloid (Ringer Laktat/Ringer Asetat/NaCl 0,9%) sesuai pedoman resusitasi. (2) Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke Puskesmas PONED atau RS. f. 2) Pada puskesmas PONED a) Abortus Imminens Seperti pada Puskesmas non PONED. b) Abortus Insipiens (1) Antibiotik profilaksis: Amoksisilin 500 mg per oral sebelum tindakan kuretase.

(2) Perlu segera dilakukan pengeluaran hasil konsepsi dan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap (3) Uterotonika: Oksitosin 10 UI i.m. (4) Disesuaikan dengan program PONED Ditjen BUK Dasar c) Abortus Inkompletus (1) Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap (2) Segera atasi kegawatdaruratan: (a) Oksigenisasi 24 liter/menit (b) Pemberian cairan i.v. kristaloid (NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat) (c) Transfusi bila Hb kurang dari 8 g/dL. d) Abortus Kompletus (1) Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan infeksi) (2) Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan (3) Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus. e) Missed Abortion (1) Evaluasi hematologi rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit) dan uji hemostasis (fibrinogen, waktu perdarahan, waktu pembekuan). (2) Bila terjadi gangguan faal hemostasis dan hipofibrinogenemia, segera rujuk di rumah sakit yang mampu untuk transfusi trombosit/Buffy-Coat dan komponen darah lainnya. (3) Hasil konsepsi perlu dievakuasi dari kavum uteri. Dilaksanakan setelah dipastikan tidak terdapat gangguan faal hemostasis. KIE 1) Pemeriksaan kehamilan secara teratur 2) Pasca abortus dianjurkan untuk mengikuti program Keluarga Berencana 3) Tunda kehamilan berikutnya sampai kondisi pulih 4) Kenali faktor risiko terjadinya abortus 5) Apabila terjadi perdarahan pada saat kehamilan, segera hubungi puskesmas.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2. ABSES GIGI Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A dan 4 : 1503

ICD X : K04.7 f.

6) Pada pasien anak, setelah diagnosis dan penanganan sederhana, rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut. 7) Bila ada dokter gigi dengan fasilitas memadai, maka dapat dilakukan tindakan lebih lanjut sesuai kompetensi dokter gigi. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi minimal tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair. 3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. 4) Efek samping metronidazol: mual. Jika terjadi mual maka metronidazol bisa diberikan 250 mg tiap 4 jam (6x sehari). Atau untuk mengatasi mual dapat diberikan metoklopramid 3x10 mg (untuk dewasa) 1 jam sebelum makan.

a. Definisi Pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi ke jaringan di sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi. Abses gigi yang dimaksud adalah abses pada pulpa dan periapikal. b. Penyebab Abses ini terjadi dari infeksi gigi yang berisi cairan (nanah) dialirkan ke gusi sehingga gusi yang berada di dekat gigi tersebut membengkak. c. Gambaran Klinis 1) Pada pemeriksaan tampak pembengkakan disekitar gigi yang sakit. Bila abses terdapat di gigi depan atas, pembengkakan dapat sampai ke kelopak mata, sedangkan abses gigi belakang atas menyebabkan bengkak sampai ke pipi. Abses gigi bawah menyebabkan bengkak sampai ke dagu atau telinga dan submaksilaris. 2) Pasien kadang demam, kadang tidak dapat membuka mulut lebar. 3) Gigi goyah dan sakit saat mengunyah. d. Diagnosis Pembengkakan gusi dengan tanda peradangan di sekitar gigi yang sakit. e. Penatalaksanaan 1) Pasien dianjurkan berkumur dengan air garam hangat. 2) Dewasa : Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari Anak : Amoksisilin 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam 3) Simtomatik: Parasetamol Dewasa : 500 mg tiap 6-8 jam Anak : 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam 4) Abses meluas (abses membesar dan meliputi lebih dari satu gigi), dilakukan insisi (drainase) kemudian ditambahkan metronidazol 500 mg tiap 8 jam. 5) Bila terjadi kegagalan terapi tersebut diatas, maka pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut untuk penanganan selanjutnya sesuai dengan indikasi. 5

6
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3. ANEMIA DEFISIENSI Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 54 a. Definisi Anemia pada: - laki-laki: Hb <13 g/dL, - wanita: Hb <12 g/dL, - wanita hamil: Hb <11 g/dL, - anak usia sekolah: Hb < 12 g/dL, - balita: Hb <11 g/dL

ICD X : D50-51

b. Penyebab Penyebab paling sering adalah defisiensi besi terutama pada anak-anak. Defisiensi besi biasanya disebabkan oleh asupan yang kurang, kecacingan, perdarahan kronis. Defisiensi lain yang dapat menyebabkan anemia adalah vitamin B12 dan asam folat. Pada ibu hamil dapat terjadi anemia defisiensi karena kebutuhan makronutrien yang meningkat. c. Gambaran Klinis 1) Gejala anemia bervariasi dari asimtomatis sampai syok atau penurunan kesadaran tergantung dari kadar Hb, kecepatan penurunan Hb dan usia. 2) Gejala defisiensi besi yang spesifik pada anak diberi istilah pica (makan yang tidak semestinya dimakan, misalnya tanah, pensil, penghapus). 3) Anemia defisiensi ditandai dengan lemas, sering berdebar, lekas lelah dan sakit kepala. Papil lidah tampak atrofi. Jantung kadang membesar dan terdengar murmur sistolik. Di darah tepi tampak gambaran anemia hipokrom dan mikrositer, sementara kandungan besi serum rendah. 4) Defisiensi vitamin B12 maupun asam folat menyebabkan anemia megaloblastik yang mungkin disertai gejala neurologi. d. Diagnosis Anamnesis (pola asupan makan, pola menstruasi) dan pemeriksaan fisik sesuai dengan gejala dan tanda klinis dan ditunjang pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan kadar Hb dan darah tepi (kadar Hb lihat di definisi). Pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya telur cacing.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Anemia defisiensi besi diatasi dengan makanan yang mengandung zat besi (misalnya bayam, daging), sulfas ferosus 10 mg/kgBB 3 x sehari (ekivalen dengan besi elementer 1mg/kgBB/hari) selama 6-8 minggu. 2) Anemia karena kecacingan diatasi memberikan obat cacing (lihat pokok bahasan Kecacingan). 3) Anemia megaloblastik diobati spesifik, oleh karena itu harus dibedakan penyebabnya, defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat. 4) Dosis vitamin B12 100 mcg/hari i.m. selama 510 hari sebagai terapi awal, diikuti dengan terapi rumat 100-200 mcg/bulan sampai dicapai remisi. 5) Dosis asam folat 0,51 mg/hari per oral selama 10 hari, dilanjutkan dengan 0,1 0,5 mg/hari. 6) Penggunaan vitamin B12 oral tidak ada gunanya pada anemia pernisiosa. Selain itu sediaan oral lebih mahal. f. KIE Pada anemia defisiensi: 1) Tujuan penatalaksanaan adalah menghilangkan gejala sesuai dengan penyebab anemia, menaikkan kadar Hb. 2) Pencegahan: a) diet makanan bergizi yang cukup mengandung zat besi, asam folat dan vitamin B12. Perlu disampaikan kepada ibu cara penyiapan makanan yang baik, misalnya tidak memberikan teh bersamaan dengan makanan karena dapat mengurangi absorpsi besi. b) menjaga higiene dan sanitasi. 3) Informasi pemberian sulfas ferosus pada pasien: paling baik diberikan saat perut kosong. 4) Efek samping: sulfas ferosus dapat menimbulkan mual, rasa tidak enak, konstipasi, feses berwarna kehitaman. 5) Alasan rujukan: anemia yang diobati selama 2 minggu tidak ada kenaikan Hb (anemia defisiensi besi diharapkan naik 2-4 g/dL dalam waktu 2 minggu setelah pemberian suplementasi besi). 6) Keberhasilan pengobatan anemia sangat tergantung pada kemampuan untuk menegakkan diagnosis etiologi. 7) Pada anak >2 tahun dan belum pernah mendapatkan mebendazol, berikan mebendazol 500 mg.

8
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4. ANGINA PEKTORIS STABIL Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 85

ICD X : I20.8

a. Definisi Suatu sindroma klinis berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada (substernal), rahang, bahu, punggung, atau lengan yang timbul saat aktivitas atau stres emosional yang berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Walaupun jarang, nyeri dapat dirasakan di daerah epigastrium. b. Penyebab Iskemia ini terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh aliran darah koroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini terjadi bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat (misalnya karena kerja fisik, emosi, tirotoksikosis, hipertensi), atau bila aliran darah koroner berkurang (misalnya pada spasme atau trombus koroner) atau bila terjadi keduanya. c. Gambaran Klinis 1) Pada anamnesis perlu ditanyakan: a) Rasa tidak nyaman di dada (biasanya substernal) b) Keluhan memberat pada saat aktivitas fisik atau stres emosional c) Keluhan berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat 2) Dikatakan: a) angina pektoris tipikal bila memenuhi 3 gejala, b) angina pektoris atipikal bila memenuhi 2 gejala, c) non anginal chest pain bila hanya memenuhi <1 gejala. 3) Sebagian besar pasien dengan angina pektoris tidak dijumpai kelainan dalam pemeriksaan fisik. 4) Pemeriksaan fisik abnormal akan dijumpai jika terdapat penyakit penyerta. 5) Perlu ditanyakan faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK): a) diabetes melitus b) hipertensi c) merokok d) sejarah keluarga PJK e) dislipidemia. 9

d. Diagnosis Diagnosis angina pectoris stabil berdasarkan klasifikasi menurut Canadian Cardiovascular Society (CCS): 1) Kelas I: Angina tidak timbul pada saat aktivitas sehari-hari, seperti berjalan atau menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa dan berkepanjangan. 2) Kelas II: Sedikit pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan atau naik tangga dengan cepat, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, di hawa dingin atau melawan angin, atau dalam keadaan stres emosional, atau hanya timbul beberapa jam setelah bangun tidur. 3) Kelas III: Adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas sehari-hari, angina timbul jika berjalan rata satu atau dua blok (setara dengan jarak 100-200 meter) dan naik tangga satu tingkat pada kecepatan dan kondisi yang normal. 4) Kelas IV: Ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan rasa nyaman atau angina saat istirahat. Klasifikasi APS kelas III dan IV perlu dipikirkan suatu sindroma koroner akut (lihat Bab Sindroma Koroner Akut). e. Penatalaksanaan 1) Manajemen umum: a) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia). b) Pengendalian aktivitas fisik. c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal jantung. d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya. 2) Medikamentosa: a) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki prognosis pasien angina stabil: (1) Asetosal 80 mg sehari pada semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik (mis: perdarahan aktif traktus gastro intestinal, alergi asetosal atau riwayat intoleransi asetosal sebelumnya).

10
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Simvastatin 10 mg pada semua pasien PJK dan diberi dosis tinggi pada pasien risiko tinggi yang terbukti menderita PJK tanpa melihat hasil kolesterol. (3) Kaptopril 6,25 mg tiap 8 jam (dapat dititrasi hingga 50 mg tiap 8 jam) pada semua pasien dengan hipertensi, gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri, riwayat infark sebelumnya dengan disfungsi ventrikel kiri atau diabetes. (4) Beta blocker (atenolol) oral pada pasien pasca infark atau dengan gagal jantung. Obat-obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup. b) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki gejala dan/atau mengurangi iskemik pasien angina stabil: (1) Nitrogliserin (isosorbid dinitrat tablet 5 mg) sublingual untuk mengurangi gejala akut dan profilaksis situasional. (2) Beta bloker dititrasi sampai dosis penuh. (3) Jika intoleransi terhadap beta blocker atau kurang efikasi, dianjurkan monoterapi dengan Calcium channel blocker (CCB). (4) Jika efek monoterapi beta blocker tidak memadai tambahkan CCB golongan dihidropiridin (amlodipin 5 mg). (5) Jika kontraindikasi terhadap beta blocker (misal asma) maka bisa diberikan CCB golongan nondihidropiridin (diltiazem 30 mg tiap 8 jam, dosis dapat dititrasi). f. KIE: 1) Tujuan penatalaksanaan: a) Memperbaiki prognosis dengan mencegah infark miokard akut dan kematian. b) Mengurangi atau menghilangkan gejala. 2) Pencegahan: a) Pengendalian aktivitas fisik jika pasien belum menjalani prosedur revaskularisasi (PCI). b) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia). c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal jantung. d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya. 11

3) Alasan rujukan: Pasien dianjurkan kontrol ke rumah sakit untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut seperti treadmill test, ekokardiografi atau kateterisasi jantung.

12
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5. ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL (SINDROM KORONER AKUT: STEMI DAN NON STEMI) Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : ICD X : 120.0 a. Definisi Angina Pektoris Tidak Stabil yaitu bila ditemukan salah satu gejala seperti: 1) angina saat istirahat yang berlangsung > 20 menit yang tidak/kurang responsif terhadap pemberian nitrat organik, 2) angina yang pertama kali muncul, 3) angina yang meningkat dalam hal frekuensinya, durasinya, atau intensitasnya (atau pencetus yang lebih ringan) dibandingkan episode sebelumnya. Angina pektoris tidak stabil dapat merupakan gejala dari Sindrom Koroner Akut (SKA), yaitu sindrom klinis yang disebabkan karena proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard yang dipicu oleh adanya denudasi (robekan) plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi distal. Terdapat dua subset klinis SKA yaitu ST elevation myocardial infarction (STEMI) dan Non ST elevation myocardial infarction/unstable angina pectoris (Non STEMI/UAP). b. Penyebab Pecahnya plak aterosklerosis di dalam pembuluh darah koroner. c. Gambaran Klinis Berupa nyeri dada atau chest discomfort yang berlangsung secara mendadak atau cepat yang bertambah berat saat istirahat, tidak hilang dengan pemberian nitrat, atau saat aktivitas tidak berkurang dengan istirahat. Gejala ini disebut dengan Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS). d. Diagnosis 1) Presentasi Klinis Secara klasik, presentasi klinis SKA STEMI dan Non STEMI meliputi : a) Nyeri dada iskemik berupa nyeri dada yang terus-menerus (>20 menit) saat istirahat. b) Angina berat (CCS III-IV) yang timbul pertama kali. c) Angina pasca infark miokard. d) Angina progresif (bertambah sering dalam 24 jam)
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pemeriksaan Fisik Hampir selalu normal, termasuk pemeriksaan thoraks, auskultasi dan pengukuran laju jantung serta tekanan darah. Tujuan pemeriksaan fisik ini untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada nonkardiak, penyakit kardiak non iskemik (perikarditis, penyakit valvular), penyebab ekstra kardiak yang mencetuskan nyeri dada serta mencari tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel kiri. 3) EKG saat istirahat (jika ada alat EKG) a) STEMI: Elevasi segmen ST >1 mm pada 2 sadapan prekordial (V1-V6) atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang berdekatan (contagious lead), atau LBBB yang dianggap baru. b) Non- STEMI: Depresi segmen ST 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten maupun transient elevasi segmen ST 0.5 mm (< 20 menit) serta inversi gel T 0.2 mV pada 2 sadapan yang berdekatan atau lebih. e. Penatalaksanaan 1) Tata laksana awal pada pasien dugaan SKA: a) Pemberian Oksigen nasal 2-4 L/mnt b) Pemberian asetosal tablet kunyah 160 mg c) ISDN 5 mg di bawah lidah (jika TD sistolik > 100 mmHg), dapat di ulang tiap 5 menit sampai 3 kali pemberian d) Mendapatkan akses intra vena sebelum dirujuk e) Merekam dan menganalisis EKG (dalam 10 menit), segera tentukan apakah EKG 12 lead menunjukkan STEMI atau NonSTEMI. f) Setelah penanganan awal maka segera dirujuk. 2) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan STEMI: Jika onset < 12 jam, harus segera dirujuk ke RS yang mampu melakukan terapi reperfusi (fibrinolitik atau PCI primer). Jika onset > 12 jam segera dirujuk ke RS. 3) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan Non-STEMI: Segera dirujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di ICCU/ICU.

13

14
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE 1) Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah terjadinya komplikasi dan kematian serta meningkatkan harapan hidup. 2) Pencegahan terjadi serangan berikutnya: sesuai pada Bab Angina Pektoris Stabil. 3) Alasan rujukan: untuk dilakukan tindakan reperfusi (fibrinolitik atau PCI), dan perawatan di ruang intensif kardiovaskuler.

6. ANTRAKS Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 0504

ICD X : A22

a. Definisi Antraks merupakan penyakit pada binatang buas, maupun hewan piaraan, yaitu hewan-hewan pemamah biak (herbivora), seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan kuda. Penyakit ini ditularkan kepada manusia terutama pada orang yang pekerjaannya selalu berhubungan dengan/berdekatan dengan ternak seperti peternak, gembala, dokter hewan, petugas laboratorium, pekerja pabrik barang-barang kulit dan tulang. b. Penyebab Kuman antraks (Bacillus anthracis). c. Cara Penularan Penyakit ini ditularkan kepada manusia biasanya oleh karena masuknya spora atau basil antraks ke dalam tubuh melalui berbagai cara, yaitu melalui kulit yang lecet atau luka yang menyebabkan antraks kulit, melaui mulut karena makan bahan makanan yang tercemar, menyebabkan antraks intestinal (pencernaan), inhalasi saluran napas menyebabkan antraks pulmonal. Antraks peradangan otak (meningitis) umumnya adalah bentuk kelanjutan antraks kulit, intestinal atau pulmonal. Antraks pulmonal dan meningitis sangat jarang dilaporkan di Indonesia. Penularan terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan yang terjangkit penyakit tersebut, misalnya kontak dengan darah yang keluar dari lubang-lubang kumlah hewan mati karena antraks atau bahan-bahan yang berasal dari hewan yang tercemar oleh spora antraks, misalnya daging, jeroan, kulit, tepung, wool, dan sebagainya. Disamping itu, sumber penularan lainnya yang potensial ialah lingkungan, antara lain tanah, tanaman (sayur-sayuran) dan air yang tercemar oleh spora antraks. d. Gambaran Klinis 1) Gambaran Klinis Antraks Kulit a) Masa inkubasi 7 hari (rata-rata 1-7 hari) b) Gatal ditempat lesi c) Papel d) Vesikel

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

15

16
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Ulkus (tukak) di tengahnya terdapat jaringan nekrotik berbentuk keropeng berwarna hitam (tanda patognomonik antraks) dan biasanya didapatkan eritema dan edema di sekitar tukak. Pada perabaan, edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk (non-pitting) bila ditekan. Disini tidak didapatkan pus kecuali bila diikuti infeksi sekunder. f) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening regional. g) Demam yang sedang, sakit kepala, malaise jarang ada. h) Predileksi antraks kulit biasanya pada tempat-tempat terbuka, seperti muka, leher, lengan, tangan, dan kaki. i) Antraks kulit yang tidak diobati akan berkembang lebih buruk dengan penjalaran ke kelenjar limfe dan berlanjut ke aliran darah, sehingga mengakibatkan septikemia dan kemungkinan kematian 520%. j) Pemeriksaan bakteriologis dari eksudat di tempat lesi kulit didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif. 2) Gambaran Klinis Antraks Intestinal a) Masa inkubasi bervariasi antara 25 hari b) Gejala awal: mual, tidak nafsu makan dan suhu tubuh meningkat c) Muntah d) Sakit perut hebat e) Konstipasi f) Dapat juga terjadi gastro-enteritis akut yang kadang-kadang berdarah, hematemesis, kelemahan umum, demam dan ada riwayat pemaparan dengan produk hewan atau makanan. g) Pemeriksaan bakteriologis dari spesimen feses didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif. e. Diagnosis 1) Tersangka antraks kulit Apabila adanya kasus atau ledakan antraks pada hewan atau riwayat pemaparan dengan hewan /bahan asal hewan dan lingkungan yang tercemar oleh spora/basil antraks serta ditemukan kelainan pada kulit berupa tukak dengan jaringan mati berbentuk keropeng berwarna hitam di tengahnya (eskar), di sekitar tukak kemerahan, sembab, pada perabaan daerah yang sembab tersebut tidak lunak dan tidak lekuk dan biasanya tidak didapatkan pus kecuali diikuti infeksi sekunder. 17

2) Pasien antraks kulit (diagnosis pasti) Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis. 3) Tersangka antraks intestinal Apabila adanya kasus atau ledakan antraks pada hewan atau riwayat pemaparan dengan produk hewan atau makanan serta ditemukan adanya panas disertai sakit perut dan muntah. 4) Pasien antraks intestinal (diagnosis pasti) Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis. f. Penatalaksanaan 1) Obat pilihan (drug of choice) untuk pasien antraks kulit adalah penisilin. Prokain penisilin dengan dosis 1,2 juta UI i.m. tiap 12 jam selama 5 7 hari atau benzilpenisilin dengan dosis 250.000 UI tiap 6 jam. Sebelum pemberian penisilin lakukan skin test. Pasien yang hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin dengan dosis 500 mg tiap 6 jam selama 57 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada anak dibawah umur 6 tahun. Obat pilihan lain ialah kloramfenikol. 2) Pada antraks intestinal dapat diberikan penisilin G injeksi 1,82,4 juta UI i.v. per hari, dapat ditambahkan tetrasiklin 1 g i.v per hari. 3) Obat-obat simtomatis dan suportif jika diperlukan. 4) Rujuk ke rumah sakit bila diperlukan.

g. KIE 1) Hindari kontak dengan sumber penularan. 2) Masyarakat diminta melaporkan ke puskesmas setempat bila ada tersangka antraks dan melaporkan ke Dinas Peternakan bila ada hewan yang sakit dengan gejala antraks. 3) Hewan yang mati akibat antraks harus dimusnahkan. Tidak diperbolehkan mengkonsumsi daging hewan yang sakit antraks. 4) Tidak diperbolehkan membuat barang-barang yang berasal dari hewan seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang yang berasal dari hewan sakit/mati karena penyakit antraks. 5) Puskesmas wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila menjumpai pasien/tersangka antraks.

18
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

7. ARTRITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 90

ICD X : M05

(karena efusi pada sendi), kadang-kadang disertai tanda-tanda peradangan, perubahan bentuk/deformitas sendi yang permanen, Heberdens node (nodul/osteofit pada sendi DIP), Bouchards node (nodul/osteofit pada PIP). 2) Artritis Reumatoid a) Anamnesis Gejala pada awal onset: gejala prodromal (lelah, anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah) yg berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala spesifik pada beberapa sendi (poliartrikular) secara simetris, terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal), pergelangan tangan, lutut, dan kaki. Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam. Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), saluran napas atas (nyeri tenggorok, nyeri menelan atau disfonia yang terasa lebih berat pada pagi hari), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis), hematologi (anemia), dsb. b) Pemeriksaan Fisik (1) Manifestasi artikular: pada lebih dari 3 sendi (poliartritis) terutama di sendi tangan, simetris, immobilisasi sendi, pemendekan otot seperti pada vertebra servikalis, gambaran deformitas sendi tangan (swan neck, boutonniere). (2) Manifestasi ekstraartikular: kulit (nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis), soft tissue rheumatism (carpal tunnel syndrome, frozen shoulder), mata (kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/skleritis), sistem respiratorik (radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, fibrosis paru luas), sistem kardiovaskuler (perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati), hematologi (anemia akibat penyakit kronik). (3) Keluhan lain yang mirip dengan artritis adalah reumatism yang sebenarnya berasal dari jaringan lunak di luar sendi. Yang di kenal awam sebagai encok sebagian besar adalah reumatism.

a. Definisi Artritis adalah istilah umum bagi peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di daerah persendian. OA (Osteoartritis) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit). RA (Rheumatoid Arthritis) atau Artritis Reumatoid, merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetris yang terutama mengenai jaringan persendian, namun sering juga melibatkan organ tubuh lainnya. Lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umumnya usia antara 35-50 tahun. Faktor genetik, hormon seks, infeksi berpengaruh kuat pada morbiditas RA. b. Penyebab Artritis dapat berupa osteoartritis (OA) atau artritis reumatoid (AR), tetapi yang paling banyak dijumpai adalah osteoartritis. Pada OA faktor penyebab utama adalah trauma atau pengausan sendi, sedangkan pada AR faktor imunologi yang berperan. c. Gambaran Klinis 1) Osteoartritis a) Anamnesis Faktor risiko: umur (sering di atas 50 tahun), jenis kelamin (di atas usia 50 tahun wanita lebih banyak), suku bangsa (suku Indian dan orang-orang kulit putih), genetik, kegemukan, cedera sendi, olahraga, pekerjaan berat, kelainan pertumbuhan, tingginya kepadatan tulang. Keluhan: nyeri sendi (bertambah dengan gerakan, berkurang dengan istirahat), hambatan gerakan sendi, kaku pagi < 30 menit, krepitasi dan perubahan gaya berjalan. b) Pemeriksaan Fisik Hambatan gerak sendi, pembesaran sendi, krepitasi, perubahan gaya berjalan, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

19

20
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Sendi yang terserang biasanya bengkak, merah dan nyeri. (5) Serangan AR biasanya dimulai dengan gejala prodromal berupa badan lemah, hilang nafsu makan, nyeri dan kaku seluruh badan. Gejala pada sendi biasanya timbul bertahap setelah beberapa minggu atau bulan. (6) Nyeri sendi pada AR bersifat hilang timbul, ada masa remisi, bersifat simetris bilateral, dan berhubungan dengan udara dingin. (7) Serangan OA biasanya sesisi. Gejala utamanya adalah nyeri sendi yang berhubungan dengan gerak. Pasien juga merasakan kaku pada sendi yang terserang. (8) Pada pemeriksaaan radiologi OA biasanya memperlihatkan pelebaran sendi pada tahap awal, osteofit, sklerosis tulang dan penyempitan rongga antar sendi pada tahap lanjut. (9) Deformitas dapat terjadi pada OA maupun AR setelah terjadi destruksi sendi. d. Diagnosis 1) Osteoartritis Kriteria diagnosis (ACR) a) Osteoartritis sendi lutut: (1) Nyeri lutut, dan (2) Salah satu dari 3 kriteria berikut: - Usia > 50 tahun - Kaku sendi < 30 menit - Krepitasi + osteofit b) Osteoartritis sendi tangan: (1) Nyeri tangan atau kaku, dan (2) Tiga dari 4 kriteria berikut: - Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (distal interphalanx DIP II dan III ki&ka, proximal interphalangeal PIP II dan III ki&ka, carpometacarpal CMC I ki&ka) - Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP - Pembengkakan pada < 3 sendi MCP - Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu c) Osteoartritis sendi pinggul:
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(1) Nyeri pinggul, dan (2) Minimal 2 dari 3 kriteria berikut: - LED < 20 mm/jam - Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum. Terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial) 2) Artritis Reumatoid Kriteria diagnosis berdasarkan ACR tahun 1987 (Tabel 1): a) Kaku pagi, sekurangnya 1 jam b) Artritis pada sekurangnya 3 sendi c) Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP) dan Proximal Interphalanx (PIP) d) Artritis yang simetris e) Nodul reumatoid f) Faktor reumatoid serum positif g) Gambaran radiologik yang spesifik Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas. Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu. Tabel 1. Sistem Penilaian Klasifikasi Kriteria AR (American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism, 2010)
Skor Populasi target (pasien mana yang harus di-tes?): Minimal 1 sendi dengan keadaan klinis pasti sinovitis (bengkak)1 Dengan sinovitis yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit lain2 Kriteria Klasifikasi untuk RA (algoritma berdasarkan skor: tambahkan skor dari kategori A-D; dari total skor 10, jika didapatkan jumlah skor 6 definisi pasti RA)3 A. Keterlibatan sendi4 1 sendi besar5 2-10 sendi besar 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)6 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) >10 sendi (min.1 sendi kecil)7 B. Serologi (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)8 RF (-) dan ACPA (-)

0 1 2 3 5 0

21

22
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

RF (+) rendah dan ACPA (+) rendah 2 RF (+) tinggi dan ACPA (+) tinggi 3 C. Reaktan fase akut (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)9 CRP normal dan LED normal 0 CRP tidak normal dan LED tidak normal 1 D. Durasi dari gejala10 < 6 minggu 0 6 minggu 1

e. Penatalaksanaan Keluhan pada sendi atau jaringan lunak di sekitarnya dapat di atasi dengan analgesik biasa atau dengan anti inflamasi nonsteroid yang diberikan sesudah makan. 1) Osteoartritis a) Edukasi b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut c) Modifikasi faktor risiko : turunkan berat badan, weight bearing daily activity d) Non-weight bearing exercise e) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu diberikan ortosis f) Analgesik: (1) Analgesik sederhana: asetaminofen 2-4 g/hari (2) Obat antiinflamasi non-steroid, seperti: natrium diklofenak 2-3 x 25-50 mg, piroksikam. (3) Opioid ringan: kodein g) Steroid oral jangka pendek untuk OA dengan inflamasi (efusi) 2) Artritis Reumatoid a) Penyuluhan. b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut. c) Obat anti inlamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-100 mg 2x/hari, atau golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy) d) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. f. KIE 1) Tujuan terapi: mengurangi rasa nyeri hingga dapat ditoleransi, menghindari komplikasi, mengurangi kejadian episode akut, meningkatkan kualitas hidup 23

2) Mengistirahatkan sendi diperlukan dalam keadaan akut. Selanjutnya pada OA, mungkin pasien perlu memperbaiki sikap tubuh, mengurangi berat badan, atau melakukan fisioterapi. 3) Efek samping pengobatan dengan AINS: nyeri ulu hati, mual, perdarahan saluran cerna. Bila timbul efek samping, pengobatan: ranitidin 150-300 mg tiap 12 jam. Bila terjadi perdarahan saluran cerna dan anemia akibat AINS segera dirujuk. 4) Alasan rujukan: untuk operasi perbaikan deformitas, pengobatan lebih lanjut.

24
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

8. ASMA BRONKIAL Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1403

ICD X : J45

a. Definisi Penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan selsel dan elemen seluler terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel. b. Penyebab Menurut The Lung Association, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma: 1) Pemicu (trigger) yang mengakibatkan terganggunya saluran napas dan mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran napas (bronkokonstriksi) tetapi tidak menyebabkan peradangan, seperti: a) Perubahan cuaca dan suhu udara. b) Rangsang sesuatu yang bersifat alergen, misalnya asap rokok, serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga, insektisida, debu, polusi udara dan hewan piaraan. c) Infeksi saluran napas. d) Gangguan emosi. e) Kerja fisik atau olahraga yang berlebihan. 2) Penyebab (inducer) yaitu sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien sebagai respon terhadap benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang, yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot polos, peningkatan pembentukan lendir dan perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki, yang mengakibatkan peradangan (inflamasi) pada saluran napas dimana hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi). Penyempitan ini menyebabkan pasien harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas. c. Gambaran Klinis 1) Sesak napas pada asma khas disertai suara mengi akibat kesulitan ekspirasi. 2) Pada auskultasi terdengar wheezing dan ekspirasi memanjang. 25

3) Keadaan sesak hebat yang ditandai dengan giatnya otot-otot bantu pernapasan dan sianosis dikenal dengan status asmatikus yang dapat berakibat fatal. 4) Dispnoe di pagi hari dan sepanjang malam, sesudah latihan fisik atau saat cuaca dingin, berhubungan dengan infeksi saluran napas atas, berhubungan dengan paparan terhadap alergen seperti pollen dan bulu binatang. 5) Batuk yang panjang di pagi hari dan larut malam, berhubungan dengan faktor iritatif, batuknya bisa kering, tapi sering terdapat mukus bening yang diekskresikan dari saluran napas. d. Diagnosis 1) Anamnesis Episode berulang dari sesak napas disertai dengan mengi, batuk (terutama memburuk saat malam hari), rasa tertekan di dada. Riwayat atopi, riwayat keluarga dengan asma, pekerjaan, pajanan faktor pencetus sebelumnya: bulu hewan, debu, udara, tungau, infeksi saluran napas, penggunaan obat (penyekat beta, aspirin). 2) Pemeriksaan fisik Takipneu (bisa disertai sianosis pada serangan berat), ekspirasi memanjang, wheezing, hiperinflasi dada 3) Pemeriksaan penunjang Eosinofilia, IgE serum meningkat, spirometri. Foto toraks (pada saat serangan). 4) Kriteria Diagnosis Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2010, adanya tanda dan gejala berikut ini meningkatkan kemungkinan diagnosis asma, antara lain: a) Wheezing (suara napas mengi) b) Riwayat salah satu dari hal berikut : batuk yang bertambah terutama malam hari, mengi berulang, kesulitan bernapas yang berulang, keluhan dada terasa berat yang berulang. c) Gejala timbul atau memburuk pada malam hari sehingga pasien terbangun dari tidur d) Gejala timbul atau memburuk pada musim-musim tertentu

26
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Pasien memiliki riwayat ekzema atau riwayat keluarga dengan asma atau dermatitis atopi f) Gejala timbul atau memburuk dengan adanya : hewan berbulu, kimia erosol, perubahan temperatur, obat (aspirin, penyekat beta), latihan atau olahraga, serbuk, infeksi (virus) saluran napas, asap atau stress emosi g) Gejala berkurang dengan pemberian terapi anti-asma Penggolongan asma dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penggolongan Asma Controlled Partly controlled asthma asthma Tidak ada ( 2 >2 kali / minggu Gejala harian kali/ minggu) Tidak ada Ada Keterbatasan aktivitas Tidak ada Ada Gejala malam hari Kebutuhan obat pelega Tidak ada ( 2 >2 kali / minggu kali/ minggu) (reliever) <80% predicted Fungsi faal paru (PEF Normal atau FEV) Karakteristik 5) Diagnosis Banding PPOK, gagal jantung 6) Pemeriksaan Lanjutan a) Laboratorium: jumlah eosinofil sputum, b) Skin prick test, c) Uji bronkodilator atas indikasi [peningkatan forced expiratory volume 1 (FEV1) 12% dan 200 ml setelah pemberian bronkodilator, peningkatan peak expiratory flow (PEF) 20% setelah pemberian bronkodilator], d) Uji provokasi bronkus atas indikasi, e) AGD (analisis gas darah) atas indikasi (pada serangan asma berat hasil AGD dapat PaCO2 45, hipoksemia, asidosis respiratorik)

e. Penatalaksanaan 1) Untuk anak: a) Asma ringan: Obat pereda beta agonis yaitu salbutamol secara inhalasi 2,5 mg/kali nebulisasi bisa diberikan tiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai tiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik, atau salbutamol oral (sirup atau tablet) dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam, atau adrenalin 1:1000 subkutan 0,1 mg/kgBB dengan dosis maksimal 0,3 mL/kali. b) Asma serangan sedang: Obat seperti diatas ditambah dengan oksigen, cairan intravena, kortikosteroid oral seperti deksametason 0,3 mg/kgbb/kali 3 x sehari selama 3-5 hari. c) Asma serangan berat: Obat seperti diatas ditambah aminofilin secara inisial. Dosis awal 6 mg/kg dalam dekstrosa/NaCl 20 mL dalam 20-30 menit. Dosis rumatan aminofilin 0,5-1 mg/kgBB/jam. Kortikosteroid dapat diberikan secara intravena. Bila terjadi perbaikan klinis nebulisasi dapat diberikan selama 6 jam. 2) Untuk dewasa: a) Serangan akut: (1) Oksigen. (2) Pasien umur <40 tahun: adrenalin 1:1000 0,2 0,3 mL s.k. yang dapat diulangi 2 kali dengan interval 1015 menit. Jika serangan tidak reda, dilanjutkan dengan aminofilin bolus 240 mg dalam 10 mL, disuntikkan dengan sangat perlahan. Bila serangan tidak reda, ditambahkan deksametason 5 mg i.v./i.m. Dapat diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila dalam 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk. (3) Pasien umur >40 tahun: aminofilin 5-6 mg/kgBB i.v. kombinasi dengan deksametason 5 mg i.v./i.m., diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila setelah 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk dan dinyatakan sebagai status asmatikus.

Uncontrolled asthma 3 gejala pada partly controlled asthma

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

27

28
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Prednison dapat ditambahkan bila aminofilin belum dapat mengatasi serangan secara optimal. Diberikan beberapa hari saja untuk mencegah status asmatikus. b) Bila sudah membaik, maka pengobatan lanjutan dapat digunakan: Lini 1: salbutamol 2-4 mg tiap 8 jam kombinasi dengan aminofilin 100-150 mg per oral tiap 8 jam. Lini 2: efedrin 10-15 mg tiap 8 jam. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: untuk mengatasi dan pencegahan serangan asma 2) Efek samping: a) adrenalin: berdebar-debar, pada orang tua bisa menimbulkan aritmia. b) aminofilin: menimbulkan hipotensi, mual, muntah, sakit kepala. c) salbutamol dan efedrin: efek samping mirip adrenalin dalam derajat yang lebih ringan. d) prednison: moonface, iritasi lambung. 3) Pasien diharapkan: a) mengenali faktor pencetus serangan dan menghindarinya b) mengenali tanda-tanda serangan c) bila terdapat tanda-tanda akan serangan, segera minum obat salbutamol dan aminofilin. 4) Bila pasien sudah dalam kondisi normal, obat tidak diperlukan lagi, namun perlu siap sedia obat salbutamol dan aminofilin. 5) Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengatasi serangan asma : a) Sedatif (harus dihindari) b) Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk) c) Fisioterapi / chest physical therapy (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien) d) Hidrasi dengan jumlah cairan yang terlalu banyak e) Antibiotik (tidak mengobati serangan namun diindikasikan pada pasien dengan pneumonia atau infeksi bakteri seperti sinusitis) 6) Komplikasi PPOK, gagal jantung, pada keadaan eksaserbasi akut dapat menyebabkan gagal napas dan pneumotoraks.

9. BATU SALURAN KEMIH Kompetensi : 2 Laporan Penyakit : 16

ICD X : N23

a. Definisi Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. b. Penyebab Banyak faktor yang berpengaruh untuk timbulnya batu dalam saluran kemih, seperti kurang minum, gangguan metabolisme. c. Gambaran Klinis 1) Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis). 2) Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di saluran kemih sebelah atas menimbulkan kolik, sedangkan yang di bawah menghambat buang air kecil. 3) Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut juga daerah kemaluan dan paha sebelah dalam). 4) Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam urin. Pasien mungkin menjadi sering buang air kecil, terutama ketika batu melewati ureter. 5) Urin sering merah seperti air cucian daging dan pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan banyak eritrosit dan kadang ada leukosit. 6) Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam urin yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. 7) Jika penyumbatan ini berlangsung lama, urin akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

29

30
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis 1) Batu yang tidak menimbulkan gejala, mungkin akan diketahui secara tidak sengaja pada pemeriksaan analisa urin rutin (urinalisis). 2) Batu yang menyebabkan nyeri biasanya didiagnosis berdasarkan gejala kolik renalis, disertai dengan adanya nyeri tekan di punggung dan selangkangan atau nyeri di daerah kemaluan tanpa penyebab yang jelas. 3) Analisa urin mikroskopik bisa menunjukkan adanya darah, nanah atau kristal batu yang kecil. Biasanya tidak perlu dilakukan pemeriksaan lainnya, kecuali jika nyeri menetap lebih dari beberapa jam atau diagnosisnya belum pasti. 4) Pemeriksaan tambahan yang bisa membantu menegakkan diagnosis adalah pengumpulan urin 24 jam dan pengambilan contoh darah untuk menilai kadar kalsium, sistin, asam urat dan bahan lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya batu. e. Penatalaksanaan 1) Kolik diatasi dengan natrium diklofenak. 2) Rujuk segera untuk diagnosis pasti dan penatalaksanaan selanjutnya. 3) Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala penyumbatan atau infeksi, biasanya tidak perlu diobati. f. KIE Pasien yang sudah terdiagnosis batu saluran kemih dianjurkan minum banyak air putih (minimal 3 liter sehari) untuk meningkatkan pembentukan urin dan membantu membuang beberapa batu. Jika batu telah terbuang, maka tidak perlu lagi dilakukan pengobatan segera.

10. BRONKITIS AKUT Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1402

ICD X : J20

a. Definisi Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paruparu). Bronkitis akut sebenarnya merupakan bronko pneumonia yang lebih ringan. b. Penyebab Penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri. c. Gambaran Klinis 1) Batuk berdahak, sesak napas ketika melakukan olah raga atau aktivitas ringan, sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu), bengek, lelah, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan, wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan. 2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung berlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri tenggorokan. 3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk tidak berdahak, tetapi 12 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau. 4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi selama 35 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu. 5) Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat. 6) Sering ditemukan bunyi napas mengi, terutama setelah batuk. 7) Bisa terjadi pneumonia. d. Diagnosis 1) Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari adanya lendir. 2) Pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop akan terdengar bunyi ronki atau bunyi pernapasan yang abnormal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

31

32
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Untuk mengurangi demam dan rasa tidak enak badan, bisa diberikan parasetamol 2) Antibiotik hanya diberikan kepada pasien bila gejalanya menunjukkan bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri (dahaknya berwarna kuning atau hijau dan demamnya tetap tinggi) dan pasien yang sebelumnya memiliki penyakit paru-paru. 3) Kepada pasien dewasa diberikan antibiotik seperti: a) amoksisilin 500 mg tiap 8 jam diberikan selama 5 hari b) eritromisin 250500 mg tiap 6 jam diberikan selama 5 hari. 4) Kepada pasien anak-anak diberikan amoksisilin 2050 mg/kgBB/hari atau eritromisin 4050 mg/kgBB/hari walaupun dicurigai penyebabnya adalah Mycoplasma pneumoniae. 5) Pada awal pengobatan dapat diberikan Obat Batuk Hitam (OBH). 6) Bila ada komplikasi pada pasien segera rujuk. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk memperpendek perjalanan klinis penyakit. 2) Dianjurkan untuk beristirahat dan minum banyak cairan, serta menghentikan kebiasaan merokok. 3) Dari data diketahui penyebab tersering bronkhitis pada anak < 2 tahun adalah infeksi virus, sehingga tidak diperlukan pemberian antibiotik. 4) Segera berobat kembali apabila gejala bertambah berat. 5) Sebaiknya tidak menggunakan obat penekan batuk (antitusif).

11. DEMAM BERDARAH DENGUE Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 0405

ICD X : A91

a. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan: 1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 27 hari; 2) Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji Tourniquet (Rumple Leede) positif; 3) Trombositopeni (jumlah trombosit 100.000/l); 4) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20%); 5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali). b. Penyebab Virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4. c. Cara Penularan Penularan DBD umumnya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus yang biasanya hidup di kebunkebun. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. d. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi Biasanya berkisar antara 47 hari. 2) Demam Pada awal penyakit terdapat tanda-tanda demam mendadak, dimana dalam 12 jam mencapai puncak, ada gejala kelainan saluran cerna

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

33

34
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

bagian atas seperti kembung, mual dan nyeri, pada pemeriksaan terdapat konjungtiva inferior hiperemis (trias dengue fever). Demam berlangsung 27 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun. 3) Tanda-tanda perdarahan Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: petekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis, melena dan hematuri. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji Tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian besar pasien DBD. Namun uji Tourniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji Tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti). 4) Pembesaran hati (hepatomegali) Sifat pembesaran hati: a) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit. b) Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. c) Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus. 5) Renjatan (syok) Tanda-tanda renjatan: a) Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki. b) Pasien menjadi gelisah. c) Sianosis di sekitar mulut. d) Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. e) Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang. Sebab renjatan: karena perdarahan, atau karena kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang terganggu. 35

6) Trombositopeni a) Jumlah trombosit 100.000/l biasanya ditemukan diantara hari ke 37 sakit. b) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. c) Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang tiap`hari sampai suhu turun. 7) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) Peningkatan nilai hematokrit (Ht) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD. Hal ini merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% (misalnya 35% menjadi 42%: 20/100x35=7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai hematokrit 20% setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan. 8) Gejala klinik lain a) Gejala klinik lain yang dapat menyertai pasien DBD ialah nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang. b) Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosis sebagai ensefalitis. c) Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan. e. Diagnosis 1) Tersangka Demam Berdarah Dengue Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif) dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/l). 2) Pasien Demam Berdarah Dengue derajat 1 dan 2

36
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan atau dinyatakan sebagai pasien DBD apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif), trombositopenia, dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis), atau hasil pemeriksaan serologis pada Tersangka DBD menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan HI test, atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris). f. Penatalaksanaan Diberikan obat simtomatik parasetamol jika suhu tubuh >38,5oC. 1) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada anak) Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu: a) Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah, napas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terusmenerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, feses darah, maka pasien perlu dirawat/dirujuk. b) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet dan hitung trombosit. (1) Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit 100.000/l, pasien dirawat/dirujuk. (2) Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit >100.000/l atau normal, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali tiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan minum banyak, seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lainlain. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol, jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok, yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, feses hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht dan trombosit. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Ht dan/atau penurunan trombosit, segera rujuk ke rumah sakit. 2) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada dewasa) Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

pasien memburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara pasien tetap diobservasi dengan anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat sebanyak 500 mL dalam 4 jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit. Pasien dirujuk ke rumah sakit apabila didapatkan hasil sebagai berikut. a) Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit <100.000/L atau b) Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit <150.000/L. 3) Penatalaksanaan pasien demam berdarah dengue dengan syok (DSS) a) Segera beri infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, 1020 mL/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 24 L/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur) diberikan Ringer Laktat 20 mL/kgBB bersama koloid. Bila syok mulai teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 10 mL/kgBB/jam. b) Untuk pemantauan dan penanganan lebih lanjut, sebaiknya pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat. g. KIE 1) Tujuan pengobatan : mencegah terjadinya syok. 2) Perhatikan saat suhu tubuh turun pada hari ke-3, ke-4, dan ke-5 (deverfescens), sebagai periode kritis untuk masuk ke dalam fase DSS atau masuk ke arah perbaikan (demam dengue biasa) 3) Pemberian cairan tidak boleh ragu, tetapi harus diperhitungkan dengan seksama. Perhatikan jumlah urin, jika 1 mL/menit menunjukkan cairan sudah cukup. 4) Usahakan tidak memberikan obat yang tidak diperlukan seperti antasida, antiemetik, dan lain-lain untuk mengurangi beban detoksikasi dalam hati. 5) Jika ditemukan kasus positif DBD, dokter diharapkan melaporkan ke Dinas Kesehatan setempat 1 X 24 jam untuk ditindaklanjuti dengan penelitian epidemiologi, dalam rangka memutus rantai penularan di lapangan dan untuk mewaspadai akan adanya kemungkinan kejadian luar biasa (KLB).

37

38
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Lakukan edukasi seksama program PSN-3M (Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menguras, Menutup, Mengubur) di tempat-tempat penampungan air secara teratur 1 minggu sekali. 7) Selain itu ditambahkan cara lain dengan Program 3M Plus sesuai Pedoman Program Demam Berdarah.

12. DEMAM REMATIK Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : -

ICD X : I00-I02

a. Definisi Demam rematik merupakan sindrom klinik akibat infeksi akut tenggorok oleh suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik atau fulminan dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terjadi 15 minggu sebelumnya pada saluran napas bagian atas. Pada dasarnya penyakit ini merupakan respon imun yang menyebabkan kelainan menetap di jantung (penyakit jantung reumatik) dan kelainan berpulih (reversibel) di sendi, kulit dan organ lainnya. b. Penyebab Interaksi antigen-antibodi 1014 hari setelah infeksi Streptococcus pyogenes. c. Gambaran Klinis 1) Kriteria Mayor a) Karditis b) Poliartritis migrans (berpindah-pindah) c) Chorea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh dan tidak terkendali. d) Eritema marginatum (tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat). e) Nodulus subkutan (tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis). 2) Kriteria Minor a) Demam b) Riwayat demam rematik c) Artralgia/nyeri sendi d) Peninggian LED e) Peningkatan CRP serum atau lekositosis f) Interval P-R yang memanjang pada EKG

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

39

40
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Selain itu, bukti adanya infeksi Streptococcus sebelumnya (peningkatan titer AST, kultur Streptococcus tenggorokan positif, baru saja menderita skarlatina). Ekokardiografi berguna dalam diagnosis perikarditis dan penyakit katup (tak perlu untuk Diagnosis primer). e. Penatalaksanaan 1) Lakukan pengobatan awal. 2) Eradikasi kuman secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam rematik dapat ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah: a) penisilin prokain 600.0001,2 juta UI i.m. atau penisilin V 500 mg tiap 8 jam selama 10 hari b) eritromisin 2 g/hari selama 10 hari bila pasien tidak tahan terhadap penisilin. c) Pada anak dosis penisilin prokain adalah 50.000 IU/kgBB/ hari, dan eritromisin 125250 mg tiap 6 jam. 3) Pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Pemberian obat antiradang pada demam rematik Manifestasi Dosis Obat Pengobatan Artritis, dan/atau karditis tanpa kardiomegali Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kgBB/hari selama 46 minggu. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan 1 mg/kgBB/hari sampai habis selama 2 minggu, ditambah dengan salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai minggu ke-3 selama 6 minggu. f. 5) 6)

7)

8)

a) Pasien tanpa karditis dalam serangan pertama harus diberikan profilaksis minimum 5 tahun setelah serangan hingga minimum usia 18 tahun. b) Pasien dengan karditis pada serangan pertama, harus diberikan profilaksis hingga usia 25 tahun. c) Pasien yang menderita penyakit katup jantung rematik kronik, diberikan profilaksis jangka waktu lama hingga seumur hidup pada beberapa kasus. Profilaksis tetap diteruskan jika pasien hamil. Antibiotik profilaksis: a) Benzatin benzilpenisilin (1) Injeksi 1,44 g (=2,4 juta UI) (dalam 5 mL vial) (2) anak <30 kg : 600.000 UI i.m. tiap 34 minggu (3) anak dan dewasa >30 kg : 1,2 juta UI i.m tiap 34 minggu b) Fenoksimetilpenisilin (1) Tablet 250 mg (bentuk garam) (2) Suspensi oral 250 mg (bentuk garam, dalam tiap 5 ml) (3) Anak < 2 tahun: 125 mg per oral tiap 12 jam (4) Dewasa: 250 mg per oral tiap 12 jam Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan: Eritromisin a) Kapsul atau tablet 250 mg (stearat atau etil suksinat) b) Suspensi oral 125 mg (stearat atau etil suksinat) Semua pasien demam rematik harus dirujuk ke rumah sakit.

