Вы находитесь на странице: 1из 11

BAB I KASUS POSISI

A.FAKTA-FAKTA 1). Fakta Tentang Film Sometimes In April Sometimes In April adalah objek penelitian dari studi kasus yang penulis lakukan ini merupakan sebuah film yang didalamnya sarat akan muatan Hukum Internasional khususnya pada kajian Hukum Humaniter Internasional. Selanjutnya penulis akan lebih memfokuskan kepada pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum humaniter yang ada dalam objek penelitian, dalam hal ini Sometimes In April. Adalah sebuah film yang berusaha menampilkan kecamuk yang terjadi di tanah Rwanda, dengan segala kekejaman yang ada pada waktu itu, sometimes in april berawal pada tahun 2004, ketika Augustin Muganza, yang bekerja sebagai guru sebuah sekolah berusaha memperlihatkan catatan kelam negara Rwanda kepada muridnya. Dan inilah yang menjadi sebuah bentuk ingatan flashback dari Augustin atas pengalaman pahit dan kelam yang dialaminya ketika di masa rezim Hutu. Augustin tadinya merupakan seorang Kapten Tentara Nasional Rwanda. Ia sendiri merupakan orang yang berlatarbelakang Suku Hutu. Memiliki seorang istri berdarah Tutsi yang diperankan oleh tokoh Jeanne. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah anak-anak Augustin memiliki darah beraliran Tutsi dan ini yang kemudian menjadi problematika utama ditengah rezim Hutu kemudian. Setelah kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah kecoa yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal. Pada awalnya sweeping dilakukan untuk menselektif mana yang Hutu atau Tutsi, tetapi gerakan kemudian menjadi massive dan tidak terkendali dipengaruhi oleh provokasi, power, dan emosi terkadang masyarakat sipil dan tentara Hutu brutal tanpa membedakan mana yang Hutu atau bukan. Maka pada konteks inilah saya melihat yang menjadi satu nilai lebih kesuksesan sutradara dalam menciptakan bentuk film historical-drama. Perasaan emosional yang berkecamuk pada tokoh utama Augustin sangat tersirat jelas ketika mengetahui kematian teman, istri, dan anaknya. Ditambah lagi ia merasa dilematis dan sangat emosional ketika harus bertemu dengan adiknya (Honore Butera), yang pada dasarnya turut andil dalam peristiwa genosida di Rwanda.

Inilah yang menurut saya menjadi kesuksesan dalam film ini, yaitu mampu memperlihatkan seperti apa genosida itu dilihat dari mereka yang mengalaminya. Compelling, Stunning, and Extraordinary menjadi tiga kalimat yang mampu memperlihatkan ketakjuban akan film ini. 2). Fakta Tentang Film Sometimes In April Film ini mengisahkan tentang pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi pada bulan April 1994. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsis yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini saya melihat mulai muncul bentuk primordialisme yang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front, kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi. B.PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA 1. SUKU HUTU 2. SUKU TUTSI

BAB II PERMASALAHAN DAN TINJAUAN TEORITIK


A. MASALAH HUKUM 1) Film Sometimes In April adalah salah satu film yang cerita nya diangkat dari kisah nyata yang memang terjadi di Rwanda. Terlepas dari segala bumbu yang ditambahkan, apakah yang dilakukan suku hutu (seperti yang digambarkan di film) sesuai menurut kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional? 2) Jika tidak sesuai apakah para suku hutu yang melakukan pembantaian pada suku tutsi tadi dapat dikatakan sebagai Penjahat Perang dan dapat diadili di Mahkamah Internasional?

