Вы находитесь на странице: 1из 5

Ketentuan KUHP tentang Tindak Pidana Perpajakan

Tugas utama negara (pemerintah) adalah berusaha menciptakan kesejahteraan rakyat. Itulah sebabnya, negara harus tampil di depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam kehidupan masyarakat, terutama di bidang perekonomian bagi tercapainya kesejahteraan rakyat. Untuk menciptakan kesejahteraan tersebut, penarikan atau pemungutan pajak merupakan suatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Sebagai konsekuensinya, selalu dituntut kebijakan pemerintah (government policy). Kebijakan perpajakan secara efektif dapat digunakan sebagai alat penyeimbang kelesuan ekonomi dan inflasi. Kebijakan tersebut mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang keadilan sosial, alokasi sumber-sumber pendapatan, distribusi pendapatan dan akumulasi modal. Lebih dari itu, kebijakan dapat berperan untuk mendidik rakyat sadar berpolitik dan bernegara. Salah satu manifestasinya diwujudkan dalam bentuk kerelaan berkorban demi kepentingan negara, yakni kerelaan membayar pajak. Lahirnya UU No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) merupakan salah satu tonggak perubahan yang mendasar dari reformasi perpajakan di Indonesia. UU itu disusun dengan tujuan, antara lain untuk memberikan rasa keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak (WP), kepastian dan penegakan hukum, serta keterbukaan administrasi perpajakan dan kepatuhan sukarela WP hingga akhirnya dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Dengan terbentuknya undang-undang itu, diharapkan dapat menciptakan sistem perpajakan di Indonesia yang dapat mendatangkan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam praktiknya para WP masih sering melakukan kecurangan atau ketidakjujuran dalam menjalankan kewajibannya. Dalam sistem hukum perpajakan di Indonesia, untuk mengantisipasi banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh WP, baik perseorangan maupun korporasi, maka dirumuskanlah aturan tindak pidana perpajakan, baik dalam UU KUP maupun KUHP. UU KUP membagi tindak pidana perpajakan meliputi kategori pelanggaran (karena WP dianggap lalai atau alpa) dan kategori kejahatan.

Apabila korporasi melakukan tindak pidana perpajakan, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perpajakan harus dilihat secara komprehensif siapa saja yang terlibat dalam proses tindak pidana perpajakan tersebut. Secara normatif ketentuan perundangundangan perpajakan mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana. Jika korporasi yang berbuat, maka pengurus yang bertanggung jawab. Pertanggungjawaban pengurus sangat tergantung pada jenis tindak pidana yang dilakukan korporasi tersebut dan ketentuan dari undang-undang yang mengaturnya. Jika pengurus yang bertanggung jawab dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perpajakan, maka yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya adalah pengurus dan pihak yang menyuruh, membantu atau ikut serta melakukan tindak pidana itu. Sebenarnya tindak pidana pajak harus diberlakukan sebagai ultimum remidium, yaitu perbaikan paling akhir sebagai obat pamungkas. Artinya, penegakan tindak pidana pajak diharapkan lebih terfokus pada pengembalian kerugian keuangan negara, tidak sekadar menegakkan hukum pidana pajak yang penyelesaiannya terlalu lama. Ini penting agar kesejahteraan rakyat dapat segera terwujud.

Asas dan Dasar Hukum Tindak Pidana Perpajakan Terkait dengan asas hukum dalam tindak pidana perpajakan dalam KUHP, ada 2 yaitu: Pertama, Asas Teritorialitas (Pasal 2 KUHP): Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di Indonesia. Kedua, Asas Nasional Aktif (Pasal 5 KUHP): bahwa WNI yang berada di Luar Negeri yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan menurut perundang-undangan pajak Indonesia, dapat dituntut dan diadili karena melakukan tindak pidana pajak berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

Dasar hukum tindak pidana perpajakan terdapat dalam UU perpajakan, KUHP dan juga dalam KUHAP. A. UU Perpajakan a. UU No.6/1983 jo. UU No.16/2000 ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP): Pasal 38, 39, 40, 41, 41A, 41B, 43. b. UU No.12/1985 jo. UU No.12/1994 tentang PBB: Pasal 24 & 25. c. UU No.13/1985 tentang Bea Meterai: Pasal 13 & 14. d. UU No.10/1995 tentang Kepabeanan: Pasal 102 111 e. UU No.11/1995 tentang Cukai: Pasal 50 51 f. UU No.18/1997 jo. UU No.34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD): Pasal 37 40. B. KUHP Psl 103, 253 C. KUHAP a. Pasal 42 ayat (1) UU PDRD. b. Pasal 44 ayat (1) UU KUP.

Pasal 37 PDRD: (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak yang terutang.

(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang. Pasal 38 PDRD: Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 th sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Pasal 39 PDRD: Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Pasal 40 PDRD: (1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud d alam Ps. 36 ay (1) & (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 2 juta. (2) Pejabat yg dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Ps.36 ay (1) & (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 5 juta. (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) & (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar.

3. Obyek dan Subyek Hukum Tindak Pidana Pajak Obyek Hukum Tindak Pidana Pajak adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar laranganlarangan atau kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kerugian keuangan negara, diancam dengan hukuman pidana. Contohnya: Pasal 39 ayat (1) hrf c UU KUP Pasal 103 hrf a UU Kepabeanan Pasal 37 ayat (2) UU PDRD

Subyek Hukum Tindak Pidana Pajak adalah Orang, badan, atau siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum pidana pajak dan terhadapnya dapat dijatuhi hukuman pidana . Wajib Pajak/Penanggung Pajak , adalah: Ps. 1 Huruf a UU KUP Orang Pribadi sebagai Individu & Ps 1 ay (2) UU PDRD. Ps. 1 huruf a dan Ps 37 ay (2) UU PDRD Seseorang sebagai pengurus dari suatu badan hukum perdata atau badan lainnya . Ps. 108 ay (4) UU No.10/1995 Badan hukum perdata atau badan hukum lainnya.

Bukan Wajib Pajak/Penanggung Pajak: Ps. 34 Pejabat Pajak & 41 UU KUP, Ps. 36 & 40 UU PDRD. Ps 41A UU KUP Pihak Ketiga. Ps. 43 ay (1) UU KUP Penyertaan Tindak Pidana Pajak.

Вам также может понравиться