KIE 1) Tujuan pengobatan: mencegah demam rematik berlanjut menjadi penyakit jantung rematik. 2) Efek samping: a) adrenalin, deksametason: hati-hati terhadap syok anafilaktik dan mempersiapkan perangkat anti syok anafilaktik. b) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan prednison antara lain moonface, hipertensi, mudah terkena infeksi, hiperglikemia, striae, osteoporosis dan iritasi lambung.

4) Pasien yang pernah menderita demam rematik, dengan atau tanpa adanya penyakit jantung rematik, sangat dianjurkan diberikan antibiotik profilaksis (secondary prophylaxis) untuk mencegah infeksi ulang saluran napas oleh streptococcus group A.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

41

42
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

13. DERMATITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 2002

ICD X : L20-L30

a. Definisi Dermatitis adalah peradangan kulit dengan gejala subjektif gatal dan ditandai dengan kelainan kulit polimorfik berbatas tidak tegas. Dermatitis Atopik adalah peradangan kulit kronik dan residif yang sering terjadi pada bayi dan anak, disertai gatal dan berhubungan dengan atopi. Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya: asma bronkiale, rinitis alergi, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergi. b. Penyebab Umumnya tidak diketahui. c. Gambaran Klinis 1) Pada wajah, kulit kepala, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan, kaki atau tungkai bayi terbentuk ruam berkeropeng yang berwarna merah dan berair. 2) Dermatitis seringkali menghilang pada usia 34 tahun, meskipun biasanya akan muncul kembali. 3) Pada anak-anak dan dewasa, ruam seringkali muncul dan kambuh kembali hanya pada 1 atau beberapa daerah, terutama lengan atas, sikut bagian depan atau di belakang lutut. 4) Warna, intensitas dan lokasi dari ruam bervariasi, tetapi selalu menimbulkan gatal-gatal. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, hasil pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit alergi pada keluarga pasien. e. Penatalaksanaan 1) Sistemik a) Antihistamin klasik sedatif (misalnya klorfeniramin maleat) untuk mengurangi gatal. b) Bila terdapat infeksi sekunder dapat ditambahkan antibiotik sistemik atau topikal.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Topikal a) Bila lesi akut/eksudatif: kompres 23 x sehari, 12 jam dengan larutan NaCl 0,9%. b) Krim kortikosteroid potensi sedang/rendah, 12 kali sehari sesudah mandi, sesuai dengan keadaan lesi. Bila sudah membaik dapat diganti dengan potensi yang lebih rendah. c) Kortikosteroid potensi rendah: hidrokortison krim 2,5%. d) Kortikosteroid potensi sedang: betametason krim 0,1%. e) Pada kulit kering dapat diberikan emolien/pelembab segera sesudah mandi. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: penanganan keluhan subyektif dan obyektif serta pencegahan rekurensi. 2) Penjelasan/penyuluhan kepada orang tua pasien: a) Penyakit bersifat kronik berulang dan penyembuhan sempurna jarang terjadi sehingga pengobatan ditujukan untuk mengurangi gatal dan mengatasi kelainan kulit. b) Selain obat perlu dilakukan usaha lain untuk mencegah kekambuhan: (1) Jaga kebersihan, gunakan sabun lunak misalnya sabun bayi (2) Pakaian sebaiknya tipis, ringan, mudah menyerap keringat (3) Udara dan lingkungan cukup berventilasi dan sejuk. (4) Hindari faktor-faktor pencetus, misalnya: iritan, debu, dan sebagainya.

43

44
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

14. DERMATOMIKOSIS Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 2001

ICD X : B36.9

a. Definisi Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang secara medis disebut juga dengan mikosis superfisialis (bagian permukaan kulit). Sedangkan dari berbagai jenis dermatomikosis yang sering mengenai manusia, dikenal dengan kelompok dermatofitosis yang di Indonesia dikenal dengan kurap/kadas. Sedangkan panu masuk dalam kategori dermatomikosis yang nondermatofitosis. b. Penyebab Kontak langsung dengan sumber penularan. 1) Paparan terhadap jamur sering terjadi. 2) Faktor genetik memainkan peran dalam tingkat penularan mikosis kuku dan kaki. 3) Mikosis pada hewan (misal: sapi, marmut, kucing) menyebar dengan mudah pada manusia dan menyebabkan tinea pada ekstremitas, badan dan wajah. c. Gambaran Klinis 1) Tinea kutaneus biasanya mempunyai tepi berskuama, eritematus dan meninggi, berbentuk lingkaran (cincin) dan gatal. 2) Pada panu, muncul bercak bersisik halus yang berwarna putih hingga kecokelatan bisa pada daerah mana saja di badan termasuk leher dan lengan. Biasanya menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. 3) Infeksi jamur kulit ini biasanya juga menyerang kaum wanita; mengenai kulit dan vagina. Jamur dapat menginfeksi lebih dari satu kali. Dengan ditandai antara lain: adanya duh, putih, dadih seperti kotoran, peradangan pada kulit sekitar vagina, serta sakit selama buang air kecil atau sewaktu hubungan seksual. d. Diagnosis Gambaran spesifik infeksi jamur pada kulit. Dengan cara pemeriksaan mikroskopis dari bahan kerokan kulit yang terserang.

e. Penatalaksanaan 1) Tinea (dermatofitosis) biasanya diterapi dengan obat topikal. 2) Griseofulvin tablet hanya efektif pada dermatofit. 3) Nistatin hanya efektif pada kandida. 4) Mikonazol topikal efektif untuk dermatofita dan kandida. 5) Dermatofitosis a) Sistemik (diberikan bila lesi luas) Griseofulvin micronized 5001000 mg sehari selama 26 minggu b) Topikal Kombinasi asam salisilat 3% dengan asam benzoat 6%. f. KIE 1) Tujuan pengobatan adalah eradikasi dan pemutusan rantai penularan. 2) Efek samping griseofulvin: dapat menimbulkan sakit kepala dan fotosensitivitas. 3) Pencegahan: menjaga kebersihan dan menghindari sumber penularan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

45

46
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

15. DIABETES MELITUS Kompetensi : 3A;4 Laporan Penyakit : 55-59

ICD X : E10-E14

2) Keluhan lainnya, berupa: kesemutan, gatal di daerah alat kelamin, keputihan, infeksi sulit sembuh, bisul yang hilang timbul, penglihatan kabur, cepat lelah dan mudah mengantuk. d. Diagnosis Berdasarkan gejala diabetes dengan 3P (polifagia, poliuria, polidipsia). Diagnosis dapat dipastikan dengan reduksi urin dan penentuan kadar gula darah. 1) Bila kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL 2) Glukosa darah puasa >126 mg/dL 3) Pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) didapatkan hasil pemeriksaan kadar gula darah 2 jam >200 mg/dL sesudah pemberian glukosa 75 g. e. Penatalaksanaan Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus: 1) Edukasi a) Pengertian Diabetes Melitus b) Perencanaan makanan c) Bentuk aktivitas fisik yang dianjurkan d) Pemeliharaan kaki e) DM di bulan Ramadhan f) Obat untuk mengendalikan kadar gula darah g) Pemantauan gula darah h) Komplikasi DM 2) Terapi gizi medis Perencanaan Makanan: sebaiknya melakukan rujukan untuk mendapatkan perencanaan makan yang sesuai dengan kebutuhan pasien. a) Makanan dianjurkan seimbang dengan komposisi energi dari karbohidrat 45-65%, protein 10-15% dan lemak 20-25%. b) Prinsip: (1) Anjuran makan seimbang seperti makan sehat pada umumnya (2) Tidak ada makanan yang dilarang, hanya dibatasi sesuai kebutuhan kalori (tidak berlebih) (3) Menu sama dengan menu keluarga (4) Teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan.

a. Definisi Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolik menahun yang ditandai oleh kadar gula darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi etiologis DM yaitu: 1) Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga pasien sangat memerlukan tambahan insulin dari luar. 2) Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi insulin). 3) Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM. 4) Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar gula darah kembali normal. b. Penyebab Kekurangan hormon insulin, yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak. Insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. c. Gambaran Klinis 1) Keluhan Klasik, berupa: sering kencing, cepat lapar, sering haus dan berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas. 47
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

48
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Dapat dilihat dalam Pedoman Program Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik. 3) Aktivitas fisik/latihan jasmani Aktivitas fisik seperti berjalan kaki ke pasar, berkebun, menggunakan tangga, dan lain-lain. Latihan jasmani seperti: bersepeda santai, berjalan kaki, jogging dan berenang. Dilakukan 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit. Hal-hal yang perlu diperhatikan: a) Hal yang dapat memperburuk gangguan metabolik orang dengan diabetes: (1) Beratnya penyakit dan komplikasinya (penyakit jantung, koroner, hipertensi, gangguan penglihatan, gangguan fungsi ginjal dan hati, kelainan kaki). (2) Kadar gula darah >250 mg%, jangan lakukan latihan berat (misalnya: latihan beban, olah raga kontak tinju dan lain-lain, bulu tangkis, sepak bola, dan olah raga permainan yang lain). (3) Berlatih pada suhu terlalu panas/dingin. b) Gangguan pada kaki: (1) Kenakan sepatu yang sesuai (2) Kaki diusahakan agar selalu bersih dan kering (3) Periksa kedua kaki tiap sebelum dan sesudah latihan c) Cedera muskuloskeletal: (1) Pilih olah raga yang sesuai dan tepat (2) Tingkatkan intensitas latihan sedikit demi sedikit dan bertahap (3) Lakukan pemanasan dan pendinginan (4) Hindari olah raga berat dan berlebihan. d) Berlatihlah bersama keluarga, teman atau tetangga dalam suatu kelompok untuk menjaga agar dorongan untuk berolah raga selalu tinggi. 4) Pengobatan Apabila kadar gula darah belum mencapai sasaran, diberikan obat hipoglikemik oral (OHO), secara tunggal atau kombinasi. Pemberian OHO untuk pengobatan jangka pendek dan jangka panjang dapat dilakukan di Puskesmas. 49

a) Diabetes Melitus tipe 2: (1) Lini 1: Biguanid yaitu metformin, 500 mg tiap 8-24 jam bersama atau sesudah makan (2) Lini 2: Sulfonilurea yaitu glibenklamid, dimulai dengan dosis 2,5 mg tiap 12-24 jam sebelum makan. lalu dinaikkan secara bertahap, maksimal 10 mg/hari. (3) Lini 3: Kombinasi metformin dan glibenklamid, diberikan secara bertahap. (4) Lini 4: insulin b) Diabetes Melitus tipe 1: Selalu dengan insulin, tidak dianjurkan diberikan OHO. (1) Insulin kerja cepat (rapid) (2) Insullin kerja pendek (short acting) (3) Insulin kerja menengah (intermediate) (4) Insulin kerja panjang (long acting) f. Pengendalian DM Keberhasilan terapi DM dapat menggunakan kriteria kendali DM yang telah dikeluarkan oleh PERKENI (Tabel 4). Tabel 4. Pengendalian DM Baik
Glukosa darah puasa (mg/dL) Glukosa darah 2 jam (mg/dL) A1C (%) Kolesterol Total (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL) IMT (kg/m2) Tekanan darah (mmHg) 80<100 80-144 <6,5 <200 <100 Pria: >40 Wanita: >50 <150 18,5-<2,3 <140/80

Sedang
100-125 145-179 6,5-8 200-239 100-129

Buruk
>126 >180 >8 >240 >130

150-199 23-25 >130-140/ >80-90

>200 >25 >140/90

Keterangan: Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena. Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma vena.

50
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g. KIE Lihat pilar penatalaksanaan 1) Tujuan pengobatan: a) Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM dan tercapainya target pengendalian gula darah. b) Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM c) Selain itu perlu juga mengendalikan tekanan darah, berat badan dan profil lipid. 2) Memberikan informasi perilaku sehat bagi penyandang diabetes yaitu: a) Mengikuti pola makan sehat b) Meningkatkan kegiatan jasmani c) Menggunakan obat diabetes secara teratur d) Melakukan perawatan kaki secara berkala e) Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi kedaan sakit akut dengan tepat f) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada 3) Efek samping obat: a) Glibenklamid: hipoglikemia, hati-hati pada pasien usia lanjut, berat badan naik; b) Metformin: mual, muntah (dyspepsia), diare; c) Insulin: berat badan naik, hipoglikemia. 4) Penanganan hipoglikemia: a) Jika ada tandatanda hipoglikemia berupa kaki dan tangan terasa dingin, sakit kepala, keringat dingin, gemetaran, segera diajarkan minum air gula atau makan kemudian laporkan pada dokter. Pada hipoglikemia berat dimana kesadaran menurun sampai koma: b) Hipoglikemi pada dewasa: segera berikan dekstrosa (glukosa) 40% i.v. 2550 mL, terus menerus sampai pasien sadar. Diikuti dengan infus glukosa 10% 500 mL dalam 6 jam, kemudian gula darah diperiksa tiap 1 jam sampai 2 X berturut-turut sampai kadar gula darah di atas 100 mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung dirujuk. c) Hipoglikemi pada anak : diberikan dekstrosa 10% sebanyak 2-5 mL/kgBB. Jika digunakan dekstrosa 20% maka diberikan dengan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

dosis 1-2,5 mL/kgBB, kemudian gula darah diperiksa tiap 1 jam sampai 2x berturut-turut sampai kadar gula darah di atas 100 mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung dirujuk. 5) Pencegahan: a) Pencegahan Primer: mencegah timbulnya penyakit DM pada populasi berisiko dengan mengendalikan faktor risiko diabetes dengan melakukan gaya hidup sehat, dengan menekankan kepatuhan. b) Pencegahan Sekunder: mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi dengan melakukan rujukan untuk melakukan : (1) Pemeriksaan A1C tiap 3-6 bulan (2) Pemeriksaan mikroalbuminuria, kreatinin, albumin/globulin dan ALT, kolesterol (total, LDL, HDL dan trigliserida), EKG, foto sinar-X dada, funduskopi tiap 1 (satu) tahun. (3) Pemeriksaan ankle brachial index, yaitu membandingkan tekanan darah sistolik pada arteri dorsalis atau arteri tibialis posterior terhadap tekanan darah sistolik pada arteri brachialis. Jika nilai <0,9 menunjukkan kecenderungan penyakit arteri perifer. 6) Deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko: a) usia >45 tahun b) ada riwayat keluarga DM c) riwayat pernah menderita diabetes gestasional d) riwayat berat badan lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2500 g. e) kegemukan (IMT >23 kg/m2) dan lingkar pinggang laki-laki 90 cm, perempuan 80cm f) kurangnya aktivitas fisik g) diet tidak sehat, dengan tinggi gula dan rendah serat h) hipertensi, tekanan darah diatas 140/90 mmHg i) riwayat dislipidemia, kadar lipid (Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau Trigliserida 250 mg/dL) j) memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.

51

52
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

16. DIARE AKUT NON SPESIFIK Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 0102

ICD X : A09

a. Definisi Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lain. Diare akut adalah buang air besar lembek/cair konsistensinya encer, lebih sering dari biasanya disertai berlendir, bau amis, berbusa bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan berlangsung kurang dari 7 hari. Diare nonspesifik adalah diare yang bukan disebabkan oleh kuman khusus maupun parasit. b. Penyebab Penyebabnya adalah virus, makanan yang merangsang atau yang tercemar toksin, gangguan pencernaan dan sebagainya. c. Gambaran Klinis 1) Demam yang sering menyertai penyakit ini memperberat dehidrasi. Gejala dehidrasi tidak akan terlihat sampai kehilangan cairan mencapai 45% berat badan. 2) Gejala dan tanda dehidrasi antara lain: a) rasa haus, mulut dan bibir kering b) menurunnya turgor kulit c) menurunnya berat badan, hipotensi, lemah otot d) sesak napas, gelisah e) mata cekung, air mata tidak ada f) ubun-ubun besar cekung pada bayi g) oliguria kemudian anuria h) menurunnya kesadaran, mengantuk. 3) Bila kekurangan cairan mencapai 10% atau lebih pasien jatuh ke dalam dehidrasi berat dan bila berlanjut dapat terjadi syok dan kematian. d. Diagnosis Ditentukan dari gejala buang air besar berulang kali lebih sering dari biasanya dengan konsistensinya yang lembek dan cair.

e. Penatalaksanaan WHO telah menetapkan 4 unsur utama dalam penanggulangan diare akut yaitu: 1) Pemberian cairan, berupa upaya rehidrasi oral (URO) untuk mencegah maupun mengobati dehidrasi. 2) Melanjutkan pemberian makanan seperti biasa, terutama ASI, selama diare dan dalam masa penyembuhan. 3) Tidak menggunakan antidiare, sementara antibiotik maupun antimikroba hanya untuk kasus tersangka kolera, disentri, atau terbukti giardiasis atau amubiasis. 4) Pemberian petunjuk yang efektif bagi ibu dan anak serta keluarganya tentang upaya rehidrasi oral di rumah, tanda-tanda untuk merujuk dan cara mencegah diare di masa yang akan datang. Dasar pengobatan diare akut adalah rehidrasi dan memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Oleh karena itu langkah pertama adalah tentukan derajat dehidrasi (Tabel 5). Tabel 5. Derajat dehidrasi
Gejala Derajat Dehidrasi Minimal (< 3% dari berat badan) Baik, sadar penuh Minum normal, mungkin menolak minum Normal Normal Normal Normal Ada Basah Baik Normal Hangat Normal menurun Ringan sampai sedang (3-9% dari berat badan) Normal, lemas, atau gelisah, iritabel Sangat haus, sangat ingin minum Normal sampai meningkat Normal sampai menurun Normal cepat Sedikit cekung Menurun Kering < 2 detik Memanjang Dingin Menurun Berat (> 9% dari berat badan) Apatis, letargi, tidak sadar Tidak dapat minum

Status mental Rasa haus

Denyut jantung Kualitas denyut nadi Pernapasan Mata Air mata Mulut dan lidah Turgor kulit Isian kapiler Ekstremitas Output urin

sampai

Takikardi, pada kasus berat bradikardi Lemah atau tidak teraba Dalam Sangat cekung Tidak ada Pecah-pecah > 2 detik Memanjang, minimal Dingin Minimal

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

53

54
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Menghitung kebutuhan cairan dengan skoring Daldiyono (1970) (Tabel 6): Tabel 6. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi Klinis Rasa hasus/ muntah Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg Tekanan darah sistolik <60 mmHg Frekuensi nadi > 120 x/menit Kesadaran apati Kesadaran somnolen, spoor atau koma Frekuensi napas > 30x/ menit Facies Cholerica Vox Cholerica Turgor kulit menurun Washer womans hand Ekstremitas dingin Sianosis Umur 50 60 tahun Umur > 60 tahun Skor 1 1 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 2 -1 -2

b) Jika anak muntah (karena pemberian cairan terlalu cepat), tunggu 5-10 menit lalu ulangi lagi, dengan pemberian lebih lambat (1 sendok tiap 2-3 menit). 3) Pada pasien diare dengan dehidrasi berat (Terapi C): a) Diberikan Ringer Laktat 100 mL yang terbagi dalam beberapa waktu. b) Tiap 1-2 jam pasien diperiksa ulang, jika hidrasi tidak membaik tetesan dipercepat. Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (pasien lebih tua) pasien kembali di periksa (Tabel 7). Tabel 7. Pemberian Cairan Untuk Bayi Diare Dengan Dehidrasi Berat
Umur Bayi <12 bulan Bayi/anak > 12 bulan Pemberian pertama 30 mL/kg dalam 1 jam dalam 30 menit Pemberian kemudian 70 mL/kg dalam 5 jam 2,5 jam

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter 15 Bila skor <3 dan tidak ada syok, atau dehidrasi ringan/sedang maka hanya diberikan cairan per oral. Bila skor >3 dan disertai syok atau dehidrasi sedang/ berat, diberikan cairan intravena. 1) Pada pasien diare tanpa dehidrasi (Terapi A): a) Berikan cairan (air tajin, larutan gula garam, oralit) sebanyak yang diinginkan hingga diare stop, sebagai petunjuk berikan tiap habis BAB: (1) Anak <1 thn : 50 100 mL (2) Anak 1 4 thn : 100200 mL. (3) Anak >5 tahun : 200300 mL (4) Dewasa : 300400 mL b) Meneruskan pemberian makanan atau ASI bagi bayi. 2) Pada pasien diare dengan dehidrasi ringansedang (Terapi B): a) Oralit diberikan 75 mL/kgBB dalam 3 jam, jangan dengan botol.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Sebagai terapi penunjang pada anak diberikan preparat Zinc (Zn) elementer: 1) Bayi <6 bulan: 10 mg sekali sehari selama 10 hari berturut-turut 2) Bayi/anak >6 bulan: 20 mg sekali sehari selama 10 hari berturut-turut. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengatasi dehidrasi dan mencegah dehidrasi berlanjut. 2) Pencegahan: kebersihan (higiene) lingkungan. 3) Alasan rujukan: dehidrasi berat atau bila pemberian asupan makanan tidak berhasil. 4) Peringatan/perhatian: pemberian Zn tidak dimaksudkan sebagai pengganti oralit.

55

56
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

17. DIFTERI Kompetensi Laporan Penyakit

: 3B : 0303

ICD X : A36

a. Definisi Difteri adalah suatu infeksi akut pada saluran napas bagian atas yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Lebih sering menyerang anak-anak. b. Penyebab Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini biasanya menyerang saluran napas, terutama laring, amandel dan tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan jantung. c. Gambaran Klinis 1) Masa tunas 27 hari 2) Pasien mengeluh sakit menelan dan napasnya terdengar ngorok (stridor), pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. 3) Pasien tampak sesak napas dengan atau tanpa tanda obstruksi napas. 4) Demam tidak tinggi. 5) Pada pemeriksaan tenggorokan tampak selaput putih keabu-abuan yang mudah berdarah bila disentuh (pseudomembran). 6) Gejala ini tidak selalu ada: Sumbatan jalan napas sehingga pasien sianosis, napas bau atau perdarahan hidung. 7) Tampak pembesaran kelenjar limfe di leher (bullneck). 8) Inflamasi lokal dengan banyak sekali eksudat faring, eksudat yang lekat di mukosa berwarna kelabu atau gelap dan edema jaringan lunak. Pada anak, fase penyakit ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas. 9) Penyakit sistemik yang disebabkan oleh toksin bakteri dimulai 12 minggu sesudah gejala lokal. Toksin mempengaruhi jantung (miokarditis, aritmia terutama selama minggu kedua penyakit) dan sistem saraf (paralisis, neuritis 27 minggu sesudah onset penyakit). Bila pasien sembuh dari fase akut penyakit, biasanya sembuh tanpa kelainan penyerta. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan klinis yang baik. 57
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan adanya stridor inspiratoir atau pseudomembran yang mudah berdarah. Diagnosis etiologi dikonfirmasi dengan biakan bakteri yang diambil dari eksudat usap tenggorok ke dalam tabung untuk sampel bakteri. Sampel harus dibiakkan pada media khusus, untuk itu perlu terlebih dahulu memberitahu laboratorium. Sediaan apus diambil 3 hari berturut-turut. e. Penatalaksanaan Tiap pasien yang diduga menderita difteri harus segera dirujuk untuk penanganan selanjutnya. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengatasi penyakit dan mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: imunisasi dasar dan booster lengkap. 3) Alasan rujukan: tiap kasus bisa berpotensi membahayakan.

58
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

18. DISENTRI AMUBA Kompetensi : 04 Laporan Penyakit : 0103

ICD X : A06

a. Definisi Disentri amuba adalah suatu sindrom yang ditandai oleh diare berdarah, disertai lendir dan nyeri pada dubur pada saat buang air besar (tenesmus), selanjutnya disebut amubiasis. Amubiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa usus. Protozoa tersebut hidup di kolon, menyebabkan radang akut dan kronik yang disebut amubiasis intestinal. Bila tidak diobati amubiasis intestinal akan menjalar ke luar usus dan menyebabkan amubiasis ekstra-intestinal. b. Penyebab Entamoeba histolytica c. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi rata-rata 2-4 minggu. 2) Amubiasis kolon akut atau disentri amuba memberikan gejala sindroma disentri yang merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas feses berlendir dan berdarah, tenesmus anus, nyeri perut dan kadang-kadang disertai demam. 3) Pada amubiasis kronik pasien mengeluh nyeri perut dan diare yang diselingi konstipasi. 4) Pada amubiasis ekstraintestinalis kadang ditemukan riwayat amubiasis usus. 5) Pasien amubiasis hati biasanya demam, hati membesar disertai nyeri tekan abdomen terutama di daerah kanan atas, berkeringat, tidak nafsu makan, berat badan turun dan ikterus. 6) Amubiasis kutis dan perinealis menyebabkan ulkus yang tepinya bergaung, sedangkan amubiasis vaginalis menimbulkan leukore dengan bercak darah dan lendir. d. Diagnosis Amubiasis kolon akut: menemukan E.histolytica bentuk histolitika dalam feses cair.

e. Penatalaksanaan 1) Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amubiasis usus maupun amubiasis ekstraintestinalis. a) Dosis dewasa: 500750 mg tiap 8 jam selama 7 10 hari. b) Dosis anak 1 tahun: 7,5 mg/kgBB tiap 8 jam, selama 710 hari. 2) Amubiasis ekstraintestinalis memerlukan pengobatan yang lebih lama. Oleh karena itu perlu dirujuk. f. KIE 1) Tujuan terapi: membunuh parasit. 2) Efek samping terapi: metronidazol dapat menyebabkan mual. Jika timbul gejala tersebut maka pasien dapat menghubungi dokter Puskesmas untuk mendapatkan obat antimual. 3) Pencegahan: 4) Pencegahan meliputi perbaikan kesehatan lingkungan dan higiene perorangan, desinfeksi sayur dan buah-buahan yang diduga kurang bersih. 5) Pengidap kista tidak boleh bekerja di bidang penyiapan makanan dan minuman.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

59

60
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

19. DISPEPSIA Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 88

ICD X : K30

a. Definisi Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman atau nyeri ulu hati disertai mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. b. Penyebab 1) Fungsional (dispepsia tipe non-ulkus): dispepsia tanpa ada bukti kelainan organik (misalnya karena psikosomatis), kombinasi hipersensitivitas visceral dengan motilitas abnormal lambung. 2) Organik (dispepsia tipe ulkus): GERD, ulkus peptikum, gastritis, lainnya (AINS, diabetic gastroparesis, batu kandung empedu dan lainlain). c. Gambaran Klinis Terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas, seperti nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Perlu diperhatikan adanya alarm symptoms seperti: 1) Disfagia 2) Odinofagia 3) Muntah-muntah 4) Berat badan menurun 5) Anemia 6) Fecal occult blood test (+) 7) Teraba massa atau adanya pembesaran kelenjar 8) Usia >55 tahun Pemeriksaan fisik: Berat badan, tanda-tanda vital, nyeri tekan epigastrium, cari tanda apakah ada perdarahan saluran cerna atas atau tidak (adakah tanda-tanda anemia, adakah darah pada pemeriksaan colok dubur) d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Diagnosis banding: kecacingan, kehamilan muda.

e. Penatalaksanaan 1) Suportif: menghindari makanan yang merangsang seperti pedas, asam, dan tinggi lemak. 2) Medikamentosa: a) Antasida (hanya mengurangi gejala), atau b) H2 blocker (misal ranitidin 150 mg tiap 12 jam sebelum makan), atau c) Proton Pump Inhibitor (PPI) (misal omeprazol 20 mg tiap 24 jam), atau d) Prokinetik (misal domperidon 3x10 mg) jika ada gejala dismotilitas. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala. 2) Pencegahan: makan teratur, gizi seimbang. 3) Alasan rujukan: jika ditemukan tanda-tanda bahaya, dirujuk ke RS.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

61

62
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

20. EPILEPSI Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 0901

(3) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik klonik ICD X : G40 2) Bangkitan Umum a) Bangkitan Lena (absence) & atypical absence b) Bangkitan Mioklonik c) Bangkitan Klonik d) Bangkitan Tonik e) Bangkitan Tonik-klonik f) Bangkitan Atonik 3) Bangkitan yang tidak terklasifikasikan a) Serangan grand mal sering diawali dengan aura berupa rasa terbenam atau melayang. Penurunan kesadaran sementara, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih, napas mendengkur, mulut berbusa dan dapat terjadi inkontinesia. Kemudian terjadi kejang tonik seluruh tubuh selama 2030 detik diikuti kejang klonik pada otot anggota, otot punggung, dan otot leher yang berlangsung 23 menit. Setelah kejang hilang pasien terbaring lemas atau tertidur 3 4 jam, kemudian kesadaran berangsur pulih. Setelah serangan sering pasien berada dalam keadaan bingung. b) Serangan petit mal, disebut juga serangan lena, diawali dengan hilang kesadaran selama 1030 detik. Selama fase lena (absence) kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tak beraksi. Kadang tampak seperti tak ada serangan, tetapi ada kalanya timbul gerakan klonik pada mulut atau kelopak mata. c) Serangan mioklonik merupakan kontraksi singkat suatu otot atau kelompok otot. d) Serangan parsial sederhana motorik dapat bersifat kejang yang mulai di salah satu tangan dan menjalar sesisi, sedangkan serangan parsial sensorik dapat berupa serangan rasa baal atau kesemutan unilateral. e) Serangan parsial sederhana (psikomotor) kompleks, pasien hilang kontak dengan lingkungan sekitarnya selama 12 menit, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak

a. Definisi Epilepsi adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul intermiten dan self-limited. Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitan usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa). b. Penyebab Kelainan fungsional otak yang serangannya bersifat kambuhan. Kelainan organis di otak juga dapat menimbulkan epilepsi, sehingga kemungkinan ini perlu dipikirkan. c. Gambaran Klinis d. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi (menurut ILAE tahun 1981): 1) Bangkitan Parsial ( fokal) a) Parsial sederhana (1) Disertai gejala motorik (2) Disertai gejala somato-sensorik (3) Disertai gejala psikis (4) Disertai gejala autonomik b) Parsial kompleks (1) Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa automatism (2) Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa automatism c) Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder (1) Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik (2) Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

63

64
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

bantuan. Kebingungan berlangsung selama beberapa menit dan diikuti dengan penyembuhan total. f) Pada epilepsi primer generalisata, pasien mengalami kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Sesudahnya pasien bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya pasien tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang. g) Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernapas sebagaimana mestinya dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan pasien bisa meninggal. e. Diagnosis 1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh orang lain yang menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada pasien dan adanya riwayat penyakit sebelumnya. 2) Diagnosis banding a) Bangkitan Psychogenik b) Gerak Involunter (Tics, head nodding, paroxysmal choreoathethosis/ dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dan lain-lain.) c) Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention deficit) d) Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi) e) Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik akut). f) Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen). g) Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dan lain-lain). f. Penatalaksanaan 1) Medikamentosa a) Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya (Tabel 8). Penggunaan terapi tunggal 65

dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul. b) Antikonvulsan Utama (1) Fenobarbital: 2-4 mg/kgBB/hari (2) Fenitoin: 5-8 mg/kgBB/hari (3) Karbamazepin: 20 mg/kgBB/hari (4) Valproat: 30-80 mg/kgBB/hari Tabel 8. Pemilihan OAE Berdasarkan Tipe Bangkitan Epilepsi Tipe Bangkitan OAE lini pertama Bangkitan parsial Fenitoin, karbamazepin (terutama untuk CPS), (sederhana atau asam valproat kompleks) Bangkitan sekunder umum Karbamazepin, fenitoin, asam valproat

Bangkitan umum tonik Karbamazepin, klonik fenobarbital Bangkitan lena Bangkitan mioklonik Asam valproat Asam valproat

fenitoin,

asam

valproat,

c) Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang, tergantung dari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita pasien (Dam,1997). Penghentian OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan d) Langkah yang penting adalah menjaga agar pasien tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala pasien. e) Jika pasien tidak sadarkan diri sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernapas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal. f) obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan, biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.

66
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g) Sedapat mungkin gunakan obat tunggal dan mulai dengan dosis rendah. h) Bila obat tunggal dosis maksimal tidak efektif gunakan dua jenis obat dengan dosis terendah. i) Bila serangan tak teratasi pikirkan kemungkinan ketidakpatuhan pasien, penyebab organik, pilihan dan dosis obat yang kurang tepat. j) Bila selama 23 tahun tidak timbul lagi serangan, obat dapat dihentikan bertahap. g. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: Prinsip umum terapi epilepsi idiopatik adalah mengurangi/mencegah serangan, sedangkan terapi epilepsi organik ditujukan terhadap penyebab. 2) Pencegahan: a) hindari faktor pencetus serangan, misalnya kelelahan, emosi atau putusnya makan obat, terlambat makan. b) Bila terjadi serangan kejang, upayakan menghindarkan cedera akibat kejang, misalnya tergigitnya lidah atau luka atau cedera lain. c) Selalu dalam pengawasan bila pasien di tempat yang berpotensi menimbulkan kecelakaan seperti saat berkendaraan dan berenang. 3) Alasan rujukan: bila frekuensi serangan tidak dapat diatasi dengan obat tersebut, atau terjadi status epileptikus dan didapatkan defisit neurologis fokal. 4) Efek samping pengobatan: penurunan fungsi kognitif, hiperplasia gusi, sindroma Steven-Johnson, migren.

21. ERISIPELAS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 2001

ICD X : A46

a. Definisi Erisipelas adalah infeksi kulit. b. Penyebab Streptococcus beta-haemolyticus. c. Gambaran Klinis 1) Pasien biasanya demam sampai menggigil, disertai malaise. 2) Bagian kulit yang terinfeksi tampak merah, edematus dan berkilat dengan batas yang tegas serta nyeri tekan. 3) Pada kulit yang edematus itu sering tumbuh vesikel dan bula. 4) Kelenjar getah bening regional sering membesar dengan nyeri tekan. d. Diagnosis Tanda-tanda peradangan kulit. e. Penatalaksanaan 1) Eritromisin 250-500 mg tiap 6 jam, pada anak 20-50 mg/kgBB selama 57 hari. 2) Kasus yang berat sebaiknya dirujuk ke rumah sakit. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: eradikasi. 2) Efek samping eritromisin: diare, mual dan muntah. 3) Pencegahan: menjaga sanitasi lingkungan dan higiene perorangan. 4) Alasan rujukan: kasus yang berat.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

67

68
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

22. FARINGITIS AKUT Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1302

ICD X : J02

a. Definisi Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring. Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu tonsilo faringitis akut, atau bagian dari influenza (rinofaringitis). b. Penyebab Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri. 1) Virus, yaitu rhinovirus, adenovirus, parainfluenza, coxsackievirus, EpsteinBarr virus, herpes virus 2) Bakteria, yaitu grup A -hemolytic Streptococcus (paling sering), Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae 3) Jamur, yaitu Candida; jarang kecuali pada pasien imunokompromis (misalnya pasien dengan HIV-AIDS). Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau yang memperberat. c. Gambaran Klinis Perjalanan penyakit bergantung pada adanya infeksi sekunder dan virulensi kumannya serta daya tahan tubuh pasien, tetapi biasanya faringitis sembuh sendiri dalam 35 hari. 1) Faringitis yang disebabkan bakteri: a) Demam atau menggigil b) Nyeri menelan c) Faring posterior merah dan bengkak d) Terdapat folikel bereksudat dan purulen di dinding faring e) Bisa disertai batuk f) Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian anterior g) Tidak mau makan/menelan h) Onset mendadak dari nyeri tenggorokan i) Malaise j) Anoreksia 2) Faringitis yang disebabkan virus: a) Onset radang tenggorokannya lambat, progresif b) Demam
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) d) e) f) g)

Nyeri menelan Faring posterior merah dan bengkak Malaise ringan Batuk Kongesti nasal

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. e. Penatalaksanaan 1) Perawatan dan pengobatan tidak berbeda dengan influenza. 2) Untuk anak tidak ada anjuran obat khusus. 3) Untuk demam dan nyeri: a) Dewasa Parasetamol 250 atau 500 mg, 12 tablet per oral tiap 6-8 jam jika diperlukan, atau Ibuprofen, 200 mg 12 tablet tiap 6-8 jam sehari jika diperlukan. b) Anak Parasetamol diberikan tiap 8 jam jika demam (1) <1 tahun : 60 mg/kali (1/8 tablet) (2) 1-3 tahun : 60-120 mg/kali (1/4 tablet) (3) 3-6 tahun : 120-170 mg/kali (1/3 tablet) (4) 6-12 tahun : 170-300 mg/kali (1/2 tablet) 4) Antibiotik hanya diberikan pada pasien dengan minimal 3 dari 4 gejala (kriteria McIssac/kriteria Centor): a) demam menggigil >38,5oC, b) eksudat dan purulen di dinding faring, c) pembesaran kelenjar getah bening anterior d) pengobatan simtomatik tidak sembuh dalam 3 hari Dewasa: Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau Eritromisin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari Anak: Amoksisilin 30-50mg/kgBB/hari selama 5 hari, atau Eritromisin 20-40 mg/kgBB/hari selama 5 hari f. KIE: 1) Tujuan pengobatan: mencegah terjadi penyakit jantung rematik, demam rematik akut, demam scarlett, streptococcus toxic shock syndrome, glomerulonefritis akut, pediatric autoimun neuropsychiatric disorder.

69

70
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pencegahan: pola hidup sehat, makanan bergizi, menjaga kebersihan mulut, menghindari rokok. 3) Alasan rujukan: jika dalam 5 hari tidak ada perbaikan klinis, segera dirujuk ke rumah sakit.

23. FLU BURUNG Kompetensi Laporan Penyakit

: 3B : 97

ICD X : J09

a. Definisi Flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular akut yang menular sistem pernapasan yang disebabkan oleh virus influenza A H5N1. Pada umumnya menyerang unggas dan dapat menular dari unggas ke manusia. Angka kematian penyakit ini masih cukup tinggi >80%. b. Penyebab Virus influenza tipe A sub-tipe H5N1. c. Cara Penularan Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui: 1) Kontak langsung dengan unggas yang sakit atau produknya 2) Kontak dengan lingkungan (udara, air, tanah, lumpur, pupuk) yang tercemar virus H5N1. 3) Kontak dengan spesimen flu burung baik yang berasal dari unggas maupun manusia. 4) Konsumsi produk unggas yang tidak dimasak dengan sempurna mempunyai potensi penularan virus flu burung. 5) Kontak dengan pasien konfirmasi flu burung. d. Gambaran Klinis Masa inkubasi 17 hari (rata-rata 3-5 hari). Masa penularan pada manusia dewasa adalah 1 hari sebelum gejala awal timbul dan 35 hari setelah timbulnya gejala, sedangkan penularan pada anak dapat mencapai 21 hari. Gejala awal sama seperti flu biasa, ditandai dengan batuk, pilek, sakit tenggorokan. Dapat juga disertai dengan gejala lainnya seperti sakit kepala, malaise, muntah, diare dan nyeri otot. Yang membedakan Flu Burung dengan Flu biasa adalah perjalanan penyakit yang progresif dan biasanya menyebabkan gagal napas dalam waktu yang sangat singkat ( 5 hari). e. Diagnosis Kriteria diagnosis untuk kasus flu burung ada 4: 1) Seseorang dalam penyelidikan 2) Kasus tersangka flu burung
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

71

72
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Kasus probable 4) Kasus konfirmasi Puskesmas berperan dalam terapi awal pada kasus tersangka flu burung, selanjutnya dirujuk. f. Tersangka Flu Burung Apabila demam (suhu 38oC) disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut: batuk, sakit tenggorokan, pilek atau sesak napas; Disertai >1 pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum timbulnya gejala: 1) Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, berbicara, atau bersentuhan dengan pasien tersangka (suspek), mungkin (probable) atau kasus H5N1 yang sudah konfirmasi. 2) Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah dimana infeksi dengan H5N1 pada hewan atau manusia telah dicurigai atau dikonfirmasi dalam 1 bulan terakhir. 3) Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam 1 bulan terakhir. 4) Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas lain), misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1. 5) Memegang/menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya. 6) Ditemukan leukopenia (dibawah nilai normal: 500010.000). Konfirmasi dilakukan di rumah sakit rujukan.

4) Tiap pemberian oseltamivir harus berdasarkan resep dokter dan dicatat dan dilaporkan sesuai dengan format yang tersedia. 5) Oseltamivir tidak direkomendasikan untuk profilaksis dan hanya boleh diberikan oleh dokter. h. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: diagnosis dini, penanganan dini, kewaspadaan dan pelaporan. 2) Pencegahan: Upaya pencegahan penularan dilakukan dengan cara menghindari bahan yang terkontaminasi feses dan sekret unggas, dengan tindakan sebagai berikut: a) Tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker, kacamata renang). b) Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas seperti feses harus ditatalaksana dengan baik (ditanam/dibakar) agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang sekitarnya. c) Alat-alat yang dipergunakan dalam perternakan harus dicuci dengan desinfektan. d) Kandang dan feses tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan e) Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak paling kurang pada suhu 80oC selama 1 menit, sedangkan telur unggas perlu dipanaskan pada suhu 64oC selama 5 menit. f) Memelihara kebersihan lingkungan. g) Menjaga kebersihan diri. h) Bagi yang tidak berkepentingan, dilarang memasuki tempat peternakan. i) Apabila sedang terkena influenza dilarang memasuki tempat peternakan. j) Jika sedang bercocok tanam dengan menggunakan pupuk kandang diharuskan menggunakan sarung tangan dan masker. k) Tiap pekerja peternakan, pemotong unggas dan penjamah unggas yang terkena influenza segera ke Puskesmas atau pelayanan kesehatan lainnya. 3) Alasan rujukan: untuk penatalaksanaan lebih lanjut.

g. Penatalaksanaan 1) Tersangka flu burung diberikan terapi awal oseltamivir 75 mg tiap 12 jam kemudian segera dirujuk. Dosis anak sesuai dengan berat badan (usia >1 tahun : 2 mg/kgBB). 2) Pasien dengan demam dapat diberikan parasetamol. 3) Kewaspadaan universal diterapkan dengan memisahkan pasien minimal 1 meter dari pasien lainnya, menggunakan masker bedah 1 rangkap untuk pasien dan 2 rangkap untuk petugas kesehatan. 73

74
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

24. FRAMBUSIA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 0701

ICD X : A66

a. Definisi Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan periosteum. b. Penyebab Treponema pertenue. c. Gambaran Klinis 1) Pada stadium awal ditemukan kelainan pada tungkai bawah berupa kumpulan papula dengan dasar eritem yang kemudian berkembang menjadi borok dengan dasar bergranulasi. Kelainan ini sering mengeluarkan serum bercampur darah yang banyak mengandung kuman. Stadium ini sembuh dalam beberapa bulan dengan parut atrofi. Atau, bersamaan dengan ini timbul papula bentuk butiran sampai bentuk kumparan yang tersusun menggerombol, berbentuk korimbiformis, atau melingkar di daerah lubang-lubang tubuh (anus, telinga, mulut, hidung), muka dan daerah lipatan. 2) Papul kemudian membasah, mengeropeng kekuningan. 3) Pada telapak kaki dapat ditemukan keratodermia. Keadaan ini berlangsung 3-12 bulan. 4) Bila penyakit berlanjut, periosteum, tulang, dan persendian akan terserang. Dalam keadaan ini dapat terjadi destruksi tulang yang terlihat dari luar sebagai gumma atau nodus. Destruksi tulang hidung menyebabkan pembengkakan akibat eksostosis yang disebut goundou. d. Diagnosis Papula yang kemudian membesar membentuk papiloma/ ulceropapilloma. e. Penatalaksanaan 1) Obat terpilih adalah penisilin prokain 2,4 juta UI dosis tunggal untuk dewasa. 75

2) Obat alternatif diberikan kepada pasien yang peka/alergi terhadap penisilin, walaupun menurut laporan di negara lain hanya menghasilkan 7080% kesembuhan. 3) Program pemberantasan penyakit frambusia memberikan obat alternatif seperti tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Pilihan Obat Untuk Terapi Frambusia
Umur Nama obat Dosis Cara Lama Pemberian Pemberian Dosis tunggal Dosis tunggal 15 hari PILIHAN UTAMA < 10 tahun Benzatin 600.000 UI i.m. penisilin > 10 tahun Benzatin 1.200.000 UI i.m. penisilin ALTERNATIF ( bagi pasien alergi terhadap penisilin ) <8 tahun Eritromisin 30 mg/ kgBB dibagi Oral dalam 4 dosis tiap 6 jam 8-15 tahun Tetrasiklin/ 250 mg, tiap 6 jam Oral Eritromisin < 8 tahun Doksisiklin 25 mg/ kgBB Oral dibagi dalam 4 dosis tiap 6 jam Dewasa Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam Oral

15 hari 15 hari

15 hari

f.

KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk mengobati dan menghindari penularan. 2) Pencegahan: higiene perorangan, hindari kontak dengan sumber penularan. 3) Alasan rujukan: bila tidak sembuh dengan pengobatan diatas. 4) Efek samping pengobatan: alergi. 5) Perhatian: tetrasiklin dan doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil, menyusui dan anak usia <12 tahun.

