Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Kolorektal 2.1.1 Definisi Kanker Kolorektal Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7cm di atas anus. Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointestinal di mana fungsinya adalah untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna (Pezzoli A, Mataresen V, Rubini M, 2007).

2.1.2 Epidemiologi Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker (Depkes, 2006). Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang dilaksanakan oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo menunjukkan kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit (WHO, 2003). Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita (Soeripto, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1: Insidensi kanker tertinggi di Indonesia pada tahun 2002 berdasarkan jantina. (WHO, 2008)

2.1.3 Perjalanan Penyakit Karsinoma kolorektal adalah penyakit yang berasal dari sel epitel yang karena faktor herediter atau mutasi somatik memicu terjadinya pembelahan sel tanpa batas. Biar apapun precursornya, alterasi pada set genetik yang membawa kepada malignan kolorektal. Model yang dibina oleh Fearon dan Vogelstain sangat diterima sebagai prototype sekuens perkembangan kanker kolorektal. Dasar patologik bagi model ini adalah adenoma-carcinoma sekuens. Kejadian karsinoma tanpa bukti adenomatues precursor mencadangkan bahawa ada beberapa lesi displastik dapat digenerasi menjadi malignan tanpa melalui tahapan polipoid. Secara molekular karsinogenesis, telah muncul beberapa studi yang mencadangkan mekanisme evolusi kanker. Ada 2 alur patogenetik yang membawa kepada perkembangan kanker kolorektal. Kedua-dua ada mutasi multiple tetapi yang membedakannya adalah gen yang terlibat dan mekanisme akumulasi mutasi. Alur pertama adalah APC/ -catherin, diakibatkan oleh instabilitas kromosom yang menyebabkan akumulasi mutasi dalam satu siri onkogen dan gen tumor

Universitas Sumatera Utara

suppressor. Evolusi molekular dalam alur ini berlaku secara satu siri tahapan identifikasi morfologi. Pertama adalah kolon yang normal, menjadi mukosa yang beresiko, kemudian menjadi adenoma dan berkembang menjadi karsinoma. Alur kedua pula adalah alur instabilitas mikrosatelite. Alur ini dikarakteristik oleh lesi genetik pada DNA mismatch repair genes. Seperti dalam alur pertama, juga ada akumulasi mutasi, tetapi pada alur kedua melibatkan gen yang berbeda, tidak ada adenoma-carcinoma sekuens atau tahapan identifikasi morfologi. Defek DNA repair yang disebabkan oleh inaktivasi DNA mismatch repair genes menginisiasi permulaan kanker kolorektal. Mutasi inheritan dalam gen yang terlibat dalam DNA repair bertanggungjawab untuk familial sindrom (Kumar, Abbas, Fausto, 2010).

2.1.4 Klasifikasi Setelah melakukan biopsi-endoskopi dan bedah, kanker dapat diklasifikasikan. Staging secara umum sangat penting sebagai indikator prognostik. Secara umum kanker dapat dikategorikan dari stadium 1 hingga 4, tetapi untuk kanker kolorektal , dengan lebih spesifik stagingnya dikenali sebagai Dukes. Maka, stadium 1 hingga 4 berkorelasi dengan staging Dukes dari A hingga D.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1: Klasifikasi Duke (Avunduk, Canan, 2002) Kategori Dukes Definisi 5-tahun Survival (%)

Selepas Pengobatan

Kanker in-situ/ displasia grad tinggi, 90 kanker terhad pada mukosa atau

submukosa B1 Kanker sudah penetrasi ke dalam tetapi 80 belum menembus propria muskularis. B2 Kanker sudah menembus propria 70

muskularis atau serosa C1 Sama dengan B1, ditambah metastase 50 nodus limfa. C2 Sama dengan B2 ditambah metastase 50 nodus limfa. D Metastase jauh <30

2.1.5 Manifestasi klinis Gejala Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi

Universitas Sumatera Utara

karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih infiltratif pada waktu diagnosis dari lesi proksimal, maka prognosisnya lebih jelek (Kumar, Abbas, Fausto, 2010).

Gejala subakut Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon (Schwartz, 2005).

Gejala akut Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan

Universitas Sumatera Utara

kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon (Schwartz, 2005).

