Вы находитесь на странице: 1из 4

Awal 2013 Tampil Lembaga Super: Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah suatu lembaga independen yang terdiri darisembilan anggota dewan komisaris yang sifatnya kolektif kolegial dimana terdapat dua anggota unsur perwakilan ex-offico dari Pemerintah, Perwakilan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, bertugas me nga wasi perbankan, pasar modal, perusahaan pem biayaan dan asuransi. Untuk perbankan khu susnya, akan me ngatur aspek mik ro pru densial ser ta pe me riksaan bank. Dengan kata lain, lembaga yang independen dan terintegrasi melaksanakan fungsi pengawasan tugas wewenang perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Lembaga itu akan mengambil alih tugas pengawasan bank, lembaga keuangan non bank dan pasar modal mulai 1 Januari 2013. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah diundangkan dan diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 21 tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 27 Oktober 2011 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), setelah melalui masa 8 tahun Rancangan Undang-undang (RUU) sebelum disahkan. Dengan disahkannya RUU OJK, maka per tanggal 31 De sem ber 2012, Badan Pengawas Pasar Mo dal dan Lembaga Ke uangan (Ba pe pam-LK) otomatis akan melebur ke dalam OJK. Se men tara un tuk pengawasan perban kan, Bank Indonesia (BI) dipersilahkan masuk ke OJK pada awal 2013, atau paling lambat Desember 2013. Berkaitan dengan disahkannya UU OJK, maka tugas BI mencakup dua bidang, yakni terkait dengan sis tem pembayaran dan melaku kan sta bilitas moneter, sedang kan penga wasan perbankan di lakukan oleh OJK. Sementara Badan Penanaman Modal (Bapepam) ha nya sebagai regulator atau pem buat regulasi, sedangkan tu gas pe ngawasan terhadap lembaga ke uangan diam bilalih OJK. OJK akan menjadi lembaga independen yang terintegrasi sebagai pengawas sektor jasa keuangan. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good clean governance), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran. UU ini memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan, diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, antara lain Undang-Undang tentang Perbankan, UU Pasar Modal, UU Usaha Perasuransian, UU tentang Dana Pensiun, dan peraturan perundangundangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan. Hal-hal yang diatur dalam pembentukan, status dan kedudukan OJK. UU OJK antara lain meliputi:

OJK dibentuk berdasarkan UU dan merupakan lembaga yang independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU. OJK berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar wilayah negara Republik Indonesia.

OJK dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil serta mampu melindungi kepentingan masyarakat, terutama dalam hal ini perlindungan terhadap konsumen. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini perbankan, pasar modal, asuransi dan jasa keuangan lainnya. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dalam kaitannya dengan tujuan pembentukan OJK yang terutama untuk melindungikonsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian, serta melakukan pelayanan terhadap pengaduan masyarakat. Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), dengan anggota terdiri dari: Menteri Keuangan sebagai anggota merangkap koordinator. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.

Sesuai Menteri Keuangan, Agus Martowardodjo, pengesahan RUU OJK menjadi UU ini merupakan langkah strategis dan fundamental menghadapi situasi keuangan Indonesia yang makin kompleks dan dinamis. Dengan adanya OJK Indonesia telah me miliki sistem yang kuat untuk menang kal krisis global. Dalam UU OJK telah dicantumkan me ngenai koordinasi dan pe ngambilan keputusan di antara otoritas terkait, terutama ketika terjadi krisis secara cepat. Hal itu diharapkan dapat memi ti gasi risiko krisis di tengah kon disi per ekonomian global yang se ma kin tidak stabil. Menurut Menteri Keuangan, OJK tetaplah lembaga independen, perwakilan ex-officio yang dibutuhkan untuk menjalin koordinasi dan harmonisasi kebijakan antara OJK, otoritas fiskal, dan otoritas moneter, Di samping itu, berdasarkan pembelajaran kasus-kasus keuangan dalam satu dasawarsa terakhir, Pemerintah dalam hal ini telah mengukuhkan OJK sebagai otoritas yang lebih berpihak pada Konsumen. Kesimpulan saya adalah karena UU OJK baru akan diberlakukan per 1 Januari 2013, maka kita belum bisa melihat efektifitas dan efisiensi otoritas OJK, namun pembentukannya diharapkan dapat melindungi kepentingan masyarakat dalam hal ini Konsumen, yaitu dengan pengawasan yang dilakukan oleh satu lembaga independen yang terintegrasi. Diharapkan dengan pelaksanaan yang terkoordinir dan terintegrasi, keputusan dapat diambil dengan cepat, selain bertujuan untuk memitigasi risiko krisis di tengah perekonomian global yang semakin tidak stabil.