76
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

25. GAGAL JANTUNG AKUT (GJA) Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 86

ICD X : I50.0

a. Definisi Gagal jantung akut merupakan suatu sindroma timbulnya tanda dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau hari) akibat disfungsi jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita dengan atau tanpa kelainan jantung sebelumnya, dan dapat mematikan bila tidak diatasi segera. Disfungsi jantung yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik atau diastolik, irama jantung abnormal, atau terdapat ketidak sesuaian antara preload dan afterload (preload and afterload mismatch). b. Diagnosis Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan anamnesis (gejala) dan pemeriksaan fisik (tanda). Tanda dan gejala GJA: 1) Sesak napas saat istirahat 2) Sesak saat aktivitas ringan (perburukan dari gagal jantung kronik) 3) Orthopnu (sesak memberat saat berbaring) 4) Ronki basah di basal paru atau seluruh lapang paru 5) Takikardi 6) Takipnoe 7) JVP meningkat c. Penatalaksanaan Tatalaksana awal Gagal jantung akut di Puskesmas: Penatalaksaaan resusitasi 1) Lakukan langkah-langkah airway, breathing, circulation (ABC). 2) Oksigen nasal 4-5 L/menit. 3) Posisi setengah duduk (semi fowler position). 4) Berikan diuretik furosemid 40 mg i.v. (jika TD >100 mmHg). 5) Berikan ISDN 5 mg s.l. jika TD >100 mmHg. 6) Jika TD sistolik <90 mmHg, maka dapat diberikan cairan fisiologis (NaCl 0.9%), 1-4 mL/kgBB dalam 10 menit. Jika setelah pemberian cairan tekanan darah tidak membaik maka segera dirujuk ke RS. 7) Jika TD sistolik >180 mmHg, dapat diberikan kaptopril 3x 12,5 mg (dapat di uptitrasi) dan atau ISDN sublingual 5 mg bisa diulang hingga 5 kali sampai mendapat pertolongan lebih lanjut. 8) Segera di Rujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. KIE 1) Tujuan pengobatan: mencegah perburukan penyakit. 2) Pencegahan serangan selanjutnya: a) Membatasi aktivitas fisik b) Kendalikan faktor risiko c) Mengkonsumsi obat gagal jantung kronik secara rutin dan teratur (lihat bab gagal jantung kronik) d) Kontrol ke dokter spesialis untuk penatalaksanaan lebih lanjut 3) Alasan rujukan: untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

77

78
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

26. GAGAL JANTUNG KRONIK (DEKOMPENSASIO KORDIS) Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 86 ICD X : I50 a. Definisi Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks timbul karena oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan pada ejeksi dan pengisian. b. Penyebab 1) anemia 2) hipertensi 3) tirotoksikemia 4) penyakit jantung kronik 5) kelainan katup jantung c. Gambaran Klinis 1) Kriteria Gagal Jantung: a) Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat aktivitas fisik. b) Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat. c) Respons terhadap terapi gagal jantung. d) Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal jantung. 2) Kriteria Framingham: a) Kriteria Mayor: (1) Paroxysmal nocturnal dyspnea (2) Distensi vena jugularis (3) Ronki basah halus (4) Rontgen : kardiomegali (5) Udem pulmonal akut (6) S3 gallop (7) Tekanan vena sentral >16 cm H2O (8) Waktu sirkulasi +25 detik (9) Hepatojugular refluks (10) Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali pada autopsi (11) Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang respon terhadap terapi gagal jantung. 79

b) Kriteria Minor: (1) Edema kaki bilateral (2) Batuk nokturnal (3) Dyspnea pada aktivitas sehari-hari (4) Hepatomegali (5) Efusi pleura (6) Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga dari nilai maksimal (7) Takikardia ( nadi >120 kali/menit) d. Klasifikasi Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap (kelas III dan IV), juga berguna dalam menentukan penatalaksanaan dan prognostik kelainan yang dialami (table 10). Tabel 10. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) Kelas Kriteria 1 Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi. 2 Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik biasa menyebabkan lelah, sesak napas, atau palpitasi. 3 Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi. 4 Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan: gejala gagal jantung timbul meskipun dalam keadaan istirahat dengan keluhan yang semakin bertambah pada aktivitas fisik. e. Diagnosis 1) Anamnesis a) Sesak napas saat aktivitas, udema tungkai dan capai (kelelahan) merupakan gejala khas gagal jantung. b) Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, kelainan katup, kelainan vaskular perifer, demam

80
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

rematik, radiasi dada, penggunaan bahan kardiotoksik, alkoholisme, penyakit tiroid. c) Riwayat keluarga: penyakit aterosklerosis, kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit gangguan konduksi, miopati skeletal. d) Tidak ada hubungan antara gejala yang timbul dengan beratnya disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis penyakit. 2) Pemeriksaan Fisik a) Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan pemeriksaan fisik yang seksama meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. b) Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung kanan dan/atau kiri antara lain: takikardia, takipneu, ronkhi basah, peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung gallop, ascites, hepatomegali, dan edema tungkai. f. Penatalaksanaan 1) Tujuan Terapi: a) Pencegahan (1) Mencegah dan mengontrol kelainan yang menyebabkan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung. (2) Mencegah progresivitas gangguan fungsi jantung menjadi gagal jantung akut. b) Morbiditas Menjaga dan memperbaiki kualitas hidup. c) Mortalitas Meningkatkan harapan hidup. 2) Terapi Farmakologi a) ACE inhibitor (kaptopril) (1) Direkomendasikan sebagai first-line therapy. (2) Dosis diberikan mulai dosis rendah (3 x 6,25 mg) dapat di uptitrasi hingga 3 x 50 mg. b) Digitalis (1) Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi atrial pada gagal jantung. (2) Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih baik daripada hanya menggunakan salah satu jenis saja. (3) Dapat diberikan digoksin tab 1 x 0,25 mg jika terdapat fibrilasi atrial.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Dalam keadaan irama sinus, digoksin direkomendasikan untuk memperbaiki status klinis pada keadaan gagal jantung persisten selain dengan terapi ACE inhibitor, beta blocker dan diuretik. (5) Bila NYHA II-IV dengan LVEF < 40% disertai tanda-tanda gagal jantung yang telah mendapat penghambat EKA dan penyekat beta. g. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: memperpanjang harapan hidup. 2) Pencegahan: a) Penyuluhan umum (1) Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan kelurganya (2) Mengontrol berat badan (3) Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari (a) Diet rendah garam (<2 g/hari) (b) Pembatasan intake cairan (<1,5-2 L/hr) (c) Hindari konsumsi alkohol (d) Berhenti merokok. (4) Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik. (5) Obat yang perlu mendapat perhatian khusus. b) Rehabilitasi: Rehabilitasi dilakukan pada pasien yang stabil dengan kelas fungsional II-III

81

82
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

27. GANGGUAN NEUROTIK Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 0802

ICD X : F40-F48

a. Definisi Suatu atau kumpulan gejala fisik yang dirasakan berlebihan disertai dengan sindrom ansietas tanpa bukti adanya penyakit fisik. b. Penyebab Psikologis dan keprbadian individu, stresor psikososial, penyakit organik seperti hipertiroid, pheocromamocytosis. c. Jenis-jenis Gangguan Neurotik Gangguan neurotik yang sering dijumpai adalah sebagi berikut 1) Gangguan ansietas fobik seperti agorafobia, fobia sosial, fobia spesifik 2) Gangguan Panik 3) Gangguan Ansietas Menyeluruh. 4) Gangguan Obsesif Kompulsif 5) Gangguan Stres Pasca Trauma 6) Gangguan Penyesuaian 7) Gangguan Somatisasi d. Gambaran Klinik Sesuai dengan gejala dari masing-masing jenis neurotik, untuk memudahkan sebagai target terapi maka secara klinik perlu mengenali sindrom ansietas sebagai berikut: 1) Adanya perasaan cemas atau kuatir yang tidak realistik terhadap dua atau lebih hal yang dipersepsikan sebagai ancaman. Perasaan ini menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan tenang (inability to relax) 2) Terdapat gejala-gejala berikut: a) Ketegangan motorik, seperti kedutan otot atau rasa gemetar, otot tegang/kaku/pegal, tidak bisa diam, atau mudah menjadi lelah b) Hiperaktivitas otonomik, seperti napas pendek/terasa berat, jantung berdebar-debar, telapak tangan basah dan dingin, mulut kering, kepala pusing/rasa melayang, mual, mencret, perut tak enak, muka panas/badan menggigil, buang air kecil atau sukar menelan/rasa tersumbat. 83

c) Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang, seperti perasaan jadi peka/mudah ngilu, mudah terkejut/kaget, sulit berkosentrasi/berpikir fokus, sukar tidur atau mudah tersinggung 3) Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala seperti penurunan kemampuan kerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. e. Diagnosis Berdasarkan PPDGJIII, maka pedoman diagnosis sesuai jenisnya sebagai berikut : 1) Gangguan Ansietas Fobik a) Kecemasan dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas, yang sebenarnya pada saat kejadian tidak membahayakan. b) Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam c) Secara subyektif, fisiologik dan tampilan perilaku tidak jauh berbeda dengan jenis ansietas lainnya 2) Gangguan Ansietas Panik a) Ditemukan adanya beberapa kali serangan cemas berat dalam masa kira-kira 1 bulan b) Keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya c) Tidak terbatas pada situasi yang sudah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya 3) Gangguan Ansietas Menyeluruh a) Gambaran utama adalah adanya kecemasan yang menyeluruh dan menetap b) Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk, sulit konsentrasi dll) c) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, tidak dapat santai, gemetaran) d) Overaktivitas motorik (berkeringat dingin, berdebar-debar, pusing, mulut kering, nyeri ulu hati dll) e) Pada anak-anak terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan serta keluhan somatik yang berulang-ulang. 4) Gangguan Obsesif Kompulsif a) Ciri utama adalah adanya pikiran obsesif atau tindakan yang berulang, gejala obsesional atau tindakan kompulsif, atau keduaduanya, harus ada hamper tiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut

84
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls dari diri sendiri c) Sedikitnya ada satu tindakan atau pikiran yang masih tidak bias dilawan d) Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut bukan merupakan hal yang memberikan kepuasan atau kesenangan e) Pikiran, bayangan atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan 5) Gangguan Stres Pasca Trauma a) Keadaan ini timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat maupun berkepanjangan) yang bersifat katastrofik atau menakutkan, yang dapat menyebabkan ketegangan bagi tiap orang (misalnya bencana alam atau bencana yang dibuat oleh manusia seperti perang atau konflik masyarakat, kecelakaan, terorisme, korban penyiksaan/perkosaan dll) b) Diagnosis ditegakkan jika gangguan ini timbul dalam kurun waktu 2 minggu sampai 6 bulan setelah kejadian traumatik, dapat lebih dari 6 bulan asal saja gejala-gejala khasnya nampak c) Selain adanya kejadian trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik itu kembali secara berulang-ulang (flashback) d) Berusaha menghindari suasana atau kejadian yang menimbulkan trauma atau sesuatu yang dapat diasosiasikan dengan kejadian traumatik sebelumnya (misalnya pada bencana tsunami atau banjir bandang, seseorang jika melihat langit mendung dan hujan deras akan timbul rasa takut seakan peristiwa itu akan terjadi lagi) e) Ganggaun otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tapi tidak khas 6) Gangguan Penyesuaian a) Adanya faktor kejadian atau situasi yang stressful atau krisis kehidupan ( seperti menderita penyakit yang mengancam jiwa, suasana pekerjaan yang baru dan tidak menyenangkan) b) Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang stressful dan gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan c) Gangguan bervariasi mencakup afek cemas, depresif, campuran cemas dan depresif, gangguan tingkah laku yang disertai dengan adanya ketidakmampuan dalam kegiatan rutin sehari-hari

7) Gangguan Somatisasi a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung setidaknya 2 tahun b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhankeluhannya. f. Penatalaksanaan 1) Untuk semua jenis gangguan neurotik dapat diberikan: Antiansietas : Diazepam 25 mg tiap 8-12 jam Antidepresan : Amitriptilin 12,5 mg tiap 12-24 jam Antipsikotik : Haloperidol 0,5 mg tiap 12-24 jam 2) Untuk Gangguan Panik sebaiknya diberikan Alprazolam 0,5 mg tiap 812 jam sehari jika obatnya tersedia. 3) Obat utama adalah Diazepam yang diberikan secara tunggal. 4) Penambahan dengan Amitriptilin 12,5 jika diserta gejala-gejala afek yang depresif dan atau haloperidol 0,5 mg jika gejala-gejalanya cukup berat yang disertai dengan banyaknya keluhan somatik dan atau pikiran-pikiran yang kurang rasional. 5) Segera rujuk ke psikiater jika gangguan neurotik dalam 1 minggu pengobatan tidak memberi efek yang baik.

g. KIE 1) Selain pemberian obat sebaiknya memberi konseling kepada pasien, dengan cara: bersikap empati, memberi dukungan kepada pasien untuk mampu mengatasi sendiri masalahnya, bantu pasien mengenali stressor psikososialnya, lebih banyak mendengarkan keluhan pasien dan membiarkan untuk mengeluarkan unek-uneknya (ventilasi), jangan terlalu banyak memberikan nasehat, tidak terlalu cepat untuk menilai keadaan pasien dan jangan menyalahkan atau menghakimi atas sikap dan perilakunya. 2) Memberi penjelasan tentang penyakit yang dideritanya termasuk dalam gangguan jiwa ringan yang bisa diobati 3) Memberi penjelasan tentang efek samping sedasi dari obat-obat tersebut, sehingga tidak menjalankan kendaraan waktu meminum obat, atau sebaiknya minum obat saat mau tidur 4) Memberi penjelasan untuk tidak meminum obat tanpa resep dokter atau dosis yang sesuai dengan anjuran dokter karena beberapa obat

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

85

86
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

antiansietas seperti diazepam dan alprazolam dapat menimbulkan ketergantungan 5) Menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan psikiater untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang lebih baik dan penanganan psikoterapi.

28. GANGREN PULPA Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1502

ICD X : K04

a. Definisi Kematian jaringan pulpa sebagian atau seluruhnya sebagai kelanjutan proses karies atau trauma. b. Penyebab Kematian jaringan pulpa dengan atau tanpa kehancuran jaringan pulpa. c. Gambaran Klinis 1) Tidak ada gejala sakit. 2) Tanda klinis yang sering ditemui adalah jaringan pulpa mati, lisis dan berbau busuk. 3) Gigi yang rusak berubah warna menjadi abu-abu kehitaman. d. Diagnosis Degenerasi pulpa. e. Penatalaksanaan 1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas. 2) Jika sudah peradangan periapikal (nyeri saat menggigit) dapat diberikan amoksisilin selama 5 hari. Dewasa : amoksisilin 500 mg tiap 8 jam. Anak : amoksisilin 10-15 mg/kgBB/hari tiap 6-8 jam. 3) Simtomatik: Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair. Bila ada karies gigi harus segera ditangani.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

87

88
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

29. GASTRITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 88

ICD X : K29.7

30. GIGITAN ULAR Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 1901

ICD X : S02-T02

a. Definisi Nyeri epigastrium yang hilang timbul/menetap dapat disertai dengan mual/muntah. b. Peyebab Penyebab utama gastritis adalah iritasi lambung misalnya oleh makanan yang merangsang asam lambung, alkohol atau obat. Pada keadaan ini terjadi gangguan keseimbangan antara produksi asam lambung dan daya tahan mukosa. Penyakit sistemik, kebiasaan merokok, infeksi kuman Helicobacter pilori juga berperan dalam penyakit ini. c. Gambaran Klinis Pasien biasanya mengeluh perih atau tidak enak di ulu hati. Gastritis erosif akibat obat sering disertai pendarahan. Nyeri epigastrium, perut kembung, mual, muntah tidak selalu ada. d. Diagnosis Nyeri ulu hati, mual/muntah, kembung dan lain-lain. e. Penatalaksanaan 1) Keluhan akan segera hilang dengan antasida (AlOH, Mg(OH)2) yang diberikan menjelang tidur, pagi hari, dan diantara waktu makan. 2) Bila muntah sampai mengganggu dapat diberikan tablet metoklopramid 10 mg, 1 jam sebelum makan (dewasa) atau domperidon (anak). 3) Bila nyeri hebat dapat dikombinasikan dengan ranitidin 150 mg 2x sehari 4) Pasien dengan tanda pendarahan seperti hematemesis atau melena perlu segera dirujuk ke rumah sakit karena kemungkinan terjadi pendarahan pada tukak lambung yang dapat menjadi perforasi. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala, memastikan ada asupan makanan yang cukup. 2) Pencegahan: makan teratur dan menghindarkan makanan yang merangsang asam lambung. 3) Efek samping: metoklopramid tidak boleh pada anak <18 tahun karena efek samping ekstrapiramidal. 89

a. Definisi Suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. b. Penyebab Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok: 1) Colubridae (misalnya Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia) 2) Elapidae (misalnya King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra) 3) Viperidae (misalnya Borneo green pit viper, Sumatran pit viper). c. Gambaran Klinis 1) Umumnya gigitan ular tidak beracun, misalnya ular air, hanya memerlukan tata laksana sederhana. Namun bila jenis ular tidak diketahui, maka sebaiknya dilakukan upaya pencegahan dengan serum anti bisa ular polivalen. 2) Kemungkinan ini dicurigai bila ada riwayat digigit ular. 3) Pasien mungkin tampak kebiruan, pingsan, lumpuh atau sesak napas. 4) Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau ular tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: a) Ciri-ciri ular berbisa: (1) Bentuk kepala segi empat panjang (2) Gigi taring kecil (3) Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan. b) Ciri-ciri ular tidak berbisa: (1) Kepala segi tiga (2) Dua gigi taring besar di rahang atas (3) Dua luka gigitan utama akibat gigi taring. 5) Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi tiga: a) Efek lokal. Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan memberikan efek yang agak sulit dideteksi dan hanya bersifat minor tetapi beberapa spesies gigitannya dapat menghasilkan efek yang cukup besar seperti bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai dengan nekrosis. Yang harus diwaspadai adalah terjadinya syok

90
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

hipovolemik sekunder yang diakibatkan oleh berpindahnya cairan vaskuler ke jaringan akibat efek sistemik bisa ular tersebut. b) Efek sistemik Gigitan ular ini akan menghasilkan efek yang non-spesifik seperti: nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri perut, diare sampai pasien menjadi kolaps. Gejala yang ditemukan seperti ini sebagai tanda bahaya bagi petugas kesehatan untuk memberi petolongan segera. c) Efek sistemik spesifik Efek sistemik spesifik dapat dibagi berdasarkan: (1) Koagulopati Beberapa spesies ular dapat menyebabkan terjadinya koagulopati. Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan adalah keluarnya darah terus menerus dari tempat gigitan, venipuncture dari gusi dan bila berkembang akan menimbulkan hematuria, hematomesis, melena dan batuk darah. (2) Neurotoksik Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya flaccid paralysis. Ini biasanya berbahaya bila terjadi paralisis pada pernapasan. Biasanya tanda-tanda yang pertama kali dijumpai adalah pada saraf kranial seperti ptosis, oftalmoplegia progresif bila tidak mendapat anti venom akan terjadi kelemahan anggota tubuh dan paralisis pernapasan. Biasanya full paralysis akan memakan waktu + 12 jam, pada beberapa kasus biasanya menjadi lebih cepat, 3 jam setelah gigitan. (3) Miotoksisitas Miotoksisitas hanya akan ditemukan bila seseorang diserang atau digigit oleh ular laut. Ular yang berada di daratan biasanya tidak ada yang menyebabkan terjadinya miotoksisitas berat. Gejala dan tanda adalah: nyeri otot, tenderness, mioglobinuria dan berpotensi untuk terjadinya gagal ginjal, hiperkalemia dan kardiotoksisitas. d. Diagnosis Adanya riwayat gigitan disertai gejala/tanda gigitan ular berbisa baik berupa efek lokal (tempat gigitan) maupun efek sistemik dan efek sistemik spesifik. e. Penatalaksanaan Pertolongan pertama pada gigitan ular:
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

1) Bila yang digigit anggota badan, gunakan tali putar silang di sebelah atas luka. Putar tali sedemikian kencang sampai denyut nadi di ujung anggota hampir tidak teraba. Ikatan dikendorkan tiap 15 menit selama 1 menit. Menurut Schwartz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat diklasifikasikan sesuai Tabel 11. Tabel 11. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz
Derajat 0 I II Venerasi 0 +/+ Luka + + + Nyeri +/+++ Edema/Eritema <3 cm/12 jam 3-12 jam/12 jam >12-25 cm/12 jam >25 cm/12 jam Sistemik 0 0 + Neurotoksik, mual, pusing, syok ++ Ptekhiae, syok, ekhimosis ++ Gagal ginjal akut, koma, perdarahan

III

+++

IV

+++

+++

>ekstremitas

2) Bila tersedia, suntikkan Serum Anti Bisa Ular (SABU) polivalen i.v menggunakan tatacara pengobatan sesuai Tabel 12. Tabel 12. Pedoman Terapi SABU Menurut Luck
Derajat Beratnya evenomasi Tidak ada Minimal Sedang Berat Berat Taring atau gigi + + + + + Ukuran zona edema/eritemato kulit (cm) <2 2-15 15-30 >30 <2 Gejala sistemik + ++ +++ Jumlah vial venom 0 5 10 15 15

0 I II III IV

3) Segera rujuk pasien ke rumah sakit. f. KIE: 1) Tujuan penatalaksanaan: a) menghalangi/memperlambat absorpsi bisa ular. b) menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah.

91

92
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) mengatasi efek lokal dan sistemik. 2) Pencegahan terhadap gigitan ular: a) Penduduk di daerah dimana ditemukan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai dengan kaki. b) Ketersediaan serum anti bisa ular (SABU) untuk daerah dimana sering terjadi kasus gigitan ular. c) Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan semak-semak. d) Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak pasien yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

31. GINGIVITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 1503

ICD X : K05-K06

a. Definisi Gingivitis adalah inflamasi gingiva marginal atau radang gusi. b. Penyebab Radang gusi ini dapat disebabkan oleh faktor lokal maupun faktor sistemik. Faktor lokal diantaranya karang gigi, bakteri, sisa makanan (plak), pemakaian sikat gigi yang salah, rokok, tambalan yang kurang baik. Faktor sistemik meliputi Diabetes Melitus (DM), ketidakseimbangan hormon (saat menstruasi, kehamilan, menopause, pemakaian kontrasepsi), keracunan logam, dan sebagainya. c. Gambaran Klinis 1) Pasien biasanya mengeluh mulut bau, gusi bengkak mudah berdarah, tanpa nyeri, hanya kadang terasa gatal. 2) Pada pemeriksaan gusi tampak bengkak, berwarna lebih merah dan mudah berdarah pada sondasi. Kebersihan mulut biasanya buruk. 3) Ginggivitis herpes biasanya disertai gejala herpes simpleks. Tanda di gusi tidak disertai bau mulut. 4) Salah satu bentuk radang gusi adalah perikoronitis yang gejalanya lebih berat: demam, sukar membuka mulut. d. Diagnosis Peradangan pada gusi. e. Penatalaksanaan 1) Pasien dianjurkan untuk memperbaiki kebersihan mulut dan berkumur dengan 1 gelas air hangat +1 sendok teh garam, atau bila ada dengan obat kumur iodium povidon tiap 8 jam selama 3 hari. 2) Bila kebersihan mulut sudah diperbaiki dan tidak sembuh, rujuk ke Rumah Sakit untuk perawatan selanjutnya. Perlu dipikirkan kemungkinan sebab sistemik. 3) Perikoronitis memerlukan antibiotik selama 5 hari: amoksisilin 500 mg tiap 8 jam. 4) Membersihkan karang gigi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

93

94
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah). 3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. 4) Alasan rujukan: bila kebersihan mulut sudah diperhatikan dan penyakit tidak sembuh, perlu dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan selanjutnya.

32. GLAUKOMA Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 1001

ICD X : H40

a. Definisi Glaukoma adalah suatu gejala dari kumpulan penyakit yang menyebabkan suatu resultan yakni meningkatnya tekanan intra okuler yang cukup untuk menyebabkan degenerasi optik disk (atrofi nervus optikus) dan kelainan lapang pandang. b. Penyebab Meningkatnya tekanan intra okuler. Harus dibedakan dengan hipertensi okuler yaitu suatu keadaan dimana tekanan intraokuler meninggi tanpa kerusakan pada optik disk dan kelainan lapang pandang. c. Gambaran Klinis Glaukoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Glaukoma Primer a) Glaukoma primer sudut terbuka (open angle glaucoma, chronic glaucoma) adalah jenis glaukoma yang paling sering ditemukan. b) Glaukoma primer sudut tertutup (closed angle glaucoma, acute congestive glaucoma). 2) Glaukoma Kongenital a. Glaukoma kongenital primer atau infantil (Buftalmos) b. Glaukoma yang menyertai kelainan kongenital 3) Glaukoma Sekunder 4) Glaukoma Absolut Pada glaukoma akut kongestif (terjadinya serangan) harus diberi perawatan yang secepat-cepatnya karena terlambatnya perawatan dapat mempercepat memburuknya tajam penglihatan dan lapang pandang. Glaukoma akut kongestif sering diduga/didiagnosa sebagai konjungtivitis karena mata terlihat merah. Pada glaukoma akut akan terlihat adanya infeksi konjungtiva, infeksi silier, pupil melebar/mid dilatasi, reflek kurang. Pemeriksaan pengukuran tekanan bola mata dengan tonometri akan didapatkan nilai yang tinggi (normal 1020 mmHg).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

95

96
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis Mata merah, pupil lebar, reflek kurang, kornea agak keruh, tanpa kotoran mata dengan keluhan nyeri kepala, mual, muntah, visus menurun dan biasanya mengenai satu mata adalah gejala glaukoma akut. Kelainan tersebut jangan didiagnosis sebagai konjungtivitis. Tanda konjungtivitis adalah mata merah (biasanya dua mata), terdapat kotoran mata, tidak nyeri kepala, visus tidak menurun, pupil tidak lebar dan tidak berakibat kebutaan. Glaukoma akut kongestif sangat berbahaya dan berakibat kebutaan total yang tidak dapat diobati. e. Penatalaksanaan Penatalaksanaan sesuai dengan kedaruratan mata (karena dapat menimbulkan kebutaan). Dengan keterbatasan ketenagaan dan peralatan, maka penanggulangan glaukoma yang mungkin dilakukan di Puskesmas adalah glaukoma akut kongestif, dengan pemberian steroid topikal untuk menekan reaksi peradangan, misalnya betametason tetes mata. Pengobatan simtomatik untuk gejala yang ada parasetamol untuk sakit kepala dan metoklopramid untuk muntah, dan segera rujuk ke spesialis mata untuk perawatan dan tindakan selanjutnya. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan bola mata secara cepat untuk mencegah kebutaan, melakukan deteksi dini dalam keluarga terhadap kemungkinan menderita glaukoma. 2) Alasan rujukan: untuk perawatan dan tindakan selanjutnya.

33. GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA) Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 16

ICD X : N00

a. Definisi Glomerulonefritis akut (GNA) atau glomerulonefritis pasca infeksi adalah suatu peradangan pada glomeruli yang menyebabkan hematuria (darah dalam urin), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein dalam urin) yang jumlahnya bervariasi. b. Penyebab Infeksi bakteri atau virus tertentu pada ginjal. Kuman yang paling sering dihubungkan dengan GNA adalah Streptococcus beta-haemolyticus grup A. c. Gambaran Klinik 1) Sekitar 50% pasien tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edem), berkurangnya volume urin dan berwarna gelap karena mengandung darah. 2) Pada awalnya edem timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat. 3) Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit kepala, gangguan penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih serius. d. Diagnosis 1) Urinalisis menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan konsentrasi urea dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi. 2) Kadar antibodi untuk streptococcus di dalam darah bisa lebih tinggi daripada normal. 3) Kadang pembentukan urin terhenti sama sekali segera setelah terjadinya glomerulonefritis pasca streptococcus, volume darah meningkat secara tiba-tiba dan kadar kalium darah meningkat. Jika tidak segera menjalani dialisa, maka pasien akan meninggal. 4) Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain Streptococcus biasanya lebih mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya masih berlangsung. Tanda-tanda GNA: hematuria, edem, gangguan fungsi ginjal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

97

98
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid tidak efektif, kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan. 2) Jika pada saat ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih berlangsung, maka segera diberikan antibiotik. 3) Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan (misalnya katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan infeksinya bisa diatasi. 4) Pasien sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam sampai fungsi ginjal kembali membaik. 5) Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam membuang kelebihan garam dan air. 6) Untuk mengatasi tekanan darah tinggi diberikan obat anti hipertensi. 7) Jika diperlukan perlu dirujuk ke rumah sakit f. KIE 1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi dan menghambat progresifitas penyakit. 2) Pencegahan: pemantauan klinik yang teratur, kontrol tekanan darah, proteinuria dan kadar lemak darah, pengaturan asupan protein.

34. GONORE Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 25 ICD X : A54

a. Definisi Gonore adalah infeksi bakteri tertentu di alat kelamin, dubur atau tenggorokan. b. Penyebab Disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (gonococcus), suatu diplococcus gram negatif. Gonore dapat menular kalau seseorang melakukan hubungan seks vaginal, dubur atau mulut dengan seseorang yang sedang mengalami infeksi tersebut tanpa memakai kondom. Untuk laki-laki yang mengalami infeksi saluran kencing, gejala-gejalanya biasanya muncul dalam waktu 210 hari setelah terinfeksi. c. Gambaran Klinis 1) Setelah melakukan kontak seksual kelainan di awal dengan keluhan rasa tidak nyaman/panas di saluran kemih dan beberapa waktu kemudian dengan keluarnya cairan putih kekuningan (darah) dari lubang kencing. 2) Biasanya penyakit ini menunjukan gejala 2-10 hari. Umumnya penyakit ini ditandai dengan radang saluran urin dengan gejala nyeri sewaktu berkemih dan mengeluarkan cairan putih dari saluran kemihnya. Namum pengeluaran cairan putih, ataupun yang kuning, yang kental ataupun yang encer bisa disebabkan oleh kuman lain, sehingga sifat cairan ini tidak memastikan penyakit ini. 3) Pada wanita biasanya tidak ada keluhan keputihan dan kadang-kadang pendarahan yang tidak normal dari rahim serta rasa tak nyaman pada liang dubur. Namun semua gejala itu pun tidak khas bagi gonore, ia bisa juga disebabkan oleh penyakit lain sehingga perlu diperiksa dengan teliti. 4) Pada wanita infeksi gonore bisa berlanjut menjadi peradangan alat dalam panggul yang menjalar dari bibir rahim, ke dalam rahim, ke saluran telur dan ke seluruh alat dalam panggul, biasanya terjadi selama haid. Gejala penyakit ini meliputi demam dan nyeri perut bagian bawah. Mungkin juga terdapat pengeluaran cairan kekuningan dari dalam bibir rahim dan nyeri tekan pada rahim pada waktu pemeriksaan

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

99

100
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

dalam atas alat-alat panggul. Radang alat-alat panggul ini bisa menyebabkan strerilitas, kehamilan di luar kandungan dan nyeri panggul yang menahun. 5) Selain komplikasi setempat pada laki-laki dan wanita, bisa juga terjadi komplikasi di tempat lain, akibat penyebarannya kuman gonore melalui darah, dan kira-kira 2/3 pasiennya wanita. Bisa terjadi radang sendi dan kulit yang di tandai demam, nyeri sendi dan bengkak sendi, menggigil serta kelainan kulit berbentuk nanah dan gelembung. Radang sendi melibatkan beberapa sendi, sering melibatkan sendi pergelangan tangan, jari-jari, sendi lutut dan sendi pergelangan kaki. Manifestasi lazim lainnya meliputi radang selaput pembukus jantung (perikarditis), dan radang hati (hepatitis). Kadang-kadang terjadi radang lapisan dalam jantung dan selaput otak. d. Diagnosis Gonore dan klamidia dapat diketahui dengan sampel yang diseka dari saluran kemih, dubur atau tenggorokan. Penting agar pasien tidak buang air kecil selama paling tidaknya tiga jam sebelum menjalani tesnya. e. Penatalaksanaan 1) Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari 2) Doksisiklin 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari 3) Penisilin prokain 2,4 juta UI, diberikan i.m., sedang dosis untuk wanita 4,8 juta UI. 4) Siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam selama 5-7 hari per oral. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati dan menghindari penularan. 2) Pencegahan: hindari perilaku berisiko atau perilaku seksual yang tidak aman, hindari kontak langsung dengan pasien. 3) Alasan rujukan: tidak sembuh dengan pengobatan tersebut diatas 4) Efek samping pengobatan: alergi obat. 5) Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

35. GOUT Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 90

ICD X : M10

a. Definisi Gout merupakan penyakit radang sendi yang terjadi akibat deposisi kristal mono sodium urat pada persendian dan jaringan lunak. Gout ditandai dengan serangan berulang dari arthritis (peradangan sendi) yang akut, kadang-kadang disertai dengan pembentukan kristal sodium urat yang besar (yang dinamakan tophus), deformitas (kerusakan) sendi secara kronik, dan adanya cedera pada ginjal. b. Penyebab Penumpukan asam urat didalam tubuh secara berlebihan, baik akibat produksi asam urat yang meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang menurun, atau akibat peningkatan asupan makanan yang kaya akan purin. Gout terjadi ketika cairan tubuh sangat jenuh akan asam urat karena kadarnya yang tinggi. c. Gambaran Klinis 1) Gejala paling khas adalah nyeri dan kemerahan pada sendi metatarsofalangeal pertama, biasanya melibatkan satu sendi. Gejala bisa dieksaserbasi oleh paparan terhadap dingin dan sering memburuk pada malam hari. 2) Gout dapat menyerang lebih dari 1 sendi, tetapi umumnya asimetri (satu sisi tubuh saja). Sendi yang terlibat tampak bengkak, hangat, kemerahan, dengan kulit diatasnya yang teregang. 3) Selama serangan akut, pasien mungkin agak demam dan ada peningkatan jelas LED dan CRP serum. 4) Lebih dari sekali mengalami serangan artritis akut. 5) Terjadi peradangan secara maksimal dalam 1 hari. 6) Oligoartritis. 7) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang. 8) Hiperurisemia (kadar asam urat dalam darah >7,5 mg/dL). 9) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja). d. Diagnosis Nyeri akut pada persendian kecil seperti ibu jari, terutama malam hari.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

101

102
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Kadar urat serum biasanya >7,5 mg/dL. e. Penatalaksanaan 1) Pada serangan artritis akut, pasien biasanya diberikan terapi untuk mengurangi peradangan dengan memberikan obat analgesik atau kortikosteroid. Setelah serangan akut berakhir, terapi ditujukan untuk menurunkan kadar asam urat didalam tubuh. 2) Kondisi yang terkait dengan hiperurisemia adalah diet kaya purin, obesitas, serta konsumsi alkohol. Purin merupakan senyawa yang akan dirombak menjadi asam urat didalam tubuh. Alkohol merupakan salah satu sumber purin dan juga dapat menghambat pembuangan purin melalui ginjal sehingga disarankan untuk tidak sering mengonsumsi alkohol. Pasien juga disarankan untuk minum air dalam jumlah yang banyak (>2 L tiap harinya) karena akan membantu pembuangan asam urat dan meminimalkan pengendapan asam urat dalam saluran kemih. Ada beberapa jenis makanan yang diketahui kaya akan purin, antara lain jeroan (sapi, babi, kambing), makanan dari laut (seafood), melinjo, softdrink, minuman berfruktosa (termasuk jus kemasan). Makanan tersebut jangan dikonsumsi berlebihan. 3) Obat yang digunakan untuk terapi profilaksis adalah: a) Alopurinol, bila terdapat over produksi asam urat. Obat ini menghambat sintesa dan menurunkan kadar asam urat darah. Dosis pada hiperurikemia 100 mg tiap 8 jam sesudah makan, bila perlu dinaikkan tiap minggu dengan 100 mg hingga 10 mg/kgBB/hari. b) Natrium bikarbonat 2 tablet 3 x sehari, untuk membantu kelarutan asam urat. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi peradangan, menurunkan kadar asam urat dalam tubuh. 2) Pencegahan: membatasi diet purin, tidak mengkonsumsi alkohol, minum air dalam jumlah banyak (> 2 L).

36. HEPATITIS VIRUS A, B, C Kompetensi : 2 Laporan Penyakit : 0403

ICD X : -

a. Definisi Hepatitis Virus Akut adalah peradangan hati karena infeksi oleh salah satu dari kelima virus hepatitis (virus A, B, atau C); peradangan muncul secara tiba-tiba dan berlangsung hanya selama beberapa minggu. b. Penyebab Virus Hepatitis A, B, C. c. Gambaran Klinis 1) Gejala biasanya muncul secara tiba-tiba, berupa: a) penurunan nafsu makan b) merasa tidak enak badan c) mual d) muntah e) demam. 2) Kadang terjadi nyeri sendi dan timbul biduran (gatal-gatal kulit), terutama jika penyebabnya adalah infeksi oleh virus hepatitis B. 3) Beberapa hari kemudian, urin warnanya berubah menjadi lebih gelap dan timbul kuning (jaundice). Pada saat ini gejala lainnya menghilang dan pasien merasa lebih baik, meskipun jaundice semakin memburuk. 4) Bisa timbul gejala dari kolestasis (terhentinya atau berkurangnya aliran empedu) yang berupa feses yang berwarna pucat dan gatal di seluruh tubuh. Jaundice biasanya mencapai puncaknya pada minggu ke 12, kemudian menghilang pada minggu ke 24. d. Diagnosis 1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan darah terhadap fungsi hati. 2) Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak membesar. 3) Diagnosis pasti diperoleh jika pada pemeriksaan darah ditemukan protein virus atau antibodi terhadap virus hepatitis.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

103

104
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Jika terjadi hepatitis akut yang sangat berat, maka pasien dirawat di rumah sakit; tetapi biasanya hepatitis A tidak memerlukan pengobatan khusus. 2) Setelah beberapa hari, nafsu makan kembali muncul dan pasien tidak perlu menjalani tirah baring. Makanan dan kegiatan pasien tidak perlu dibatasi dan tidak diperlukan tambahan vitamin. 3) Sebagian besar pasien bisa kembali bekerja setelah jaundice menghilang, meskipun hasil pemeriksaan fungsi hati belum sepenuhnya normal. f. KIE Pencegahan: 1) Kebersihan yang baik bisa membantu mencegah penyebaran virus hepatitis A. Feses pasien sangat infeksius. Di sisi lain, pasien tidak perlu diasingkan; pengasingan pasien hanya sedikt membantu penyebaran hepatitis A, tetapi sama sekali tidak mencegah penyebaran hepatitis B maupun C. 2) Kemungkinan terjadinya penularan infeksi melalui transfusi darah bisa dikurangi dengan menggunakan darah yang telah melalui penyaringan untuk hepatitis B dan C. 3) Vaksinasi hepatitis B merangsang pembentukan kekebalan tubuh dan memberikan perlindungan yang efektif. 4) Vaksinasi hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang memiliki risiko tinggi, misalnya para pelancong yang mengunjungi daerah dimana penyakit ini banyak ditemukan. 5) Untuk hepatitis C belum ditemukan vaksin. 6) Bagi yang belum mendapatkan vaksinasi tetapi telah terpapar oleh hepatitis, bisa mendapatkan sediaan antibodi untuk perlindungan, yaitu globulin serum. Pemberian antibodi bertujuan untuk memberikan perlindungan segera terhadap hepatitis virus. 7) Ibu hamil yang telah teridentifikasi virus hepatitis B, dianjurkan untuk melahirkan di rumah sakit.

37. HERPES SIMPLEKS Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 0403

ICD X : B00

a. Definisi Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari manusia. Infeksi virus H. simplex ditandai dengan vesikel berkelompok di daerah mukokutan dengan kulit yang memerah. Kelainan dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit. b. Penyebab Penularan melalui kontak langsung. Virus H. simplex tipe 1 (HSV-1) adalah penyebab umum untuk luka-luka demam (cold sore) di sekeliling mulut. HSV-2 biasanya menyebabkan herpes kelamin. Namun HSV-1 dapat menyebabkan infeksi pada kelamin dan HSV-2 dapat menginfeksikan daerah mulut melalui hubungan seks. c. Gambaran Klinis 1) Infeksi virus ini mempunyai ciri adanya lesi primer lokal, latensi dan adanya kecenderungan rekurensi lokal. 2) Dua agen penyebab, HSV tipe 1 dan 2, umumnya menimbulkan sindrom klinis yang jelas, tergantung pada tempat masuknya. a) HSV tipe 1: (1) Infeksi primer mungkin ringan dan umumnya terjadi pada masa anak-anak dini sebelum usia 5 tahun. (2) Sekitar 10% infeksi primer menyebabkan bentuk penyakit yang lebih berat yang bermanifestasi demam dan malaise. (3) Ini bisa berlangsung selama seminggu atau lebih, dan dihubungkan dengan adanya lesi vesikuler dalam mulut, infeksi mata atau erupsi kulit generalisata yang memperberat eksema kronik. (4) Reaktivasi infeksi laten mengakibatkan adanya cold sore yang muncul sebagai vesikel bening pada dasar yang eritematus, biasanya di wajah dan bibir, yang berkrusta dan sembuh dalam beberapa hari. (5) Reaktivasi ini mungkin ditimbulkan oleh trauma, demam atau adanya penyakit lain yang sedang diderita.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

105

106
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) HSV tipe 2: (1) Virus ini adalah penyebab herpes genitalis, walau ini juga dapat disebabkan oleh virus tipe 1. (2) Herpes genitalis terjadi terutama pada orang dewasa dan ditransmisikan secara seksual. (3) Infeksi primer dan rekuren dapat terjadi, dengan atau tanpa gejala. d. Diagnosis Berdasarkan gambaran klinis. e. Penatalaksanaan Pengobatan: 1) Terapi mencakup: a) Salep dan larutan povidon-iodin. b) Asiklovir untuk herpes genitalis awal dan rekuren, 5 x 200 mg sehari, selama 5-10 hari. 2) Perawatan setempat untuk herpes simpleks sebaiknya termasuk membersihkan lukanya dengan air garam dan menjaganya tetap kering. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengobati kelainan kulit dan mencegah penularan. 2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang terbuka. 3) Alasan rujuk: jika mengenai daerah kelamin, mata, atau berisiko ensefalitis.

38. HERPES ZOSTER Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 0403

ICD X : B02

a. Definisi Penyakit yang menyerang saraf perifer atau saraf tepi dan bermanifestasi di kulit. b. Penyebab Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella-zoster yang tinggal di ganglia paraspinal sesudah infeksi varicella. c. Gambaran Klinis 1) Mula-mula pasien mengalami demam atau panas, disertai nyeri yang terbatas pada satu sisi tubuh, terjadi paling sering pada badan atau wajah, jarang pada ekstremitas, yang nantinya timbul bercak. Beberapa hari kemudian (tiap orang tidak sama), muncul bercak kemerahan di bagian tubuh yang nyeri tadi makin hari menyebar dan membesar sampai sebesar biji jagung. 2) Makin lama, mengelupas dan tetap nyeri. 3) Setelah kering (ada yang seminggu, ada pula 2 atau 3 minggu) dan sembuh, kadang masih menyisakan nyeri. Sisa-sisa nyeri adakalanya masih muncul bertahun-tahun kemudian. Keadaan ini disebut nyeri post herpetic. 4) Bila pasien menderita demam dan ruam di satu dermatom di satu sisi tubuh, penyebabnya mungkin infeksi herpes simpleks. 5) Bila mengenai area mata, gejala berupa mata merah, kelopak mata bengkak, berair dan mengeluarkan sekret bening (serous) sampai purulen bila sudah terinfeksi bakteri. d. Diagnosis Vesikel yang berisi cairan jernih di salah satu sisi tubuh. e. Penatalaksanaan 1) Pengobatan lebih diarahkan untuk mengurangi gejala, misalnya pemberian antinyeri atau penurun panas atau obat untuk mengurangi rasa gatal pada periode masa penyembuhan. 2) Hingga kini belum ada obat spesifik. Pemakaian anti virus yang oleh beberapa ahli dikatakan bisa menghilangkan nyeri post herpetic

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

107

108
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

ternyata masih memerlukan penelitian tapi tetap menjadi obat pilihan: Asiklovir 800 mg 5 kali sehari selama 7 hari 3) Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder, misalnya kulit jadi bernanah atau terkelupas. 4) Pada mata, berikan tetes mata kloramfenikol sebagai preventif dan pengobatan infeksi bakteri. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati kelainan kulit dan mencegah penularan. 2) Pencegahan: hindari kontak dengan kelainan kulit yang terbuka. 3) Jangan berikan kortikosteroid topikal pada kasus infeksi mata.

39. HIPEREMESIS GRAVIDARUM Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1706

ICD X : O21

a. Definisi Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang berlebihan yang terjadi sampai umur kehamilan 22 minggu. Muntah dapat begitu hebat dimana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan kembali. b. Penyebab Penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Beberapa teori penyebab: 1) Peningkatan estrogen 2) Peningkatan hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) 3) Disfungsi psikis c. Gambaran Klinis Secara klinis hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu: 1) Tingkat I Muntah yang terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertama keluar makanan, lendir dan sedikit empedu kemudian hanya lendir, cairan empedu dan terakhir keluar darah. Nadi meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan darah sistole menurun. Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit berkurang dan urin masih normal. 2) Tingkat II Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus hebat. Subfebril, nadi cepat dan lebih 100140 kali/menit, tekanan darah sistole < 80 mmHg. Apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus ada, aseton ada, bilirubin ada dan berat-badan cepat menurun. 3) Tingkat III Gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti, ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin ada dan proteinuria.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

109

110
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis 1) Amenore yang disertai muntah hebat (segala yang dimakan dan diminum akan dimuntahkan), pekerjaan sehari-hari terganggu dan haus. 2) Fungsi vital: nadi meningkat 100 kali/menit, tekanan darah menurun pada keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma). 3) Pemeriksaan fisik: dehidrasi, keadaan berat, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan menurun, porsio lunak pada vaginal touche, uterus besar sesuai usia kehamilan. 4) Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit, shift to the left, benda keton dan proteinuria. e. Penatalaksanaan 1) Diet Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan hanya berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang dalam zat-zat gizi kecuali vitamin C karena itu hanya diberikan selama beberapa hari. Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang. Secara berangsur mulai diberikan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan. Makanan ini rendah dalam semua zat-zat gizi kecuali vitamin A dan D. Kesanggupan pasien, minuman boleh diberikan bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali kalsium. 2) Pada keadaan berat: Hentikan makan/minum per oral sementara (2448 jam). Infus dekstrosa 10% atau 5% : RL = 2 : 1, 40 tetes/menit. Obat : a) vitamin B i.v : Vitamin B1, B2 dan B6 masing-masing 50100 mg/hari/infus, dan Vitamin B12 200 mcg/hari/infus, b) klorpromazin 2550 mg perhari bersifat penenang minor sekaligus antiemetik c) Antasida tab tiap 8 jam Pertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit.

a) Penerangan bahwa kehamilan dan persalinan merupakan proses fisiologis, sehingga pasien tidak perlu takut untuk hamil. b) Makan sedikit-sedikit, tetapi sering. Hindari makanan berminyak dan berbau. Makan makanan dalam keadaan panas atau sangat dingin. c) Perlu adanya dukungan dan perhatian dari suami atau keluarga.

f. KIE
1) Tujuan terapi: mengobati emesis supaya tidak terjadi hiperemesis. 2) Pencegahan: 111

112
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

40. HIPERTENSI Kompetensi Laporan Penyakit

Tabel 13. Kriteria Diagnosis Hipertensi sesuai Klasifikasi US JNC 7 : 3A (anak); 4 : 1200
Klasifikasi

ICD X : I10
Normal Pre-hipertensi Hipertensi stage I Hipertensi stage II

a. Definisi Hipertensi adalah tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg (sistolik) dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg (diastolik) pada seseorang yang tidak sedang makan obat antihipertensi. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. b. Penyebab 1) Hipertensi primer: 9095% tidak diketahui penyebabnya. 2) Hipertensi sekunder: 510%. a) Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah. b) Penyakit ginjal. c) Kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). d) Feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). e) Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan. f) Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal. c. Gambaran Klinis Pada pengukuran tekanan darah dan jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan hanya menentukan adanya tekanan darah tinggi, tetapi juga digunakan untuk menggolongkan beratnya hipertensi. Kriteria Diagnosis Hipertensi dapat dilihat pada Tabel 13.

TD Sistolik (mmHg) <120 120-139 140-159 160

dan atau atau atau

TD Diastolik (mmHg) <80 80-89 90-99 100

*TD: tekanan darah Keterangan: US JNC = Joint National Committee d. Diagnosis Tekanan darah diukur setelah seseorang duduk/berbaring 5 menit. Apabila pertama kali diukur tinggi (140/90 mmHg) maka pengukuran diulang 2x pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. e. Penatalaksanaan 1) Langkah awal biasanya adalah mengubah pola hidup pasien (Tabel 14): a) Menurunkan berat badan sampai batas ideal. b) Mengubah pola makan pada pasien diabetes, kegemukan atau kadar kolesterol darah tinggi. c) Mengurangi pemakaian garam sampai < 2,3 g natrium atau 6 g natrium klorida tiap harinya (disertai dengan asupan kalsium, magnesium dan kalium yang cukup) dan mengurangi konsumsi alkohol. d) Olah raga aerobik yang tidak terlalu berat. e) Pasien hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali. f) Berhenti merokok. 2) Terapi obat pada hipertensi dimulai dengan salah satu obat berikut ini: a) Hidroklorotiazid (HCT) 12,525 mg perhari dosis tunggal pada pagi hari (Pada hipertensi dalam kehamilan, hanya digunakan bila disertai hemokonsentrasi/edema paru). b) Atenolol mulai dari 2550 mg sehari sekali. c) Kaptopril 12,525 mg tiap 8-12 jam. d) Amlodipin mulai dari 5 mg tiap 24 jam, bisa dinaikkan 10 mg tiap 24 jam. 3) Hipertensi pada anak langsung dirujuk.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

113

114
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Tabel 14. Modifikasi Gaya Hidup pada Kondisi Hipertensi


Modifikasi Penurunan berat badan Diet Rekomendasi Jaga berat badan ideal (BMI: 18,5 - 24,9 kg/m2) Diet kaya buah, sayuran, produk rendah lemak dengan jumlah lemak total dan lemak jenuh yang rendah Kurangi hingga <100 mmol per hari (2.4 g natrium atau 6 g natrium klorida) Aktivitas fisik aerobik yang teratur (mis: jalan cepat) 30 menit sehari, hampir tiap hari dalam seminggu Laki-laki: dibatasi hingga < 2 kali per hari. Wanita dan orang yang lebih kurus: Dibatasi hingga <1 kali per hari Rerata penurunan TDS 520 mmHg/ 10 kg 814 mmHg

41. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Kompetensi : 3A; 4 Laporan Penyakit : 1200 a. Definisi Hipertensi yang terjadi selama kehamilan. b. Penyebab Belum diketahui secara pasti.

ICD X : O13

Pembatasan intake natrium Aktivitas fisik aerobik Pembatasan konsumsi alkohol

28 mmHg 49 mmHg

24 mmHg

f.

KIE 1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan darah senormal mungkin 2) Terapi dilakukan secara terus-menerus, pengobatan tidak dihentikan meskipun tekanan darah telah normal. 3) Cari juga faktor risiko kardiovaskuler lainnya a) Merokok b) Obesitas (IMT > 30 kg/m2) c) Inaktivitas fisik d) Dislipidemia e) Diabetes melitus f) Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit/1,73 m2 g) Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan >65 tahun) h) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (first degree relatives laki-laki <55 tahun, perempuan <65 tahun) 4) Efek samping: a) Propranolol kontra indikasi untuk pasien asma. b) Kaptopril kontraindikasi pada kehamilan selama janin hidup dan pasien asma. c) Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II: evaluasi kreatinin dan kalium serum (hentikan bila kreatinin meningkat >25% atau kreatinin meningkat 0,3 mg/dl atau hiperkalemi) 115

c. Gambaran Klinis Tekanan darah diastolik merupakan indikator dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan, oleh karena tekanan diastolik mengukur tahanan perifer dan tidak tergantung pada keadaan emosional pasien. Diagnosis hipertensi dibuat jika tekanan darah diastolik 90 mmHg pada 2 pengukuran berjarak 1 jam atau lebih. Hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi dalam: 1) Hipertensi karena kehamilan, jika hipertensi terjadi pertama kali sesudah kehamilan 20 minggu, selama persalinan dan/atau dalam 48 jam post partum. 2) Hipertensi kronik, jika hipertensi terjadi sebelum kehamilan 20 minggu. d. Diagnosis Penegakan diagnosis hipertensi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Diagnosis Hipertensi Karena Kehamilan dan Hipertensi Kronik
DIAGNOSIS TEKANAN DARAH TANDA LAIN HIPERTENSI KARENA KEHAMILAN - Hipertensi Tekanan darah diastolik 90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg dalam 2 pengukuran berjarak 1 jam Idem Proteinuria (-) Kehamilan > 20 minggu Proteinuria 1+

- Preeklampsia Ringan

116
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

- Preeklampsia Berat

Tekanan darah diastolik > 110 mmHg

Proteinuria 2+ Oliguria Hiper-refleksia Gangguan penglihatan Nyeri epigastrium Kejang Kehamilan < 20 minggu Proteinuria dan tanda lain dari preeklampsia

- Eklampsia - Hipertensi kronik - Superimposed preeclampsia

Hipertensi Hipertensi Hipertensi kronik

HIPERTENSI KRONIK

1) Hipertensi Karena Kehamilan a) Lebih sering terjadi pada primigravida. Keadaan patologis telah terjadi sejak implantasi, sehingga timbul iskemia plasenta yang kemudian diikuti dengan sindroma inflamasi. b) Risiko meningkat pada: (1) Masa plasenta besar (gemelli, penyakit trofoblast) (2) Hidramnion (3) Diabetes melitus (4) Isoimunisasi rhesus. (5) Faktor herediter. (6) Autoimun: SLE. c) Hipertensi karena kehamilan: (1) Hipertensi tanpa proteinuria atau edema. (2) Preeklampsia ringan. (3) Preeklampsia berat. (4) Eklampsia. d) Hipertensi dalam kehamilan dan preeklampsia ringan sering ditemukan tanpa gejala, kecuali peningkatan tekanan darah. Prognosis menjadi lebih buruk dengan terdapatnya proteinuria. Edema tidak lagi menjadi suatu tanda yang sahih untuk preeklampsia. e) Preeklampsia Berat didiagnosis pada kasus dengan salah satu gejala berikut: (1) Tekanan darah diastolik > 110 mmHg. (2) Proteinuria 2+. (3) Oliguria < 400 mL per 24 jam. (4) Edema paru: napas pendek, sianosis dan adanya ronkhi.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(5) Nyeri daerah epigastrium atau kuadran atas kanan perut. (6) Gangguan penglihatan: skotoma atau penglihatan yang berkabut. (7) Nyeri kepala hebat yang tidak berkurang dengan pemberian analgetika biasa. (8) Hiperrefleksia. (9) Mata: spasme arteriolar, edema, ablasio retina. (10) Koagulasi: koagulasi intravaskuler disseminata, sindrom HELLP. (11) Pertumbuhan janin terhambat. (12) Otak: edema serebri. (13) Jantung: gagal jantung. f) Eklampsia ditandai oleh gejala preeklampsia berat dan kejang (1) Kejang dapat terjadi dengan tidak tergantung pada beratnya hipertensi. (2) Kejang bersifat tonik-klonik, menyerupai kejang pada epilepsi grand mal. (3) Koma terjadi setelah kejang dan dapat berlangsung lama (beberapa jam) 2) Hipertensi Kronik a) Hipertensi kronik dideteksi sebelum usia kehamilan 20 minggu b) Superimposed preeclampsia adalah hipertensi kronik dan preeklampsia. e. Penatalaksanaan 1) Pada Puskesmas non PONED: Segera dirujuk ke Puskesmas PONED / RS 2) Pada Puskesmas PONED: a) Hipertensi Dalam Kehamilan Tanpa Proteinuria Jika kehamilan < 35 minggu, lakukan pengelolaan rawat jalan: (1) Lakukan pemantauan tekanan darah, proteinuria dan kondisi janin tiap minggu. (2) Jika tekanan darah meningkat, kelola sebagai preeklampsia. (3) Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin yang terhambat, rawat dan pertimbangkan terminasi kehamilan.