2.1.6 Diagnosa Biopsi Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan sangat berguna (Casciato DA, 2004). Jenis histopatologi pada kanker kolorektal terdiri dari adenokarsinoma, adenokarsinoma mucinous, radang non spesifik, signet sel karsinoma dan lain-lain.

Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.

Universitas Sumatera Utara

Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan (Casciato DA, 2004). Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA (Casciato DA, 2004).

Digital Rectal Examination Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan (Schwartz, 2005).

Barium Enema Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang

Universitas Sumatera Utara

sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon (Schwartz, 2005).

Endoskopi Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna (Casciato DA, 2004).

Kolonoskopi Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik (Schwartz, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Imaging Teknik MRI, CT scan, transrektal ultrasound merupakan bagian dari teknik imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan screening tes (Schwartz, 2005).

CT scan CT scan dapat mengevaluasi rongga abdominal dari pasien kanker kolon pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan staging dari lesi sebelum tindakan operatif. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien (Schwartz, 2005). Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal (Casciato DA, 2004).

MRI MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar (Schwartz, 2005).

Endoskopi UltraSound (EUS) EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk

Universitas Sumatera Utara

menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS (Casciato DA, 2004).

2.1.8 Penatalaksanaan Pembedahan Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor (Casciato DA, 2004).

Terapi Radiasi Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat

Universitas Sumatera Utara

radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh (Henry Ford, 2006).

Adjuvant Kemoterapi Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi. Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak (Schwartz, 2005).

2.1.9 Pencegahan Diet Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40% ke 30% dari total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol (Schwartz, 2005).

Non Steroid Anti Inflammation Drug Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker kolorektal, baik pada

Universitas Sumatera Utara

kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun (Casciato DA, 2004).

Hormon Replacement Therapy (HRT) Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002 orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah pemakaian HRT dihentikan (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA, 2001)

Universitas Sumatera Utara

2.2 Faktor-faktor resiko terjadinya Kanker Kolorektal 2.2.1 Polip Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker (gambar 2.3). Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma (Casciato DA, 2004). Gambar 2.2 Sekuens Adenoma Karsinoma

2.2.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease Ulseratif Kolitis Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang

Universitas Sumatera Utara

direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak

menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi (Casciato DA, 2004).

Penyakit Crohns Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif colitis (Casciato DA, 2004). Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohns sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohns disease (Schwartz, 2005).

2.2.3 Faktor Genetik Riwayat Keluarga Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker

Universitas Sumatera Utara

kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya (Casciato DA, 2004).

Herediter Kanker Kolorektal Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar (Depkes, 2006). Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC) (Casciato DA, 2004).

2.2.4 Diet Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal (Casciato DA, 2004). Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.

Universitas Sumatera Utara

Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal (Soeripto, 2003).

2.2.5 Gaya Hidup Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar (Casciato DA, 2004). Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan dengan pemakaian rokok (Depkes, 2006). Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA, 2001). Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The

Universitas Sumatera Utara

Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA, 2001).

2.2.6 Usia Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000) (Hansen J, 1998). Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada sebagian besar populasi (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA, 2001). Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih (Depkes, 2006), dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun (Casciato DA, 2004). Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia 65 tahun (Devita VT,

Hellman S, Rosenberg SA, 2001), angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun (Casciato DA, 2004). Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar 5% (Casciato DA, 2004). Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita kanker

Universitas Sumatera Utara

kolorektal kurang dari 10% (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA, 2001). Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3% (National Cancer Institute, 2006). Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan pada usia lanjut yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi, terutama antara Negara berkembang dan Negara maju (Kastomo DR, Soemardi A, 2005). Bila di Negara maju angka kejadian penyakit ini meningkat tajam setelah seseorang berusia 50 tahun dan hanya 3 persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI, 1996-1999) menunjukkan persentase yang lebih tinggi yakni 35,25% (Depkes, 2006). Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di berbagai negara beberapa dekad terakhir, dan akan terus meningkat lebih jauh beberapa tahun mendatang (Kastomo DR, Soemardi A, 2005). Tingkat harapan hidup di Indonesia pada saat kelahiran diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk pria dan wanita (WHO, 2003). Peningkatan usia harapan hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia (Suyono, 2001). Meningkatnya jumlah orang yang berusia lebih tua akan menambahkan beban ganda pada penyakit, dengan umumnya penyakit yang menular di satu sisi, dan meningkatnya prevalansi penyakit yang tidak menular di sisi lainnya (WHO, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Вам также может понравиться