Pakar Pertanyakan Status Hukum Keuangan OJK


Anggaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan pungutan dari penyelenggara jasa keuangan dinilai sebagai ketidakjelasan status hukum keuangan otoritas tersebut. Hal itu dikatakan oleh Guru Besar Hukum Keuangan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Arifin P Soeria Atmadja, dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (23/4). Menurutnya, ketidakjelasan status keuangan OJK terletak pada penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pasal tersebut mengamanatkan pembiayaan OJK mandiri berasal dari pungutan penyelenggara jasa keuangan, sedangkan pembiayaan dari APBN dibutuhkan hanya pada saat pungutan yang dilakukan tidak memenuhi pembiayaan operasional OJK. Di lain pihak, dia (OJK) adalah suatu lembaga yang masih menggunakan APBN. Kalau dia independen, seharusnya dia berbadan hukum sendiri, jadi uang yang masuk ke sana adalah merupakan keuangan OJK, bukan lagi keuangan negara, tutur Arifin. Menurut Arifin, jika OJK tidak diklasifikasikan sebagai badan hukum dan juga tak dipertegas sebagai lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, maka perlu ditelaah status hukum keuangan pungutan OJK terhadap penyelenggara jasa keuangan. Dilihat dari UU-nya, OJK dapat menerima, mengelola dan mengadministrasikan pungutan tersebut tanpa menyetorkan terlebih dahulu sesuai dengan asas kas. Namun, jika pungutan jasa keuangan tersebut terdapat kelebihan anggaran, OJK menyetorkannya ke kas negara. Jika di Indonesia dianut pola pengelolaan keuangan yang umum dan khusus dalam bentuk Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPKBLU), maka dengan ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2011 terdapat pola pengelolaan khusus keuangan OJK (PK-OJK), ujar Arifin. juga mengkritik laporan keuangan tahunan OJK yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (8) UU OJK. Menurut Arifin, pasal tersebut menyatakan bahwa laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau akuntan publik yang ditunjuk BPK. Arifin menilai ketentuan ini sarat dengan konflik kepentingan karena laporan keuangan BPK juga diperiksa oleh akuntan publik. Hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. Jika pungutan yang dilakukan OJK merupakan penerimaan OJK, mengapa pemeriksaan tidak langsung dilakukan akuntan publik yang kemudian hasilnya disampaikan ke DPR dan BPK, katanya. Atas dasar itu, ia menyarankan agar OJK ditetapkan sebagai badan hukum publik seperti halnya Bank Indonesia (BI). Penetapan ini harus dimasukkan ke dalam revisi UU OJK. Selain itu, modal awal OJK sebagai badan hukum publik merupakan pinjaman yang nantinya akan dikembalikan ke APBN, sehingga sumber keuangan OJK seluruhnya dari pungutan jasa keuangan.

UU OJK tidak hanya mengecualikan beberapa hal OJK tidak terikat dengan paket UU Keuangan Negara dan APBN, tapi juga harus menyatakan OJK sebagai badan hukum publik yang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya tidak termasuk keuangan negara, tutur Arifin. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengatakan bahwa sumber pendanaan OJK berasal dari APBN dan iuran penyelenggara jasa keuangan sudah mengkategorikan bahwa OJK sudah berbadan hukum yang independen. Tapi independensi OJK dinilainya tak seperti independensi BI. OJK agak independen, kalau BI independennya 100 persen, katanya kepada hukumonline, Rabu (24/4).Harry memaklumi kekhawatiran Arifin soal independensi OJK. Pasalnya, di jajaran pimpinan OJK terdapat ex officio yang berasal dari pemerintah, yakni Wakil Menteri Keuangan. Ia menduga, pejabat ex officio tersebut akan mementingkan kepentingan pemerintah saat pengambilan keputusan di OJK dilakukan. Karena ada ex officio wakil pemerintah di OJK, hasilnya independensi OJK hampir 80 persen, ujarnya.Terkait sumber anggaran OJK, menurut Harry, diperlukan diskusi terlebih lebih dalam lagi. Apakah anggaran dari APBN akan bersifat permanen atau terjadwal. Permanen misalnya, APBN 70 persen dan pungutan iuran 30 persen. Atau terjadwal, untuk tahun 2013 APBN sebesar 100 persen, dan di tahun-tahun berikutnya berkurang persentasenya. Ini harus didiskusikan lagi, katanya. Sebelumnya, saat mengikuti fit and proper test sebagai calon komisioner OJK, Ilya Avianti menilai bahwa iuran yang dipungut dari lembaga keuangan akan mengurangi independensi OJK. Menurut Ilya yang kini menjabat sebagai Anggota Dewan Komisioner bidang Auditor ini, lebih baik pendanaan OJK berasal dari APBN semata. Tidak boleh ada yang membiayai dan tidak boleh ada yang mensponsori agar OJK tetap independen, katanya.

Вам также может понравиться