117

118
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Preeklampsia Ringan (1) Jika kehamilan < 35 minggu dan tidak terdapat tanda perbaikan selama ANC. (a) Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan: Lakukan pemantauan tekanan darah, proteinuria, refleks dan kondisi janin Lebih banyak istirahat Diet biasa Tidak perlu pemberian obat (b) Jika tidak memungkinkan rawat jalan, rawat di rumah sakit: Diet biasa Lakukan pemantauan tekanan darah 2x sehari, proteinuria 1x sehari Tidak memerlukan pengobatan Tidak memerlukan diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi jantung atau gagal ginjal akut Jika tekanan darah diastolik turun sampai normal, pasien dapat dipulangkan, nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda preeklampsia berat, periksa ulang 2 kali seminggu dan jika tekanan diastolik naik lagi rawat kembali. Jika tidak terdapat tanda perbaikan tetap dirawat. Jika terdapat tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika proteinuria meningkat, kelola sebagai preeklampsia berat. (2) Jika kehamilan > 35 minggu, pertimbangkan terminasi kehamilan (a) Jika serviks matang, lakukan induksi dengan Oksitosin 5 UI dalam 500 mL Ringer Laktat/ Dekstrose 5% i.v 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin. (b) Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol atau kateter Foley atau lakukan terminasi dengan seksio sesarea. 119

c) Preeklampsia Berat dan Eklampsia Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus berlangsung dalam 6 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia. (1) Pengelolaan kejang: (a) Beri obat anti kejang (anti konvulsan). (b) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas, penghisap lendir, masker oksigen, oksigen). (c) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma. (d) Aspirasi mulut dan tenggorokan. (e) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk mengurangi risiko aspirasi. (f) Berikan O2 46 L/menit. (2) Pengelolaan umum (a) Jika tekanan darah diastolik >110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan darah diastolik antara 90 100 mmHg. (b) Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau lebih. (c) Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload. (d) Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria. (e) Infus cairan dipertahankan 1,52 L/24 jam. (f) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin. (g) Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin tiap 1 jam. (h) Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi merupakan tanda adanya edema paru. Jika ada edema paru, hentikan pemberian cairan dan berikan diuretik (misal furosemid 40 mg i.v.). (i) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.

120
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(3) Anti konvulsan Magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia dan eklampsia (Tabel 16). Alternatif lain adalah diazepam, dengan risiko terjadinya depresi neonatal (Tabel 17). Tabel 16. Magnesium Sulfat Untuk Preeklampsia dan Eklampsia
Alternatif I Dosis awal - MgSO4 4 g i.v. sebagai larutan 40% selama 5 menit. - Segera dilanjutkan dengan 15 mL MgSO4 (40%) 6 g dalam larutan Ringer Asetat/ Ringer Laktat selama 6 jam - Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 (40%) 2 g i.v. selama 5 menit - MgSO4 1 g/jam melalui infus Ringer Asetat / Ringer Laktat yang diberikan sampai 24 jam post partum - MgSO4 4 g i.v. sebagai larutan 40% selama 5 menit - Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5 g i.m. dengan 1 mL Lignokain (dalam semprit yang sama) - Pasien akan merasa agak panas pada saat pemberian MgSO4 - Frekuensi pernapasan minimal 16 kali/menit - Refleks patella (+) - Urin minimal 30 mL/jam dalam 4 jam terakhir

Tabel 17. Diazepam Untuk Preeklampsia dan Eklampsia


Dosis awal Dosis pemeliharaan - Diazepam 10 mg i.v. pelan-pelan selama 2 menit - Jika kejang berulang, ulangi pemberian sesuai dosis awal - Diazepam 40 mg dalam 500 mL larutan Ringer Laktat melalui infus, dengan 15 tetesan/menit - Depresi pernapasan ibu baru mungkin akan terjadi bila dosis > 30 mg/jam - Jangan berikan melebihi 100 mg/jam

Dosis Pemeliharaan Alternatif II Dosis awal Dosis pemeliharaan Sebelum pemberian MgSO4 ulangan, lakukan pemeriksaan: Hentikan pemberian MgSO4, jika: Siapkan antidotum

(4) Anti hipertensi (a) Obat pilihan adalah nifedipin, yang diberikan 510 mg oral yang dapat diulang sampai 8 kali/24 jam. (b) Jika respons tidak membaik setelah 10 menit, berikan tambahan 5 mg nifedipin sublingual. (5) Persalinan (a) Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul. (b) Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea. (c) Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa: - Tidak terdapat koagulopati (koagulopati merupakan kontra indikasi anestesi spinal). - Anestesia yang aman/terpilih adalah anestesia umum untuk eklampsia dan spinal untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal, bila risiko anestesi terlalu tinggi. (d) Jika serviks telah mengalami pematangan, lakukan induksi dengan oksitosin 25 UI dalam 500 mL dekstrose 10 tetes/menit atau dengan cara pemberian prostaglandin/misoprostol. (6) Perawatan post partum (a) Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam post partum atau kejang yang terakhir. (b) Teruskan terapi hipertensi jika tekanan diastolik masih > 90 mmHg. (c) Lakukan pemantauan jumlah urin.

- Frekuensi pernapasan < 16 kali/menit - Refleks patella (-) - Bradipnea (<16 kali/menit) Jika terjadi henti napas: - Bantu pernapasan dengan ventilator - Berikan Kalsium glukonas 1 g (20 mL dalam larutan 10%) i.v. perlahan-lahan sampai pernapasan mulai lagi

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

121

122
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(7) Rujukan Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap, jika: (a) Terdapat oliguria (< 400 mL/24 jam) (b) Terdapat sindroma HELLP (Haemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platellets count). (c) Koma berlanjut lebih dari 24 jam setelah kejang. d) Hipertensi Kronik (1) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapatkan pengobatan dengan obat anti hipertensi dan terpantau dengan baik, lanjutkan pengobatan tersebut. (2) Jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg atau tekanan sistolik 160 mmHg, berikan anti hipertensi. (3) Jika terdapat proteinuria, pikirkan superimposed preeklampsia. (4) Istirahat. (5) Lakukan pemantauan pertumbuhan dan kondisi janin. (a) Jika tidak terdapat komplikasi, tunggu persalinan sampai aterm. (b) Jika terdapat preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat atau gawat janin, lakukan: - Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 25 UI dalam 500 mL dekstrose melalui infus 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin. - Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol atau kateter Foley. (c) Observasi komplikasi seperti solusio plasenta atau superimposed preeklampsia. Ringkasan penanganan hipertensi dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Ringkasan Penanganan Hipertensi


Hipertensi karena kehamilan - Rawat jalan 1 x seminggu - Pantau TD, proteinuria, kesejahteraan janin - Tunggu persalinan Preeklampsia ringan Rawat jalan Istirahat baring Diet biasa Tak perlu obat Bila tidak ada perbaikan rujuk Preeklampsia berat/Eklampsia - Pastikan gejala dan tanda preeklampsia berat - Nifedipin 10 mg dan MgSO4 4 g i.v sebagai larutan 40% selama 5 menit. - Siapkan peralatan untuk kejang - Kateter urin - Rujuk ke RS Hipertensi Kronik

- Rawat jalan - Istirahat cukup - Bila TD > 160/110 beri antihipertensi - Tidak ada perbaikan, rujuk ke RS

f.

KIE 1) Tujuan terapi: mengontrol tekanan darah sehingga tidak terjadi kejang. 2) Pencegahan: a) Pembatasan kalori, cairan dan diet rendah garam tidak dapat mencegah hipertensi karena kehamilan, malah dapat membahayakan janin. b) Yang lebih perlu diperhatikan adalah deteksi dini dan penanganan cepat tepat. Pasien harus kontrol secara reguler dan teratur dan diberi penerangan yang jelas kapan harus kembali ke pelayanan kesehatan. c) Perlu adanya dukungan dan perhatian dari suami atau keluarga d) Pemasukan cairan terlalu banyak akan menyebabkan edema paru.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

123

124
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

42. HIV-AIDS Kompetensi Laporan Penyakit

: 2 : 04

ICD X : B20-B24

a. Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang merupakan golongan retrovirus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan penyakit AIDS. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya tidak diturunkan, tetapi ditularkan dari satu orang ke orang lainnya; Immune adalah sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang muncul akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh sehingga manusia menjadi rentan dan mudah tertular penyakit. b. Gambaran Klinis Stadium klinis HIV-AIDS menurut WHO dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Stadium Klinis HIV-AIDS menurut WHO
Stadium Berat Badan Gejala (BB) Stadium I Tidak ada Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati (Asimtomatik, penurunan Generalisata Persisten Periode Jendela/ BB Window Period) Skala aktivitas : normal Stadium II (sakit Penurunan - Luka sekitar bibir (cheilitis angularis) ringan) BB 5-10% - Lesi kulit yang gatal (seborrhea atau prurigo) Skala aktivitas : - Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir simtomatis, aktivitas - ISPA berulang, misal sinusitis, tonsillitis, normal otitis dan faringitis - Sariawan berulang Stadium III (sakit Penurunan - Bercak putih dimulut (oral hairy leukoplakia) sedang) BB > 10% - Diare, kandidiasis vaginal, panas yang tidak Skala aktivitas : selama diketahui penyebabnya > 1 bulan 1 bulan terakhir tinggal - Infeksi bakterial yang berat (misalnya ditempat tidur < 50% pneumonia) - TB paru dalam 1 tahun terakhir

Stadium IV (sakit berat) /AIDS Skala aktivitas : selama 1 bulan terakhir berbaring ditempat tidur > 50%

HIV wasting syndrome

kandidiasis esofagus herpes simpleks > 1 bulan limfoma toksoplasmosis otak diare kriptospridiosis > 1 bulan cytomegalovirus sarkoma kaposi ca cerviks infasif PCP TB ekstrapulmonal meningitis criptococcus ensefalopati HIV

c. Penularan Virus HIV terdapat didalam cairan tubuh terutama darah, cairan vagina, sperma dan air susu ibu. Penularan virus HIV dapat terjadi melalui: 1) Hubungan seksual yang tidak aman yaitu berganti-ganti pasangan tanpa pelindung (kondom) atau hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV-AIDS tanpa menggunakan kondom. 2) Jarum suntik dan peralatan lain (alat kedokteran, jarum tatto, alat tindik, pisau cukur, dan lain-lain) yang tidak steril dan digunakan bersama-sama. Selain itu penularan virus HIV melalui darah juga dapat terjadi melalui tranfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang tercemar HIV. 3) Penularan dari ibu yang menderita HIV-AIDS ke anak selama kehamilan, persalinan dan menyusui. d. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan Laboratorium dan Klinis (berdasarkan stadium klinis) serta penggalian faktor risiko. e. Infeksi Oportunistik (IO) Penyakit terkait HIV Adalah infeksi yang mengambil manfaat dari melemahnya sistem kekebalan tubuh. Pada tahun-tahun pertama epidemi HIV-AIDS, IO menyebabkan banyak kesakitan dan kematian. Namun setelah ada terapi antiretroviral (ART), lebih sedikit orang yang meninggal akibat IO. IO yang paling umum terjadi adalah: 1) Kandidiasis (thrush) adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan atau vagina. Kandidiasis dapat meluas sampai esofagus pada pasien AIDS.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

125

126
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Virus Sitomegalia (cytomegalovirus/CMV) adalah infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata yang dapat menimbulkan kebutaan. 3) Virus Herpes Simpleks dapat menyebabkan herpes pada mulut atau alat kelamin. 4) Malaria adalah umum di beberapa daerah di Indonesia. Penyakit ini menjadi lebih sering terjadi dan lebih parah pada orang yang terinfeksi HIV. 5) Mycobacterium Avium Complex (MAC/MAI) adalah infeksi bakteri yang dapat menyebabkan demam kambuhan, rasa sakit yang umum, masalah pencernaan, dan kehilangan berat badan yang parah. 6) Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) adalah infeksi jamur yang dapat menyebabkan pneumonia (radang paru) yang berbahaya. 7) Toksoplasmosis adalah infeksi protozoa otak. Nyeri kepala biasanya disebabkan toksoplasmosis. 8) Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat menyebabkan meningitis (radang selaput otak). f. Penatalaksanaan ART (Anti Retroviral Therapy) yaitu terapi yang diberikan kepada ODHA dengan menggunakan obat anti HIV (ARV=Anti Retro Viral). Tujuan utama ART adalah untuk menjaga agar jumlah virus HIV didalam tubuh pada tingkat yang rendah, dan mengurangi atau memulihkan kerusakan pada sistem kekebalan tubuh akibat infeksi HIV, sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat HIV serta meningkatkan mutu hidup pengidap ODHA. 1) Persyaratan pemberian ART: a) HIV positif dengan dokumentasi tertulis b) Memenuhi persyaratan medis Jika tes CD4 tersedia: (1) CD4 < 350 sel/mm3 pada tanpa memandang stadium klinisnya (2) Stadium klinik 3 dan stadium 4 tanpa memandang jumlah CD4 (3) Pemeriksaan jumlah CD4 diperlukan untuk mengidentifikasi pasien dengan stadium klinik 1 dan 2 yang perlu memulai terapi ARV (4) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif tanpa memandang jumlah CD4 Jika tes CD4 tidak tersedia (1) Stadium klinik 3 WHO (2) Stadium klinik 4 WHO 127

c) d) e) f)

IO sudah diobati atau stabil Pasien siap untuk pengobatan ARV Tersedia tim klinik yang mendukung perawatan kronik Ketersediaan obat yang dapat dipercaya

2) Jenis-jenis obat ART: a) Golongan NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) Berfungsi menghambat replikasi DNA virus. Cara kerja NRTI dengan mencegah perubahan genetik virus dari RNA menjadi DNA. Jenis obat yang termasuk golongan ini diantaranya : (1) AZT (Aksidiotimidin) atau ZDV (Zidovudin) (2) 3TC (Lamivudin) (3) D4T (Stavudin) (4) Tenofir b) Golongan NNRTI (Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) Berfungsi sama dengan NRTI tapi dengan cara yang berbeda. Cara kerja NNRTI dengan mencegah masuknya HIV kedalam inti sel yang terinfeksi, sehingga HIV tidak dapat membuat turunanturunan virus. Jenis obat yang termasuk dalam golongan ini adalah: (1) EFP (Efavirenz) (2) NVP(Nevirapin) (3) DLV (Delavirdin) c) Golongan PI (Protease Inhibitor) Berfungsi memotong virus baru dengan potongan khusus sehingga tidak dapat dirakit menjadi virus yang siap bekerja. Jenis obat yang termasuk dalam golongan ini adalah : (1) NTV (Nevinavir) (2) IDV (Indinavir) (3) RTV (Ritonavir) (4) APV (Amphenavir) (5) TAZ (Tazanavir) (6) LPV (Lopinavir) 3) Kepatuhan ART a) Kepatuhan dalam ART berhubungan erat dengan disiplin pribadi yang tinggi untuk menghindari resistensi obat. Dalam ART terdapat 5 kepatuhan yaitu: (1) Patuh dalam jenis obat yang tepat

128
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Patuh dengan cara minum yang tepat (3) Patuh dengan waktu minum yang tepat (4) Patuh dengan dosis obat yang tepat. (5) Patuh dengan masa terapi yang tepat. b) Kepatuhan pengobatan (adherence) penting karena menentukan kesuksesan terapi, yaitu: (1) Viral load atau jumlah virus HIV menurun. (2) CD4 meningkat. (3) Angka kesakitan dan kematian menurun. c) Dampak dari adherence yang buruk adalah: (1) Resistensi terhadap obat. (2) Peningkatan biaya pengobatan. g. Penatalaksanaan HIV-AIDS di tingkat Puskesmas 1) Menyediakan layanan konseling pencegahan HIV-AIDS. 2) Menyediakan layanan kesehatan bagi ODHA (Orang Dengan HIVAIDS) dengan perawatan dasar berbasis masyarakat atau berbasis rumah serta memberikan dukungan kepatuhan berobat ARV. 3) Menyediakan layanan VCT atau konseling dan test HIV secara sukarela untuk memberikan dukungan psikologis dan informasi untuk merubah perilaku berisiko serta membuka akses untuk mendapatkan pelayanan perawatan dan pengobatan HIV-AIDS di tingkat layanan kesehatan rujukan. 4) Menyediakan layanan laboratorium rapid test dan hematologi lengkap. 5) Pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (Prevention Mother to Child Transmission=PMTCT) di tingkat Puskesmas menyediakan layanan Prong 1 dan 2. a) Adapun kegiatan pada Prong I adalah konseling perubahan perilaku untuk mencegah penularan HIV-AIDS pada remaja dan mengurangi stigma/diskriminasi terhadap ODHA. b) Sedangkan kegiatan pada Prong II adalah promosi dan distribusi kondom pada kelompok risiko tinggi, konseling pasangan suami istri yang salah satunya terinfeksi HIV. 6) Pelayanan IO dan penatalaksanaan TB-HIV dibawah pengawasan dokter RS rujukan ODHA. 7) Menyediakan layanan ART dibawah pengawasan RS rujukan ART, berupa: a) Penentuan stadium klinis b) Memulai ARV, IO dan OAT.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) Kepatuhan pengobatan. d) Paduan (kombinasi) obat ARV. e) Identifikasi efek samping obat ARV. 8) Mengintensifkan penemuan kasus TB dan menjamin pengendalian infeksi TB, serta menyediakan layanan konseling dan testing HIV bagi pasien TB. 9) Menyediakan layanan perawatan paliatif bekerjasama dengan keluarga ODHA dan RS rujukan. 10) Menyediakan layanan konseling dan tatalaksana gizi pada ODHA. 11) Merujuk kasus HIV-AIDS dengan komplikasi berat ke RS rujukan ODHA. 12) Melakukan pencatatan dan pelaporan, serta monitoring dan evaluasi sesuai pedoman. h. KIE Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap yang dapat mendorong perubahan perilaku dalam mengurangi risiko terinfeksi HIV serta menyediakan dan memberikan informasi yang benar dan tepat guna. Peningkatan pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada penduduk usia 15-24 tahun sangat penting sebagai bekal untuk mencegah terjadinya HIV-AIDS. Promosi Kondom pada kelompok perilaku seksual berisiko juga sangat penting untuk mencegah penularan HIV-AIDS. Pencegahan penularan HIV-AIDS yang terbaik adalah : 1) Pencegahan Pola A (Abstinance), yaitu Puasa Seks, artinya seseorang tidak melakukan hubungan seksual sebelum atau diluar nikah. 2) Pencegahan Pola B (Be faithful), yaitu saling setia dengan satu pasangan, artinya hubungan seksual dilakukan hanya dengan satu pasangan tetap (suami/istri). 3) Pencegahan Pola C (Condom). Kondom merupakan salah satu alat pencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. 4) Pencegahan Pola D (Dont inject), yaitu tidak menyalahgunakan narkoba suntik. Penyalahgunaan narkoba juga menjadi salah satu jalan yang potensial untuk menularkan HIV karena ada kebiasaan buruk diantara pengguna narkoba yaitu menggunakan jarum suntik secara bersama-sama. 5) Pencegahan Pola E (Education), yaitu pendidikan mengenai HIVAIDS untuk menanggulangi penyebaran HIV-AIDS.

129

130
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

i.

HIV PADA ANAK 1) Diagnosis Klinis: a) Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV. (1) Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir, (2) Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi, pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian lidah kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas sampai di bagian belakang kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esophagus. (3) Parotitis kronik: pembengkakan parotitis unilateral atau bilateral selama 14 hari dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam. (4) Limpadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelanjar getah bening pada dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya. (5) Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan seperti Sitomegalovirus. (6) Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (>38C) berlangsung 7 hari atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari. (7) Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion). (8) Dermatitis HIV: ruam yang eritematus dan popular, ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala dan molluscom contagiosum yang ekstensif. (9) Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease). b) Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV 131

(1) Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dan berlangsung 14 hari. (2) Diare persisten: berlangsung 14 hari (3) Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS, terutama pada bayi usia < 6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh. c) Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan hal berikut ini : pneumocystis carinii pneumonia (PCP), kandidiasis esophagus, lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau Sarkoma Kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV. 2) Konseling Indikasi untuk konseling HIV Konseling HIV perlu dilakukan pada situasi berikut: a) Anak yang status HIV-nya tidak diketahui yang menunjukkan tanda klinis infeksi HIV dan/atau faktor risiko (misalnya ibu atau saudaranya menderita HIV/AIDS) (1) Tentukan apakah akan dilakukan konseling atau merujuknya (2) Jika anda yang melakukan konseling sediakan waktu untuk sesi konseling ini. Minta saran pada konselor lokal yang berpengalaman, sehingga tiap nasihat yang diberikan akan konsisten dengan apa yang nantinya akan diterima ibu dari konselor profesional. (3) Jika akan dirujuk, jelaskan pada orang tuanya alasan mereka dirujuk ke tempat lain untuk konseling. b) Anak dengan infeksi HIV tetapi respon terhadap pengobatan kurang baik, atau membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling: (1) Pemahaman orang tua tentang infeksi HIV (2) Tatalaksana masalah yang ada saat ini (3) Peran pengobatan antiretroviral (4) Perlunya merujuk ke tingkat yang lebih tinggi, jika perlu (5) Dukungan dari kelompok di masyarakat, jika ada.

132
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) Anak dengan infeksi HIV dengan respon yang baik terhadap pengobatan dan akan dipulangkan (atau dirujuk ke program perawatan di masyarakat untuk ke dukungan psikologis). Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling: (1) Alasan dirujuk ke program perawatan di masyarakat (2) Pelayanan tindak lanjut (3) Faktor risiko untuk sakit di kemudian hari. (4) Imunisasi dan HIV (5) Ketaatan dan dukungan pengobatan antiretroviral. 3) Pengobatan Antiretroviral (Antiretroviral theraphy = ART) Prinsip yang mendasari ART dan pemilihan lini pertama ARV pada anak pada umumnya sama dengan pada dewasa. Sangat penting untuk mempertimbangkan: a) Ketersediaan formula yang cocok yang dapat diminum dalam dosis yang tepat. b) Daftar dosis yang sederhana c) Rasa yang enak sehingga menjamin kepatuhan pada anak kecil d) Rejimen ART yang akan atau sedang diminum orang tuanya.

43. HORDEOLUM Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 1005

ICD X : H00-H01

a. Definisi Hordeolum adalah suatu infeksi pada satu atau beberapa kelenjar di tepi atau di bawah kelopak mata. Bisa terbentuk lebih dari 1 hordeolum pada saat yang bersamaan. Hordeolum biasanya muncul dalam beberapa hari dan bisa kambuh secara spontan. Hordeolum internum adalah abses akut pada kelopak mata yang disebabkan oleh infeksi Stafilokokus pada kelenjar Meibomian, dengan penonjolan mengarah ke konjungtiva. Hordeolum eksternum disebabkan oleh infeksi stafilokokus yang memberikan gambaran abses akut yang terlihat pada folikel bulu mata dan kelenjar Zeis atau Moll. Hordeolum eksternum sering ditemukan pada anak-anak. b. Penyebab Hordeolum adalah infeksi akut pada kelenjar minyak di bawah kelopak mata yang disebabkan oleh bakteri dari kulit (biasanya di sebabkan oleh bakteri stafilokokus). Hordeolum sama dengan jerawat kulit. Kadang timbul bersamaan dengan atau sesudah blefaritis, bisa juga secara berulang. c. Gambaran Klinis 1) Biasa berawal dengan kemerahan, nyeri bila ditekan dan nyeri pada tepi kelopak mata. 2) Mata mungkin berair, peka terhadap cahaya terang dan pasien merasa ada sesuatu di dalam matanya. Biasanya hanya sebagian kecil di daerah kelopak yang membengkak, meskipun ada seluruh kelopak membengkak. 3) Di tengah daerah yang membengkak sering kali terlihat bintik kecil yang berwarna kekuningan. 4) Bisa terbentuk abses yang cenderung pecah dan melepaskan sejumlah nanah. 5) Hordeolum Internum: a) Benjolan pada kelopak mata yang dirasakan sakit. b) Benjolan dapat membesar ke posterior (konjungtiva tarsal) atau anterior (kulit).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

133

134
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Hordeolum Eksternum: a) Benjolan yang dirasakan sakit pada kelopak di daerah margo palpebra. b) Penonjolan mengarah ke tepi kulit margo palpebra. c) Kemungkinan terjadi lesi multiple. d. Diagnosis Ditegakkan berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik. e. Penatalaksanaan 1) Hordeolum bisa diobati dengan kompres hangat selama 10 menit sebanyak 4x sehari. Jangan mencoba memecahkan hordeolum. 2) Pemberian oksitetrasiklin salep mata. 3) Kondisi akut: antibiotik sistemik oral, misalnya tetrasiklin, eritromisin. f. KIE 1) Tujuan: mengatasi infeksi. 2) Pencegahan: selalu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menyentuh di sekitar mata, bersihkan minyak yang berlebihan di tepi kelopak mata secara perlahan. 3) Alasan rujukan: apabila keadaan nodul residual tetap ada (lebih dari 2 minggu) setelah infeksi akut perlu dilakukan rujukan untuk tindakan insisi dan kuretase.

44. INFEKSI POST-PARTUM Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 105

ICD X : O86

a. Definisi Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan, ditandai dengan meningkatnya temperatur suhu 380C atau lebih yang terjadi antara hari ke 2 10 post partum dan diukur per oral 4 kali sehari. b. Penyebab Dapat disebabkan oleh bakteri Gram negatif maupun positif. Sebagian besar infeksi terjadi selama proses persalinan. Beberapa faktor predisposisi: kurang gizi atau malnutrisi, anemia, higiene buruk, kelelahan, proses persalinan bermasalah (partus lama/macet, korioamnionitis, persalinan traumatik, kurang baiknya proses pencegahan infeksi, periksa dalam yang berlebihan). c. Gambaran Klinis 1) Pasien biasanya demam dan perineum atau dinding vagina yang terinfeksi tampak bengkak dan bernanah, menimbulkan nyeri. 2) Infeksi di bagian lebih dalam dapat berupa endometritis, salpingitis, parametritis, peritonitis, dan tromboflebitis, yang pada umumnya dimulai dari endometrium. Lebih berat lagi dapat terjadi sepsis. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang selalu didapat serta gejala lain yang mungkin didapat. e. Penatalaksanaan 1) Pada Puskesmas non PONED: rujuk ke Puskesmas PONED atau RS 2) Pada Puskesmas PONED: a) Bila terdapat luka perineum, rawat dengan povidon iodin 10%, atau kompres Rivanol bila terdapat pus. b) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi: (1) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam (2) Ditambah Gentamisin 5 mg/kgBB i.v. sebagai dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg i.v. tiap 8 jam. (3) Lanjutkan antibiotik ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

135

136
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) Berikan uterotonika ergometrin i.m. untuk memperkuat involusi uterus. d) Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis. e) Persiapan transfusi dan rujukan. f) Bila dicurigai adanya sisa plasenta, lakukan pengeluaran (digital atau dengan kuret tumpul besar). g) Bila ada pus intraperitoneal lakukan drainase (kalau perlu kolpotomi), ibu dalam posisi Fowler. h) Bila tak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda peritonitis generalisata pasien dirujuk ke RS untuk dilakukan laparotomi dan keluarkan pus. Bila pada evaluasi uterus nekrotik dan septik lakukan histerektomi subtotal. f. KIE 1) Pencegahan: a) Prinsip universal precaution. b) Jaga kebersihan tempat persalinan. 2) Konseling ke pasien: a) Jaga kebersihan diri. b) Tidak menggunakan obat/ ramuan.

45. INFLUENZA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 1302

ICD X : J00

a. Definisi Influenza tergolong infeksi saluran napas akut (ISPA) yang biasanya terjadi dalam bentuk epidemi. Disebut common cold atau selesma bila gejala di hidung lebih menonjol, sementara influenza dimaksudkan untuk kelainan yang disertai faringitis dengan tanda demam dan lesu yang lebih nyata. b. Penyebab Banyak macam virus penyebabnya, antara lain Rhinovirus, Coronavirus, virus Influenza A dan B, Parainfluenza, Adenovirus. Biasanya penyakit ini sembuh sendiri dalam 35 hari. c. Gambaran Klinis 1) Gejala sistemik khas berupa gejala infeksi virus akut yaitu demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nafsu makan hilang, disertai gejala lokal berupa rasa menggelitik sampai nyeri tenggorokan, kadang batuk kering, hidung tersumbat, bersin, dan ingus encer. 2) Tenggorokan tampak hiperemia. 3) Dalam rongga hidung tampak konka yang sembab dan hiperemia. 4) Sekret dapat bersifat serus, seromukus atau mukopurulen bila ada infeksi sekunder. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. e. Penatalaksanaan 1) Anjuran istirahat dan banyak minum sangat penting pada influenza ini. Pengobatan simtomatis diperlukan untuk menghilangkan gejala yang terasa berat atau mengganggu. 2) Parasetamol 500 mg tiap 8 jam untuk menghilangkan nyeri dan demam. 3) Untuk anak, dosis parasetamol adalah 10 mg/kgBB/kali, tiap 6-8 jam. 4) Dekongestan efedrin. 5) Antibiotik amoksisilin atau eritromisin hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

137

138
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala. 2) Pencegahan: istirahat cukup, makan makanan bergizi.

46. KANDIDIASIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4, 3A : 2001

ICD X : B37

a. Definisi Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida sp. Infeksi ini menyerang kulit, mukosa maupun alat dalam. Beberapa faktor predisposisi seperti kehamilan, obesitas, DM, pemakaian antibiotik, antiseptik atau kortikosteroid yang lama, penyakit kronik (HIV-AIDS, TBC, tumor ganas), kurang gizi, serta kulit yang kotor, lembab, dan basah mempermudah terjadinya kandidiasis (kandidosis) ini. b. Penyebab Agen penyebab paling sering dari kandidiasis murni adalah Candida albicans. Bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril. c. Gambaran Klinis 1) Kandidosis pada kulit memberikan keluhan gatal dan perih. Kelainannya berupa bercak merah dengan maserasi di daerah sekitar mulut, di lipatan payudara (intertriginosa) dengan bercak merah yang terpisah di sekitarnya (satelit). 2) Bentuk kronik ditemukan di sela-sela jari kaki, sekitar anus dan di kuku (paronikia atau onikomikosis). 3) Pada pasien DM biasanya terdapat sebagai vulvo vaginitis. 4) Tampilan di mukosa mulut dikenal sebagai guam atau oral thrush yang diselaputi pseudomembran. Daya kecap pasien berkurang disertai rasa metal. 5) Tampilan di usus dapat berupa diare. 6) Sel ragi dapat dilihat di bawah mikroskop dalam pelarut KOH 10% atau pewarnaan Gram berupa hyfe. d. Diagnosis Bercak putih di mukosa mulut atau lidah, bercak merah pada kulit dengan maserasi dan bercak satelit.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

139

140
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Faktor predisposisi yang dapat diatasi dihilangkan dahulu dan kebersihan perorangan diperbaiki karena kalau tidak penyakit ini akan bersifat kronik-residif. 2) Untuk lesi kulit menggunakan mikonazol krim. 3) Kandidosis di mukosa mulut atau lidah menggunakan gentian violet 1% yang dibuat baru. 4) Cara mengobati luka/trush di mulut: a) Cuci tangan sebelum mengobati b) Bersihkan mulut dengan ujung jari yang terbungkus kain bersih dan telah dicelupkan ke larutan air matang hangat bergaram (1 gelas air hangat ditambah seujung sendok teh garam) c) Olesi rongga mulut dengan gentian violet 1% (bayi 0,25%) yang dibuat baru d) Cuci tangan kembali e) Obati luka atau bercak di mulut 3 kali sehari selama 7 hari. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi 2) Pencegahan: jaga higiene rongga mulut. 3) Jika gentian violet tertelan tidak berbahaya. 4) Alasan rujuk: kandidiasis oral pada dewasa, perlu dicurigai kemungkinan immunocompromissed.

47. KARIES GIGI Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 1501

ICD X : K02

a. Definisi Karies gigi merupakan suatu penyakit infeksi pada jaringan keras gigi yang mengakibatkan kerusakan struktur gigi dan bersifat kronik. b. Penyebab Hal hal yang mendukung terjadinya karies gigi: 1) Gigi yang peka, yaitu gigi yang mengandung sedikit flour atau memiliki lubang, lekukan maupun alur yang menahan plak. 2) Bakteri yang paling sering adalah bakteri Streptococcus mutans. 3) Dalam keadaan normal, di dalam mulut terdapat bakteri. Bakteri ini mengubah semua makanan (terutama gula sukrosa) menjadi asam. Bakteri, asam, sisa makanan dan ludah bergabung membentuk bahan lengket yang disebut plak, yang menempel pada gigi. 4) Plak paling banyak ditemukan di gigi geraham belakang. Jika tidak dibersihkan maka plak akan membentuk mineral yang disebut karang gigi (kalkulus, tartar). Plak dan kalkulus bisa mengiritasi gusi sehingga timbul gingivitis. c. Gambaran Klinis Biasanya, suatu kavitasi di dalam enamel tidak menyebabkan sakit, nyeri baru timbul jika pembusukan sudah mencapai dentin. Nyeri yang dirasakan jika meminum dingin atau makan permen menunjukkan bahwa pulpa masih sehat. Jika pengobatan dilakukan pada stadium ini maka gigi bisa diselamatkan dan tampaknya tidak akan timbul nyeri maupun kesulitan menelan. Suatu kavitasi yang timbul di dekat atau telah mencapai pulpa menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Nyeri ada walaupun perangsangnya dihilangkan (contohnya air dingin). Bahkan gigi terasa sakit meskipun tidak ada perangsang (sakit gigi spontan). d. Diagnosis Gigi berlubang.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

141

142
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas dan masukkan pellet kapas yang ditetesi eugenol. 2) Penanganan selanjutnya yaitu penambalan (restorasi) dengan tumpatan tetap (amalgam, glass ionomer). 3) Jika dentin yang menutup pulpa sudah tipis maka dapat dilakukan pulp capping indirect dengan menggunakan pelapis dentin Ca(OH)2. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah), kurangi makanan yang mengandung gula. 3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi.

48. KECACINGAN Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 0703

ICD X : B76-B79

Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris vermicularis), cacing tambang (Ankylostoma Duodenale, Necator americanus), dan cacing cambuk (Trichuris Trichuria). Jenis-jenis cacing tersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya. ANKILOSTOMIASIS (Infeksi Cacing Tambang) Kompetensi : 4 Laporan Penyakit :

ICD X : B76.0

a. Definisi Infeksi cacing tambang adalah penyakit yang disebabkan cacing Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus. Cacing tambang mengisap darah sehingga menimbulkan keluhan yang berhubungan dengan anemia, gangguan pertumbuhan terutama pada anak dan dapat menyebabkan retardasi mental. b. Penyebab Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus. c. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan tergantung dari beratnya infeksi dan keadaan gizi pasien. 2) Pada saat larva menembus kulit, pasien dapat mengalami dermatitis. Ketika larva lewat di paru dapat terjadi batuk-batuk 3) Akibat utama yang disebabkan cacing ini ialah anemia yang kadang demikian berat sampai menyebabkan gagal jantung.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

143

144
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam feses segar atau biakan feses dengan cara Harada-Mori. e. Penatalaksanaan 1) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh digunakan selama hamil. 2) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari. 3) Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg tiap 12 jam selama 3 hari berturut-turut. 4) Sulfas ferosus 1 tablet tiap 8 jam untuk orang dewasa atau 10 mg/kgBB/kali untuk anak untuk mengatasi anemia. f. KIE Pencegahan penyakit ini meliputi sanitasi lingkungan dan perbaikan higiene perorangan terutama penggunaan alas kaki. Albendazol tidak boleh pada wanita hamil.

3) Cacing dewasa di usus halus memakan nutrien sehingga berakibat kurang gizi dan gangguan tumbuh kembang. 4) Bila cacing masuk ke saluran empedu maka dapat menyebabkan kolik dan ikterus. 5) Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Sering kali infeksi ini baru diketahui setelah cacing keluar spontan bersama feses atau dimuntahkan. 6) Bila cacing dalam jumlah besar menggumpal dalam usus dapat terjadi obstruksi usus (ileus), yang merupakan kedaruratan dan pasien perlu dirujuk ke rumah sakit. d. Diagnosis Diagnosis askariasis ditegakkan dengan menemukan Ascaris dewasa atau telur Ascaris pada pemeriksaan feses. e. Penatalaksanaan 1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal. 2) Mebendazol 500 mg dosis tunggal. Tidak dianjurkan untuk anak <2 tahun. 3) Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh digunakan oleh wanita hamil. Tidak dianjurkan untuk anak <2 tahun. Merupakan obat pilihan pada gejala sistemik. 4) Bila pasien menderita beberapa spesies cacing, askariasis harus diterapi lebih dahulu dengan pirantel pamoat. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: membunuh cacing dan mencegah penyebaran 2) Efek samping: mebendazol dan albendazol dapat menyebabkan eratic migration sehingga dapat mengganggu pernapasan. 3) Pencegahan: a) Pengobatan massal 6 bulan sekali di daerah endemik (>20%) atau di daerah yang rawan askariasis. Bila <20% 1 tahun sekali b) Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, higiene keluarga dan higiene pribadi seperti: (1) Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, sehabis bermain, setelah buang air besar. (2) Menggunting kuku secara rutin tiap minggu. (3) Tidak menggunakan feses sebagai pupuk tanaman.

ASKARIASIS (Infeksi Cacing Gelang) Kompetensi : 4 Laporan Penyakit :

ICD X : B77.9

a. Definisi Askariasis atau infeksi cacing gelang adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. b. Penyebab Ascaris lumbricoides. c. Gambaran Klinis 1) Pada infeksi masif dapat terjadi gangguan saluran cerna yang serius antara lain obstruksi total saluran cerna. Cacing gelang dapat bermigrasi ke organ tubuh lainnya misalnya saluran empedu dan menyumbat lumen sehingga berakibat fatal. 2) Telur cacing menetas di usus menjadi larva yang kemudian menembus dinding usus, masuk ke aliran darah lalu ke paru dan menimbulkan gejala seperti batuk, bersin, demam, eosinofilia, dan pneumonitis askaris. Larva menjadi cacing dewasa di usus halus dalam waktu 2 bulan.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

145

146
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Sayuran segar (mentah) yang akan dimakan sebagai lalapan, harus dicuci bersih dengan air mengalir. (5) Buang air besar di jamban untuk melokalisir infeksi, tidak di kali atau di kebun. FILARIASIS Kompetensi Laporan Penyakit

umumnya terdapat funikulitis disertai penebalan dan rasa nyeri, epididimitis, orkitis dan pembengkakan skrotum. Serangan akut dapat berlangsung 1 bulan atau lebih. Bila keadaannya berat dapat menyebabkan abses ginjal, pembengkakan epididimis, jaringan retroperitoneal, kelenjar inguinal dan otot ileopsoas. 3) Filariasis dengan Penyumbatan Pada stadium menahun terjadi jaringan granulasi yang proliferatif serta pelebaran saluran limfe yang luas lalu timbul elefantiasis. Penyumbatan duktus torasikus atau saluran limfe perut bagian tengah mempengaruhi skrotum dan penis pada laki-laki dan bagian luar alat kelamin pada perempuan. Infeksi kelenjar inguinal dapat mempengaruhi tungkai dan bagian luar alat kelamin. Elefantiasis umumnya mengenai tungkai serta alat kelamin dan menyebabkan perubahan yang luas. Bila saluran limfe kandung kemih dan ginjal pecah akan timbul kiluria (keluarnya cairan limfe dalam urin), sedangkan bila yang pecah tunika vaginalis akan terjadi hidrokel atau kilokel, dan bila yang pecah saluran limfe peritoneum terjadi asites yang mengandung kilus. Gambaran yang sering tampak ialah hidrokel dan limfangitis alat kelamin. Limfangitis dan elefantiasis dapat diperberat oleh infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. e. Diagnosis Diagnosis filariasis dapat ditegakkan secara klinis. Diagnosis dipastikan dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi yang diambil malam hari (pukul 22.0002.00 dinihari) dan dipulas dengan pewarnaan Giemsa. Pada keadaan kronik pemeriksaan ini sering negatif. f. Penatalaksanaan 1) Perawatan Umum Antibiotik atau antimikotik untuk infeksi sekunder dan abses. Perawatan elefantiasis dengan mencuci kaki secara teratur dan merawat luka. Melakukan elevasi tungkai pada waktu duduk atau tidur. 2) Pengobatan Spesifik Untuk pengobatan individual diberikan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) 6 mg/kgBB 3 x sehari selama 12 hari. Pengobatan massal (rekomendasi WHO) adalah DEC 6 mg/kgBB dan albendazol 400 mg (+ parasetamol) dosis tunggal, sekali setahun selama 5 tahun.

: 3A : 0702

ICD X : B74.9

a. Definisi Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular kronik yang disebabkan sumbatan cacing filaria di kelenjar getah bening, menimbulkan gejala klinis akut berupa demam berulang, radang kelenjar getah bening, edema dan gejala kronik berupa elefantiasis. b. Penyebab Di Indonesia ditemukan 3 spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang masing-masing sebagai penyebab filariasis bancrofti, filariasis malayi dan filariasis timori. Beragam spesies nyamuk dapat berperan sebagai penular (vektor) penyakit tersebut. c. Cara Penularan Seseorang tertular filariasis bila digigit nyamuk yang mengandung larva infektif cacing filaria. Nyamuk yang menularkan filariasis adalah Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Nyamuk tersebut tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya (got/saluran air, sawah, rawa, hutan). d. Gambaran Klinik 1) Filariasis tanpa gejala Umumnya di daerah endemik, pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan pembesaran kelenjar limfe terutama di daerah inguinal. Pada pemeriksaan darah ditemukan mikrofilaria dalam jumlah besar dan eosinofilia. 2) Filariasis dengan peradangan Demam, menggigil, sakit kepala, muntah dan lemah yang dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Organ yang terkena terutama saluran limfe tungkai dan alat kelamin. Pada laki-laki 147

148
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Untuk program eliminasi filariasis gunakan buku petunjuk program. g. KIE 1) Tujuan pengobatan: menghilangkan parasit filaria dari darah. Mencegah berkembangbiaknya nyamuk sesuai program PSN 3M (pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras, menutup, mengubur genangan air). 2) Efek samping DEC: pusing, mual dan demam yang berkaitan dengan derajat mikrofilaremia dan biasanya berlangsung selama 3 hari. 3) Alasan rujukan: jika ditemukan efek samping obat, filariasis sistemik. OKSIURIASIS Kompetensi Laporan Penyakit

kulit di sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian selotip tersebut ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan mikroskop. e. Penatalakasanaan 1) Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal diulang 2 minggu kemudian. 2) Mebendazol 100 mg dosis tunggal diulang 2 minggu kemudian. 3) Albendazol 400 mg dosis tunggal diulang 2 minggu kemudian. f. KIE 1) Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus minum obat tersebut karena infeksi dapat menyebar dari satu orang kepada yang lainnya. 2) Pencegahan: a) Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar. b) Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku. c) Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu. d) Menghindari penggarukan daerah anus karena mencemari jari-jari tangan dan tiap benda yang dipegang/disentuhnya.

: 4 :

ICD X : B80

a. Definisi Infeksi cacing kremi (oksiuriasis, enterobiasis) adalah infeksi parasit yang disebabkan Enterobius vermicularis. Parasit ini terutama menyerang anakanak; cacing tumbuh dan berkembang biak di dalam usus. b. Penyebab Enterobius vermicularis. c. Gambaran Klinis 1) Rasa gatal hebat di sekitar anus, kulit di sekitar anus menjadi lecet atau kasar atau terjadi infeksi (akibat penggarukan). 2) Rewel (karena rasa gatal). 3) Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika cacing betina bergerak ke daerah anus dan meletakkan telurnya disana). 4) Napsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang, tetapi dapat terjadi pada infeksi berat) rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing masuk ke dalam vagina). d. Diagnosis Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus pasien, terutama dalam waktu 12 jam setelah anak tertidur pada malam hari. Cacing kremi aktif bergerak, berwarna putih dan setipis rambut. Telur maupun cacingnya bisa didapat dengan menempelkan selotip di lipatan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

SISTOSOMIASIS Kompetensi : 3A Laporan Penyakit :

ICD X : B65

a. Definisi Sistomiasis merupakan penyakit parasit (cacing) menahun yang hidup di dalam pembuluh darah vena, sistem peredaran darah hati, yaitu pada sistem vena porta, mesenterika superior. Dalam siklus hidupnya cacing ini memerlukan hospes perantara sejenis keong Oncomelania hupensis lindoensis yang bersifat amfibi. b. Penyebab Cacing trematoda. Penyakit ini ditularkan melalui bentuk infektif larvanya yang disebut sekaria yang sewaktu-waktu keluar dari keong tersebut di atas. Larva ini akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui pori-pori kulit yang kontak dengan air yang mengandung sekaria. Penyakit ini telah lama diketahui terdapat di Indonesia, pertama kali dilaporkan pada tahun 1937 oleh Brug dan Tesch. Adapun cacing penyebabnya adalah Scistosoma

149

150
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

japonicum. Daerah endemis sistosomiasis di Indonesia sampai saat ini terbatas pada daerah Lindu, Napu, dan Besoa di Propinsi Sulawesi Tengah. c. Gambaran Klinis 1) Masa tunas 4 6 minggu. 2) Pasien memperlihatkan gejala umum berupa demam, urtikaria, mual, muntah, dan sakit perut. Kadang dijumpai sindroma disentri. 3) Dermatitis sistosoma terjadi karena serkaria menembus ke dalam kulit. 4) Pada tingkat lanjut telur yang terjebak dalam organ-organ menyebabkan mikroabses yang meninggalkan fibrosis dalam penyembuhannya. Maka dapat terjadi sirosis hepatitis, hepatosplenomegali, dan hipertensi portal yang dapat fatal. d. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan telur dalam feses, atau biopsi rektum atau hati. Uji serologi memastikan diagnosis. e. Penatalaksanaan Obat terpilih untuk sistosomiasis adalah prazikuantel, dosis tunggal. f. KIE 1) Pencegahan: air minum harus dimasak dahulu. Di daerah endemis, air mandi didiamkan dulu minimal 2 hari dalam penampungan air. 2) Alasan rujuk: bila terjadi komplikasi.

c. Penularan Sumber penularan taeniasis adalah hewan terutama babi, sapi yang mengandung larva cacing pita (cysticercus). Sumber penularan sistiserkosis adalah pasien taeniasis solium sendiri yang fesesnya mengandung telur atau proglotid cacing pita dan mencemari lingkungan. Seseorang dapat terinfeksi cacing pita (taeniasis) bila makan daging yang mengandung larva yang tidak dimasak dengan sempurna, baik larva T.saginata yang terdapat pada daging sapi (cysticercus bovis) maupun larva T.solium (cysticercus cellulose) yang terdapat pada daging babi atau larva T.asiatica yang terdapat pada hati babi. Sistiserkosis terjadi apabila telur T.solium tertelan oleh manusia. Telur T. saginata dan T.asiatica tidak menimbulkan sistiserkosis pada manusia. Sistiserkosis merupakan penyakit yang berbahaya dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah endemis. Hingga saat ini kasus taeniasis/sistiserkosis telah banyak dilaporkan dan tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, terutama di propinsi Papua, Bali dan Sumatera Utara. d. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi berkisar antara 814 minggu. 2) Sebagian kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). 3) Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa tidak nyaman di lambung, mual, badan lemah, berat badan menurun, napsu makan menurun, sakit kepala, konstipasi, pusing, diare dan pruritus ani. 4) Pada sistiserkosis, biasanya larva cacing pita bersarang di jaringan otak sehingga dapat mengakibatkan serangan epilepsi. Larva juga dapat bersarang di subkutan, mata, otot, jantung dan lain-lain. e. Diagnosis Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan feses secara mikroskopis. Adanya riwayat mengeluarkan proglotid (segmen) cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan. Pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing Taenia. f. Penatalaksanaan Pasien taeniasis diobati dengan prazikuantel dengan dosis 10 mg/kg BB dosis tunggal. Cara pemberian prazikuantel adalah sebagai berikut : 1) Satu hari sebelum pemberian prazikuantel, pasien dianjurkan untuk makan makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.

TAENIASIS / SISTISERKOSIS Kompetensi : 4 dan 3A Laporan Penyakit :

ICD X : B68

a. Definisi Taeniasis ialah penyakit zoonosis parasitik yang disebabkan cacing dewasa Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan Taenia asiatica). Infeksi larva T. solium disebut sistiserkosis dengan gejala benjolan (nodul) di bawah kulit (subcutaneous cysticercosis). Larva Taenia solium dapat menyebabkan sistiserkosis otak dan sistiserkosis subkutan. b. Penyebab Cacing dewasa Taenia (Taenia saginata, Taenia solium dan Taenia asiatica); larva T. solium. 151

152
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Malam harinya setelah makan malam pasien menjalani puasa. 3) Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong pasien diberi prazikuantel. 4) Dua sampai 2 1/2 jam kemudian diberikan garam Inggris (MgSO4), 30 gram untuk dewasa dan 15 g atau 7,5 g untuk anak anak, sesuai dengan umur yang dilarutkan dalam sirop (pemberian sekaligus). 5) Pasien tidak boleh makan sampai buang air besar yang pertama. Setelah buang air besar pasien diberi makan bubur. 6) Feses harus dikumpulkan dalam 24 jam kemudian dikirim ke laboratorium untuk identifikasi adanya skoleks. Keberhasilan pengobatan didasarkan atas ditemukannya skoleks. g. KIE 1) Pencegahan a) Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi. b) Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar. c) Tidak makan daging mentah atau setengah matang. d) Buang air besar di jamban. e) Memelihara ternak di kandang. 2) Alasan rujuk: Pasien neurosistiserkosis atau komplikasi sebaiknya dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. TRIKURIASIS Kompetensi Laporan Penyakit : 4 :

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur cacing di dalam feses. e. Penatalaksanaan 1) Mebendazol 100 mg tiap 12 jam selama 3 hari berturut-turut atau dosis tunggal 500 mg 2) Albendazol 400 mg 3 hari berturut-turut. Tidak boleh digunakan selama kehamilan. f. KIE Pencegahan trikuriasis sama dengan askariasis yaitu buang air besar di jamban, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah (lalapan), pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan seperti mencuci tangan sebelum makan.

ICD X : B79

a. Definisi Trikuriasis atau infeksi cacing cambuk adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Trichuris trichiura. b. Penyebab Trichuris trichiura. c. Gambaran Klinis 1) Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis. 2) Infeksi berat terutama pada anak memberikan gejala diare yang sering diselingi dengan sindroma disentri. Gejala lainnya adalah anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rekti. d. Diagnosis
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

153

154
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

49. KEILOSIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 1505

ICD X : K09-K13

50. KEJANG DEMAM Kompetensi : 4 dan 3A Laporan Penyakit :

ICD X : R56.0

a. Definisi Keilosis adalah radang dangkal pada sudut mulut yang menyebabkan sudut mulut pecah-pecah. b. Penyebab Biasanya karena defisiensi riboflavin, asam pantotenat dan piridoksin. Kelainan serupa dapat pula disebabkan oleh mikosis atau virus herpes. c. Gambaran Klinis Tampak fisur atau luka-luka berkerak di kedua sudut mulut yang terasa perih bila terkena makanan pedas. d. Diagnosis Pecah-pecah pada sudut mulut. e. Penatalaksanaan 1) Vitamin B-kompleks 1 tablet tiap 8 jam diberikan selama 1 minggu. 2) Dapat ditambahkan vitamin C 50 mg tiap 8 jam. f. KIE Pencegahan: konsumsi buah secara teratur.

a. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Anak yang pernah pengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. b. Penyebab Faktor risiko berulangnya kejang demam: 1) Riwayat kejang demam dalam keluarga 2) Usia <12 bulan 3) Temperatur yang rendah saat kejang 4) Cepatnya kejang setelah demam Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama. c. Gambaran Klinis Klasifikasi: 1) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 10 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. 2) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure) Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: a) Kejang lama, adalah kejang yang berlangsung >15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang, anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

155

156
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Kejang fokal, adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. c) Kejang berulang, adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada kasus kejang untuk anak <18 bulan dianjurkan untuk dilakukan pungsi lumbal, dan anak <12 bulan harus dilakukan pungsi lumbal. e. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. f. Diagnosis banding Bila anak berumur kurang dari 18 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam, perlu dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut.

g. Penatalaksanaan 1) Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam i.v. dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. 2) Obat yang praktis dan dapat diberikan di rumah adalah diazepam per rektal dosis 0,5-0,75 mg/kg; atau diazepam per rektal 5 mg (untuk anak berat <10 kg atau umur < 3 tahun) dan 10 mg (untuk anak berat >10 kg atau umur >3 tahun). Bila kejang belum berhenti, diazepam per rektal dosis yang sama dapat diulang dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2x pemberian diazepam per rektal masih tetap kejang, pasien harus dirujuk ke RS.

3) Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya. 4) Pemberian obat saat demam: a) Antipiretik (parasetamol, ibuprofen) Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali, dapat diberikan 4x sehari, tidak lebih dari 5x. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, tiap 6-8 jam. b) Antikonvulsan Diazepam oral dosis 0,3 mg/kg tiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg tiap 8 jam pada suhu >38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital dan karbamazepin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam. 5) Pemberian obat rumat: a) Pemberian obat rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu): (1) Kejang lama > 15 menit (2) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus (3) Kejang fokal b) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila: (1) Kejang berulang >2x dalam 24 jam (2) Kejang demam terjadi pada bayi < 12 bulan (3) Kejang demam > 4x per tahun c) Pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Obat pilihan: asam valproat dosis 15-40 mg/kg/hari tiap 8-12 jam, atau fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam tiap 12-24 jam. h. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengurangi/mencegah serangan. 2) Edukasi pada orang tua untuk mengurangi kecemasan: a) Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya prognosis baik
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

mempunyai

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

157

158

3)

4) 5)

6)

b) Memberitahukan cara penanganan kejang c) Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali d) Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tapi perlu diingat adanya efek samping obat. Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang: a) Tetap tenang dan tidak panik. b) Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. c) Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lender di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. d) Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang. e) Tetap bersama pasien selama kejang. f) Berikan diazepam per rektal. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Bawa ke Puskesmas atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih. Vaksinasi: sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Dianjurkan untuk memberi diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian. Efek samping obat: diazepam dosis tinggi dapat menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Alasan rujuk: lihat penatalaksanaan.

51. KEPUTIHAN / FLUOR ALBUS (DUH TUBUH VAGINA) Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 26 ICD X : N89.8 a. Definisi Keluarnya cairan yang berlebihan dari dalam vagina disertai dengan gatal/rasa terbakar pada vulva. Dapat disebabkan oleh infeksi vagina (kolpitis) yang lebih bersifat encer dan radang serviks (servisitis) yang bersifat muko-purulen. b. Penyebab Kolpitis sering disebabkan oleh trikomoniasis, kandidiasis dan vaginosis bakterial, sedangkan servisitis sering disebabkan oleh infeksi Neiserria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. c. Gambaran Klinis 1) Deteksi infeksi serviks berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, karena sebagian besar wanita dengan gonore atau klamidiasis yang menyebabkan infeksi serviks umumnya asimtomatik. 2) Wanita dengan faktor risiko (mempunyai lebih dari 1 mitra seksual atau mitra seksual sedang mengidap IMS dan sanggama tidak menggunakan kondom) cenderung memiliki risiko tinggi untuk terjadi infeksi serviks bila dibandingkan dengan mereka yang tidak berisiko. d. Diagnosis 1) Gejala duh tubuh (discharge) yang abnormal merupakan petunjuk kuat infeksi vagina namun merupakan pertanda lemah untuk infeksi serviks. Jadi semua wanita yang menunjukkan tanda-tanda duh tubuh vagina (vaginal discharge) agar diobati juga untuk trikomoniasis dan bakterial vaginosis sekaligus. 2) Wanita dengan cairan tubuh yang berlebihan disertai dengan faktor risiko perlu dipertimbangkan untuk diobati sebagai servisitis yang disebabkan gonore dan klamidiasis. 3) Pemeriksaan secara mikroskopik sangat membantu diagnosis untuk infeksi serviks.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

159

160
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan Pengobatan sindroma duh tubuh vagina karena servisitis sesuai dengan pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal P2PL Kemenkes (Tabel 20 dan Tabel 21). Tabel 20. Pengobatan Gonore Tanpa Komplikasi dan Klamidiasis
Pengobatan Gonore Tanpa Komplikasi Siprofloksasin*) 500 mg per oral, dosis tunggal Pilihan pengobatan lain Tetrasiklin**) 500 mg per oral tiap 6 jam, selama 7 hari, atau Eritromisin 500 mg tiap 6 jam selama 7 hari (bila ada kontra-indikasi tetrasiklin) Pengobatan Klamidiasis

f.

KIE 1) Tujuan pengobatan: pengobatan penyakit dan pemutusan rantai penularan. 2) Efek samping metronidazol: mual dan lemas. Tetrasiklin dan doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil. 3) Pencegahan: hindari kontak langsung. 4) Alasan rujuk: jika ditemukan keganasan.

Pilihlah salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini Doksisiklin**100 mg per oral tiap 6 jam selama 7 hari

*) Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak usia <12 tahun dan remaja **)Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia < 12 tahun Tabel 21. Pengobatan Sindroma Duh Tubuh Vagina karena Vaginitis (pengobatan program)
Trikomoniasis Bakterial Vaginosis ( bukan IMS ) Kandidosis Vagina (bukan IMS)

Pilih salah satu dari beberapa cara pengobatan yang dianjurkan dibawah ini Metronidazol, 2 g per oral, dosis tunggal Pilihan pengobatan lain Metronidazol 400 atau 500 mg per oral, 2 x sehari, selama 7 hari Metronidazol 400 atau 500 mg, 2 x sehari, selama 7 hari Metronidazol, 2 g per oral, dosis tunggal Nistatin tab vagina100.000 UI, tiap hari, selama 14 hari

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

161

162
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

52. KERACUNAN MAKANAN DAN INSEKTISIDA BOTULISMUS Kompetensi Laporan Penyakit : 3B : 1903

KERACUNAN BONGKREK Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1903 ICD X : A05.1

ICD X : T62

a. Definisi Botulismus merupakan keracunan akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar toksin yang dihasilkan oleh C.botulinum. Keracunan ini ditandai oleh kelainan neuromuskuler, jarang terjadi diare. Kematian sekitar 65%. b. Penyebab Makanan yang tercemar toksin yang dihasilkan oleh C.botulinum. c. Gambaran Klinis 1) Inkubasi penyakit ini kira-kira 1836 jam, namun dapat beragam dari beberapa jam sampai 3 hari. 2) Tanda awal adalah rasa lelah dan lemas, serta gangguan penglihatan. 3) Diare lebih sering tidak ada. 4) Gejala neurologi seperti disartria dan disfagia dapat menimbulkan pneumonia aspirasi. 5) Otot-otot tungkai, lengan dan badan lemah. 6) Sementara itu daya rasa (sensoris) tetap baik, dan suhu tidak meningkat. 7) Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah poliomielitis, miastenia gravis, dan ensefalitis virus. d. Diagnosis Pada anamnesis didapatkan riwayat konsumsi Pemeriksaan fisik ditemukan defisit neurologi. makanan tertentu.

a. Definisi Racun bongkrek dihasilkan oleh Bacillus cocovenevans, yaitu kuman yang tumbuh dari bongkrek yang diproses kurang baik. Pertumbuhan kuman ini dapat dihambat oleh suasana asam (diolah dengan daun calincing). b. Penyebab Keracunan tempe bongkrek disebabkan oleh toksoflavin dan asam bongkrek yang dihasilkan oleh Pseudomonas cocovenans yang dikenal juga sebagai bakteri asam bongkrek. Toksin tersebut dihasilkan dalam media yang mengandung ampas kelapa. c. Gambaran Klinis 1) Gejala timbul 46 jam setelah makan tempe bongkrek yaitu berupa mual dan muntah. 2) Pasien mengeluh sakit perut, sakit kepala dan melihat ganda (diplopia). 3) Pasien lemah, gelisah dan berkeringat dingin kadang disertai gejala syok. 4) Pada hari ke-3 sklera menguning, pembesaran hati dan urin keruh dengan protein (+). d. Diagnosis Riwayat konsumsi tempe bongkrek. e. Penatalaksanaan 1) Pasien harus dirujuk ke rumah sakit, sementara itu bila pasien masih sadar usahakan mengeluarkan sisa makanan. 2) Berikan norit 20 tablet (digerus dan diaduk dengan air dalam gelas) sekaligus, dan ulangi 1 jam kemudian. 3) Kalau perlu atasi syok dengan infus glukosa 5% dan pernapasan buatan. 4) Tidak ada antidotum spesifik. 5) Pasien dirangsang secara mekanis agar muntah. Bila tidak berhasil lakukan bilas lambung di rumah sakit. f. KIE Perhatikan warna tempe,bila jamur tidak tumbuh maka harus dibuang.

e. Penatalaksanaan 1) Tindakan penanggulangan: bila perlu, berikan pernapasan buatan. Jika tidak muntah, usahakan untuk muntah. Jika perlu, lakukan bilas lambung. 2) Bila terdapat tanda-tanda syok pasang infus glukosa 5% dan kalau perlu lakukan pernapasan buatan. 3) Pengobatan spesifik, terutama bila timbul gejala dengan antitoksin. 4) Setelah penanganan kegawatan, pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit. 163
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

164
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

KERACUNAN JENGKOL Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1903

ICD X : T62

Beberapa jenis singkong mengandung cukup banyak sianida yang mungkin menimbulkan keracunan. Tanpa analisa kandungan sianida tidak dapat dipastikan singkong mana yang berbahaya bila dimakan kecuali dari rasanya. b. Penyebab Singkong yang mengandung sianida (HCN). c. Gambaran Klinis 1) Tanda keracunan timbul akut kira-kira setengah jam setelah makan singkong beracun. 2) Gejala berawal dengan pusing dan muntah. 3) Dalam keadaan yang berat pasien sesak napas dan kesadaran menurun. 4) Bibir, kuku, kemudian muka dan kulit berwarna kebiruan (sianosis). Sianosis perlu dibedakan dengan methaemoglobinemia yang timbul karena keracunan sulfa, DDS, nitrat atau nitrit, yang memerlukan pengobatan lain (metilen-biru). d. Diagnosis Berdasarkan tanda dan gejala klinis pada pasien dengan riwayat makan singkong. e. Penatalaksanaan 1) Berikan Na-tiosulfat 25% 20 ml secara i.v. perlahan dan diulangi tiap 7-10 menit sampai gejala teratasi. Dosis total diberikan sampai pasien bangun, jumlahnya bergantung pada beratnya gejala. 2) Berikan oksigen dan pernapasan buatan bila terdapat depresi napas. 3) Pasien perlu diobservasi 24 jam dan dikirim ke rumah sakit bila keracunannya berat. f. KIE Kenali tanda-tanda singkong beracun: rasa pahit. Bila memberikan singkong pada anak-anak, orang tua harus memeriksa dulu. Bila ada kasus keracunan pada salah satu anggota keluarga, periksakan juga anggota keluarga lainnya.

a. Definisi Keracunan akibat terjadinya pengendapan kristal asam jengkol di saluran kemih. Ciri orang yang rentan pengendapan kristal asam jengkol ini belum dapat ditentukan. b. Penyebab Asam Jengkolat. c. Gambaran Klinis 1) Bau khas jengkol tercium dari mulut dan urin pasien. 2) Timbul kolik ginjal seperti pada batu ginjal. 3) Pasien mengeluh nyeri sewaktu buang air kecil. 4) Urin pasien merah karena darah (hematuria). Secara mikroskopis, selain eritrosit tampak kristal asam jengkol seperti jarum. 5) Dalam keadaan berat terdapat anuria dan mungkin pasien pingsan karena menahan sakit. d. Diagnosis Hematuria, nyeri pada saat buang air kecil. e. Penatalaksanaan 1) Keracunan ringan dapat diobati dengan minum banyak dan pemberian Natrium bikarbonat 2 g per oral 4 x sehari sampai gejala hilang. 2) Pada keracunan berat dengan anuria pasien perlu dirujuk. f. KIE Pencegahan: disarankan tidak mengkonsumsi makanan tersebut berlebihan.

KERACUNAN SINGKONG Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1903

ICD X : T62

a. Definisi Keracunan singkong adalah keadaan sakit yang timbul setelah makan singkong yang ditandai oleh kesadaran yang menurun dan sianosis.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

165

166
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

KERACUNAN INSEKTISIDA Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus dengan sempurna. Jenis yang paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan organoklorin. Golongan karbamat efeknya mirip efek organofosfat, tetapi jarang menimbulkan kasus keracunan. Masih terdapat jenis pestisida lain seperti racun tikus (antikoagulan dan seng fosfit) dan herbisida (parakuat) yang juga sangat toksik. Kasus keracunan golongan ini jarang terjadi. Penatalaksanaannya dapat dilihat dalam Pedoman Pengobatan Keracunan Pestisida yang diterbitkan oleh Bagian Farmakologi FKUI. KERACUNAN GOLONGAN ORGANOFOSFAT Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1902

d. Diagnosis Pada anamnesis ditemukan riwayat tertelan insektisida golongan organofosfat, baik disengaja (pasien depresi berat dan mencoba bunuh diri) atau tidak disengaja (kecelakaan). e. Penatalaksanaan Keracunan akut : 1) Tindakan gawat darurat: a) Jaga jalan napas dengan tindakan resusitasi. b) Pantau tanda-tanda vital. c) Berikan pernapasan buatan dengan alat dan beri oksigen. d) Berikan atropin sulfat 2 mg i.v., ulangi tiap 38 menit sampai gejala keracunan parasimpatik terkendali. e) Sebelum gejala timbul atau setelah diberi atropin sulfat, kulit dan selaput lendir yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan air dan sabun. f) Jika tersedia Naso Gastric Tube, lakukan bilas lambung dengan air. 2) Tindakan umum: a) Sekresi paru disedot dengan kateter. b) Hindari penggunaan obat morfin, aminofilin, golongan barbital, golongan fenotiazin dan obat-obat yang menekan pernapasan. f. KIE Jika keracunan melalui mulut dan kadar enzim kolinesterase menurun, maka perlu dihindari kontak lebih lanjut sampai kadar kolinesterase kembali normal. Pencegahan: konsultasi dengan psikiater pada pasien depresi. Keluarga perlu berhati-hati dalam penyimpanan bahan-bahan pestisida atau insektisida.

ICD X : T60

a. Definisi Keracunan organofosfat adalah sakit yang disebabkan oleh tertelannya zat golongan organofosfat. Golongan organofosfat bekerja selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. b. Penyebab Keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan terus menerus saraf muskarinik dan nikotinik. c. Gambaran Klinis Gejala klinis keracunan pestisida golongan organofosfat pada: 1) Mata: pupil mengecil dan penglihatan kabur. 2) Pengeluaran cairan tubuh: pengeluaran keringat meningkat, lakrimasi, salviasi dan juga sekresi bronchial. 3) Saluran cerna: mual, muntah, diare dan sakit perut. 4) Saluran napas: batuk, bersin, dispnea dan dada sesak. 5) Kardiovaskular: bradikardia dan hipotensi. 6) Sistem saraf pusat: sakit kepala, bingung, berbicara tidak jelas, ataksia, demam, konvulsi dan koma. 7) Otot-otot: lemah, fasikulasi dan kram. 8) Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain edema paru, pernapasan berhenti, blockade atrioventrikuler dan konvulsi. 167
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

KERACUNAN ORGANOKLORIN Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1902

ICD X : T60

a. Definisi Keracunan organoklorin adalah sakit yang disebabkan oleh tertelannya bahan yang mengandung pestisida golongan organoklorin. Pestisida golongan organoklorin pada umumnya merupakan racun perut dan racun

168
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

kontak yang efektif terhadap larva, serangga dewasa dan kadang-kadang juga terhadap kepompong dan telurnya. Penggunaan pestisida golongan organoklorin makin berkurang karena pada penggunaan dalam waktu lama residunya persisten dalam tanah, tubuh hewan dan jaringan tanaman. b. Penyebab Pestisida golongan organoklorin. c. Gambaran Klinis 1) Gejala keracunan turunan halobenzen dan analog, terutama muntah, tremor dan konvulsi. 2) Pada keracunan akut melalui mulut disebabkan oleh 5 g DDT akan menyebabkan muntah-muntah berat setelah 0,51 jam, selain kelemahan dan mati rasa pada anggota badan yang terjadi secara bertahap, rasa takut, tegang dan diare juga dapat terjadi. 3) Dengan 20 g DDT dalam waktu 812 jam kelopak mata akan bergerakgerak disetai tremor otot mulai dari kepal dan leher, selanjutnya konvulsi klonik kaki dan tangan seperti gejala keracunan pada strichnin. Nadi normal, pernapasan mula-mula cepat kemudian perlahan. d. Diagnosis Riwayat kontak dengan insektisida golongan organoklorin. e. Penatalaksanaan Penanggulangan keracunan pestisida golongan keracunan organoklorin pada umumnya: 1) Tindakan gawat darurat: a) Pantau tanda-tanda vital. b) Berikan minum air sebanyak-banyaknya sampai muntah. c) Berikan karbon aktif sebanyak 20 tablet yang digerus dan dicampur dengan air, d) Bilas lambung dengan air 24 L. Kemudian berikan obat pencuci perut. e) Pembersihan usus, juga dapat dilakukan dengan 200 mL larutan manitol 20 % dengan melalui pipa naso gastrik (NGT), f) Jangan diberi lemak atau minyak. g) Jika kulit juga terkena, bersihkan dengan air dan sabun. 2) Tindakan umum: 169

a) Untuk mengatasi konvulsi, berikan diazepam 10 mg secara i.v perlahan. Jika belum menunjukkan hasil berikan obat yang memblokade neuromuskuler. b) Atasi hiperaktivitas dan tremor, berikan Natrium fenobarbital 100 mg s.k tiap jam sampai mencapai jumlah 0,5 g atau sampai konvulsi terkendali. c) Jangan diberi obat stimulan terutama epinefrin, karena dapat menimbulkan fibrilasi ventrikuler. f. KIE Tindakan pencegahan : 1) Pestisida sebaiknya disimpan dalam tempat aslinya dengan etiket yang jelas dan disimpan di tempat yang tidak terjangkau oleh anak-anak, serta jauh dari makanan dan minuman. 2) Pada waktu menggunakan pestisida, perlu diikuti dengan cermat dan tepat, sesuai prosedur dan petunjuk lain yang telah ditentukan. 3) Hindari kontak atau menghisap pestisida. 4) Pada waktu bekerja dengan pestisida, sebaiknya tidak sambil makan, minum atau merokok. 5) Tempat atau wadah pestisida yang telah kosong, sebaiknya dibuang atau dimusnahkan, demikian juga pestisida yang tidak berlabel atau etiketnya sudah rusak, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti. 6) Tergantung pada tingkat toksisitasnya, jika bekerja yang berhubungan dengan pestisida, sebaiknya tidak lebih dari 45 jam.

170
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

53. KERATITIS (ULKUS KORNEA) Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 1004

ICD X : H16

54. KOLERA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 0101

ICD X : A00

a. Definisi Keratitis (Ulkus Kornea) adalah suatu keadaan infeksi pada kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus dan faktor imunologis. Pada umumnya didahului oleh keadaan trauma pada kornea, penggunaan lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol. b. Penyebab 1) Infeksi 2) Non Infeksi. c. Gambaran Klinis 1) Pasien datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan dan mata merah. 2) Rasa nyeri dan mengganjal pada mata. 3) Didapatkan lesi putih di kornea. 4) Fotofobia 5) Mata berair, keluarnya sekret d. Diagnosis Penurunan visus, lesi pada kornea, palpebra spasme, epifora dan sekret. e. Penatalaksanaan Sebagai terapi awal, berikan kloramfenikol tetes mata tiap 4 jam, sekurangkurangnya selama 3 hari. Segera rujuk ke spesialis mata tanpa dilakukan pemasangan verban. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengatasi infeksi sesuai dengan penyebab dan mencegah kebutaan yang lebih berat. 2) Perhatian: a) Jangan diberikan obat yang mengandung kortikosteroid topikal. b) Jangan mencuci mata dengan air sirih c) Hentikan penggunaan lensa kontak.

a. Definisi Kolera adalah suatu infeksi usus kecil karena bakteri Vibrio cholerae. Kolera menyebar melalui air yang diminum, makanan laut atau makanan lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang terinfeksi. b. Penyebab Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus melepaskan sejumlah besar cairan yang banyak mengandung garam dan mineral. Karena bakteri sensitif terhadap asam lambung, maka pasien kekurangan asam lambung cenderung menderita penyakit ini. c. Gambaran Klinis 1) Gejala dimulai dalam 13 hari setelah terinfeksi bakteri, bervariasi mulai dari diare ringan-tanpa komplikasi sampai diare berat-yang bisa berakibat fatal. Beberapa orang pasien yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala. 2) Penyakit biasanya dimulai dengan diare akut encer seperti air cucian beras yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa rasa sakit disertai mual muntah-muntah. 3) Pada kasus yang berat, diare menyebabkan kehilangan cairan sampai 1 liter dalam 1 jam. Kehilangan cairan dan garam yang berlebihan menyebabkan dehidrasi disertai rasa haus yang hebat, kram otot, lemah dan penurunan produksi air kemih. 4) Banyaknya cairan yang hilang dari jaringan menyebabkan mata menjadi cekung dan kulit jari-jari tangan menjadi keriput. 5) Jika tidak diobati, ketidakseimbangan volume darah dan peningkatan konsentrasi garam bisa menyebabkan gagal ginjal, syok dan koma. 6) Gejala biasanya menghilang dalam 36 hari. Kebanyakan pasien akan terbebas dari organisme ini dalam waktu 2 minggu, tetapi beberapa diantara pasien menjadi pembawa dari bakteri ini. d. Diagnosis 1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. 2) Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap apusan rektum (rektal swab) atau contoh feses segar.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

171

172
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan Pengobatan: 1) Yang sangat penting adalah segera mengganti kehilangan cairan, garam dan mineral dari tubuh, dengan menilai derajat dehidrasi, dengan pemberian oralit sebanyak perkiraan cairan diare yang keluar. Pemberian cairan mengacu pada Bab Diare Akut Non Spesifik. 2) Untuk pasien yang mengalami dehidrasi berat, cairan rehidrasi diberikan melalui infus (cairan Ringer Laktat atau bila tidak tersedia bisa menggunakan larutan NaCl 0,9%). Di daerah wabah, kadangkadang cairan diberikan melalui selang yang dimasukkan lewat hidung menuju ke lambung. 3) Penggunaan antibiotik a) Tetrasiklin, dewasa: 500 mg tiap 6 jam selama 3 hari. b) Trimetoprim (TMP) Sulfamethoxazole (SMX): Anak-anak: TMP 5 mg/kgBB dan SMX 25 mg/kgBB (tiap 12 jam selama 3 hari) Dewasa: TMP 160 mg dan SMX 800 mg (tiap 12 jam selama 3 hari). 4) Bila dehidrasi sudah diatasi tujuan pengobatan selanjutnya adalah menggantikan jumlah cairan yang hilang karena diare dan muntah. Makanan padat bisa diberikan setelah muntah-muntah berhenti dan nafsu makan sudah kembali. 5) Pengobatan awal dengan tetrasiklin atau antibiotik lainnya bisa membunuh bakteri dan biasanya akan menghentikan diare dalam 48 jam. 6) Lebih dari 50% pasien kolera berat yang tidak diobati meninggal dunia. Kurang dari 1% pasien yang mendapat penggantian cairan yang adekuat, meninggal dunia. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman, mencegah komplikasi dehidrasi dan mencegah penularan. 2) Pencegahan: a) Penjernihan cadangan air dan pembuangan feses yang memenuhi standar sangat penting dalam mencegah terjadinya kolera. b) Usaha lainnya adalah meminum air yang sudah terlebih dahulu dimasak dan menghindari sayuran mentah atau ikan dan kerang yang dimasak tidak sampai matang. 173

3) Petugas wajib melaporkan kasus dugaan kolera kepada Dinas Kesehatan setempat.

174
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

55. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1005

f. ICD X : H10

a. Definisi Konjungtivitis bakterial sering dijumpai pada anak-anak, biasanya dapat sembuh sendiri. b. Penyebab Infeksi ini umumnya disebabkan oleh bakteri Staph. epidermidis, Staph. aureus, Strep. pneumoniae dan H. influenza. Penyebaran infeksi melalui kontak langsung dengan sekret air mata yang terinfeksi. c. Gambaran Klinis 1) Mata terlihat merah. 2) Rasa mengganjal dan panas pada mata. 3) Sekret yang banyak, pada saat bangun tidur kelopak mata lengket dan sulit dibuka. 4) Kelopak mata bengkak dan berkrusta. Pada keadaan awal sekret berbentuk serosa (watery) menyerupai konjungtivitis virus, namun dalam beberapa hari sekret menjadi mukopurulen, kadang disertai dengan air mata berwarna merah (darah). 5) Injeksi konjungtiva dapat terlihat dengan jelas. 6) Pada pemeriksaan dengan membuka kelopak mata bawah dan membalik kelopak mata atas, tampak selaput (membran) yang dapat dilepaskan dengan menggunakan cottonbuds (sebelumnya diberikan tetes mata anestesi topikal). d. Diagnosis Sekret mukopurulen. e. Penatalaksanaan 1) Pemberian antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes mata dan salep mata. Kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes tiap 4-6 jam. Salep mata kloramfenikol dapat diberikan untuk mendapatkan konsentrasi yang tinggi. Diberikan sebelum tidur agar tidak mengganggu aktivitas seharihari, karena pemberian salep mata dapat mengganggu penglihatan. 2) Antibiotik oral (amoksisilin) dapat diberikan bila radang meluas (terutama pada pasien anak).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

KIE 1) Tujuan pengobatan: menyembuhkan infeksi dan mencegah komplikasi. 2) Pembersihan sekret dengan kassa steril yang dibasahi dengan NaCl atau air matang. 3) Cara pemakaian tetes mata: setelah diteteskan, tutup mata, tekan daerah punctum lakrimal (kantus medial) di daerah nasal.

175

176
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

56. KONJUNGTIVITIS VIRAL Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1005

4) Pemberian kortikosteriod topikal merupakan kontraindikasi. 5) Jika dalam 5-7 hari tidak ada perbaikan, rujuk ke dokter spesialis mata. ICD X : B30

a. Definisi Konjungitivitis Viral adalah peradangan pada konjungtiva yang biasanya disebabkan oleh Adenovirus. Penyakit ini sangat tinggi tingkat penyebarannya, melalui jalan napas atau sekresi air mata, baik secara langsung maupun melalui bahan pengantar seperti handuk, sapu tangan yang digunakan bersama. b. Penyebab Infeksi ini disebabkan Adenovirus. c. Gambaran Klinis 1) Timbul secara akut 2) Mata merah dan berair, biasanya mengenai dua mata 3) Pada konjungtiva terlihat folikel dan sekret serosa (warna bening) 4) Pada kasus berat dapat terjadi subkonjungtiva, kemosis dan pseudomembran 5) Bila terjadi keratitis, akan terlihat lesi putih di kornea berbentuk pungtata di epitel atau sub-epitel, dalam keadaan berat dapat terjadi di stroma kornea. 6) Dapat terjadi edema kelopak mata 7) Dapat disertai dengan demam, batuk pilek 8) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening preaurikuler d. Diagnosis Edema palpebra, konjungtiva merah, sekret serosa, tidak terjadi penurunan visus. e. Penatalaksanaan 1) Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri. 2) Dapat ditambahkan antibiotik topikal seperti kloramfenikol tetes mata bila terdapat tanda infeksi sekunder, seperti sekret menjadi purulen. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: penyembuhan dan mencegah komplikasi. 2) Pasien harus istirahat, kurangi aktivitas membaca atau menonton tv. 3) Pencegahan: hindari kontak dengan penderita. 177

178
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

57. KONJUNGTIVITIS VERNAL Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1004

ICD X : H10

4) Alasan rujukan: bila masih terjadi eksaserbasi akut, kornea telah terkena atau lebih dari 2 minggu tidak ada perbaikan, segera rujuk ke dokter spesialis mata.

a. Definisi Konjungtivitis vernal adalah peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas (atopi). Keratokonjungtivitis vernal biasanya bersifat rekuren, bilateral dan terjadi pada masa anak-anak yang tinggal di daerah kering dan hangat. Onset terjadi pada usia > 5 tahun dan berkurang setelah masa pubertas. Pada umumnya didapatkan riwayat atopi pada pasien atau keluarga. b. Penyebab Riwayat Alergi/Atopi. c. Gambaran Klinis 1) Gejala utama yang paling sering dikeluhkan adalah rasa gatal yang diikuti dengan lakrimasi, fotopobia, mengganjal dan rasa terbakar. 2) Pada anak dijumpai frekuensi berkedip yang meningkat. 3) Pada pemeriksaan dapat terlihat papil di konjungtiva tarsal superior. 4) Dalam keadaan berat dapat dijumpai Giant Papillae atau Cobblestone (bila kelopak mata atas dibalik, terlihat benjolan yang multipel). 5) Di daerah limbus, gambaran klinis yang terlihat adalah nodul berwarna putih (trantas dot) dan bila kornea terkena dapat terjadi Shield Ulceration (adanya ulkus di tengah kornea yang noninfeksius, karena gesekan dari cobblestone). d. Penatalaksanaan 1) Mast cell stabilizers seperti Natrium kromoglikat tetes mata 2% 1-2 tetes tiap 6-8 jam dapat diberikan untuk mencegah eksaserbasi akut. 2) Pemberian antihistamin oral dan steroid oral. e. KIE 1) Tujuan pengobatan: menghilangkan gejala dan mengurangi rekurensi. 2) Hindari faktor pencetus seperti debu, serbuk bunga, perubahan iklim 3) Jangan pernah memberikan kortikosteroid topikal untuk jangka panjang.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

179

180
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

58. KONJUNGTIVITIS PURULENTA NEONATORUM Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1005 ICD X : A54.3 a. Definisi Radang konjungtiva yang terjadi pada bayi yang baru lahir. Gejala muncul beberapa jam sampai 28 hari pasca lahir. Biasanya terjadi pada partus normal. b. Penyebab Bayi baru lahir tertular infeksi seperti gonore, klamidia oleh ibunya ketika melewati jalan lahir. c. Gejala Klinis 1) Kelopak mata bengkak dan konjungtiva hiperemia hebat. 2) Sekret mata purulen yang kadang bercampur darah. 3) Hasil pemeriksaan sekret atau kerokan konjungtiva dengan pewarnaan Gram memperlihatkan banyak sekali sel polimorfonuklear. Kuman N.gonorrhoeae khas tampak sebagai kokus gram negatif yang berpasangan seperti biji kopi, tersebar di luar dan di dalam sel. d. Diagnosis Pada anamnese didapatkan riwayat keputihan ibu pada saat hamil. e. Penatalaksanaan 1) Lakukan pemeriksaan gram pada sekret. Jika ditemukan gonore, pasien harus dirawat di puskesmas perawatan dan dipisahkan dari pasien lain untuk menghindari penularan. Jika non-gonore, dapat dipertimbangkan untuk rawat jalan di puskesmas 2) Pengobatan harus segera diberikan dengan intensif karena gonore ini dapat menyebabkan perforasi kornea yang berakhir dengan kebutaan. 3) Sekret harus dibersihkan tiap jam dengan kassa steril yang dibasahi dengan NaCl. Kelopak mata dibuka saat dibersihkan untuk memastikan sudah tidak ada sekret saat memberikan salep mata. 4) Kemudian diberi kloramfenikol salep mata tiap jam (untuk infeksi gonore) atau oksitetrasiklin salep mata tiap 6 jam (untuk infeksi nongonore) sampai sekret yang mukopurulen tidak timbul lagi. 5) Secara sistemik diberikan penisilin prokain 50.000 UI/kgBB/hari i.m. dosis tunggal selama 5 hari (untuk infeksi gonore).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Bila pemeriksaan sekret telah negatif 3 hari berturut-turut, maka pasien boleh dipulangkan dan pemberian salep mata diteruskan 3 kali sehari. Seminggu kemudian bila pemeriksaan sekret masih negatif pengobatan dihentikan (untuk infeksi gonore). f. KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan menghindari komplikasi. 2) Kedua orang tua sebagai sumber infeksi juga harus diperiksa dan diobati (lihat penatalaksanaan gonore). 3) Penyakit ini sangat menular, hati-hati untuk keluarga dan tenaga medis. 4) Tiap bayi baru lahir dengan metode partus normal, diberikan tetes mata atau salep mata kloramfenikol sebagai pencegahan. 5) Alasan rujuk: jika dalam 24 jam sekret mukopurulen tidak berkurang.

181

182
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

59. KUSTA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 0301

ICD X : A30

a. Definisi Kusta atau lepra adalah suatu penyakit kulit menular menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Serangan kuman yang berbentuk batang ini biasanya pada kulit, saraf tepi, mata, selaput lendir hidung, otot, tulang dan buah zakar. b. Penyebab Kuman Mycobacterium leprae. c. Gambaran Klinis Tanda utama (Cardinal sign): 1) Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa (makula anestesia). 2) Penebalan saraf tepi. 3) Gejala pada kulit, pasien kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan. 4) Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang saraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Pasien merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut. 5) Gejala pada mata, ditandai dengan mata merah, kehilangan alis, adanya sekret, dapat disertai dengan penurunan visus. 6) Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Bentuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman. 7) Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada jaringan saraf yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk leproma dan tuberkuloid ada bentuk peralihan yang bersifat stabil dan mudah berubah-ubah.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

8) Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit dalam waktu yang cukup lama. Namun ada dugaan bahwa penyakit ini juga dapat ditularkan melalui udara pernapasan dari pasien yang selaput hidungnya terkena. Tidak semua orang yang berkontak dengan kuman penyebab akan menderita penyakit kusta. Hanya sedikit saja yang kemudian tertulari, sementara yang lain mempunyai kekebalan alami. 9) Masa inkubasi penyakit ini dapat sampai belasan tahun. Gejala awal penyakit ini biasanya berupa kelainan kulit seperti panau yang disertai hilangnya rasa raba pada kelainan kulit tersebut. d. Diagnosis Dari gejala klinik dan tes sensitivitas. e. Penatalaksanaan Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan pengobatan di lapangan: 1) PB ( Pauci Bacillery), lesi <5, tidak ditemukan basil 2) MB ( Multi Bacillary), lesi >5, ditemukan basil Prinsip Multi Drug Treatment (pengobatan kombinasi Regimen MDTStandar WHO) 1) Regimen MDT-Pausibasiler a) Rifampisin - Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi - Berat badan < 35 kg : 450 mg/bulan - Anak 10 14 tahun : 450 mg/bulan (1215 mg/kgBB/hari) Rifampisin: diminum di depan petugas (Hari pertama) - Dewasa : 600 mg/bulan - Anak 10 14 tahun : 450 mg/bulan - Anak 5 9 tahun : 300 mg/bulan Dapson : - Dewasa : 100 mg/hari - Anak 10 14 tahun : 50 mg/hari - Anak 5 9 tahun : 25 mg/hari Diberikan dalam jangka waktu 6 9 bulan. b) Dapson - Dewasa : 100 mg/hari - Berat badan < 35 kg : 50 mg/hari

183

184
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Anak 10 14 tahun : 50 mg/hari (12 mg/kgBB/hari) Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 regimen dengan jangka waktu maksimal 9 bulan.

f.

2) Regimen MDT-Multibasiler a) Rifampisin - Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi Dilanjutkan dengan 50 mg/hari - Anak 1014 tahun : 450 bulan (12 15 mg/kgBB/bulan) Rifampisin: diminum di depan petugas (Hari pertama) - Dewasa : 600 mg/bulan - Anak 1014 tahun : 450 mg/bulan - Anak 59 tahun : 300 mg/bulan Klofazimin : - Dewasa : 300 mg/bulan - Anak 1014 tahun : 150 mg/bulan - Anak 59 tahun : 100 mg/bulan Dapson : - Dewasa : 100 mg/hari - Anak 1014 tahun : 50 mg/hari - Anak 59 tahun : 25 mg/hari Diberikan sebanyak 12 blister dengan jangka waktu 1218 bulan. b) Klofazimin - Dewasa : 300 mg/bulan, disupervisi Dilanjutkan dengan 50 mg/hari - Anak 1014 tahun : 200 mg/bulan, disupervisi. Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari c) Dapson - Dewasa : 100 mg/hari. - Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari - Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(12 mg/hari/kgBB/hari) - Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan jangka waktu maksimal 36 bulan sedapat mungkin sampai apusan kulit menjadi negatif. Bila sudah mengenai mata, dapat dilakukan pembersihan sekret disertai pemberian kloramfenikol tetes mata 1-2 tetes tiap 6 jam. Bila terjadi penurunan visus, rujuk ke spesialis mata.

KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk pengobatan dan memutuskan rantai penularan. 2) Efek samping klofazimin: kulit berwarna coklat kemerahan dan akan pulih pasca pengobatan. 3) Pencegahan: melaporkan kasus kusta yang ditemukan. 4) Bila ditemukan kasus reaksi kusta segera dirujuk. 5) Berikan motivasi bahwa penyakit kusta dapat sembuh total. 6) Perlu diberikan pemeriksaan pada seluruh anggota keluarga pasien kusta. 7) Alasan rujukan: bila terjadi penurunan visus, rujuk ke spesialis mata.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

185

186
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

60. LEPTOSPIROSIS Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 100

ICD X : A27

a. Definisi Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian. b. Penyebab Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae. Bakteri ini berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya berbentuk seperti kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung. Ukuran bakteri ini 0,1 m x 0,6 m sampai 0,1 m x 20 m. c. Cara Penularan Kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah tercemar oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi leptospira. d. Gambaran Klinis Masa inkubasi Leptospirosis antara 2-30 hari, biasanya ratarata 7-10 hari. Manifestasi klinis dari Leptospirosis sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan yang berat dan berpotensi fatal (weills syndrome). Terdapat dua sindroma manifestasi klinis: 1) Leptospirosis ringan/leptospirosis anikterik Dari seluruh kasus Leptospirosis yang ada di masyarakat sebanyak 85 90% merupakan Leptospirosis anikterik. Sering terjadi salah diagnosa karena menyerupai influenza, demam dengue atau penyakit demam akut lainnya. 2) Leptospirosis berat/Leptospirosis ikterik Diperkirakan sekitar 515 % merupakan kasus Leptospirosis berat dimana perjalanan kliniknya sering progresif dan menyebabkan gangguan multi organ, yaitu :
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

a) Stadium Pertama Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; nyeri kepala; menggigil; mialgia; mual, muntah dan anoreksia; nyeri kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan fotopobia; nyeri otot terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha, sklera ikterik dan conjunctival suffusion atau mata merah dan pembesaran kelenjar getah bening, limpa maupun hati; kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis. Gejala yang khas: konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata); rasa nyeri pada otot-otot. b) Stadium Kedua Terbentuk antibodi di dalam tubuh pasien; gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama; apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis; stadium ini terjadi biasanya antara minggu ke-2 dan ke4. e. Diagnosis Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis yaitu: 1) Kasus Suspek a) Demam akut (>38.50C) dengan atau tanpa sakit kepala hebat disertai mialgia (pegal-pegal), malaise (lemah) dan/atau Conjuctival suffusion, b) Ada riwayat kontak dengan faktor risiko (hewan terinfeksi atau lingkungan yang tercemar bakteri Leptospira) dalam 2 minggu sebelumnya: (1) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/ urine tikus saat terjadi banjir. (2) Kontak dengan sungai, danau dalam aktivitas mencuci, mandi berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dll. (3) Kontak di persawahan atau perkebunan berkaitan dengan pekerjaan sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak mengunakan alas kaki. (4) Kontak erat dengan binatang lain seperti sapi, kambing, anjing yang dinyatakan secara Laboratorium terinfeksi Leptospira.

187

188
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(5) Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan cairan


infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan lain seperti plasenta, cairan amnion, menangani ternak seperti memerah susu, menolong hewan melahirkan dan lainnya. (6) Memegang/menangani spesimen hewan/manusia yang diduga terinfeksi Leptospirosis dalam laboratorium atau tempat lainnya. (7) Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber infeksi seperti: dokter hewan, dokter, perawat, pekerja di pemotongan hewan, petani, pekerja perkebunan, petugas kebersihan di rumah sakit, pembersih selokan, pekerja tambang, pekerja tambak udang/ikan air tawar, tentara, pemburu. (8) Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan hobi dan olah raga seperti: pendaki gunung, memancing, berenang, arung jeram, trilomba juang (triathlon) dan lainnya. 2) Kasus Probable Di Unit Pelayanan Kesehatan Dasar Kasus suspek disertai minimal dua dari gejala: a) Nyeri betis (Calf tenderness) b) Batuk dengan atau tanpa batuk darah c) Ikterus (kulit kuning) d) Manifestasi perdarahan (petekie, mimisan, gusi berdarah, melena, hematoschezia) e) Iritasi meningeal f) Anuria/oligouria dan atau proteinuria g) Sesak napas h) Aritmia jantung i) Ruam kulit Penderita segera dirujuk ke Rumah Sakit 3) Kasus Konfirmasi Kasus suspek atau kasus probable disertai salah satu dari berikut ini a) Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik b) PCR positif c) Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal d) Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel 189

e) Apabila tidak tersedia fasilitias laboratorium : Hasil positif dengan menggunakan dua tes diagnostik cepat (RDT) yang berbeda dapat dianggap sebagai kasus confirm f. Penatalaksanaan 1) Kasus suspek ( dapat ditangani di Unit Pelayanan Dasar): a) Pilihan: Doksisiklin 2x100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin. b) Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin): Amoksisilin 3x500 mg/hari pada orang dewasa atau 10-20 mg/kgBB tiap 8 jam pada anak selama 7 (tujuh) hari. c) Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid. 2) Kasus probable: a) Seftriakson 1-2 gram i.v. per hari selama7 (tujuh) hari. b) Penisilin Prokain 1,5 juta unit i.m. tiap 6 jam selama7 (tujuh) hari c) Ampisilin 4 x 1 g i.v. per hari selama 7 (tujuh) hari d) Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi: gagal ginjal, perdarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih, serebral), syok dan gangguan neurologi. g. KIE Infeksi Leptospirosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan lingkungan yang terkontaminasi urin rodent (tikus), binatang karier/pembawa atau binatang sakit Leptospirosis. 1) Hindari kontak langsung dan tidak langsung dengan kencing binatang. 2) Hindari berenang atau berendam di sungai/danau yang potensial terkontaminasi urin binatang dan gunakan alat pelindung saat bekerja sehingga terhindar dari paparan air yang terkontaminasi. 3) Pada keadaan luka atau kulit lecet sebaiknya gunakan salep antiseptik sebelum dan sesudah masuk ke air. 4) Pekerja yang berhubungan dengan kebersihan selokan, perkebunan, pertanian dan peternakan sebaiknya menggunakan sarung tangan dan sepatu boots. 5) Air tergenang berpotensi terkontaminasi kuman Leptospira dan dapat menjadi sumber penularan Leptospirosis pada manusia. 6) Masyarakat yang tinggal di wilayah banjir dan mengalami demam dan nyeri otot terutama di bagian betis sebaiknya diwaspadai kemungkinan terinfeksi Leptospirosis.

190
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. 61. LUKA BAKAR Kompetensi : 4 dan 3A Laporan Penyakit : 1901 e. Penatalaksanaan Sekitar 85% luka bakar bersifat ringan dan pasiennya tidak perlu dirawat di rumah sakit. Untuk membantu menghentikan luka bakar dan mencegah luka lebih lanjut, sebaiknya lepaskan semua pakaian pasien. Kulit segera dibersihkan dari bahan kimia (termasuk asam, basa dan senyawa organik) dengan mengguyurnya dengan air. Luka Bakar Ringan Jika memungkinkan, luka bakar ringan harus segera dicelupkan ke dalam air dingin. Luka bakar kimia sebaiknya dicuci dengan air sebanyak dan selama mungkin. Di tempat praktek dokter atau di ruang emergensi, luka bakar dibersihkan secara hati-hati dengan sabun dan air untuk membuang semua kotoran yang melekat. Jika kotoran sukar dibersihkan, daerah yang terluka diberi obat bius dan digosok dengan sikat. Lepuhan yang telah pecah biasanya dibuang. Jika daerah yang terluka telah benar-benar bersih, maka dioleskan krim antibiotik (misalnya perak sulfadiazin). Untuk melindungi luka dari kotoran dan luka lebih lanjut, biasanya dipasang verban. Sangat penting untuk menjaga kebersihan di daerah yang terluka, karena jika lapisan kulit paling atas (epidermis) mengalami kerusakan maka bisa terjadi infeksi yang dengan mudah akan menyebar. Jika diperlukan, untuk mencegah infeksi bisa diberikan antibiotik, Untuk mengurangi pembengkakan, lengan atau tungkai yang mengalami luka bakar biasanya diletakkan/digantung dalam posisi yang lebih tinggi dari jantung. Pembidaian harus dilakukan pada persendian yang mengalami luka bakar derajat II atau III, karena pergerakan bisa memperburuk keadaan persendian. Mungkin perlu diberikan obat pereda nyeri selama beberapa hari. Pemberian booster tetanus disesuaikan dengan status imunisasi pasien. f. KIE Pasien langsung dirujuk jika: 1) Luka bakar yang sedang, berat atau membahayakan nyawa pasien 2) Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki. 3) Terkena arus listrik dan sambaran petir. 4) Pasien akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik dan benar di rumah.

ICD X : S02,T02

a. Definisi Luka Bakar adalah cedera pada jaringan tubuh akibat panas, bahan kimia maupun arus listrik. b. Penyebab Akibat panas, bahan kimia maupun arus listrik. c. Gambaran Klinis Beratnya luka bakar tergantung kepada jumlah jaringan yang terkena dan kedalaman luka: 1) Luka bakar derajat I Merupakan luka bakar yang paling ringan. Kulit yang terbakar menjadi merah, nyeri, sangat sensitif terhadap sentuhan dan lembab atau membengkak. Jika ditekan, daerah yang terbakar akan memutih; belum terbentuk lepuhan. 2) Luka bakar derajat II Menyebabkan kerusakan yang lebih dalam. Kulit melepuh, dasarnya tampak merah atau keputihan dan terisi oleh cairan kental yang jernih. Jika disentuh warnanya berubah menjadi putih dan terasa nyeri. 3) Luka bakar derajat III Menyebabkan kerusakan yang paling dalam. Permukaannya bisa berwarna putih dan lembut atau berwarna hitam, hangus dan kasar. Kerusakan sel darah merah pada daerah yang terbakar bisa menyebabkan luka bakar berwarna merah terang. Kadang daerah yang terbakar melepuh dan rambut/bulu di tempat tersebut mudah dicabut dari akarnya. Jika disentuh, tidak timbul rasa nyeri karena ujung saraf pada kulit telah mengalami kerusakan. Jika jaringan mengalami kerusakan akibat luka bakar, maka cairan akan merembes dari pembuluh darah dan menyebabkan pembengkakan. Kehilangan sejumlah besar cairan karena perembesan tersebut bisa menyebabkan terjadinya syok. Tekanan darah sangat rendah sehingga darah yang mengalir ke otak dan organ lainnya sangat sedikit. d. Diagnosis
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

191

192
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5) Pasien berumur < 2 tahun atau > 70 tahun. 6) Terjadi luka bakar pada organ dalam.

62. MALARIA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 dan 3B : 0503

ICD X : B54

a. Definisi Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. b. Penyebab Ada 4 jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. c. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi berkisar 1-2 minggu. 2) Keluhan utama pada malaria tanpa komplikasi: demam, menggigil, berkeringat dapat disertai sakit kepala, mual, muntah diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. 3) Gejala pada malaria dengan komplikasi (malaria berat): gangguan kesadaran, keadaan umum yang lemah, kejangkejang, panas sangat tinggi, perdarahan, warna air seni seperti teh tua dan gejala lainnya. 4) Malaria falciparum yang sering menyebabkan terjadinya malaria dengan komplikasi (malaria berat) d. Diagnosis Diagnosis malaria dilakukan dengan pemeriksaan yaitu : 1) Pemeriksaan dengan mikroskop Merupakan Gold standard untuk diagnosis pasti malaria. Dilakukan dengan menemukan parasit dalam pulasan darah yang diwarnai Giemsa dan diperiksa dengan mikroskop. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis. 2) Rapid Diagnostik Test (RDT) dengan mekanisme kerja berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, yang bermanfaat digunakan pada unit gawat darurat, saat kejadian luar biasa dan daerah terpencil yang tidak terdapat fasilitas laboratorium. Pemeriksaan ini hanya digunakan pada fasilitas kesehatan yang tidak ada pemeriksaan mikroskopis dan dalam keadaan pasien dicurigai dengan malaria berat.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

193

194
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan Obat malaria hanya diberikan setelah ada hasil pemeriksaan konfirmasi dan harus tuntas. Pengobatan malaria tanpa komplikasi: 1) Malaria Falciparum (Tabel 22 dan Tabel 23) a) Lini I: DihidroartemisininPiperakuin atau Artesunat+ Amodiakuin dosis tunggal selama 3 hari + primakuin hari I Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan Piperakuin: 1632 mg/ kgbb/hari. Atau Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari Ditambah dengan: Primakuin: 0,75 mg/kgbb/hari (1) Primakuin tidak boleh diberikan pada Ibu hamil dan bayi <1 tahun dan penderita G6PD Tabel 22. Pengobatan Malaria Falciparum (1)
Jumlah tablet perhari menurut berat badan Hari Jenis obat <5 kg 6-10 kg 0 -1 2 -11 bulan bulan 1/4 1/2 11- 17 kg 1-4 tahun 1 3/4 18-30 kg 5-9 Tahu n 1 1 31-40 kg 10 -14 tahun 2 2 41-59 kg > 15 tahun 3 2 > 60 kg > 15 tahun

b) Lini II: Kina+Tetrasiklin/ Doksisiklin selama 7 hari + Primakuin hari I Kina : 10 mg/kgbb/kali (tiap 8 jam) selama 7 hari Doksisiklin : 3,5 mg/kgbb/hari diberikan tiap 12 jam ( > 15 tahun) Doksisiklin : 2,2 mg/kgbb/hari diberikan tiap 12 jam (8-14 tahun) Tetrasiklin : 45 mg/kgbb/kali (tiap 6 jam) selama 7 hari Primakuin : 0,75 mg/kgbb/hari (1) Doksisiklin/Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak dengan umur di bawah 8 tahun dan ibu hamil (2) Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan bayi < 1 tahun dan penderita G6PD. (3) Lini kedua diberikan bila apabila pada pemantauan di hari ke 414 gejala klinis semakin memburuk atau jumlah parasit menetap/semakin banyak 2) Malaria vivax (Tabel 24 dan 25) a) Lini I : DihidroartemisininPiperakuin atau Artesunat+Amodiakuin dosis tunggal selama 3 hari + primakuin selama 14 hari Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan Piperakuin: 1632 mg/kgbb/hari Atau Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari Ditambah dengan Primakuin: 0,25 mg/kgbb/hari selama 14 hari (1) Primakuin tidak boleh diberikan pada Ibu hamil dan bayi <1 tahun dan penderita G6PD. Tabel 24. Pengobatan Malaria Vivax (1)

1-3 1

DHP Prima kuin

4 3

Tabel 23. Pengobatan Malaria Falciparum (2)


Jumlah tablet perhari menurut berat badan Hari Jenis obat <5kg 0 -1 bulan 1-3 Artesunat Amodia kuin 1 6-10 kg 2 -11 bulan 11-17 kg 1-4 tahun 1 1 3/4 18-30 kg 5-9 tahun 31-40 kg 10-14 tahun 41-49 kg > 15 tahun 3 3 50-59 kg > 15 tahun 4 4 2 >60 kg > 15 tahun 4 4 3

Hari Jenis obat 1-3 DHP

Jumlah tablet perhari menurut berat badan <5 kg 6-10 11- 17 18-30 31-40 41-59 > 60 kg kg kg kg kg kg 0 -1 Bulan 1/4 2 -11 Bulan 1/2 1-4 5 - 9 10 -14 Tahun tahun Tahun 1 1 2 1/4 1/2 3/4 > 15 Tahun 3 1 > 15 Tahun 4 1

1 2 1 2 1 2

1-14 Primakuin

Primakuin -

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

195

196
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Tabel 25. Pengobatan Malaria Vivax (2)


Jumlah tablet perhari menurut berat badan <5kg Hari Jenis obat 6-10kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg41-49 kg50-59 kg 60 kg 5-9 tahun 1 1 1/2 10 -14 Tahun 2 2 > 15 > 15 Tahun Tahun 3 3 1 4 4 1 > 15 Tahun 4 4 1 1-14 1-3

Artesunat

1 1

2 2

3 3

4 4 1

4 4 1

Amodiakuin Primakuin -

0 -1 2 -11 1 - 4 Bulan Bulan Tahun 1 1

Artesunat 1-3

Amodiakuin 1-14 P vivax Primakuin -

4) Malaria dalam kehamilan Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan pada orang dewasa lainnya, perbedaan adalah pada pemberian obat malaria berdasarkan umur kehamilan. Pada ibu hamil tidak diberikan Primakuin. Tabel 27. Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil Umur Kehamilan Pengobatan Trimester I (0-3 bulan) Kina tablet selama 7 hari Trimester II (4-6 bulan) ACT tablet selama 3 hari Trimester III (7-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari f. KIE 1) Tujuan Pengobatan adalah membunuh semua parasit malaria yang ada didalam tubuh manusia dan memutus rantai penularan. 2) Efek samping pengobatan: a) Amodiakuin: mual, muntah, sakit kepala, diare. b) Kina: tinnitus, gangguan pendengaran,vertigo, hipotensi, hipoglikemia. 3) Pencegahan: a) Menghindari gigitan nyamuk dengan penggunaan kelambu berinsektisida, repellent, baju lengan panjang dan celana panjang. b) Membersihkan tempat perindukan nyamuk. c) Pengobatan harus diberikan sampai tuntas. d) Alasan rujuk: malaria dengan komplikasi.

b) Lini II : Kina (3x sehari) selama 7 hari + Primakuin selama 14 hari Kina: 10 mg/kgbb/kali (3x sehari) selama 7 hari Primakuin : 0,25 mg/kgbb/hari (1) Lini kedua diberikan bila apabila pada pemantauan di hari ke 428 gejala klinis semakin memburuk atau jumlah parasit menetap/semakin banyak. 3) Malaria mix (malaria falciparum+ malaria vivax) (Tabel 24) Pengobatan diberikan: DihidroartemisininPiperakuin atau Artesunat+Amodiakuin dosis tunggal selama 3 hari+primakuin selama 14 hari Dihidroartemisinin: 24 mg/kgbb/hari dan Piperakuin: 1632 mg/kgbb/ hari, Atau Artesunat: 4 mg/kgbb/hari dan Amodiakuin: 10 mg/kgbb/hari Ditambah dengan Primakuin: 0,25 mg/kgbb/hari selama 14 hari. Tabel 26. Pengobatan Malaria Mix
Jumlah tablet perhari menurut berat badan <5 kg Hari Jenis obat 0 -1 Bulan 1/4 6-10 kg 11- 17 18-30 kg kg 5-9 tahun 1,5 1/2 31-40 kg 10 -14 Tahun 2 3/4 41-59 kg > 15 Tahun 3 1 > 60 kg > 15 Tahun 4 1

2 -11 1 4 Bulan Tahun 1/2 1 1/4

Lihat Buku Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria oleh Subdit Malaria, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL.

1-3 DHP 1-14 Primakuin

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

197

198
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

63. MIGREN Kompetensi Laporan Penyakit

d) Obat profilaksis (keadaan tertentu): propanolol 10 mg tiap 8-12 jam atau asam valproat 500 mg tiap 12 jam. : 3A : 21 ICD X : N13 f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan serangan. 2) Pencegahan: hindari faktor pencetus seperti makanan tertentu (coklat, MSG), ketegangan emosi dan kelelahan fisik. Hal-hal itu harus diidentifikasi. 3) Alasan rujukan: pada kasus migren dengan aura, migren komplikata yang memerlukan terapi profilaksis, migren dengan intensitas dan frekuensi tinggi. 4) Efek samping pengobatan: palpitasi.

a. Definisi Serangan nyeri kepala sesisi yang berulang, beragam beratnya, lamanya dan kekerapannya mungkin merupakan serangan migren. Migren klasik diawali selama + 60 menit. b. Penyebab Vasodilatasi pembuluh darah di otak. c. Gambaran Klinis 1) Nyeri kepala khas berdenyut, unilateral dan bertambah berat setelah aktivitas fisik. 2) Frekuensi lebih dari 5 kali serangan per hari dengan durasi masingmasing 4-72 jam. 3) Pasien mengeluh mual sampai muntah dan terdapat anoreksia, fotofobia atau fenofobia. 4) Migren dengan aura mempunyai gejala tambahan: a) Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral. b) Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual 5 menit dan/atau jenis aura yang lainnya 5 menit. c) Tiap gejala berlangsung 5 menit dan 60 menit. d. Diagnosis 1) Migren tanpa aura 2) Migren dengan aura 3) Status migrenosus e. Penatalaksanaan 1) Hindari faktor pencetus 2) Terapi serangan akut (abortif) 3) Serangan diatasi dengan: a) Obat spesifik: ergotamin tablet 1 mg kombinasi kafein, dosis disesuaikan kondisi penyakit. b) Obat nonspesifik: parasetamol 500 mg atau ibuprofen 400 mg c) Obat penunjang: metoklopramid tablet
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

199

200
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

64. MORBILI (Campak) Kompetensi : 4 dan 3A Laporan Penyakit : 0402

d. Diagnosis Bercak kemerahan terutama pada bagian atas badan. ICD X : B05 e. Penatalaksanaan Penanganan yang benar 1) Bila campaknya ringan, anak cukup dirawat di rumah. Kalau campaknya berat atau sampai terjadi komplikasi maka harus dirawat di rumah sakit. 2) Anak campak perlu dirawat di tempat tersendiri agar tidak menularkan penyakitnya kepada yang lain. Apalagi bila ada bayi di rumah yang belum mendapat imunisasi campak. 3) Beri pasien asupan makanan bergizi seimbang dan cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Makanannya harus mudah dicerna karena anak campak rentan terjangkit infeksi lain seperti radang tenggorokan, flu atau lainnya. Masa rentan ini masih berlangsung 1 bulan setelah sembuh karena daya tahan tubuh pasien yang masih lemah. 4) Pengobatan secara simtomatik sesuai dengan gejala yang ada. 5) Pemberian fortivikasi vitamin A 50.000 UI untuk anak <6 bulan, 100.000 UI untuk anak 6-11 bulan, 200.000 UI untuk anak 12 bulan 5 tahun, untuk mempercepat proses penyembuhan. Untuk pasien dengan gizi buruk diberikan vitamin A 3x. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: pemberian Imunisasi morbili (campak). 3) Alasan rujuk: campak dengan komplikasi.

a. Definisi Morbili ialah penyakit infeksi virus akut yang bermanifestasi dalam 3 stadium yaitu stadium kataral, erupsi dan konvalens. b. Penyebab Penyebab penyakit campak adalah virus campak atau morbili. Pada awalnya, gejala campak agak sulit dideteksi. c. Gambaran Klinis Secara garis besar penyakit campak dibagi menjadi 3 fase: 1) Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung sekitar 1012 hari. Pada fase ini anak sudah mulai terkena infeksi tapi pada dirinya belum tampak gejala apapun. Bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas campak belum keluar. 2) Pada fase kedua (fase prodormal) barulah timbul gejala yang mirip penyakit flu seperti batuk, pilek dan demam. Mata tampak kemerahmerahan dan berair. Bila melihat sesuatu, mata akan silau (fotofobia). Di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 34 hari. Terkadang anak juga mengalami diare. 12 hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 3840,5oC. 3) Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring dengan demam tinggi yang terjadi. Namun bercak tak langsung muncul di seluruh tubuh melainkan bertahap dan merambat. Bermula dari belakang telinga, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Warnanya pun khas; merah dengan ukuran yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Bercak-bercak merah ini dalam bahasa kedokterannya disebut makulopapuler. Biasanya bercak memenuhi seluruh tubuh dalam waktu sekitar 1 minggu, tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing anak. Umumnya jika bercak merahnya sudah keluar, demam akan turun dengan sendirinya. Bercak merah pun makin lama menjadi kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi), lalu rontok atau sembuh dengan sendirinya. Periode ini merupakan masa penyembuhan yang butuh waktu sampai 2 minggu. 201

202
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

65. OTITIS MEDIA AKUT (OMA) Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 1101

ICD X : H65-H66; H72

a. Definisi Otitis Media Akut (OMA) adalah radang akut telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas. b. Penyebab Kuman penyebab OMA adalah bakteri pirogenik seperti: Streptococcus hemolitikus, Pneumococcus atau Haemophylus influenza. c. Gambaran Klinik 1) Keluhan dan gejala yang timbul tergantung dari stadium OMA yaitu: a) Stadium oklusi tuba b) Stadium hiperemis c) Stadium supurasi d) Stadium perforasi e) Stadium resolusi 2) Gejala OMA adalah: a) Anak gelisah atau ketika sedang tidur tiba-tiba terbangun, menjerit sambil memegang telinganya. b) Demam dengan suhu tubuh yang tinggi dan kadang-kadang sampai kejang. c) Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare. d. Diagnosis Tanda OMA adalah: 1) OMA Stadium oklusi tuba Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani suram, refleks cahaya memendek dan menghilang. 2) OMA Stadium hiperemis Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani hiperemis dan edem serta refleks cahaya menghilang. 3) OMA Stadium supurasi Keluhan dan gejala klinik bertambah hebat. Pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani menonjol keluar (bulging) dan ada bagian yang berwarna pucat kekuningan. 4) OMA Stadium perforasi
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Anak yang sebelumnya gelisah menjadi lebih tenang, demam berkurang. Pada pemeriksaan otoskopik tampak cairan di liang telinga yang berasal dari telinga tengah. Membran timpani perforasi. 5) Stadium resolusi Pemeriksaan otoskopik, tidak ada sekret/kering dan membran timpani berangsur menutup. e. Penatalaksanaan Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan stadiumnya. 1) Stadium oklusi tuba a) Berikan antibiotik selama 7 hari: Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 8 jam atau Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6 jam. b) Obat tetes hidung nasal dekongestan. c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi. d) Antipiretik. 2) Stadium hiperemis a) Berikan antibiotik selama 1014 hari: Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 8 jam atau Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/KgBB, tiap 6 jam. b) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari. c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi. d) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya. 3) Stadium supurasi. a) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan. Berikan antibiotik ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral selama 3 hari. Bila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian antibiotik peroral selama 14 hari. b) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis THT untuk dilakukan miringotomi. 4) Stadium perforasi a) Berikan antibiotik selama 14 hari. b) Cairan telinga dibersihkan dengan Solutio H2O2 3% 23 kali. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi

203

204
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pencegahan: Pada stadium supurasi dan perforasi, hindari berenang atau masuknya air ke dalam hidung dan telinga. 3) Alasan rujuk: bila tidak ada perbaikan, ada komplikasi, atau diperlukan miringotomi rujuk ke dokter spesialis THT.

66. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK) Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 1101 ICD X : H65-H66; H72 a. Definisi Istilah sehari-hari untuk OMSK dikenal sebagai congek. Dalam perjalanan penyakit ini dapat berasal dari OMA stadium perforasi yang berlanjut, sekret tetap keluar dari telinga tengah dalam bentuk encer, bening ataupun mukopurulen. Proses hilang timbul atau terus menerus lebih dari 2 bulan berturut-turut. Tetap terjadi perforasi pada membran timpani. 1) Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah : a) pengobatan terlambat diberikan dan tidak adekuat b) virulensi kuman tinggi c) daya tahan tubuh/gizi/higiene kurang 2) OMSK dibagi menjadi 2 tipe : a) OMSK tipe benigna/mukosa/aman b) OMSK tipe maligna/tulang/bahaya Otitis Media sendiri adalah suatu infeksi yang mengenai telinga bagian tengah (lihat gambar penampang telinga). Infeksi ini disertai dengan pengeluaran cairan (dapat bening atau keruh) dari liang telinga sehingga disebut supuratif. Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap selama 2 bulan atau lebih. Apabila terjadi kekambuhan setelah sebelumnya terjadi penyembuhan maka disebut mengalami eksaserbasi akut (Acute exacerbation). Pada pemeriksaan telinga didapatkan adanya gendang telinga yang keruh atau robek. Kelainan ini dapat terjadi pada 1 telinga atau dapat mengenai 2 telinga. b. Penyebab Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus (26%), Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidis (10,3%), gram positif lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%). c. Gambaran klinik Umumnya pasien mendapat infeksi telinga setelah menderita infeksi saluran napas atas seperti influenza atau sakit tenggorokan. Melalui saluran

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

205

206
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

yang menghubungkan antara hidung dan telinga (tuba Auditorius), infeksi di saluran napas atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai telinga. d. Diagnosis 1) MSK tipe benigna/aman Proses peradangan hanya terbatas pada mukosa. Perforasi membran timpani terletak di sentral, jarang menimbulkan komplikasi berbahaya. 2) OMSK tipe maligna/bahaya Proses peradangan mengenai tulang, perforasi membran timpani terletak di attic atau marginal dan tampak kolesteatoma. Tanda klinis lainnya: a) terlihat adanya abses/fistula retroaurikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga yang berasal dari telinga tengah. b) terdapat sekret purulen berbau busuk yang khas OMSK tipe bahaya dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi intrakranial. e. Penatalaksanaan 1) OMSK tipe benigna/aman a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H2O2 3 %, 2-3 kali b) Antibiotik selama 7 hari: (1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 8 jam atau (2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 6 jam c) Antihistamin apabila ada tanda-tanda alergi d) Nasehatkan agar tidak berenang dan tidak mengorek telinga e) Bila selama 2 bulan tidak kering atau hilang timbul, rujuk ke dokter spesialis THT. 2) OMSK tipe maligna / bahaya Apabila belum memungkinkan dirujuk ke spesialis THT, dilakukan terapi sebagai berikut: a) Bila aktif, berikan cuci telinga berupa solutio H2O2 3 %, 2-3 kali b) Antibiotik selama 14 hari: (1) Amoksisilin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 8 jam atau (2) Eritromisin: Dewasa 500 mg; Anak 10 mg/kgBB, tiap 6 jam. f. KIE 207

1) Tujuan pengobatan: eradikasi penyakit, dan mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: hindari masuknya air ke dalam telinga. 3) Alasan rujukan ke dokter spesialis THT: a) apabila telinga terus berair selama pengobatan b) terdapat abses retroaurikuler dilalukan insisi dahulu dan segera rujuk.

208
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

67. PAROTITIS EPIDEMIKA Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 04

obat kumur yang baik untuk membersihkan selaput lendir mulut. Usahakanlah minum yang banyak dan mengunyah permen karet. ICD X : B26 f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: pencegahan dan penyembuhan penyakit. 2) Pencegahan: hindari kontak langsung dengan pasien, melakukan vaksinasi.

a. Definisi Gondongan (Parotitis Epidemika) adalah penyakit infeksi akut dan menular yang disebabkan virus. Virus menyerang kelenjar air liur di mulut, terutama kelenjar parotis pada sisi muka tepat di bawah dan di depan telinga. b. Penyebab Virus Mumps. c. Gambaran Klinis 1) Penyakit ini paling sering terjadi pada usia 5-15 tahun. Gejalanya, nyeri sewaktu mengunyah dan menelan, apalagi bila menelan cairan asam seperti cuka dan air jeruk. 2) Pembengkakan nyeri terjadi pada sisi muka dan di bawah telinga. Kelenjar-kelenjar di bawah dagu juga akan lebih besar dan membengkak. Pasien juga merasa demam. Suhu tubuh dapat meningkat hingga 39,5oC. Komplikasi mungkin terjadi pada anak laki-laki pada umur belasan tahun, nyeri pada perut dan alat kelamin. Pada pasien remaja perempuan, nyeri akan terasa juga di bagian payudara. Komplikasi serius terjadi jika virus gondong menyerang otak dan susunan saraf. Ini menyebabkan radang selaput otak dan jaringan selaput otak. 3) Penularan melalui kontak langsung dengan pasien, seperti tersentuh cairan muntah, air seni atau melalui udara ketika pasien bersin/batuk. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik. e. Penatalaksanaan 1) Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan secara aktif dengan pemberian vaksin parotitis atau secara pasif dengan pemberian gama globulin. 2) Istirahat di tempat tidur hingga suhu tubuh normal kembali. Makanan yang dikonsumsi adalah yang cair dan lunak. Bila perlu beri obat penurun panas dan kompres pada bagian tubuh yang nyeri. Pakailah
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

209

210
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

68. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) Kompetensi : 3A; 3B Laporan Penyakit : 1404 ICD X : J60-J65 a. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. b. Gambaran Klinis 1) Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan. 2) Perkembangan gejala bersifat progresif lambat. 3) Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan dan tempat kerja). 4) Sesak pada saat melakukan aktivitas. 5) Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal). c. Diagnosis dan Klasifikasi (Derajat) PPOK Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, sedang dan berat). 1) Diagnosis PPOK Klinis ditegakkan apabila: a) Anamnesis: (1) Ada faktor risiko: (a) Usia (pertengahan) (b) Riwayat pajanan, misal asap rokok, polusi udara/tempat kerja. (2) Gejala: Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. (a) Batuk kronik. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. (b) Berdahak kronik. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. (c) Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak (Tabel 28). Tabel 28. Skala Sesak Napas berdasarkan Keterbatasan aktivitas (ATS dyspnea index) Skala sesak 1 2 3 4 5 Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat Sesak timbul bila berjalan cepat atau berjalan mendaki Berjalan lebih lambat dibanding orang sebaya, karena sesak Harus berhenti untuk bernapas setelah berjalan 50 meter Sesak napas saat memakai/melepaskan pakaian b) Pemeriksaan fisik: Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: (1) Inspeksi (a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong) (b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup) (c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas (d) Pelebaran sela iga

211

212
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Perkusi Hipersonor (3) Auskultasi (a) Fremitus melemah, (b) Suara napas vesikuler melemah atau normal (c) Ekspirasi memanjang (d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) (e) Ronki c) Pemeriksaan penunjang: (1) Pemeriksaan penunjang pada diagnosis PPOK antara lain : (a) Radiologi (foto toraks) (b) Spirometri (c) Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik) (d) Analisa gas darah (e) Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi) Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. (2) Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan: (a) Paru hiperinflasi atau hiperlusen (b) Diafragma mendatar (c) Corakan bronkovaskuler meningkat (d) Bulla (e) Jantung pendulum Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua. Catatan: Untuk menegakkan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya asma bronkial, gagal jantung kongestif, TB Paru dan sindrom obstruktif pasca TB Paru. Penegakan diagnosis PPOK secara klinis dilaksanakan di puskesmas atau rumah sakit tanpa fasilitas spirometri. Sedangkan penegakan diagnosis dan 213

penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2005, dilaksanakan di rumah sakit/fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki spirometri. 2) Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI)/Gold tahun 2008 (Tabel 29). Tabel 29. Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD 2008
Derajat Derajat I : PPOK Ringan Derajat II : PPOK Sedang Klinis Sesak kadang-kadang tapi tidak selalu, batuk kronik dan berdahak Perburukan dari penyempitan jalan napas, ada sesak napas terutama pada saat exercise Perburukan penyempitan jalan napas yang semakin berat, sesak napas bertambah, kemampuan exercise berkurang, berdampak pada kualitas hidup Penyempitan jalan napas yang berat Faal Paru VEP1/ KVP < 70 %. VEP1 80% prediksi VEP1/KVP < 70 % 50% VEP1 < 80% prediksi Keterangan Pasien belum menyadari terdapatnya kelainan fungsi paru Pada kondisi ini pasien datang berobat, karena eksaserbasi atau keluhan pernapasan kronik

Derajat III PPOK Berat

VEP1/KVP < 70 % 30% VEP1 < 50% prediksi

Derajat IV: PPOK Sangat Berat

VEP1/ KVP < 70 % VEP1 < 30%. prediksi atau VEP1 < 50% prediksi dengan gagal napas kronik

Sering disertai komplikasi. Pada kondisi ini kualitas hidup rendah dan sering disertai eksaserbasi berat / mengancam jiwa

Keterangan:

VEP1 KVP

= Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 = Kapasitas Vital Paksa

d. Penatalaksanaan

214
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana eksaserbasi, masing-masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya (Lihat Buku Penemuan dan Tatalaksana PPOK). Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut: 1) Pemberian obat obatan a) Bronkodilator Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi (MDI), kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik atau preparat tidak tersedia/tidak terjangkau. Bronkodilator diberikan secara rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten) Ada tiga golongan bronkodilator yaitu Agonis -2 (salbutamol), Antikolinergik (ipratropium bromide), dan Metilxantin (aminofilin). Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator mono b) Anti inflamasi Steroid, pada: PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid PPOK dengan FEV1 <50% prediksi (stadium lIB dan III) Eksaserbasi akut. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik. Pilihan utama: metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. c) Obat-obat tambahan lain 1) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator): ambroksol, karbosistein, gliserol iodida Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental. 2) Antioksidan: N-asetil-sistein 3) Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin 4) Antitusif: tidak rutin Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi. 5) Vaksinasi: influenza, pneumokokus 6) Antibiotik. Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat. 215

2) Pengobatan penunjang a) Rehabilitasi: latihan fisik, latihan endurance, Chest physiotherapy rehabilitasi psikososial b) Edukasi c) Berhenti merokok d) Latihan fisik dan respirasi e) Nutrisi: Overweight maupun underweight adalah masalah. Penurunan BMI adalah faktor risiko tergantung pada mortalitas pasien PPOK. Pasien yang mengalami kesulitan bernapas saat makan disarankan makan dalam jumlah kecil tapi sering. Sedangkan pada pasien yang kehilangan berat badan, dengan memperbaiki keadaan nutrisi, dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan, diet rendah karbohidrat 3) Terapi oksigen Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati hati dapat menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup. Tata laksana oksigen jangka panjang (>15 jam sehari), yaitu pada pasien dengan exertional hypoxemia dan nocturnal hypoxemia 4) Ventilasi mekanik Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat. 5) Operasi paru Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara maju). 6) Vaksinasi influenza Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influenza diberikan pada: a) Pasien usia > 60 tahun b) PPOK sedang dan berat. e. KIE Indikasi rujuk atau rawat inap di rumah sakit: 1) Peningkatan intensitas gejala seperti sesak napas 2) PPOK berat sebelumnya 3) Onset dari tanda-tanda fisik baru seperti sianosis, edema peripheral

216
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4) Kegagalan respon dari eksaserbasi terhadap terapi awal. 5) Komorbiditas signifikan 6) Eksaserbasi sering 7) Aritmia yang baru timbul 8) Diagnosis tidak jelas 9) Usia tua 10) Perawatan rumah tidak adekuat

69. PERDARAHAN POST PARTUM Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1702

ICD X : O46

a. Definisi Perdarahan post partum adalah perdarahan melebihi 500 mL yang terjadi setelah bayi lahir. Perdarahan post partum dini yaitu perdarahan setelah bayi lahir dalam 24 jam pertama persalinan dan perdarahan post partum lanjut yaitu perdarahan setelah 24 jam persalinan. b. Penyebab Perdarahan post partum dapat disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta dan kelainan pembekuan darah. c. Gambaran Klinis Dalam persalinan sukar untuk menentukan jumlah darah secara akurat karena tercampur dengan air ketuban dan serapan pada pakaian atau kain alas. Oleh karena itu bila terdapat perdarahan lebih banyak dari normal, sudah dianjurkan untuk melakukan pengobatan sebagai perdarahan post partum. d. Diagnosis Gejala, tanda dan diagnosis perdarahan post partum dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Gejala, Tanda dan Diagnosis Perdarahan Post Partum
DIAGNOSIS KERJA Atonia Uterus tidak berkontraksi dan Syok lembek Bekuan darah pada serviks atau uteri Perdarahan segera setelah bayi posisi terlentang akan lahir menghambat aliran darah ke luar GEJALA DAN TANDA TANDA DAN GEJALA LAIN Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir Uterus kontraksi dan keras Plasenta lengkap Pucat Lemah Menggigil Robekan jalan lahir

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

217

218
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat traksi menit berlebihan Perdarahan segera (P3) Inversio uteri akibat tarikan Uterus berkontraksi dan keras Perdarahan lanjutan Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap Perdarahan segera (P3) Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi masa Tampak tali pusat (bila plasenta belum lahir) Sub-involusi uterus Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus Perdarahan Lokhia mukopurulen dan berbau

Retensio plasenta

j)

Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral. k) Antibiotik dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan. 2) Pengelolaan Khusus a) Pada Puskesmas non PONED: (1) Stabilisasi (2) Segera rujuk ke Puskesmas PONED atau RS terdekat b) Pada Puskesmas PONED: dikelola sesuai diagnosis kerja.

Tertinggalnya sebagian Uterus berkontraksi tapi plasenta atau ketuban tinggi fundus tidak berkurang Inversio uteri Neurogenik syok Pucat dan limbung Endometritis atau sisa Anemia fragmen plasenta (terinfeksi Demam atau tidak) Late post partum hemorrhage Perdarahan post partum sekunder

f. Diagnosis kerja 1) Atonia Uteri


Atonia uteri terjadi bila miometrium tidak berkontraksi. Uterus menjadi lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas perlekatan plasenta terbuka lebar. Atonia merupakan penyebab tersering perdarahan post partum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua perdarahan post partum disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan post partum disebabkan atonia uteri harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup: a) Hal-hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal seperti pada polihidramnion, kehamilan kembar atau makrosomi b) Persalinan lama c) Persalinan terlalu cepat d) Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin e) Infeksi intrapartum f) Paritas tinggi. Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi yang berisiko ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya atonia uteri post partum. Meskipun demikian, 20% atonia uteri post partum dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor risiko ini. Penting bagi semua penolong persalinan untuk mempersiapkan diri dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah yang mungkin terjadi selama proses persalinan. Jika tidak mempunyai kemampuan dan fasilitas, semua keadaan di atas sebaiknya segera dirujuk ke dokter spesialis obstretik ginekologi Rumah Sakit.

e. Pengelolaan 1) Pengelolaan Umum a) Selalu siapkan tindakan gawat darurat b) Tata laksana persalinan kala III secara aktif c) Minta pertolongan pada petugas lain untuk membantu bila dimungkinkan d) Lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu meliputi kesadaran nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu e) Jika terdapat syok lakukan segera penanganan f) Periksa kandung kemih, bila penuh kosongkan g) Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebab perdarahan h) Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual. i) Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

219

220
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu: a) Menyuntikkan Oksitosin (1) Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal. (2) Menyuntikkan Oksitosin 10 UI secara intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah. b) Peregangan Tali Pusat Terkendali (1) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 510 cm dari vulva atau menggulung tali pusat. (2) Meletakkan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 510 cm dari vulva. (3) Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial. c) Mengeluarkan plasenta (1) Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bawah kemudian ke atas sesuai dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva. (2) Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali klem hingga berjarak 510 cm dari vulva. (3) Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit, suntikkan ulang oksitosin i.m. 10 UI . (4) Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh. (5) Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual. (6) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban. d) Masase Uterus Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian 221

palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras). e) Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan. (1) Kelengkapan plasenta dan ketuban. (2) Kontraksi uterus. (3) Perlukaan jalan lahir. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Jenis Uterotonika Dan Cara Pemberiannya JENIS DAN OKSITOSIN ERGOMETRIN CARA Dosis dan cara i.v. : 20 UI dalam 1 L i.m. atau i.v. pemberian larutan garam (lambat) : 0.2 mg fisiologis dengan tetesan cepat i.m. : 10 UI Dosis lanjutan i.m. : 20 UI dalam 1 L Ulangi 0.2 mg i.m. larutan garam fisiologis setelah 15 menit dengan 40 tetes/menit Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5 per hari larutan dengan Oksitosin dosis Kontra Indikasi Pemberian i.v. secara Preeklampsia, cepat atau bolus vitium cordis, hipertensi 2) Perlukaan Jalan Lahir Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahir terdiri dari: a) Robekan perineum. Dibagi atas 4 tingkat: Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum. Tingkat II :robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani. Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani. Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum.

222
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Kolporeksis adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina. Robekan ini memanjang atau melingkar. Robekan serviks dapat terjadi di satu tempat atau lebih. Pada kasus partus presipitatus, persalinan sungsang, plasenta manual, terlebih lagi persalinan operatif pervaginam harus dilakukan pemeriksaan dengan spekulum keadaan jalan lahir termasuk serviks. Pengelolaan: Episiotomi, robekan perineum dan robekan vulva Ketiga jenis perlukaan tersebut harus dijahit. (1) Robekan perineum tingkat I Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur atau dengan cara jahitan angka delapan (figure of eight). (2) Robekan perineum tingkat II Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat I atau tingkat II, jika ada pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi maka harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing dijepit dengan klem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Otot-otot dijahit dengan catgut, kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur. Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Sampai kulit perineum dijahit dengan benang catgut secara jelujur. (3) Robekan perineum tingkat III Pada robekan tingkat III mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit, kemudian fasial perirektal dan fasial septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah akibat robekan dijepit dengan klem/pean lurus, kemudian dijahit dengan 23 jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II. (4) Robekan perineum tingkat IV Pada robekan perineum tingkat IV karena tingkat kesulitan untuk melakukan perbaikan cukup tinggi dan risiko terjadinya gangguan berupa gejala sisa dapat menimbulkan keluhan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b)

c)

d)

e)

sepanjang kehidupannya, maka dianjurkan apabila memungkinkan untuk melakukan rujukan dengan rencana tindakan perbaikan di rumah sakit kabupaten/kota. Hematoma vulva. (1) Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada hematoma kecil, tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan kompres. (2) Pada hematoma yang lebih besar, apalagi disertai dengan anemia dan presyok, perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di sepanjang bagian hematoma yang paling terenggang. Seluruh bekuan dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan, perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus dapat dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai padat dan meninggalkan ujung kasa tersebut diluar. Robekan dinding vagina. (1) Robekan dinding vagina harus dijahit. (2) Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk ke rumah sakit. Robekan serviks. Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster. Kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan. Ruptura uteri.

3) Retensio Plasenta Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim karena kontraksi rahim kurang kuat untuk melepaskan plasenta disebut plasenta adhesiva. Plasenta yang belum lahir dan masih melekat di dinding rahim karena villi korialisnya menembus desidua sampai miometrium disebut plasenta akreta. Plasenta yang sudah lepas dari dinding rahim tetapi belum lahir karena terhalang oleh lingkaran konstriksi di bagian bawah rahim disebut plasenta inkarserata.

223

224
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Perdarahan hanya terjadi pada plasenta yang sebagian atau seluruhnya telah lepas dari dinding rahim. Banyak atau sedikitnya perdarahan tergantung luasnya bagian plasenta yang telah lepas dan dapat timbul perdarahan. Melalui periksa dalam atau tarikan pada tali pusat dapat diketahui apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat melakukan plasenta manual. Prosedur plasenta manual sebagai berikut: a) Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis, karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya terutama bila retensi telah lama. Sebaiknya juga dipasang infus NaCl 0,9% sebelum tindakan dilakukan. Setelah desinfektan tangan dan vulva termasuk daerah seputarnya, labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina. b) Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis. Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju ke ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan (false route). c) Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh pembantu (asisten). Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking (ulner), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar. d) Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta secara manual ialah adanya lingkaran konstriksi yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan dalam secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal ini tindakan dihentikan. Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, segera dilakukan kompresi bimanual uterus dan disuntikkan ergometrin
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

0,2 mg i.m atau i.v sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu harus segera dilakukan tindakan pencegahan perdarahan post partum. Apabila kontraksi rahim tetap buruk, dilanjutkan dengan tindakan sesuai prosedur tindakan pada atonia uteri. Plasenta akreta ditangani dengan histerektomi oleh karena itu harus dirujuk ke rumah sakit. 4) Sisa Plasenta Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan post partum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 610 hari pasca persalinan). Pada perdarahan post partum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan post partum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim yaitu perdarahan.yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok. Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali bila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.

225

226
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

70. PERIODONTITIS Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1503

ICD X : K05-K06

a. Definisi Peradangan jaringan periodontium yang lebih dalam yang merupakan lanjutan dari peradangan ginggiva. b. Penyebab Sebagian besar periodontitis merupakan akibat dari penumpukan plak dan karang gigi (tartar) diantara gigi dan gusi. Akan terbentuk kantong diantara gigi dan gusi, dan meluas ke bawah diantara akar gigi dan tulang dibawahnya. Kantong ini mengumpulkan plak dalam suatu lingkungan bebas oksigen yang mempermudah pertumbuhan bakteri. c. Gambaran Klinis 1) Perdarahan gusi 2) Perubahan warna gusi 3) Bau mulut (halitosis) 4) Gigi goyah kalau kerusakan tulang penyangganya cukup luas d. Diagnosis Nyeri pada ginggiva. e. Penatalaksanaan 1) Karang gigi, saku gigi, food impaction dan penyebab lokal lainnya harus dibersihkan/diperbaiki. 2) Antibiotik amoksisilin 500 mg + metronidazol 250 mg tiap 8 jam selama 5 hari. 3) Dianjurkan berkumur 1 menit dengan larutan povidon 1%, tiap 8 jam. 4) Bila sudah sangat goyah, gigi harus segera dicabut. 5) Analgesik parasetamol jika diperlukan. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi. 227

2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah). 3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. Gunakan benang gigi untuk membersihkan sisa makanan, hindari penggunaan tusuk gigi.

228
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

71. PERTUSIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 dan 3B : 0304

ICD X : A37

a. Definisi Pertusis (Batuk Rejan) adalah penyakit akut pada saluran pernapasan. Biasanya pada anak berumur <5 tahun, terutama pada anak umur 23 tahun. b. Penyebab Pertusis disebabkan oleh kuman gram negatif Bordetella pertusis. c. Gambaran Klinis Gejala penyakit ini timbul 12 minggu setelah berhubungan dengan pasiennya dan didahului masa inkubasi selama 714 hari. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 6 minggu atau lebih. Itulah sebabnya penyakit tersebut dinamakan batuk seratus hari. Dalam perjalanannya, pertusis meliputi beberapa stadium, yaitu 1) Kataralis yang ditandai timbulnya batuk ringan, terutama pada malam hari, disertai demam dan pilek ringan. Stadium ini berlangsung 12 minggu. Pada stadium kataralis tak dapat dibedakan dengan ISPA yang disebabkan oleh virus. 2) Stadium kedua adalah spasmodik yang berlangsung 24 minggu. Gejalanya, batuk lebih sering, pasien berkeringat, dan pembuluh darah di muka-leher melebar. Serangan batuknya panjang biasanya diakhiri dengan bunyi melengking yang khas (whooping cough) dan disertai muntah. Sering terjadi perdarahan subkonjungtiva dan/atau epistaksis. Kuku dan bibir pasien menjadi kebiruan karena darah kekurangan oksigen. Di luar serangan, pasien tampak sehat. 3) Pada stadium selanjutnya, yaitu konvalesensi, terjadi selama 2 minggu. Gejalanya, pasien mereda batuknya dan berangsur-angsur mulai bertambah nafsu makannya. d. Diagnosis 1) Meningkatnya serum Ig A spesifik Bordetella pertusis 2) Terdeteksi Bordetella pertusis dari spesimen nasofaring 3) Kultur swab nasofaring ditemukan Bordetella pertusis 229

e. Penatalaksanaan 1) Oksigen 2) Pengobatan pertusis ditujukan pada kuman penyebabnya dengan pemberian antibiotik yang sesuai, seperti eritromisin 3050 mg/kgBB tiap 6 jam. 3) Untuk batuk dapat diberikan kodein 0,5 mg/tahun/kali. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi. 2) Pencegahan: imunisasi DPT (Difteri-Pertusis-Tetanus) dasar dan ulangan (booster). Imunisasi ini diberikan 3 kali berturut-turut pada bayi usia 3, 4, 5 bulan. 3) Alasan rujukan: bila ada komplikasi pneumonia, perdarahan subkonjungtiva dan lain-lain.

230
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

72. PIELONEFRITIS Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 16

ICD X : N20-N23; N30

b) pembiakan bakteri dalam contoh urin untuk menentukan adanya bakteri. 3) USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya. e. Penatalaksanaan 1) Segera setelah diagnosis ditegakkan, diberikan antibiotik. Terapi kausal dimulai dengan kotrimoksazol 2 tablet tiap 12 jam selama 5 hari, atau amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam selama 5 hari. Antibiotik dapat diperpanjang sampai 21 hari. 2) Pada 46 minggu setelah pemberian antibiotik, dilakukan pemeriksaan urin ulang untuk memastikan bahwa infeksi telah berhasil diatasi. 3) Pada penyumbatan, kelainan struktural atau batu, mungkin perlu dilakukan pembedahan dengan merujuk ke rumah sakit. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: eradikasi dan mencegah timbulnya komplikasi. 2) Pencegahan: kenali gejala penyakit untuk pengobatan sedini mungkin. 3) Alasan rujuk: pasien anak dan dewasa yang didiagnosa pielonefritis, pielonefritis dengan komplikasi atau pada wanita hamil harus dirujuk.

a. Definisi Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu atau kedua ginjal. b. Penyebab Disebabkan oleh Escherichia coli (paling sering), selain itu disebabkan juga antara lain Enterobacter, Klebsiella, Pseudomonas dan Proteus. c. Gambaran Klinis 1) Gejala biasanya timbul secara tiba-tiba berupa demam, menggigil, nyeri di punggung bagian bawah, mual dan muntah. 2) Beberapa pasien menunjukkan gejala infeksi saluran kemih bagian bawah, yaitu sering berkemih dan nyeri ketika berkemih. 3) Bisa terjadi pembesaran salah satu atau kedua ginjal. Kadang otot perut berkontraksi kuat. 4) Bisa terjadi kolik renalis, dimana pasien merasakan nyeri hebat yang disebabkan oleh kejang ureter. 5) Kejang bisa terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau karena lewatnya batu ginjal. 6) Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih sulit untuk dikenali. 7) Pada infeksi menahun (pielonefritis kronik), nyerinya bersifat samar dan demam hilang-timbul atau tidak ditemukan demam sama sekali. 8) Pielonefritis kronik hanya terjadi pada pasien yang memiliki kelainan utama, seperti penyumbatan saluran kemih, batu ginjal yang besar atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter (pada anak kecil). 9) Pielonefritis kronik pada akhirnya bisa merusak ginjal sehingga ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (gagal ginjal). d. Diagnosis 1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas. 2) Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis pielonefritis adalah: a) pemeriksaan urin dengan mikroskop. 231

232
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

73. PIODERMA Kompetensi Laporan Penyakit

3) Pemeriksaan penunjang bila diperlukan : 4 dan 3B : 2001 ICD X : L00-L08 e. Penatalaksanaan 1) Pasien berobat jalan kecuali pada erisipelas, selulitis, flegmon dianjurkan rawat inap. 2) Bila dijumpai pus banyak, asah atau krusta dilakukan kompres terbuka dengan NaCl 0,9% 3) Pada lesi dalam dan / atau luas diberikan antibiotik sistemik: a) Lini 1 : golongan penisilin : amoksisilin b) Lini 2 : golongan makrolid : eritromisin 500 mg tiap 6 jam 4) Antibiotik diberikan 7 hari. f. KIE 1) Mencari faktor predisposisi: a) Higiene b) Menurunnya daya tahan tubuh: kurang gizi, anemia, penyakit kronik/ metabolik, dan keganasan c) Telah ada kelainan kulit primer 2) Pada pioderma letak dalam, perhatikan keadaan umum dan status imun secara keseluruhan. 3) Alasan rujuk: erisipelas, selulitis, flegmon.

a. Definisi Pioderma superfisial dapat berbentuk impetigo atau furunkel. Furunkolis yang menyatu membentuk kurbunkel. Bentuk lain pioderma diantaranya folikulitis, ektima, selulitis, flegmon, pionikia. b. Penyebab Impetigo umumnya disebabkan oleh Streptococcus betahaemoliticus, sedangkan furunkel oleh Staphylococcus aureus. Beberapa faktor predisposisi umumnya daya tahan tubuh (anemia, kurang gizi, diabetes melitus) atau adanya kelainan kulit yang dapat mempercepat terjadinya pioderma. c. Gambaran Klinis 1) Keadaan umum pasien biasanya baik. 2) Impetigo bentuk krustosa biasanya terjadi pada anak yaitu di kulit disekitar hidung dan mulut. Tampak vesikel atau pustula yang cepat pecah dan menyebar ke sekitarnya. 3) Impetigo bentuk vesikosibola disebut juga cacar monyet, menyerang daerah ketiak, dada, dan punggung. Bentuk ini sering ditemukan bersama miliaria, hipopion (endapan nanah di bagian bawah vesikel/bula) dan pada saat penyembuhan mengering membentuk koleret (warna kemerahan melingkar di bekas kelainan). 4) Impetigo neonatorium menyerang hampir seluruh kulit, biasanya disertai demam. 5) Furunkel banyak ditemukan di ketiak atau bokong. Folikel yang terinfeksi membengkak membentuk nodus bernanah yang nyeri dengan eritema di sekitarnya. Kelainan ini dapat menjadi abses atau membentuk fistula. Pada pasien yang berdaya tahan tubuh rendah misalnya pasien penyakit kronik (diabetes melitus), furunkel ini sering kambuh dan sukar sembuh. d. Diagnosis 1) Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram 2) Kultur dan resistensi spesimen lesi (misalnya untuk flegmon, hidradenitis, ulkus).
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

233

234
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

74. PNEUMONIA KOMUNITAS Kompetensi : 4 dan 3A (dewasa); 3A (anak) Laporan Penyakit : 1401

ICD X : J18.9

a. Definisi Pneumonia komunitas adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur yang terjadi di komunitas. Pneumonia secara klinis dibedakan atas pneumonia lobaris, bronkopneumonia aspirasi misalnya akibat aspirasi minyak tanah. Kuman penyebab banyak macamnya dan berbeda menurut sumber penularan (komunitas/nosokomial). Jenis komunitas 4774% disebabkan oleh bakteri, 520% oleh virus atau mikoplasma, dan 1743% tidak diketahui penyebabnya. Pengobatan jenis komunitas ini sangat memuaskan apapun penyebabnya. b. Penyebab 1) Penyebab pneumonia adalah: a) Bakteri (paling sering menyebabkan pneumonia pada dewasa): Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Legionella atau Hemophilus influenza. b) Virus: virus influenza, chicken-pox (cacar air) c) Organisme mirip bakteri: Mycoplasma pneumoniae (terutama pada anak-anak dan dewasa muda) d) Jamur tertentu. 2) Pneumonia pada anak-anak paling sering disebabkan oleh virus pernapasan, dan puncaknya terjadi pada umur 23 tahun. Pada usia sekolah, pneumonia paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumoniae. c. Gambaran Klinis 1) Secara klinis gambaran pneumonia bakterialis beragam menurut jenis kuman penyebab, usia pasien, dan beratnya penyakit. Beberapa bakteri penyebab memberikan gambaran yang khas, misalnya pneumonia lobaris karena S. pneumoniae, atau empiema dan pneumatokel oleh S. aureus. 2) Klasifikasi pneumonia pada balita sesuai dengan manajemen terpadu balita sakit yaitu batuk disertai dengan napas cepat (usia < 2 bulan, > 60 x/menit; 2 bulan 1 tahun, > 50 x/menit; 1-5 tahun > 40 x/menit) 3) Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas :
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

a) gejala umum infeksi: demam, sakit kepala, lesu, dan lain-lain. b) gejala umum penyakit saluran pernapasan bawah: seperti takipneu, dispneu, retraksi atau napas cuping hidung, sianosis. c) tanda pneumonia: perkusi pekak pada pneumonia lobaris, ronki basah halus nyaring pada bronkopneumonia dan bronkofoni positif. d) batuk yang mungkin kering atau berdahak mukopurulen, purulen, bahkan mungkin berdarah. e) tanda di ekstrapulmonal. 4) Leukositosis jelas pada pneumonia bakteri dan pada sputum dapat dibiak kuman penyebabnya. 5) Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan foto toraks, sedangkan uji serologi dapat menentukan jenis infeksi lainnya. Selain memastikan diagnosis, foto toraks juga dapat digunakan untuk menilai adanya komplikasi. d. Diagnosis 1) Sputum produktif yang sudah berkonversi, sesak napas, demam 2) Pada pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar suara ronki basah, halus, nyaring. 3) Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan gram. 4) Pemeriksaan penunjang: pembiakan dahak, hitung jenis darah, gas darah arteri. e. Penatalaksanaan 1) Pasien pneumonia dapat dirawat di rumah, namun bila keadaannya berat pasien harus dirawat di rumah sakit untuk mendapat perawatan yang memadai, seperti cairan intravena bila sangat sesak, oksigen, serta sarana rawat lainnya. Bayi memerlukan perhatian lebih khusus lagi. 2) Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet dewasa (diberikan selama 3 hari). Dosis anak: a) 24 bulan : 2 x tablet dewasa b) 412 bulan : 2 x tablet dewasa c) 13 tahun : 2 x tablet dewasa d) 35 tahun : 2 x 1 tablet dewasa 3) Antibiotik pilihan kedua adalah amoksisilin atau ampisilin (diberikan selama 3 hari). Dosis anak: a) 24 bulan : 2 x tablet dewasa b) 412 bulan : 2 x tablet dewasa

235

236
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) 13 tahun : 2 x 2/3 tablet dewasa d) 35 tahun : 2 x tablet dewasa 4) Pada kasus pneumonia berat balita dimana rujukan tidak memungkinkan: a) Berikan antibiotik amoksisilin 45 mg/kgBB/hari selama 10 hari secara oral pada mereka yang masih bisa. b) Bila pemberian secara oral sudah tidak memungkinkan, diberikan injeksi amoksisilin/ampisilin dan gentamisin dengan dosis : (1) 2 bulan 5 tahun (ampisilin i.m./i.v. 50 mg/kgBB/6 jam dan gentamisin i.m./i.v. 7,5 mg/kgBB/24 jam) (2) <2 bulan (ampisilin i.m./i.v. 100 mg/kgBB/24jam dan gentamisin i.m./i.v. 2,5 mg/kgBB/12 jam) (3) Bila kondisi membaik, terapi injeksi diteruskan sampai 5 hari dan sesudahnya dilanjutkan dengan terapi oral amoksisilin (15 mg/kgBB) tiap 8 jam, dan terapi injeksi gentamisin i.m. sekali sehari. 5) Pada orang dewasa terapi kausal secara empiris adalah penisilin prokain 600.0001.200.000 UI sehari atau ampisilin 1 g tiap 6 jam terutama pada pasien dengan batuk produktif. 6) Bila pasien alergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin 500 mg tiap 6 jam. Demikian juga bila diduga penyebabnya mikoplasma (batuk kering). f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi gejala, menyembuhkan penyakit, dan mencegah transmisi/memutuskan rantai penularan. 2) Beri penjelasan dengan seksama kepada pasien dan keluarganya bahwa penyakit ini bisa berbahaya. 3) Jika terdapat tanda bahaya pada balita usia <2 bulan berupa kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezzing/mengi, demam atau teraba dingin; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali, kemudian dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya. 4) Pada balita usia 2 bulan - <5 tahun; bila didapatkan tanda bahaya berupa: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk; pasien harus segera dibawa ke Puskesmas kembali, kemudian dokter akan memutuskan tindakan selanjutnya. 5) Dalam perjalanan rujukan, ibu diminta menjaga agar anak tetap hangat selama perjalanan, tetap berikan minum bila anak masih bisa minum 237

6) Alasan rujuk: pada balita usia 2 bulan - < 5 tahun; bila terdiagnosa klinis pneumonia komunitas maka perlu dirujuk.

238
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

75. PTERIGIUM Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 1005

ICD X : H00-H01

76. PULPITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 1502

ICD X : K04

a. Definisi Merupakan pertumbuhan abnormal dari konjungtiva, ditandai dengan penebalan mukosa konjungtiva yang berbentuk segitiga yang puncaknya di kornea. Secara histopatologi, didapatkan gambaran degenerasi hialin dengan adanya neovaskularisasi. Kelainan ini dapat dijumpai pada semua kelompok umur. Umumnya terdapat di sisi nasal bilateral atau unilateral. b. Penyebab Patogenesis pterigium belum jelas, tetapi diduga karena iritasi kronik terutama karena paparan sinar ultraviolet. c. Gambaran Klinis 1) Pasien mengeluh mata lekas merah, berair, dan ada rasa mengganjal. Bila penebalan jaringan ini mencapai pupil maka penglihatan dapat terganggu. 2) Jaringan ini kaya pembuluh darah, semuanya menuju ke puncak pterigium. d. Diagnosis Penebalan mukosa pada selaput mata. e. Penatalaksanaan 1) Dalam keadaan meradang diberikan astringen-dekongestan 1 tetes tiap 6-8 jam sehari: kombinasi seng-sulfat 0,25% dengan fenilefrin 0,12% atau nafazolin 0,7%. 2) Pterigium lanjut yang telah mengganggu penglihatan memerlukan pembedahan (rujuk ke rumah sakit). f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala dan menghindari faktor risiko terjadinya iritasi. 2) Hindari paparan ultraviolet, misalnya menggunakan sun-glasses, topi caping.

a. Definisi Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri, merupakan reaksi terhadap toksin bakteri pada karies gigi. b. Penyebab Penyebab pulpitis yang paling sering ditemukan adalah pembusukan gigi, penyebab kedua adalah cedera. Pulpa terbungkus dalam dinding yang keras sehingga tidak memiliki ruang yang cukup untuk membengkak ketika terjadi peradangan. Yang terjadi hanyalah peningkatan tekanan di dalam gigi. Peradangan yang ringan, jika berhasil diatasi, tidak akan menimbulkan kerusakan gigi yang permanen. Peradangan yang berat bisa mematikan pulpa. Meningkatnya tekanan di dalam gigi bisa mendorong pulpa melalui ujung akar, sehingga bisa melukai tulang rahang dan jaringan di sekitarnya. c. Gambaran Klinis 1) Gigi yang mengalami pulpitis akan nyeri berdenyut, terutama malam hari. Nyeri ini mungkin menjalar sampai ke daerah sinus dan pelipis (pulpitis gigi atas) atau ke daerah telinga (pulpitis gigi bawah). 2) Bila kemasukan makanan, karena rangsangan asam, manis, atau dingin akan terasa sakit sekali. Sakit saat mengunyah menunjukkan bahwa peradangan telah mencapai jaringan periapikal. 3) Gigi biasanya sudah berlubang dalam dan pulpa terbuka. d. Diagnosis Nyeri dan tanda peradangan. e. Penatalaksanaan 1) Lubang gigi dibersihkan dengan ekskavator dan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas dan dijejali pellet kapas yang ditetesi eugenol. 2) Berikan analgetik bila diperlukan: 3) Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam 4) Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB tiap 6-8 jam 5) Bila sudah ada peradangan jaringan periapikal, lihat Bab Abses gigi

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

239

240
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah). Bila ada gigi yang berlubang segera ditambal walaupun tidak merasa sakit.

77. RABIES Kompetensi Laporan Penyakit

: 3B : 0404

ICD X : A82

a. Definisi Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera. Di Indonesia, 98% kasus rabies ditularkan dari gigitan anjing. b. Penyebab Virus rabies, termasuk rhabdo virus bersifat neurotrop. c. Gambaran Klinis 1) Stadium Prodromal Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari. 2) Stadium Sensoris Pasien merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas gigitan. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik. 3) Stadium Eksitasi Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik meningkat dengan gejala hiperhidrosis (banyak berkeringat), hipersalivasi (banyak air liur), hiperlakrimasi (banyak air mata) dan dilatasi pupil. Bersamaan dengan stadium eksitasi penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya bermacam-macam fobia, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobia (takut air). Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerophobia) atau dengan menjatuhkan sinar ke mata (photophobia) atau dengan bertepuk tangan ke dekat telinga pasien (audiophobia). Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis, kejang dan takikardi, cardiac arrest, tingkah laku pasien tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan respons yang berlebihan. Gejala-gejala eksitasi dapat berlangsung sampai pasien meninggal, tetapi pada saat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemas, sehingga terjadi paresis flaksid otot-otot.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

241

242
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4) Stadium Paralisis. Sebagian besar pasien rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paralisis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan saraf tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernapasan. d. Diagnosis Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. e. Penatalaksanaan 1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies Tiap ada kasus gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing, kera) harus ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin. Untuk mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, cuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun selama 1015 menit, kemudian diberi alkohol 70%. 2) Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) sesudah digigit (Post Exposure Treatment). Dosis dan cara pemberian VAR (Purified Vero Rabies Vaccine = PVRV): diberikan 4 x suntikan @ 0,5 mL pada hari ke-0 sebanyak 2 dosis sekaligus di regio deltoideus kanan dan kiri, hari ke-7 dan 21 masing-masing 1 dosis secara i.m. Dosis sama untuk semua umur. 3) Perawatan rabies pada manusia a) Pasien dirujuk ke rumah sakit. b) Sebelum dirujuk, pasien diinfus dengan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, kalau perlu diberi antikonvulsan dan sebaiknya pasien difiksasi selama dalam perjalanan dan waspada terhadap tindaktanduk pasien yang tidak rasional, kadang-kadang maniak disertai saat-saat responsif. c) Penanganan luka gigitan dengan pencucian luka, pemberian antiseptik dan pemberian vaksin antirabies. f. KIE 1) Sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit rabies. 2) Bila terkena cakaran atau gigitan hewan penular rabies (anjing, kucing, kera) segera melakukan pencucian luka dengan air mengalir selama 15 243

menit dan sabun/detergen kemudian berikan antiseptik (betadine, obat merah) dan pemberian vaksin antirabies. 3) Pencucian luka dengan sabun untuk melisiskan kapsul dari virus rabies. Segera berobat ke rabies center untuk mendapatkan perawatan selanjutnya. 4) Bagi yang memiliki anjing atau kucing peliharaan sebaiknya tidak diliarkan dan rutin melakukan vaksinasi antirabies. 5) Hewan penggigit sebaiknya ditangkap dan dilakukan observasi 15 hari.

244
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

78. RINITIS ALERGIKA Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1302

ICD X : J- 30.4

a. Definisi Rinitis alergika adalah suatu kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh hipersensitivitas atau alergi tipe 1 dengan gejala karakteristik berupa hidung gatal, bersin-bersin, rinorhea dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. b. Penyebab Berdasarkan terdapatnya gejala: 1) Rinitis alergi intermiten, bila gejala <4 hari/minggu atau bila <4 minggu 2) Rinitis alergi persisten, bila > 4 hari/minggu atau >4 minggu. Serbuk sari di dalam udara yang menyebabkan rinitis alergika bervariasi, tergantung kepada daerah dan individu. Tanaman yang sering menyebabkan rinitis alergika adalah pohon-pohonan, rumput, bunga dan rumput liar. Selain kepekaan individu dan daerah tempat tumbuhnya tanaman, faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya rinitis alergika adalah jumlah serbuk yang terkandung di dalam udara. Cuaca panas, kering dan berangin lebih banyak mengandung serbuk, cuaca dingin, lembab dan hujan menyebabkan serbuk terbuang ke tanah. c. Gambaran Klinis Hidung, langit-langit mulut, tenggorokan bagian belakang dan mata terasa gatal, baik secara tiba-tiba maupun secara berangsur-angsur. Biasanya akan diikuti dengan mata berair, bersin-bersin dan hidung meler. Beberapa pasien mengeluh sakit kepala, batuk dan mengi (bengek); kehilangan nafsu makan dan mengalami gangguan tidur. Terjadi peradangan pada kelopak mata bagian dalam dan pada bagian putih mata (konjungtivitis). Lapisan hidung membengkak dan berwarna merah kebiruan, menyebabkan hidung meler dan hidung tersumbat. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa gambaran klinis diatas. 245

e. Penatalaksanaan Pengobatan awal untuk rinitis alergika musiman adalah antihistamin. Pemberian antihistamin kadang disertai dengan dekongestan (misalnya pseudoefedrin atau fenilpropanolamin) untuk melegakan hidung tersumbat. Pemakaian dekongestan pada pasien tekanan darah tinggi harus diawasi secara ketat. Pemberian amoksisilin atau eritromisin jika ada infeksi sekunder. Jika keadaan kronis rujuk ke dokter spesialis THT. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala akibat paparan alergen dan eradikasi infeksi, perbaikan kualitas hidup pasien. 2) Pencegahan: hindari alergen (misalnya udara dingin, debu).

246
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

79. SALPINGITIS Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : a. Definisi Infeksi saluran tuba uterina

ICD X : N70

80. SERUMEN Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : -

ICD X : A60. 4

a. Definisi Kotoran pada liang telinga. b. Penyebab Tertimbunnya kotoran pada liang telinga. c. Gejala Klinis Keluhan rasa tersumbat di telinga, pendengaran berkurang dan kadangkadang berdengung. Pada pemeriksaan liang telinga tampak serumen dalam bentuk lunak, liat, keras dan padat. d. Diagnosa Anamnesis dan pemeriksaan fisik (telinga). e. Penatalaksanaan 1) Serumen cair Bila serumen sedikit, bersihkan dengan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas atau disedot dengan pompa penghisap. 2) Serumen lunak Bila serumen banyak dan tidak ada riwayat perforasi membran timpani, lakukan irigasi liang telinga dengan air bersih sesuai dengan suhu tubuh. Bila ada riwayat perforasi membran timpani, maka tidak dapat dilakukan irigasi. Bersihkan serumen dengan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas. 3) Serumen liat Dikait dengan pengait serumen, apabila tidak berhasil lakukan irigasi dengan syarat tidak ada perforasi membrana timpani. 4) Serumen keras dan padat Apabila serumen berukuran besar dan menyumbat liang telinga, lunakkan terlebih dahulu dengan meneteskan karbogliserin 10% selama 3 hari, kemudian keluarkan dengan pengait atau dilakukan irigasi.

b. Penyebab Salpingitis akut kebanyakan disebabkan oleh infeksi gonore. Salpingitis kronik dapat berbentuk sebagai piosalping, hidrosalping atau salpingitis ismika nodosa. Pada salpingitis akut perlu dipikirkan kemungkinan kehamilan ektopik atau apendisitis sebagai diagnosis banding. c. Gambaran Klinis 1) Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah, unilateral atau bilateral. Nyeri ini bertambah pada gerakan. 2) Kadang terdapat perdarahan di luar siklus dan sekret vagina berlebihan. 3) Pada yang akut terdapat demam yang kadang disertai keluhan menggigil. 4) Terdapat nyeri tekan di abdomen bagian bawah disertai nyeri pada pergerakan serviks. Parametrium nyeri unilateral atau bilateral. d. Diagnosis Nyeri tekan dan kaku daerah tuba pada pemeriksaan dalam ginekologi. e. Penatalaksanaan 1) Pasien dianjurkan untuk tirah baring pada posisi Fowler. 2) Berikan antibiotik spektrum luas dalam dosis yang tinggi: a) Ampisilin 2 g i.v, kemudian 1 g tiap 6 jam. b) ditambah gentamisin 5 mg/kgBB i.v dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg i.v tiap 8 jam. c) Lanjutkan antibiotik ini sampai pasien tidak demam selama 24 jam. 3) Pilihan lain: doksisiklin 100 mg tiap 12 jam selama 10 hari. 4) Jika pasien menggunakan AKDR, maka AKDR tersebut harus dicabut. 5) Jika tata laksana ini tidak menolong, pasien sebaiknya dirujuk.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

247

248
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: memperbaiki pendengaran akibat sumbatan serumen. 2) Pencegahan: hindari mengkorek telinga.

81. SIFILIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 31

ICD X : A51

a. Definisi Sifilis atau yang disebut dengan 'raja singa' disebabkan oleh sejenis bakteri yang bernama Treponema pallidum. Bakteri yang berasal dari famili spirochaetaceae ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan dapat hidup hampir di seluruh bagian tubuh. b. Penyebab Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya vagina, mulut atau melalui kulit). Spirochaeta penyebab sifilis dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genitogenital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan. c. Gambaran Klinis Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 113 minggu setelah terinfeksi; rata-rata 34 minggu. Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan jarang menyebabkan kerusakan jantung, kerusakan otak maupun kematian. Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahapan: 1) Fase Primer. Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang terinfeksi; yang tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker juga bisa ditemukan di anus, rektum, bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Luka tersebut tidak mengeluarkan darah, tetapi jika digaruk akan mengeluarkan cairan jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat biasanya akan membesar, juga tanpa disertai nyeri. Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala sehingga seringkali tidak dihiraukan. Luka biasanya membaik dalam waktu 312 minggu dan sesudahnya pasien tampak sehat secara keseluruhan. 2) Fase Sekunder. Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul dalam waktu 612 minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung hanya sebentar atau selama beberapa bulan. Meskipun tidak diobati,

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

249

250
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

ruam ini akan menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan kemudian akan muncul ruam yang baru. Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut, kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya, peradangan di organ-organ tubuh. Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang lembab, bisa terbentuk daerah yang menonjol (kondiloma lata). Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia. f. 3) Fase Laten. Setelah pasien sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase laten dimana tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup pasien. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul. 4) Fase Tersier. Pada fase tersier pasien tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala bervariasi mulai ringan sampai sangat parah, misalnya sifilis mengenai medulla spinalis (tabes dorsalis). d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan fisik. e. Penatalaksanaan 1) Obat pilihan: benzatin penisilin G dengan dosis tergantung stadium: a) Stadium I dan II : 4,8 juta UI b) Stadium laten : 7,2 juta UI 2) Cara : injeksi i.m. 2,4 juta UI/ kali dengan interval 1 minggu 3) Obat alternatif: a) Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam, 14 hari untuk fase awal, 28 hari untuk fase lanjut; atau b) Eritromisin 500 mg tiap 6 jam 4) Lama pengobatan 30 hari (stadium I dan II) atau waktu yang lebih lama untuk stadium laten. 5) Evaluasi serologis (VDRL): 1 bulan setelah pengobatan selesai, ulangi tes serologis sifilis (TSS): a) Titer turun: tidak diberikan pengobatan lagi 251
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Titer naik : pengobatan ulang c) Titer tetap: observasi 1 bulan 1 bulan setelah observasi: a) Titer turun : tidak diberi pengobatan b) Titer naik atau tetap : pengobatan ulang 6) Pemantauan TSS: Pada bulan I, II, VI dan XII dan tiap 6 bulan pada tahun kedua. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: untuk penyembuhan dan pemutusan rantai penularan. 2) Efek samping: perlu hati-hati kemungkinan reaksi anafilaktik terhadap benzatin penisilin G. Siapkan perangkat penanganan reaksi syok anafilaktik. 3) Edukasi tentang penyakit, cara penularan, cara pencegahan dan pengobatan. 4) Sedapat mungkin penanganan pasangan seksualnya. 5) Merujuk spesimen darah untuk pemeriksaan laboratorium VDRL dan TPHA untuk penegakan diagnosis pasti. 6) Alasan rujuk: jika terjadi komplikasi atau kondisi parah.

252
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

82. SINDROMA NEFROTIK Kompetensi : 2 Laporan Penyakit : 16

ICD X : N20-N23; N30

a. Definisi Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan: 1) proteinuria (protein di dalam air kemih lebih dari 3,5 g tiap 24 jam) 2) menurunnya kadar albumin dalam darah (<3,5 g/dL pada dewasa dan <2,5 g/dL pada anak) 3) penimbunan garam dan air yang berlebihan 4) meningkatnya kadar lemak dalam darah. Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak, paling sering timbul pada usia 18 bulan 4 tahun dan lebih banyak menyerang anak laki-laki. Klasifikasi dan penyebab Sindroma Nefrotik dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik Glomerulonefritis primer: 1. GN lesi minimal (GNLM) 2. Glomeruloklerosis fokal (GSF) 3. GN membranosa (GNMN) 4. GN membranoproliferatif ( GNMP) 5. GN proliferatif lain Glomerulonefritis sekunder akibat: 1. Infeksi (HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistotoma, tuberkulosis, lepra) 2. Keganasan (Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgin, mieloma multipel, dan karsinoma ginjal) 3. Penyakit jaringan penghubung: Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease) 4. Efek obat dan toksin 5. Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin 6. Lain-lain: Diabetes melitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah b. Gambaran Klinis 1) Gejala awalnya bisa berupa: a) berkurangnya nafsu makan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) pembengkakan kelopak mata c) nyeri perut d) pengkisutan otot e) pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air f) air kemih berbusa. 2) Perut bisa membengkak karena terjadi penimbunan cairan dan sesak napas bisa timbul akibat adanya cairan di rongga sekitar paru-paru (efusi pleura). 3) Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada pria). Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setelah berjalan cairan akan tertimbun di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan. 4) Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat pasien berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan syok). Tekanan darah pada pasien dewasa bisa rendah, normal ataupun tinggi. 5) Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. 6) Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi secara tiba-tiba. 7) Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya glukosa) ke dalam air kemih. 8) Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis horisontal putih yang penyebabnya tidak diketahui. 9) Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal tidak berbahaya). 10) Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan antibodi. 11) Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan risiko terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di dalam vena ginjal yang utama. Di lain pihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan perdarahan hebat. c. Diagnosis

253

254
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis ditegakkan berdasarkan edem anasarka dan proteinuria positif 2 (++) atau lebih. d. Penatalaksanaan 1) Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya. Mengobati infeksi penyebab sindroma nefrotik bisa menyembuhkan sindroma ini. 2) Jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya penyakit Hodgkin atau kanker lainnya), maka mengobatinya akan mengurangi gejala-gejala ginjal. 3) Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin, maka menghentikan pemakaian heroin pada stadium awal sindroma nefrotik, bisa menghilangkan gejala-gejalanya. 4) Jika penyebabnya adalah obat, maka untuk mengatasi sindroma nefrotik, pemakaian obat harus dihentikan. 5) Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti, maka diberikan prednison 1 mg/kgBB dalam 3 dosis selama 2 bulan berturut-turut dilanjutkan dengan tappering off diturunkan 10 mg tiap 2 minggu sambil melihat respon klinik. Bila responsif obat dihentikan dalam waktu 23 bulan. Bila respon tidak baik maka kasus ini perlu dirujuk. Sebelum memberikan imunosupresif, perlu dipastikan bahwa pasien tidak menderita tuberkulosis. 6) Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan kalium dalam jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang rendah. Terlalu banyak protein akan meningkatkan kadar protein dalam air kemih. 7) ACE inhibitors (misalnya enalapril, kaptopril dan lisinopril) biasanya menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada pasien yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah. Jika cairan tertimbun di perut, untuk mengurangi gejala dianjurkan untuk makan dalam porsi kecil tetapi sering. 8) Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretik furosemid. Diuretik juga dapat mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan jaringan, tetapi bisa meningkatkan risiko terbentuknya bekuan darah. 9) Antikoagulan bisa membantu mengendalikan pembentukan bekuan darah. 10) Pengobatan pada anak adalah sebagai berikut: 255

Kortikosteroid (prednison) dosis 60 mg/m2 LPB atau 2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis selama 4 minggu. Bila remisi dosis dilanjutkan dengan 40mg/ m2/LPB atau 1,5mg/kgBB diberikan dosis tunggal pagi hari selang sehari (alternate day) selama 4 minggu. Bila dalam 4 minggu pertama tidak responsif maka disebut sebagai Sindrom nefrotik resisten steroid dan perlu dirujuk. e. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengatasi penyebabnya bila diketahui. Mengobati infeksi penyebab sindroma nefrotik bisa menyembuhkan sindroma ini. 2) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan steroid antara lain hipertensi, mudah terkena infeksi, hiperglikemia, striae, osteoporosis dan iritasi lambung. 3) Pencegahan untuk menghindari kekambuhan dengan menghindari infeksi bentuk apa pun (bakteri, virus dan lain-lain), kelelahan (stress). 4) Alasan rujukan: a) Pada pasien anak: jika pengobatan dasar tidak memberikan respon atau timbul efek samping yang berat. b) Pada pasien dewasa: sindroma nefrotik harus dirujuk untuk mencari penyebab.

256
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

83. SINDROMA STEVENS-JOHNSON Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 2002

ICD X : L20-L30

a. Definisi Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiforme mayor, eritema poliforme bulosa, sindroma mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain. b. Penyebab Reaksi imunologi berat, lebih sering karena obat seperti kotrimoksazol, karbamazepin. c. Gambaran Klinis 1) Gejala prodromal berkisar antara 114 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan artralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. 2) Setelah itu akan timbul lesi di : a) Kulit berupa eritema, papula, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. b) Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. c) Mata: konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis 1) Anamnesa: ada riwayat demam yang tidak diketahui penyebabnya saat pasien minum obat. 2) Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. e. Penatalaksanaan Pada umumnya pasien SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah: 1) Hentikan pemberian obat yang dicurigai. 2) Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. 3) Kortikosteroid parenteral: deksametason i.v. 0,15-0,2 mg/kgBB/hari, dapat diberikan sampai 4-6 kali 5 mg/hari, setelah masa kritis diatasi (2-3 hari), dosis segera diturunkan cepat (5 mg/hari), setelah dosis rendah bisa diganti per oral (prednison 2x20 mg/hari) dilanjutkan dengan tappering off. 4) Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Klorfeniramin maleat (klortrimeton) dapat diberikan dengan dosis untuk anak usia 1 3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk anak usia 312 tahun 15 mg/dosis, tiap 8 jam. 5) Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan NaCl 0,9%. 6) Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: pengobatan inisial dan penatalaksanaan fungsi vital. 2) Segera dilakukan rujukan. 3) Jika Sindroma Stevens-Johnson berulang, dapat menjadi Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). 4) Dokter perlu menanyakan riwayat alergi obat pada pasien sebelum memberikan obat. 5) Pasien juga harus secara aktif memberikan informasi bahwa pernah mengalami Sindroma Stevens-Johnson dan perlu mengingat jenis obat yang menyebabkannya.

257

258
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

84. SINUSITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 1; 2; 3A : 1303

ICD X : J10-J11

a. Definisi Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus. b. Penyebab Ostium sinus tersumbat, atau rambut-rambut pembersih (ciliary) rusak sehingga sekresi mukus tertahan dalam rongga sinus yang selanjutnya menyebabkan peradangan. c. Gambaran Klinis 1) Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika pasien bangun pada pagi hari. 2) Sinusitis akut dan kronik memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena: a) Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala. b) Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi. c) Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung ditekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat. d) Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher. 3) Gejala lainnya adalah: a) Tidak enak badan. b) Demam, demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus. c) Letih, lesu d) Batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari. e) Hidung meler atau hidung tersumbat. 259

f) Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau. d. Diagnosis 1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT scan. 2) Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi. e. Penatalaksanaan 1) Sinusitis akut Antibiotik: amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 1-2 minggu, eritromisin 500 mg tiap 8 jam Untuk sinusitis akut biasanya diberikan: a) antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri (terapi awal umumnya dengan amoksisilin atau kotrimoksazol). b) obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri. Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya boleh dipakai selama waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung). Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid. 2) Sinusitis kronik Diberikan antibiotik dan dekongestan. Untuk mengurangi peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid. Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut). Hal-hal berikut bisa dilakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman: a) Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk air panas b) Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam. c) Kompres hangat di daerah sinus yang terkena. Jika tidak dapat diatasi dengan pengobatan tersebut, maka satu-satunya jalan untuk mengobati sinusitis kronik adalah pembedahan.

260
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

85. SIROSIS HATI Kompetensi : 2 Laporan Penyakit : 89

ICD X : K74

a. Definisi Penyakit hati menahun yang secara patologis menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progesif dan difus, ditandai dengan distorsi arsitektur hepar berupa nekroinflamasi, pembentukan jaringan ikat disertai nodul regenerasi. b. Penyebab Meliputi antara lain infeksi virus, parasit, obat dan bahan kimia, kelainan bawaan dan obstruksi bilier. Semua hal yang menyebabkan jejas pada hati pada akhirnya akan menyebabkan sirosis hati. c. Gambaran Klinis 1) Pasien sirosis Child-pugh A dapat tidak memiliki gejala dan nampak sehat selama bertahun-tahun, namun terdapat tanda-tanda (stigmata) sirosis. Pasien lainnya mengalami kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan dan merasa sakit. a) Gejala awal sirosis (kompensata): perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun. b) Gejala lanjut sirosis (dekompensata): bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam subfebris, perut membesar. Bisa terdapat gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis melena, ikterus, perubahan siklus haid, serta perubahan mental. Pada laki-laki dapat impotensi, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. 2) Pada pemeriksaan fisik dicari stigmata sirosis: palmar eritema, spider naevi, fetor hepatikum, vena kolateral dinding perut, ikterus, edema pretibial, asites, splenomegali, liver nail, clubbing finger, kontraktur dupuytren, ginekomastia, atrofi testis, hipogonadisme, ukuran hati bisa membesar/normal/kecil, asterixis bilateral, demam subfebris. 3) Malnutrisi biasa terjadi karena buruknya nafsu makan dan terganggunya penyerapan lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak, yang disebabkan oleh berkurangnya produksi garam-garam empedu. 261

4) Kadang-kadang terjadi batuk darah atau muntah darah karena adanya perdarahan dari vena varikosa di ujung bawah kerongkongan (varises esofageal). Pelebaran pembuluh darah ini merupakan akibat dari tingginya tekanan darah dalam vena yang berasal dari usus menunju ke hati. Tekanan darah tinggi ini disebut sebagai hipertensi portal, yang bersamaan dengan buruknya fungsi hati, juga bisa menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam perut (asites). 5) Bisa juga terjadi gagal ginjal dan ensefalopati hepatikum. 6) Gejala-gejala penyakit hati lainnya bisa terjadi, seperti: a) kelemahan otot b) kemerahan di telapak tangan (eritema palmaris) c) jari-jari tangan melekuk keatas (kontraktur telapak tangan) d) vena-vena kecil yang memberikan gambaran seperti laba-laba e) pembesaran payudara dan pinggul pada laki-laki (ginekomastia) f) pembesaran kelenjar ludah di pipi g) rambut rontok h) buah zakar mengecil (atrofi testis) i) fungsi saraf abnormal (neuropati perifer). d. Diagnosis Anamnesis 1) Mencari penyebab dan faktor risiko dari sirosis: Lama dan banyaknya minum alkohol, risiko viral hepatitis (intravena drug user, seks berganti pasangan), riwayat keluarga dengan penyakit hati, penggunaan obat. Ditanyakan juga penyebab lainnya seperti: a) Perlemakan hati non alkoholik (obesitas, dislipidemia, hiperglikemia, dan sindrom metabolik) b) Wanita dengan penyakit autoimun c) Trombosis vena hepatik atau sindroma Budd-Chiari (riwayat hiperkoagulasi) d) Riwayat transplantasi stem cell atau bone marrow e) Dan penyebab yang jarang, seperti: (1) Primary sclerosing cholangitis (sering terdapat kolitis useratif) (2) Defesiensi 1-antitripsin (prematur emfisema) (3) Hemokromatosis herediter (perubahan kulit, artritis, DM, hipogonad) 2) USG bisa menunjukkan adanya pembesaran atau pengerutan hati. 3) Diagnosis pasti dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dari jaringan hati (biopsi).

262
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Gradasi penyakit sirosis dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Gradasi Penyakit Sirosis Menggunakan Skor Child-Turcotte-Pugh Kriteria 1 2 3 Asites Nihil Mudah Sulit dikontrol dikontrol Ensefalopati Nihil Grade I atau II Grade III atau IV Bilirubin(mg/dl) <2 2-3 >3 Albumin (g/dl) >3.5 2.8-3.5 <2.8 Waktu protrombin (detik diatas 1-3 4-6 >6 waktu protrombin normal) Klasifikasi A B C 5-6 7-9 10-15 Jumlah poin total 45% Prosentase hidup dalam 1 100% 80% tahun pertama e. Penatalaksanaan 1) Pengobatan untuk sirosis berupa: a) Istirahat cukup b) Diet seimbang (tergantung kondisi klinis) c) Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites: diet rendah garam. d) Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari. e) Menghilangkan etiologi (misalnya alkohol, pengobatan hepatitis). f) Pengobatan komplikasi. Bila terdapat komplikasi rujuk ke spesialis. 2) Pemantauan: a) USG hati untuk mencari nodul hepatoma (612 bulan 1 x). b) Endoskopi Esofagogastroduodenoskopi untuk ligasi profilaksis varises esofagus (frekuensi kontrol tergantung derajat Varises). c) Mencari secara aktif tandatanda ensefalopati hepatikum di tiap kunjungan pasien: konsentrasi menurun, gangguan tidur/perilaku. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mempertahankan kualitas hidup pasien. 2) Pencegahan: pola makan yang baik dan teratur, kontrol segera bila ada demam, penurunan konsentrasi, hindari mengoperasikan kendaraan. 263

3) Alasan rujukan: mengatasi komplikasi, terapi pembedahan (seperti untuk shunting vena porta, transplantasi hati, dsb). 4) Sirosis hati merupakan faktor risiko terjadinya hepatoma. 5) Pada pasien dengan hepatitis virus, skrining keluarga untuk mencari secara aktif infeksi virus hepatitis di keluarga, dan penyuluhan vaksinasi terutama untuk keluarga dekat (khusus hepatitis B). 6) Hati-hati pemberian obat yang mengiritasi lambung dan obat yang dimetabolisme melalui hati.

264
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

86. SISTITIS AKUT Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 16

ICD X : N20-23; N30

a. Definisi Sistitis adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung kemih umumnya terjadi pada wanita, terutama pada masa reproduktif. Beberapa wanita menderita infeksi kandung kemih secara berulang. b. Penyebab E.coli (organisme paling sering, pada 8090% kasus); juga Klebsiella, Pseudomonas, grup B Streptococcus dan Proteus mirabilis. c. Gambaran Klinis 1) Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan untuk buang air kecil dan rasa terbakar atau nyeri selama buang air kecil. 2) Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga dirasakan di punggung sebelah bawah. 3) Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di malam hari). 4) Urin tampak berawan dan mengandung darah. 5) Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan diketahui pada saat pemeriksaan urin (urinalisis untuk alasan lain.) 6) Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut, yang bisa menderita inkontinensia uri sebagai akibatnya. d. Diagnosis 1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas: disuria, leukosituria dan nitrit urin positif. 2) Diambil contoh urin aliran tengah (midstream), agar urin tidak tercemar oleh bakteri dari vagina atau ujung penis. Urin kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat adanya sel darah merah atau sel darah putih atau zat lainnya. 3) Dilakukan penghitungan bakteri dan dibuat biakan untuk menentukan jenis bakterinya. Jika terjadi infeksi, maka biasanya 1 jenis bakteri ditemukan dalam jumlah yang banyak. 4) Pada pria, urin aliran tengah biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis. Pada wanita, contoh urin ini kadang dicemari oleh bakteri dari vagina, sehingga perlu diambil contoh urin langsung dari kandung kemih dengan menggunakan kateter.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Pada usia lanjut, infeksi tanpa gejala biasanya tidak memerlukan pengobatan. 2) Antibiotik diberikan jika pasien memenuhi kriteria disuria, leukosituria dan nitrit urin positif 3) Untuk sistitis ringan, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah minum banyak cairan. Aksi pembilasan ini akan membuang banyak bakteri dari tubuh, bakteri yang tersisa akan dilenyapkan oleh pertahanan alami tubuh. 4) Pemberian antibiotik peroral seperti kotrimoksazol 480 mg tiap 12 jam atau siprofloksasin selama 5 hari biasanya efektif, selama belum timbul komplikasi. 5) Jika infeksinya kebal, biasanya antibiotik diberikan selama 710 hari. 6) Gejalanya seringkali bisa dikurangi dengan membuat suasana urin menjadi basa, yaitu dengan meminum baking soda yang dilarutkan dalam air.

f.

KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk eradikasi kuman penyebab. 2) Alasan rujuk: pada kasus komplikasi, anak, wanita hamil, dan indikasi pembedahan.

265

266
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

87. SKABIES Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 0704

ICD X : B86

a. Definisi Skabies atau sering juga disebut penyakit kulit berupa budukan dapat ditularkan melalui kontak erat dengan orang yang terinfeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap kutu Sarcoptes scabiei var hominis dan fesesnya pada kulit manusia. Sarcoptes scabiei adalah kutu yang transparan, berbentuk oval, punggungnya cembung, perutnya rata dan tidak bermata. Skabies hanya dapat diberantas dengan memutus rantai penularan dan memberi obat yang tepat. b. Penyebab Kutu Sarcoptis scabiei. c. Gambaran klinik Penyakit skabies memiliki 4 gejala klinis utama,yaitu: 1) Pruritus nokturna, atau rasa gatal di malam hari, yang disebabkan aktivitas tungau yang lebih tinggi dalam suhu lembab. 2) Penyakit ini dapat menyerang manusia secara kelompok. Mereka yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah. 3) Adanya terowongan-terowongan di bawah lapisan kulit (kanalikuli), yang berbentuk lurus atau berkelok-kelok, menimbulkan eritem yang berpasangan. Jika terjadi infeksi skunder oleh bakteri, maka akan timbul gambaran pustul (bisul kecil). Kanalikuli ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis, seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan (pada anak), siku bagian luar, kulit sekitar payudara, bokong dan perut bagian bawah. 4) Menemukan kutu pada pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis, merupakan diagnosis pasti penyakit ini. d. Diagnosis 267

Ditegakkan dari anamnesis, manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang ditemukan 3 dari 4 kriteria sebagai berikut: 1) Gatal malam hari 2) Terdapat pada sekelompok orang 3) Predileksi dan morfologis khas 4) Ditemukan Tungau S.scabies e. Penatalaksanaan Pengobatan penyakit ini menggunakan obat berbentuk krim atau salep yang dioleskan pada bagian kulit yang terinfeksi. Banyak sekali obat yang tersedia di pasaran. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain; tidak berbau, efektif terhadap semua stadium kutu (telur, larva maupun kutu dewasa), tidak menimbulkan iritasi kulit, juga mudah diperoleh dan murah harganya. 1) Sistemik a) Antihistamin klasik sedatif ringan untuk mengurangi gatal, misalnya klorfeniramin maleat 0,34 mg/kg BB tiap 8 jam. b) Antibiotik bila ditemukan infeksi sekunder misalnya amoksisilin. 2) Topikal Obatan-obatan yang dapat digunakan antara lain: a) Lini 1: Permetrin HCl 5%, dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 10 jam, dapat diulang setelah 1 minggu. b) Salep 24, biasanya dalam bentuk salep atau krim. Obat ini tidak efektif membunuh stadium telur, dan penggunaannya harus lebih dari 3 hari berturut-turut. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: penyembuhan dan pemutusan rantai penularan. 2) Pencegahan: penyuluhan higiene perorangan dan lingkungan. Hindari kontak dengan pasien serupa. 3) Mencuci bersih bahkan sebagian ahli menganjurkan merebus handuk, seprai maupun baju pasien skabies, kemudian menjemurnya hingga kering. Menghilangkan faktor predisposisi, antara lain dengan penyuluhan mengenai higiene perorangan dan lingkungan. 4) Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara bersama-sama. 5) Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksi untuk memutuskan rantai penularan.

268
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Dianjurkan kontrol 1 minggu kemudian, bila ada lesi baru obat topikal dapat diulang kembali.

88. SKIZOFRENIA dan GANGGUAN PSIKOTIK KRONIK LAIN Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 68 ICD X : F20 a. Definisi Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa (psikotik), bermanifestasi sebagai suatu sindroma yang ditandai penyimpangan yang mendasar dari pikiran, persepsi dan afek yang tidak sesuai yang menimbulkan penderitaan dan mempengaruhi fungsi sehari-hari. Dapat timbul eksaserbasi akut. Perlu untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan organik (misalnya: demam, riwayat kejang, kemungkinan intoksikasi NAPZA, trauma kepala). b. Penyebab Biopsikososial; yaitu terdiri dari faktor biologis (termasuk genetik), faktor psikologis (kepribadian, motivasi) dan faktor sosial (keluarga dan lingkungan). c. Gambaran Klinis Pasien mungkin datang dengan keluhan: halusinasi seperti mendengar suara-suara/melihat bayangan gaib yang tidak didengar/dilihat oleh orang lain, bicara sendiri, bicara kacau yang tidak dapat dimengerti, keyakinan yang aneh dan tidak sesuai dengan realita (contoh: merasa yakin dirinya seorang malaikat, dikejar-kejar, menerima pesan melalui televisi), gelisah, tidak dapat tidur, sulit berkonsentrasi, keluhan fisik yang tidak biasa/aneh (misal: merasa ada hewan atau obyek yang tak lazim di dalam tubuhnya), menarik diri dari lingkungan sosial, afek tumpul dan tidak serasi. d. Diagnosis 1) Adanya delusi/waham (keyakinan yang salah dan tidak sesuai dengan realita). 2) Adanya halusinasi dengar (tersering). 3) Perilaku aneh. 4) Bicara kacau atau tidak dapat dimengerti. 5) Agitasi atau kegelisahan. 6) Penarikan diri secara sosial, pengabaian diri termasuk kebersihan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

269

270
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

7) Gejala berlangsung selama paling sedikit 1 bulan yang mencakup fase aktif dengan atau tanpa fase prodromal (awal) maupun fase residual (tidak adanya gejala aktif). 8) Tidak ada penyebab organik. e. Penatalaksanaan 1) Pada kasus eksaserbasi akut atau gaduh gelisah dapat diberikan haloperidol injeksi 5 mg i.m. dengan atau tanpa diazepam injeksi 5 mg. Nilai ulang setelah 2 jam, dapat diulang. Jika pasien telah tenang, dianjurkan untuk kembali menggunakan terapi oral. 2) Berikan antipsikotik oral haloperidol 5 mg/hari, terbagi menjadi 2 3 kali pemberian. Dapat dinaikkan secara bertahap setelah 2 3 minggu bila belum tampak perbaikan. Bila telah perbaikan maka dosis dipertahankan hingga pasien tenang dan kembali dapat mengurus dirinya sendiri. Bila belum tampak perbaikan, dosis dapat dinaikkan hingga 15 mg/hari. Nilai kembali terapi setelah 6 bulan-1 tahun. 3) Gunakan dosis efektif terkecil untuk mengurangi efek samping. 4) Pada hal-hal khusus, seperti pasien pasca rawat (rujuk balik) dengan ketidakpatuhan minum obat, dianjurkan pemberian injeksi depo lepas lambat haloperidol 50 mg 1 bulan sekali dengan syarat: a) Pasien telah stabil menggunakan haloperidol oral sebelumnya. Jika pasien belum pernah menggunakan haloperidol oral, dapat dimulai haloperidol oral selama 2 minggu. b) Tidak ada gangguan fisik. c) Dapat dimulai dengan dosis 25 mg atau setengah dosis diinjeksikan i.m untuk 24 minggu. (Dilarang menggunakan secara intravena/ i.v) d) Setelah 4 minggu injeksi depo dapat dinaikkan menjadi 50 mg atau dosis utuh. e) Pada 1-3 bulan pertama (individual), pasien masih mendapatkan terapi oral dengan dosis yang disesuaikan, mengingat preparat depo membutuhkan waktu untuk mencapai kadar plasma yang stabil. f) Untuk selanjutnya pasien diberikan injeksi i.m. 1 bulan sekali dosis 50 mg. g) Jika timbul demam tinggi, peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, CPK meningkat segera hentikan penggunaan antipsikotik, beri terapi suportif dan segera rujuk ke RSU atau RSJ yang memiliki layanan spesialisasi Penyakit Dalam. 271

f.

KIE 1) Tujuan pengobatan: mengurangi gejala, mengurangi kekambuhan dan mengembalikan fungsi. 2) Efek Samping a) Efek samping tersering dari haloperidol adalah gejala-gejala ekstra piramidal seperti: tremor, akut distonia, rigiditas, dan drooling, diberikan antikolinergik (triheksifenidil) 2 mg tiap 8-24 jam atau injeksi i.m. difenhidramin 25 mg (jika berat seperti distonia akut dengan oculogyric crises), dapat diulang. Jika ada riwayat efek samping ini, dapat diberikan triheksifenidil bersamaan dengan pemberian haloperidol. b) Efek samping tersering klorpromazin adalah hipotensi ortostatik dan sedasi kuat, hati-hati untuk pemberian bagi lansia. Tidak diperbolehkan bagi pasien epilepsi, dapat mencetuskan status epileptikus karena menurunkan ambang kejang. 3) Jelaskan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa dengan penyebab biopsikososial. 4) Gejala skizofrenia bisa hilang timbul. Diperlukan kepatuhan minum obat untuk mencegah kekambuhan. Informasikan kepada keluarga dan pasien mengenai efek samping. 5) Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk ketaatan terhadap pengobatan dan rehabilitasi yang efektif. 6) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. 7) Organisasi kemasyarakatan bisa memberikan dukungan yang berarti bagi pasien dan keluarga. 8) Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. 9) Kurangi stres dan stimulasi. Jangan berargumentasi terhadap pikiran psikotik. Hindari konfrontasi atau mengkritik. 10) Pada saat gejala lebih berat, sebaiknya istirahat dan menghindari

dari stres.

272
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

89. STOMATITIS AFTOSA (SARIAWAN) Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1505

ICD X : K12

a. Definisi Stomatitis aftosa (sariawan) adalah suatu luka terbuka yang kecil di dalam mulut yang menimbulkan nyeri. b. Penyebab Penyebabnya macam-macam misalnya kebersihan mulut yang buruk, gizi kurang, infeksi kuman, gangguan hormonal (gingivostomatitis deskuamatif), kelainan darah, pemakaian obat (stomatitis medikamentosa/venenata) atau makanan yang merangsang misalnya cabe. Stomatitis Vincent disebabkan oleh kuman Gram negatif, sedangkan stomatitis aftosa (sariawan) merupakan salah satu bentuk yang tidak diketahui penyebabnya. Beberapa faktor diduga berperan dalam terjadinya sariawan, misalnya demam, stres, trauma, cemas, gangguan hormonal. c. Gambaran Klinis 1) Sariawan dapat terjadi di semua bagian mulut. Bila sariawan ini terletak di dekat faring, pasien biasanya mengeluh sakit menelan. 2) Stomatitis Vincent atau gingivostomatitis nekrotik biasanya timbul akut. Pasien mengeluh mulutnya rasa terjadi perdarahan spontan pada gusi dan gigi sering terasa memanjang. Ulkus pada stomatitis ini biasanya terdapat di daerah gusi antargigi dan diselaputi pseudomembran berwarna kuning keabu-abuan yang mudah diangkat. Tetapi ulkus ini dapat meluas ke bagian lain mulut sampai ke faring. d. Diagnosis 1) Nyeri dan lesi pada rongga mulut. 2) Diagnosis banding: a) Infeksi oportunistik HIV-AIDS atau immunocompromised lain b) Bagian dari autoimun c) Bagian dari penyakit menular seksual d) Hand, Foot and Mouth Disease (HFMD)

e. Penatalaksanaan 1) Anjurkan pasien untuk meningkatkan kebersihan mulutnya, menghindari makan makanan yang merangsang (asam, pedas), perbanyak makan buah-buahan dan hindari stress. 2) Pemberian suplemen vitamin C 3) Jika sariawan tidak hilang setelah 2 minggu, rujuk ke Rumah Sakit. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

273

274
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

90. STROKE Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A :

ICD X : -

a. Definisi Stroke menurut Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) tahun 1970, adalah sindroma klinik yang ditandai oleh kelainan fungsi otak baik fokal maupun global (misalnya koma) yang berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak. Sindroma klinik lain yang disebut Transient Ischaemic Attack (TIA) yang gejalanya persis sama seperti stroke, namun kembali normal dalam waktu 24 jam dan dalam pemeriksaan pencitraan (imaging) tidak ditemukan kelainan. b. Penyebab Stroke menurut patologinya dibagi : 1) Stroke Iskemik terjadi karena kurang atau hilangnya aliran darah ke otak. Ini disebabkan karena adanya blockade/hambatan oleh trombosis atau emboli arteri. Angka kejadiannya 80-85% a) Stroke infark trombotik b) Stroke infark emboli 2) Stroke Perdarahan terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak. Angka kejadiannya 15-20% a) Stroke perdarahan intraserebral b) Stroke perdarahan sub arachnoid. c. Faktor Risiko Stroke: 1) Tidak dapat dimodifikasi: usia, ras, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita penyakit vaskuler 2) Dapat dimodifikasi: hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, kegemukan, sindroma metabolik, merokok, dislipidemi, pernah menderita TIA atau stroke sebelumnya. d. Gambaran Klinis Gejala-gejala Stroke terjadi secara mendadak, yaitu: 1) Secara garis besar disebut AKSI a) Asimetri wajah b) Kelumpuhan sesisi (hemiparese)
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) 3) 4) 5)

c) Sulit bicara (disartri, afasi/disfaria) d) Inisiatif segera kerumah sakit Sulit merasakan sensasi, gringgingen, kebas tubuh satu sisi Gangguan konsentrasi dan memori Gangguan koordinasi dan keseimbangan tubuh Gangguan penglihatan, pendengaran, mengecap dan membau.

e. Penatalaksanaan 1) Deteksi Pengenalan cepat dan reaksi cepat terhadap tanda-tanda stroke dan TIA dari dokter, petugas medis maupun petugas terkait karena konsep Time is Brain yang berarti bahwa pengobatan Stroke merupakan keadaan gawat darurat. Jadi keterlambatan pertolongan fase prahospital harus dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan keluarga 2) Pengiriman pasien Segera panggil ambulans gawat darurat hal ini sangat berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang tepat untuk penanganan stroke. 3) Transportasi/ambulans Transporasi pengiriman pasien fasilitas kesehatan yang dituju, petugas ambulans gawat darurat harus mempunyai kompetensi dalam penilaian pasien stroke pra rumah sakit. Fasilitas yang harus ada dalam ambulans adalah sebagai berikut: a) Personil yang terlatih b) Peralatan dan obat resusitasi dan gawat darurat. c) Ambulans dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, a.l. pemeriksaan glukosa (glucometer), Oksigen dan pemeriksa kadar saturasi O2. Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu mengerjakan: a) pemeriksaan dan menilai tanda-tanda vital b) tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway, Breathing Circulation/ABC). Intubasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan koma yang dalam,hipoventilasi, dan aspirasi. c) bila kardiopulmoner stabil pasien diposisikan setengah duduk d) pemasangan infus dengan cairan normal salin e) pemberian oksigen untuk menjamin saturasi > 95% f) pencatatan waktu onset serangan

275

276
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g) transportasi secepatnya ( Time is brain). 4) Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit gawat darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan definitif pasien stroke. f. KIE Pencegahan primer Pada stroke meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan pengendalian berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat dan kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: 1) Mengatur pola makan yang sehat 2) Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan risiko terkena serangan stroke. 3) Jenis makanan yang sehat adalah: a) Makanan biji-bijian a.l; beras merah, bulgur, jagung, gandum, kacang kedelai b) Makanan yang bervitamin dan antioksidan: susu, sayuran, buah c) Teh hitam dan teh hijau yang banyak mengandung antioksidan 4) Menambah asupan kalium dan mengurangi natrium (monosodium glutamate, sodium natrium), makanan sebaiknya segar 5) Mengutamakan makanan berserat dan protein nabati serta bervariasi dan perhatikan menu seimbang 6) Sumber lemak sebaiknya berasal dari sayuran, ikan, buah polong dan kacang-kacangan serta banyak mengandung polisakarida seperti nasi, roti, pasta, sereal dan kentang. 7) Hindari makanan yang mengandung gula. 8) Penanganan stress dan beristirahat yang cukup. a) Istirahat cukup dan tidur teratur sekitar 68 jam/hari. b) Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai jiwa sehat menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap ramah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. 9) Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter dalam hal diet dan obat. Apabila mempunyai faktor risiko stroke (misalnya: hipertensi, diabetes, dislipidemia) harus dikendalikan dengan pengobatan dan gaya hidup sehat (menu makanan seimbang dan tidak merokok/alkohol).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh petugas pelayanan ambulans: 1) Jangan terlambat membawa pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan 2) Jangan memberi cairan berlebih kecuali pada pasien syok dan hipotensi. 3) Jangan menurunkan tekanan darah. Hindari hipotensi, hipovolemi. hipoventilasi atau anoksia. 4) Catat waktu onset serangan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

277

278
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

91. STRUMA ENDEMIK (GONDOK) Kompetensi : 3b Laporan Penyakit : -

Tabel 34. Gejala dan Tanda Hipotiroid ICD X : E.01


No 1. Organ Otak (Gangguan mental) Mata Telinga , Hidung dan Tenggorokan Kelenjar Tiroid Gejala dan Tanda Lemah, lelah, mengantuk, depresi, kemampuan berbicara menurun, intelektual menurun, gangguan ingatan, proses psikis pelan. Sakit kepala, gangguan penglihatan, edema periorbital Suara serak Pembesaran tiroid/ Goiter noduler atau difusa (tiroiditis autoimun kronik, obat anti tiroid, kekurangan atau kelebihan hormone tiroid) Tekanan nadi berkurang (bradikardi), hipertensi diastolik, kardiak output berkurang Sulit buang air besar (Konstipasi), berat badan naik/ gemuk. Infertilitas, gangguan menstruasi Kaku sendi, kesemutan, nyeri sendi Gerakan otot lemah (hiporefleksia), edema non pitting (miksedema), ataksia, kramp otot

a. Definisi Struma adalah istilah untuk pembesaran kelenjar tiroid. Disebut struma endemik (gondok) bila struma ini ditemukan pada banyak orang dalam suatu populasi. Ini biasanya terjadi di daerah yang makanan penduduknya kurang mengandung iodium. Penyakit ini umumnya muncul pada masa pubertas atau kehamilan. b. Penyebab Pada keadaan tertentu struma disebabkan oleh zat goitrogenik seperti PAS, sulfonilurea, litium atau iodium dosis tinggi. c. Gambaran Klinis Adanya kelainan dishormonogenesis tiroid perlu dicurigai apabila ditemukan: 1) Gondok yang secara familial terdapat di daerah nonendemis. 2) Adanya kretin di daerah nonendemis. 3) Adanya gondok dengan hipotiroidisme tanpa tanda Hashimoto. 4) Adanya gondok disertai dengan gangguan pendengaran (tuli dan sebagainya). 5) Pasien dengan hipotiroidisme ringan datang dengan keluhan lelah, nyeri otot, rambut rontok atau konstipasi, kadar T4 bebas biasanya rendah atau normal rendah, dengan kadar TSH meningkat. 6) Sedangkan manifestasi klinik pasien dengan hipotiroidisme nyata, berupa kurang energi, rambut rontok, intoleransi dingin, berat badan naik, konstipasi, kulit kering dan dingin, suara parau, serta lamban dalam berpikir. 7) Pada hipotiroidisme, kelenjar tiroid sering tidak teraba. Kemungkinan terjadi karena atrofi kelenjar akibat pengobatan hipertiroidisme memakai yodium radioaktif sebelumnya atau setelah tiroditiditis autoimun. Gejala dan tanda hipotiroid dapat dilihat pada Tabel 34.

2. 3. 4.

5. 6. 7. 8.

Jantung dan pembuluh darah Saluran Cerna Sistem Reproduksi Otot dan saraf

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis. e. Penatalaksanaan 1) Pengobatan ditujukan untuk: a) Mengurangi besarnya kelenjar gondok. b) Mengoreksi adanya keadaan hipotiroidisme, kalau memang ada. 2) Larutan Lugol 5 tetes/hari dalam 1/2 gelas air bersama dengan iodium 1015 mg/hari selama beberapa minggu sampai kelenjar tiroid kembali normal. 3) Selanjutnya pasien dianjurkan menggunakan garam dapur beriodium. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan adalah : a) Meringankan keluhan dan gejala b) Menormalkan metabolisme c) Mencegah komplikasi dan risiko penyakit jantung 2) Pencegahan: dianjurkan untuk mengkonsumsi garam beriodium. 3) Alasan rujukan: jika dipertimbangkan perlu tindakan operasi, tidak ada respon dengan pengobatan yang diberikan, ada krisis tiroid atau bila ada persangkaan keganasan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

279

280
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

92. SYOK ANAFILAKSIS Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : -

ICD X : -

a. Definisi Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan edema. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan. b. Penyebab Syok anafilaksis paling sering disebabkan oleh pemberian obat secara suntikan, tetapi dapat pula disebabkan oleh obat yang diberikan secara oral atau oleh makanan. Obat suntik yang paling sering menimbulkan syok anafilaksis antara lain penisilin, streptomisin, tiamin, ekstrak bali dan kombinasi vitamin neurotropik. c. Gambaran Klinis 1) Gejala-gejala pertama: eritema, rasa terbakar pada kulit, rasa tersengat, takikardi, rasa tebal di faring dan dada, batuk, mungkin mual dan muntah. 2) Gejala-gejala sekunder: Pembengkakan kulit (khususnya palpebra dan bibir), urtikaria, edema laring, serak, wheezing, serangan batuk, nyeri abdomen, mual, muntah, diare, hipotensi, berkeringat, pucat. 3) Pada kasus-kasus berat, spasme laring, syok, henti napas dan henti jantung. d. Diagnosis Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan syok anafilaktik.

e. Penatalaksanaan Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab pasien berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: 1) Hentikan segera obat yang dicurigai sebagai penyebab syok anafilaktik. 2) Segera baringkan pasien pada alas yang keras dan rata. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. 3) Segera berikan adrenalin 0,30,5 mg larutan 1 : 1000 untuk pasien dewasa atau 0,01 g/kgBB untuk pasien anak-anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 24 g/menit. 4) Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB i.v dosis awal yang diteruskan 0,40,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus. 5) Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 510 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel. 6) Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk pasien yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai edema laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Pasien yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Pasien dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

281

282
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. 7) Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 2040% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dekstran juga bisa melepaskan histamin. 8) Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila pasien syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan pasien di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi pasien harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. 9) Kalau syok sudah teratasi, pasien jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan pasien yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 23 x suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi. f. Pencegahan: Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam tiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain: 1) Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. 283

2) Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik. 3) Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya pasien dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti pasien tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif. 4) Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. 5) Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada pasien untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh pasien karena akan sangat berbahaya. Pemberian Cairan: 1) Jangan memberikan minum kepada pasien yang tidak sadar, mualmual, muntah atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru. 2) Jangan memberi minum kepada pasien yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak). 3) Pasien hanya boleh minum bila pasien sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila pasien menjadi mual atau muntah. 4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. KIE Kepada keluarga perlu diberitahukan bahwa kasus ini adalah kondisi emergensi, dan sedang dilakukan upaya penyelamatan hidup (life saving)

284
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

93. TETANUS Kompetensi Laporan Penyakit

: 3B : 0305

ICD X : A-35

a. Definisi Penyakit sistem saraf yang disebabkan oleh Clostridium tetani, berlangsung akut dengan karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat. b. Penyebab Bakteri anaerob Clostridium tetani. Spora dari Clostridium tetani dapat hidup selama bertahun-tahun di dalam tanah dan kotoran hewan. Jika bakteri tetanus masuk ke dalam tubuh manusia, bisa terjadi infeksi baik pada luka yang dalam maupun luka yang dangkal. Setelah proses persalinan, bisa terjadi infeksi pada rahim ibu dan pusar bayi yang baru lahir (tetanus neonatorum). Gejala-gejala infeksi ditimbulkan oleh racun yang dihasilkan oleh bakteri, bukan bakterinya. c. Gambaran Klinis 1) Gejala khas: kejang pada otot-otot wajah menyebabkan ekspresi pasien seperti menyeringai (risus sardonikus) dengan kedua alis yang terangkat. 2) Gejala-gejala biasanya muncul dalam waktu 510 hari setelah terinfeksi, tetapi bisa juga timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari setelah terinfeksi. 3) Gejala yang paling sering ditemukan adalah kekakuan rahang dan sulit dibuka (trismus) karena yang pertama terserang adalah otot rahang. 4) Gejala lain berupa gelisah, gangguan menelan, sakit kepala, demam, nyeri tenggorokan, menggigil, kejang otot dan kaku kuduk, lengan serta tungkai. 5) Kekakuan atau kejang otot-otot perut, leher dan punggung bisa menyebabkan kepala dan tumit pasien tertarik ke belakang sedangkan badannya melengkung ke depan yang disebut epistotonus. 6) Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah bisa menyebabkan retensi urin dan konstipasi. 7) Gangguan-gangguan ringan seperti suara berisik, aliran angin atau goncangan, bisa memicu kejang otot disertai nyeri dan keringat berlebih. 8) Selama kejang pasien tidak dapat berbicara karena otot dadanya kaku atau terjadi kejang tenggorokan sehingga terjadi kekurangan oksigen
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

yang menyebabkan gangguan pernapasan. Biasanya tidak terjadi demam. Laju pernapasan dan denyut jantung serta refleks-refleks biasanya meningkat. Tetanus juga bisa terbatas pada sekelompok otot di sekitar luka. Kejang di sekitar luka ini bisa menetap selama beberapa minggu. d. Diagnosis Diduga suatu tetanus jika terjadi kekakuan otot atau kejang pada seseorang yang memiliki luka. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pembiakan bakteri dari apusan luka. e. Penatalaksanaan Pasien tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia harus selalu mendapat pengawasan dan perawatan. Sebelum dirujuk lakukan hal-hal di bawah ini: 1) Lakukan langkah-langkah ABC 2) Segera diberikan diazepam dosis 10 mg i.v. perlahan 23 menit. Dapat diulangi bila diperlukan. 3) Berikan IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 tiap 6 jam 4) Bila tersedia, berikan Antitoksin tetanus: a) Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000 UI/hari i.m. selama 3 5 hari. Tes kulit sebelumnya, atau b) Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-3.000 UI i.m. tergantung beratnya penyakit. Diberikan dosis tunggal. 5) Berikan penisilin prokain 2 juta UI i.m pada orang dewasa atau 50.000 UI/kgBB/hari selama 10 hari pada anak untuk eradikasi kuman. Bila tidak ada atau alergi terhadap Penilisin dapat diberikan: a) Eritromisin per oral 500 mg tiap 6 jam, atau b) Tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam. 6) Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan membersihkannya dengan H202 3%. Port dentre lain seperti OMSK atau gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: menghilangkan kejang, meningkatkan kualitas hidup, mencegah komplikasi, mencegah kematian. 2) Diberikan nutrisi dan makanan yang cukup. Bila perlu, diberikan melalui pipa nasogastrik.

285

286
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang, termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat intermitten. 4) Mempertahankan/membebaskan jalan napas: pengisapan lendir oro/nasofaring secara berkala. 5) Posisi/letak pasien diubah-ubah secara periodik. 6) Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.

94. TETANUS NEONATORUM Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1803

ICD X : A33

a. Definisi Tetanus neonaturom adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi usia <1 bulan). Spora kuman masuk ke dalam tubuh bayi melalui pintu masuk satu-satunya yaitu tali pusat, yang dapat terjadi pada saat pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun perawatannya sebelum puput (terlepasnya tali pusat). b. Penyebab Kuman Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistem saraf pusat. c. Gambaran Klinis 1) Bayi biasanya tidak mau menyusu dengan tanda khas mulut yang mencucu (trismus). 2) Kaku kuduk dan kejang sampai epistotonus sering dijumpai. 3) Perut papan 4) Tidak jarang bayi demam tinggi dan tampak sianosis. d. Diagnosis Kejang pada bayi usia <1 bulan dengan gejala khas. e. Penatalaksanaan Pasien sebaiknya dirujuk untuk dirawat di rumah sakit karena sering terjadi komplikasi terutama sepsis. Sebelumnya pasang infus cairan rumat yaitu glukosa 5% NaCl (4:1) sebanyak 75ml/kgBB/hari, kemudian diberikan: 1) ATS 10.000 UI/hari selama 2 hari berturut-turut. 2) Diazepam i.v. secara perlahan dengan titrasi dosis sampai kejang hilang, maksimal 2,5 mg; kemudian dilanjutkan dengan 34 mg/kgBB/hari dalam cairan infus. 3) Berikan penisilin prokain 50.000 UI/kgBB f. KIE 1) Imunisasi TT pada ibu hamil dan sebelum menikah. 2) Persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

287

288
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

95. TIFUS ABDOMINALIS Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 23

ICD X : A01

a. Definisi Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii atau Salmonela parathypi yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh feses dan urin pasien. b. Penyebab Bakteri Salmonella typhii atau Salmonela parathypi. c. Gambaran Klinis 1) Anamnesis a) Pada minggu pertama dapat ditemui demam naik secara bertahap pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu). Demam terutama sore/malam hari, dapat disertai sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare. b) Pada minggu kedua demam berupa tipe remiten (demam naikturun, tetapi suhu tidak pernah mencapai normal). Keadaan pasien menurun, dapat apatis, bingung, kehilangan kontak dengan orang sekitarnya, tidak bisa tidur. c) Memasuki minggu ketiga, pasien masuk ke tahap typhoid state, ditandai dengan disorientasi, bingung, insomnia, dapat pula delirium. Sewaktu-waktu dapat timbul komplikasi perdarahan atau perforasi (lemah, pucat, nyeri seluruh perut akibat peritonitis, bahkan ensefalopati disertai dengan syok). Saat ini pasien mengalami BAB lembek, berwarna coklat tua atau kehijauan, berbau (pea soup diarrhea), tapi mungkin juga masih mengalami konstipasi. Pada akhir minggu ketiga suhu mulai turun dan normal pada minggu berikutnya. 2) Pemeriksaan Fisik a) Minggu pertama terkadang hanya didapati demam yang meningkat perlahan-lahan terutama sore/malam hari. Minggu kedua tanda menjadi lebih jelas berupa kesadaran berkabut, bradikardi relatif (frekuensi nadi yang tidak sesuai dengan suhu tubuh pasien; tiap peningkatan suhu 1oC seharusnya disertai dengan peningkatan denyut nadi 8-10 x/menit), thyphoid tongue (lidah kotor di tengah, tepi dan ujung merah, tremor), organomegali: hepatomegali, 289

splenomegali; nyeri abdomen disertai perut yang agak membengkak 2-3 cm di bawah lengkung iga kanan, rose spot/roseolae (jarang pada orang Indonesia). Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan gambaran klasik seperti adonan (doughy) dan terasa usus yang terisi udara. b) Pada minggu ke-3 mulai dapat terlihat perubahan kesadaran (disorientasi, bingung, delirium, supor bahkan koma). Tanda-tanda perforasi: nyeri seluruh perut, distensi abdomen, defense muscular (+). Tanda-tanda perdarahan: melena, hematokesia, sampai dengan syok dapat terjadi. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa kurva panas yang spesifik dan pemeriksaan fisik. e. Penatalaksanaan Tirah baring untuk pasien dengan komplikasi. Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup sebaiknya rendah serat, makanan lunak. f. Pengobatan : 1) Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% pasien dapat disembuhkan. a) Kloramfenikol, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam, b) Anak : 50-100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam. c) Amoksisilin, Dewasa: 500 mg tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam, d) Anak : 50100 mg/kgBB tiap 6 jam sampai 5 hari bebas demam. e) Siprofloksasin, Dewasa: 500 mg tiap 12 jam selama 6 hari. 2) Terapi simtomatik (anti piretik, anti emetik) 3) Roboransia. 4) Terapi cairan, kadang makanan diberikan melalui infus sampai pasien dapat mencerna makanan.

g. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: eradikasi kuman dan mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: a) Pencegahan terhadap carier dan kasus relaps.

290
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Perbaikan sanitasi lingkungan, higiene makanan dan higiene perorangan c) Sebaiknya hindari makan sayuran mentah dan makanan lainnya yang disajikan atau disimpan di dalam suhu ruangan. Sebaiknya memilih makanan yang masih panas atau makanan yang dibekukan, minuman kaleng dan buah berkulit yang bisa dikupas. d) Bila timbul efek samping kloramfenikol (ikterus), ganti antibiotik lain karena kemungkinan terjadi defisiensi enzim G6PD. e) Alasan rujukan: jika selama 5 hari terapi tidak menunjukkan perbaikan atau terjadi perburukan/komplikasi, dugaan perforasi.

96. TIROTOKSIKOSIS Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : -

ICD X : E00-E07

a. Definisi Tirotoksikosis adalah suatu keadaan dimana didapatkan konsentrasi hormon tiroid yang berlebihan. Tirotoksikosis dibagi dalam 4 kategori: 1) Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme 2) Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme 3) Kerusakan Tiroid: tiroiditis subakut, silent thyroiditis, amiodaron, paparan radiasi 4) Sumber hormon tiroid ekstratiroidal: thyrotoxicosis factitia, struma ovarii, karsinoma folikuler fungsional. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang disebabkan produksi hormon tiroid berlebih akibat peningkatan aktivitas kelenjar tiroid yang meningkat. Penyebab tirotoksikosis dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme primer - Penyakit Graves - Gondok multinodula toksik - Adenoma toksik - Obat: yodium berlebihan, lithium - Karsinoma tiroid - Struma ovarii (ektopik) - Mutasi TSH-r1 Gs Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme - Hormon tiroid berlebih (tirotoksikosis faktisia) - Tiroiditis subakut (viral atau De Quervain) - Silent thyroiditis - Destruksi kelenjar: amiodaron, I-131, radiasi, adenoma, infark Hipertiroidisme Sekunder - TSH-secreting tumor chGH secreting tumor - Tirotoksikosis gestasi (trimester pertama) - Resistensi hormon tiroid

Hipertrofi yang paling sering adalah Graves disease, struma multinoduler toksik, dan adenoma toksik. b. Gambaran Klinis 1) Anamnesis Perlu diperhatikan usia pasien (pada lansia gejala sering samar) dan sejak kapan keluhan dirasakan. Dapat dijumpai hiperaktivitas, iritabilitas dan disforia (berkeringat banyak), tidak tahan panas, palpitasi, lelah dan lemah, berat badan menurun namun nafsu makan 291

292
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

meningkat, diare, poliuri, oligomenorea, hilangnya libido, insomnia dan konsentrasi terganggu, gangguan mental, diplopia, fotofobia. 2) Pemeriksaan fisik a) Dapat ditemukan : takikardia, aritmia (atrial fibrilasi), tremor, struma, kadang disertai thrill atau bruit, kulit hangat dan lembab, kelemahan otot, miopati proksimal, refleks fisiologis meningkat, retraksi kelopak mata, eksoftalmus, iritasi mata, rambut semakin halus, alopecia, ginekomastia. b) Gambaran klinis Graves disease: struma difus, tiroksikosis, oftalmopati/ eksoftalmus, dermopati lokal, thyroid acropachy. 3) Pemeriksaan laboratorium penunjang dibutuhkan untuk kepastian diagnosis dan pemantauan hasil pengobatan, didapati kadar T3 dan T4 meningkat dan TSHs (Tiroid Stimulating Hormon sensitive) menurun. c. Diagnosis Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan secara klinis tanpa pemeriksaan laboratorium, namun pemeriksaan laboratorium perlu untuk menilai kemajuan terapi. Komplikasi Krisis tiroid Krisis tiroid adalah suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berbahaya dengan mortalitas amat tinggi. Pada keadaan ini dijumpai dekompensasi satu atau lebih sistem organ. Hampir semua kasus diawali oleh faktor pencetus, diantaranya: infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi, penghentian obat antitiroid, tata laksana, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, CVD/stroke, atau palpasi tiroid terlalu kuat. Probabilitas Diagnostik untuk Krisis Tiroid dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Probabilitas Diagnostik untuk Krisis Tiroid (Burch-Wartofsky, 1993)
Disfungsi pengaturan panas Suhu 37,2-37,7 37,8-38,3 38,4-38,8 38,9-39,4 39,5-39,9 >40 Efek pada susunan saraf pusat
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Tidak ada 0 Ringan (agitasi) 10 Sedang (delirium, psikosis, letargi berat) 20 Berat (koma, kejang) 30 Disfungsi gastrointestinal hepar Tidak ada 0 Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut) 10 Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas) 20

Ringan (edema kaki) Sedang (ronki basal) Berat (edema paru) Fibrilasi atrium Tidak ada Ada Riwayat pencetus Negatif Positif

5 10 15 0 10 0 10

Kemungkinan krisis tiroid: > 45 highly suggestive, 25-44 suggestive of impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil (bukan berarti pasti tidak krisis tiroid). d. Penatalaksanaan 1) Penggunaan obat antitiroid seperti Propiltiourasil (PTU), dosis awal 70200 mg tiap 8 jam selama 68 minggu, pemeliharaan 50300 mg/hari. 2) Pada keadaan krisis tiroid atau bila dicurigai krisis tiroid, harus segera dirujuk ke RS. Sebelum dirujuk dapat dilakukan hal berikut: a) Perawatan suportif: (1) Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen) (2) Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: Infus Dekstrose 5% dan NaCl 0,9% (3) Mengatasi gagal jantung: 02, diuretik, digitalis b) Antagonis aktivitas hormon tiroid: (1) Blokade produksi hormone tiroid: Propiltiourasil (PTU) loading dose 600-1000 mg diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg) (2) Blokade ekskresi hormon tiroid: Solutio lugol (saturated solution of potassium iodida) 10 tetes tiap 6-8 jam (3) Beta blocker: Propanol 20-40 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target: frekuensi jantung <90x/m) (4) Glukokortikoid: Prednison 25 mg (setara hidrokortison 100 mg) c) Pengobatan terhadap faktor presipitasi: seperti pemberian antibiotik pada kasus infeksi, dll. e. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengontrol hormon tiroid, mencegah komplikasi terhadap organ tubuh lain.

5 10 15 20 25 30

Disfungsi Kardiovaskuler Takikardi 99-109 110-119 10 120-129 15 130-139 20 >140 Gagal Jantung Tidak ada

25 0

293

294
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pengobatan harus teratur dan jangka lama, sebagian pasien dapat perlahanlahan diturunkan dosis obat anti-tiroid, namun pasien tidak boleh menurunkan sendiri obatnya hanya karena merasa sudah enak. 3) Pemeriksaan kadar hormon tiroid mungkin diperlukan tiap 13 bulan sekali untuk memantau keberhasilan terapi dan perencanaan menurunkan obatobatan. 4) Kegagalan terapi umumnya karena ketidakpatuhan pasien makan obat, karena itu pasien perlu diperiksa ulang tiap 2 minggu pada 2 bulan pertama, kemudian tiap bulan sampai pengobatan selesai. 5) Alasan merujuk : pada komplikasi krisis tiroid setelah penanganan awal, bila ditemukan komplikasi organ lain yang membutuhkan penanganan lebih lanjut, bila dipertimbangkan untuk melakukan pembedahan atau pemberian iodium radioaktif.

97. TONSILITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 1301

ICD X : J03

a. Definisi Tonsil adalah kelenjar getah bening di mulut bagian belakang (di puncak tenggorokan) yang berfungsi membantu menyaring bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil (amandel) yang dapat menyerang semua golongan umur. Pada anak, tonsilitis akut sering menimbulkan komplikasi. Bila tonsilitis akut sering kambuh walaupun pasien telah mendapatkan pengobatan yang memadai, maka perlu diingat kemungkinan terjadinya tonsilitis kronik. Faktor-faktor berikut ini mempengaruhi berulangnya tonsilitis: rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu), cuaca, pengobatan tonsilitis yang tidak memadai, dan higiene rongga mulut yang kurang baik. Tonsilitis kronik dapat tampil dalam bentuk hipertrofi hiperplasia atau bentuk atrofi. Pada anak, tonsilitas kronik sering disertai pembengkakan kelenjar submandibularis adenoiditis, rinitis dan otitis media. b. Penyebab Infeksi bakteri streptokokus atau infeksi virus (lebih jarang).

c. Gambaran Klinik 1) Pasien biasanya mengeluh sakit menelan, lesu seluruh tubuh, nyeri sendi, dan kadang atalgia sebagai nyeri alih dari N. IX. 2) Suhu tubuh sering mencapai 40C, terutama pada anak. 3) Tonsil tampak bengkak, merah, dengan detritus berupa folikel atau membran. Pada anak, membran pada tonsil mungkin juga disebabkan oleh tonsilitis difteri. 4) Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan leukositosis. 5) Pada tonsilitis kronik hipertrofi, tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripta lebar berisi detritus. Tonsil melekat ke jaringan sekitarnya. Pada bentuk atrofi, tonsil kecil seperti terpendam dalam fosa tonsilaris. 6) Gejala lainnya adalah demam, tidak enak badan, sakit kepala dan muntah.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

295

296
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Tonsil membengkak dan tampak bercak-bercak perdarahan. Ditemukan nanah dan selaput putih tipis yang menempel di tonsil. Membran ini bisa diangkat dengan mudah tanpa menyebabkan perdarahan. Dilakukan pembiakan apus tenggorokan di laboratorium untuk mengetahui bakteri penyebabnya. e. Penatalaksanaan 1) Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per oral atau suntikan (jika sukar menelan) selama 10 hari. a) Pemberian antibiotik amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari. b) Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg tiap 8 jam. Dosis pada anak: eritromisin 40 mg/kgBB/hari, amoksisilin 3050 mg/kgBB/hari. 2) Analgetik (parasetamol dan ibuprofen) lebih efektif daripada antibiotik dalam menghilangkan gejala. Antibiotik hanya sedikit memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko demam rematik. 3) Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 13 hari tidak meningkatkan komplikasi atau menunda penyembuhan penyakit. 4) Bila suhu badan tinggi, pasien harus tirah baring dan dianjurkan untuk banyak minum. Makanan lunak diberikan selama nyeri menelan. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mencegah dan menghindari komplikasi. 2) Pencegahan: menjaga higiene oral. 3) Alasan rujukan: a) bila tonsilitiskronis yang diindikasikan untuk dilakukan tonsilektomi b) Tonsilitis bakteri rekuren (> 4x/tahun) apa pun tipe bakterinya. c) Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia yang berasal dari tonsil. d) Obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh tonsil (yang dapat hampir saling bersentuhan satu sama lain), apneu saat tidur, gangguan oklusi gigi e) Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik. f) bila dicurigai adanya tonsilitis difteri, segera berikan serum anti difteri (ADS), tetapi bila ada gejala sumbatan napas, segera rujuk ke RS. 297

g) Pada tonsilitis kronik, penting untuk memberikan nasihat agar menjauhi rangsangan yang dapat menimbulkan serangan tonsilitis akut, misalnya rokok, minuman/makanan yang merangsang, higiene mulut yang buruk, atau penggunaan obat kumur yang mengandung desinfektan.

298
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

97. TRAKOMA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 40

ICD X : A71

99. TUBERKULOSIS Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 0201

ICD X : H16. 2

a. Definisi Trakoma merupakan infeksi mata yang berlangsung lama yang menyebabkan inflamasi dan jaringan parut pada konjungtiva dan kelopak mata serta kebutaan. b. Penyebab Trakoma terjadi akibat infeksi oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Masa inkubasi berlangsung selama 512 hari. c. Gambaran Klinis 1) Kedua mata tampak merah dan berair. Pasien sukar melihat cahaya terang (silau) dan merasa gatal di matanya. 2) Pada stadium awal, konjungtiva tampak meradang, merah dan mengalami iritasi serta mengeluarkan kotoran (konjungtivitis). 3) Pada stadium lanjut, konjungtiva dan kornea membentuk jaringan parut sehingga bulu mata melipat ke dalam dan terjadi gangguan penglihatan. 4) Gejala lainnya adalah: a) pembengkakan kelopak mata b) pembengkakan kelenjar getah bening yang terletak tepat di depan mata c) kornea tampak keruh. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata. Apusan mata diperiksa untuk mengetahui organisme penyebabnya e. Penatalaksanaan Pengobatan meliputi pemberian salep mata antibiotik yang berisi oksitetrasiklin 1% tiap 12 jam selama 4-6 minggu. Selain itu diberikan kapsul tetrasiklin per oral 500 mg tiap 6 jam selama 4-6 minggu. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk penyembuhan dan pencegahan komplikasi 2) Jika ada kasus maka dilaporkan segera. 3) Penyakit ini dapat menular melalui udara dan air. 299

a. Definisi Tuberkulosis adalah suatu infeksi menular dan menahun dan bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Tuberkulosis paru kini bukan penyakit yang menakutkan sampai penerita harus dikucilkan, tetapi penyakit kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau kematian. Penularan TB paru hanya terjadi dari pasien tuberkulosis terbuka. b. Penyebab Mycobacterium tuberculosis. c. Gambaran Klinis 1) Pada awalnya pasien hanya merasakan tidak sehat atau batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. 2) Jumlah dahak biasanya akan bertambah banyak sejalan dengan perkembangan penyakit. Pada akhirnya dahak akan berwarna kemerahan karena mengandung darah. 3) Masa inkubasi berkisar antara 412 minggu. 4) Salah satu gejala yang paling sering ditemukan adalah berkeringat di malam hari tanpa aktivitas. 5) Keluhan dapat berupa demam, malaise, penurunan berat badan, nyeri dada, batuk darah, sesak napas. 6) Sesak napas merupakan pertanda adanya udara (pneumotoraks) atau cairan (efusi pleura) di dalam rongga pleura. Sekitar sepertiga infeksi ditemukan dalam bentuk efusi pleura. 7) Pada infeksi tuberkulosis yang baru, bakteri pindah dari luka di paruparu ke dalam kelenjar getah bening yang berasal dari paru-paru. Jika sistem pertahanan tubuh alami bisa mengendalikan infeksi, maka infeksi tidak akan berlanjut dan bakteri menjadi dorman. 8) Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar dan menekan tabung bronkial dan menyebabkan batuk atau bahkan mungkin menyebabkan penciutan paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran getah bening dan membentuk sekelompok kelenjar getah bening di leher. Infeksi pada kelenjar getah bening ini bisa menembus kulit dan menghasilkan nanah.

300
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis 1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan dahak mikroskopis. 2) Yang seringkali merupakan petunjuk awal dari tuberkulosis adalah foto rontgen dada. Penyakit ini tampak sebagai daerah putih yang bentuknya tidak teratur dengan latar belakang hitam. Rontgen juga bisa menunjukkan efusi pleura atau pembesaran jantung (perikarditis). 3) Minimal 2 kali sputum BTA (+): didiagnosis sebagai TB paru BTA (+) 4) Bila BTA (+) 1 kali, maka perlu dilakukan pemeriksaan rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. 5) Upaya pertama dalam diagnosis TB paru pada anak adalah melakukan uji Tuberkulin. Hasil positif yaitu > 10 mm atau > 15 mm pada anak yang telah mendapatkan BCG, ditambah dengan gambaran radiologi dada yang menunjukkan infeksi spesifik, LED yang tinggi, limfadenitis leher dan limfositisis relatif sudah dapat digunakan untuk membuat diagnosis kerja TB paru. e. Penatalaksanaan 1) Pencegahan a) Sinar ultraviolet pembasmi bakteri, sinar ini bisa membunuh bakteri yang terdapat di dalam udara. b) Isoniazid sangat efektif jika diberikan kepada orang-orang dengan risiko tinggi tuberkulosis, misalnya petugas kesehatan dengan hasil tes tuberkulin positif, tetapi hasil rontgen tidak menunjukkan adanya penyakit. Isoniazid diminum tiap hari selama 69 bulan. c) Di negara-negara berkembang, vaksin BCG digunakan untuk mencegah infeksi oleh M. tuberculosis. 2) Pengobatan: DOTS Pengobatan TB paru memerlukan panduan antituberkulosis untuk memperoleh hasil terapi yang baik dan mencegah/memperkecil kemungkinan timbulnya resistensi. a) Antibiotik yang paling sering digunakan adalah: isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin; dan etambutol, isoniazid, rifampisin dan pirazinamid dapat digabungkan dalam 1 kapsul, sehingga mengurangi jumlah pil yang harus ditelan oleh pasien. b) Pemberian etambutol diawali dengan dosis yang relatif tinggi untuk membantu mengurangi jumlah bakteri dengan segera. Setelah 2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

bulan, dosisnya dikurangi untuk menghindari efek samping yang berbahaya terhadap mata. c) Streptomisin merupakan obat pertama yang efektif melawan tuberkulosis, tetapi harus diberikan dalam bentuk suntikan. Jika diberikan dalam dosis tinggi atau pemakaiannya berlanjut sampai lebih dari 3 bulan, streptomisin bisa menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan. d) Panduan obat untuk orang dewasa yang dianjurkan oleh Program Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen PPPL adalah sebagai berikut : (1) Panduan obat jangka panjang terdiri dari streptomisin, INH + B6, dan pirazinamid untuk jangka pengobatan 12 bulan. Cara pemberian : (a) Tahap intensif : pengobatan tiap hari kerja selama 4 minggu (24 kali pengobatan) berupa: streptomisin 0,75 mg, INH 400 mg, Vit. B6 10 mg dan pirazinamid 1 gram selama 8 minggu (48 kali pengobatan). (b) Tahap berselang : pengobatan dilanjutkan 2 kali seminggu selama 48 minggu (96 kali pengobatan) dengan streptomisin 0,75 mg, INH 700 mg, ditambah Vit. B6 10 mg. (2) Panduan obat jangka pendek terdiri dari rifampisin, etambutol, INH dan vitamin B6 untuk jangka pengobatan 69 bulan. Cara pemberian : (a) Tahap intensif: pengobatan tiap hari kerja selama 4 minggu (24 kali pengobatan) berupa: rifampisin 450 mg, etambutol 1 g, INH 400 mg ditambah Vit. B6 10 mg. (b) Tahap berselang: pengobatan dilanjutkan 2 x seminggu selama 22 minggu (44 kali pengobatan) berupa: rifampisin 600 mg, INH 700 mg ditambah Vit. B6 10 mg. (c) Wanita yang dalam pengobatan jangka pendek sebaiknya tidak menggunakan pil atau suntikan KB karena keampuhan pil dan suntikan KB dapat berkurang sehingga dapat terjadi kehamilan. (d) Pasien harus diberitahu bahwa rifampisin menyebabkan warna merah pada air liur, air mata, dan air seni. (e) Pengobatan jangka pendek ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui.

301

302
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Khusus pengobatan TB pada pasien anak diperlukan kerja sama yang baik dengan orang tua pasien karena angka drop out cukup tinggi. f) Panduan terapi yang dianjurkan oleh Program P2M untuk anak adalah rifampisin selama 6-9 bulan, etambutol selama 1 tahun, dan INH selama 1,5 tahun. Bila digunakan kombinasi lain, setidaknya tetap mengandung INH. g) Panduan untuk anak: (1) rifampisin 15 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal pagi hari (2) etambutol 15 mg/kgBB tiap 8 jam. (3) INH 10-20 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal atau dosis terbagi 2. h) Selama terapi, kemajuan pengobatan dipantau dengan pemeriksaan darah dan radiologi. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati, mengingat efek rifampisin dan INH terhadap hati. i) Buku-buku acuan baku hanya menganjurkan pengobatan intensif selama 6 bulan dengan dosis yang lebih kecil. Pengobatan berselang dengan dosis besar hanya dilakukan dengan pertimbangan bahwa ada ketidakpatuhan pasien, atau kesulitan dalam supervisi terapi. Akan tetapi, dengan cara itu kemungkinan toksisitas lebih besar, terutama terhadap hati masih perlu diteliti lebih lanjut. j) Panduan terapi untuk dewasa: (1) Rifampisin 45 600 mg, INH 300 mg, pirazinamid 1,22 gram dan etambutol 25 mg/kg BB, semua ini diberikan selama 2 bulan (2) 4 bulan berikutnya: rifampisin 450600 mg dan INH 300 mg. k) Panduan untuk anak: (1) Rifampisin 10 mg/kgBB/hari, INH 10 mg/kgBB/hari, pirazinamid 15 mg/kgBB/hari selama 2 bulan pertama. (2) Dilanjutkan dengan rifampisin dan INH dengan dosis yang sama selama 4 bulan berikutnya. f. KIE Sesuai dengan program P2TB.

100. URTIKARIA Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 2002

ICD X : L20-L30

a. Definisi Merupakan suatu reaksi (alergi) pada kulit yang umumnya dalam bentuk edema lokal dan bersifat self-limited atau dapat sembuh sendiri dalam waktu singkat, meskipun beberapa dapat berkembang menjadi kronik. Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria kronik biasanya keberlangsungannya lebih dari 6 minggu. b. Penyebab Sebagian besar penyebab urtikaria telah diketahui, diantaranya: 1) Alergi terhadap obat, makanan, alergen inhalasi, gigitan atau sengatan serangga. 2) Penyakit infeksi (virus, parasit). 3) Agen fisik (panas, dingin, penekanan, matahari). 4) Penyakit sistemik (contoh: lupus eritematosus sistemik). c. Gambaran Klinis 1) Lesi umumnya berwarna merah muda, edematus dengan berbagai bentuk dan ukuran dan di sekelilingnya eritema. 2) Lesi umumnya memberi rasa gatal hingga nyeri dan seperti sensasi terbakar. 3) Jarang bertahan > 124 jam. 4) Edema di saluran napas menyebabkan sumbatan jalan napas. d. Diagnosis Diagnosis urtikaria umumnya dapat ditegakkan secara klinis, kecuali terdapat diagnosis banding lain maka diagnosis disokong oleh hasil pemeriksaan histopatologis pada lesi urtikaria yang bertahan lebih dari 48 jam. e. Penatalaksanaan 1) Terapi yang ideal adalah identifikasi dan menghilangkan penyebab (bila ditemukan). 2) Pengobatan sistemik a) Diberikan antihistamin (AH) klorfeniramin maleat.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

303

304
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Kortikosteroid sistemik diberikan bila terdapat angioedema atau keterlibatan organ lain, atau urtikaria kronik. Dosis prednison untuk angiodema 20-40 mg/hari, sedangkan urtikaria kronis 10 mg/hari selama 2-3 minggu dan dosis diturunkan secara bertahap. 3) Pengobatan topikal dengan bedak salisil 2%. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk menghilangkan keluhan gatal. 2) Efek samping kortikosteroid akan timbul pada penggunaan jangka panjang dan diluar pengawasan dokter, antara lain moonface, osteoporosis, gangguan menstruasi, iritasi lambung, katarak, penurunan daya tahan tubuh, striae dan lain-lain. 3) Pencegahan: hindari faktor pencetus.

101. VARISELA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 0406

ICD X : B01

a. Definisi Varisela atau cacar air yang ditandai dengan vesikel di kulit dan selaput lendir ini sangat mudah menular melalui percikan ludah dan kontak. Penularan sudah dapat terjadi sejak 24 jam sebelum timbul kelainan kulit sampai 6 7 hari kemudian. b. Penyebab Virus Varicella zoster. c. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi 13 17 hari. 2) Gejala awal berupa pusing, sakit kepala, dan demam yang tidak begitu tinggi. Gejala ini tidak begitu jelas pada anak balita, tetapi menonjol pada anak usia diatas 10 tahun. 3) Pada orang dewasa keluhan ini dapat berat sekali. a) Kelainan kulit muncul mula-mula seperti pada morbili, berupa makula dan papula yang kemudian menjadi vesikel berisi cairan jernih. Perubahan ini berlangsung dalam waktu 24 48 jam. b) Ruam biasanya lebih banyak di badan dibandingkan dengan di anggota gerak. Yang khas pada varisela ini adalah berbagai macam ruam dapat ditemukan dalam satu saat. c) Pada bentuk yang berat kelainan kulit timbul di seluruh tubuh. d. Diagnosis Berdasarkan gambaran klinis dengan bentuk rash yang karakteristik (fluorosensi yang sifatnya papulo vesikuler yang multiforme dan proses penjalarannya sentrifugal). e. Penatalaksanaan 1) Pengobatan yang diberikan hanya bersifat simtomatis: parasetamol bila demam sangat tinggi. Jangan memberikan asetosal pada anak, karena dapat menimbulkan sindroma Reye. 2) Pasien dianjurkan tetap mandi. Kalium permanganat dan antiseptik lain tidak dianjurkan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

305

306
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Kemudian beri bedak salisil 2%. Usahakan agar vesikel tidak pecah dan mengalami infeksi sekunder. 4) Bila ada infeksi sekunder berikan amoksisilin per oral 2550 mg/kgBB/hari atau eritromisin 20-50 mg/kgBB. 5) Obat antivirus bermanfaat bila diberikan <24 jam setelah timbulnya kelainan kulit. 6) Antivirus dapat diberikan pada usia pubertas, dewasa, pasien yang tertular orang serumah, neonatus dari ibu yang menderita varisela 2 hari sebelum 4 hari sesudah melahirkan. 7) Dosis asiklovir: dewasa: 5 x 800 mg sehari selama 7 hari. bayi dan anak: 4 x 20-40 mg/kgBB (maksimal 800 mg/hari) f. KIE 1) Tujuan pengobatan: simtomatik (mengurangi gejala). 2) Pencegahan: hindari kontak dengan pasien, menjaga personal higiene.

102. XEROFTALMIA Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 1005

ICD X : H00-H01

a. Definisi Xeroftalmia adalah kelainan mata akibat kekurangan vitamin A, terutama pada anak balita dan sering ditemukan pada pasien gizi buruk dan gizi kurang. b. Penyebab Faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia: 1) Konsumsi makanan yang kurang/tidak mengandung cukup Vitamin A atau pro-vitamin A untuk jangka waktu lama 2) Bayi tidak mendapatkan ASI Eksklusif 3) Gangguan penyerapan vitamin A 4) Tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis/diare) c. Gambaran Klinis 1) Gejala reversible : a) buta senja (Hemeralopia) b) xerosis konjungtiva: yaitu konjungtiva yang kering, menebal, berkeriput, dan keruh karena banyak bercak pigmen. c) xerosis kornea: konjungtiva kornea yang kering, menebal, berkeriput dan keruh karena banyak bercak pigmen. d) bercak Bitot: benjolan berupa endapan kering dan berbusa yang berwarna abu-keperakan berisi sisa-sisa epitel konjungtiva yang rusak. 2) Gejala irreversible : ulserasi kornea dan sikatriks (scar). d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata. e. Penatalaksanaan 1) Berikan vitamin A 200.000 UI per oral atau vitamin A 100.000 UI injeksi. 2) Hari berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI per oral. 3) Satu-dua minggu berikutnya, berikan vitamin A 200.000 UI per oral. 4) Obati penyakit infeksi yang menyertai. 5) Obati kelainan mata, bila terjadi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

307

308
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Perbaiki status gizi. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk menyembuhkan dan mencegah kebutaan. 2) Pencegahan: berikan vitamin A pada bayi dan anak tiap 6 bulan, lakukan skrining pada bayi dan anak yang kurang gizi, diet tinggi vitamin A seperti sayuran dan buah berwarna merah dan hijau (wortel, tomat, stroberi), ikan, hati ayam dan lain-lain. 3) Alasan rujuk: bila terjadi ulserasi kornea dan sikatrik.

DAFTAR PUSTAKA 1. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Disease of respiratory system : Asthma. Harrissons: Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2009 : 1596 1607. 2. 3. MENTERI KESEHATAN, 4. 5. NAFSIAH MBOI 6. 7. 8. 9. Current Medical Diagnosis & Treatment, Tierney Lawrance M.Jr., Mc Dhee Stephen J., Papandakis Maxine A (editor), 2004. Departemen Kesehatan RI, Daftar Obat Esensial Nasional 2011, DitJen Binfar & Alkes, Jakarta, 2011. Departemen Kesehatan RI, Paket Program Pemeberantasan Rabies Terpadu di Indonesia, DitJen P2MPL, Jakarta, 1996. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatran Dasars di Puskesmas, Ditjen Binfar & Alkes, Jakarta, 2002. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen P2PL, Jakarta, 2009. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, DitJen P2PL, Jakarta, 2005. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus Dan Penyakit Metabolik, DitJen P2PL, Jakarta, 2006. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Kolera, DitJen P2PL, Jakarta, 2006.

10. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut, DitJen P2PL, Jakarta, 2006. 11. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), DitJen P2PL, Jakarta, 2007. 12. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi, DitJen P2PL, Jakarta, 2006. 13. Departemen Kesehatan RI, Petunjuk Pemberantasan Antraks di Indonesia, DitJen P2PL, Jakarta, 2002.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

309

310
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

14. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Umum Program nasional Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi, DitJen P2MPL, Jakarta, 2004. 15. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pemberantasan Penyakit Frambusia, DitJen P2MPL, Jakarta, 2004. 16. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptopirosis di Rumah Sakit, DitJen P2PL, Jakarta, 2003. 17. Departemen Kesehatan RI, Pedoman & Protap Penatalaksanaan Antrak di Indonesia, DitJen P2PL, Jakarta, 2004. 18. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit, Hasil Kerjasama TIM DitJen POM, Ditjen YanMed,SPKer RSCM, RSHS, RS Sutomo, RS Adam malik, Jakarta, 2000. 19. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, DitJen P2PL, Jakarta, 2006. 20. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Pneumonia Balita, DitJen P2PL, Jakarta, 2007. 21. Departemen Kesehatan RI, Penanggulangan Kegawatdaruratan Seharihari & Bencana, Jakarta, 2006. 22. Departemen Kesehatan RI, Tatalaksana Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Anak, DitJen P2PL, Jakarta. 23. Djoni Djunaedi, Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa, Kegawatdaruratan Medik di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. dalam

29. Heru Sundaru, Sukamto. Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009: 404414. 30. IDI, Standar Pelayanan Medis, DitJen Yanmed DepKes, Jakarta, 1997. 31. Konsensus Nasional III Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala, Kelompok Studi Nyeri Kepala, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2010. 32. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, PERKENI, 2006. 33. Pedoman Tatalaksanan Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011. 34. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), Standar Pelayan Medik Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Jakarta, 2004. 35. Pusponegoro, dkk. Penyunting. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2006. 36. WHO, International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem, 10th rev., Vol I,II,III. Geneva, 1994.

24. Farmakologi dan Terapi, Departemen Farmakologi dan Terapetik, Edisi V, FKUI, Jakarta, 2007. 25. Goodman & Gilmans, The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10 Th Ed., Mc Graw-Hill Co., New York, 2001. 26. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. GINA Commitee; 2010. 27. Guideline Stroke, Kelompok Studi Stroke, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesis (Perdossi), 2011. 28. Harrisons et al., Principles Of Internal Medicine, 15 th ed., Vol.I, II., Mc Graw Hill Medical Publishing Division, New York, 2001.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

311

312
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Вам также может понравиться