B. TINJAUAN TEORITIK Hukum Humaniter Internasional, atau lebih lengkap disebut sebagai International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict pada awalnya disebut sebagai hukum perang atau Laws of War, namun karena dirasa tidak terlalu tepat, istilah itu kemudian berganti menjadi Hukum Konflik Bersenjata (Law of Armed-conflict).1 Namun karena didalamnya terdapat unsure-unsur kemanusiaan (humanity) maka istilah itu berganti dan dikenal sampai sekarang sebagai Hukum Humaniter Internasional.2 Hukum Humaniter Internasional ada dan dibuat karena alasan kemanusiaan seperti yang penulis sebutkan diawal, demi membatasi akibat yang timbul dari peperangan kepada orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dalam perang, dalam hal ini warga sipil dan juga membatasi caracara dalam berperang agar sesuai dengan asas-asas yang diakui dalam Hukum Humaniter Internasional.3 Bila dilihat dari kacamata sumber hukum yang dapat digunakan, maka Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu:4 1) Hukum Jenewa, menekankan pada aspek non-kombatan yang disusun guna melindungi personel militer yang tidak lagi ikut berperang dengan alasan tertentu, misalnya luka dan sebagainya serta juga untuk melindungi warga sipil yang tidak terlibat aktif. 2) Hukum Den Haag, menekankan pada cara-cara yang dianggap patut dalam peperangan yang menetapkan hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dan melaksanakan operasi militer, yaitu dengan jalan member batasan-batasan tertentu mengenai sarana yang boleh dan tidak boleh dipakai untuk menundukkan lawan. Lalu apakah hubungan antara kedua hukum tersebut? Jadi, Hukum Den Haag inti nya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan cara dan alat perang. Hukum Jenewa mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Dan, hukum campuran, menggabungkan keduanya, cara dan alat perang serta perlindungan terhadap korban perang disebut hukum campuran Dalam film Sometimes In April ini diperlihatkan bagaimana Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah kecoa yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio

Abdul Muthalib, Hukum Internasional Dan Perkembangannya , Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2012.hal:6 2 GPH Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press,2007.hal:23
3

Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:Erlangga, 2009.hal:13 Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung.hal:25

nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal. Instrumen Hukum Humaniter Internasional yang paling utama sebenarnya adalah pada konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang merupakan perlindungan bagi korban perang yang telah diterima secara luas oleh Negara-negara di dunia.5 Untuk melengkapinya, Konvensi Jenewa mengadopsi dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Dengan demikian instrumen utama hukum humaniter adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977.6

BAB III DASAR PEMIKIRAN


Untuk dapat menjawab hal-hal yang ditulis berdasarkan permasalahan di bab sebelumnya, maka penulis menggunakan instrument Hukum Internasional, dalam hal ini adalah Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa sendiri terdiri dari Konvensi I sampai dengan Konvensi IV dan dilengkapi dengan dua Protokol Tambahan I dan II pada tahun 1977.7 A. KONVENSI JENEWA 1949 Konvensi Jenewa 1949 yang merupakan Konvensi yang digunakan untuk perlindungan korban perang dan luka juga dikenal dengan sebutan Konvensi-Konvensi Palang Merah, terdiri dari empat konvensi, yaitu:8 1) Konvensi Jenewa I, untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat; 2) Konvensi Jenewa II, untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam di Laut; 3) Konvensi Jenewa III, mengenai Perlakuan Tawanan Perang; 4) Konvensi Jenewa IV, mengenai Perlindungan Warga Sipil di waktu Perang. Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yaitu:9
5

Henckaerts,Jean-Marie, Sebuah Sumbangan Bagi Pemahaman dan Penghormatan Terhadap Tertib Hukum Dalam Konflik Bersenjata, 87-857,International Review of The Red Cross vol 18, (2005).hal:56
6

Xavier, Philippe,Prinsip-Prinsip Yurisdiksi Universal dan SalingMelengkapi, 88:862, International Review of The Red Crossvol 21.(2006).hal: 76
7 8

Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999.hal:54 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : Raja Grafindo, hlm. 32

1) Protokol Tambahan I, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. 2) Protokol Tambahan II, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dan orang-orang yang juga tidak terlibat dalam peperangan (non-kombatan). Aturan yang secara garis besar substansinya adalah dalam hal pertanggungjawaban komando serta melindungi orang-orang sipil yang tidak ikut berperang (dalam hal ini juga para wartawan) dapat ditemukan dalam Pasal-pasal tertentu yang ada didalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan nya, antara lain:10 A. Pasal 13 Angka (4) Konvensi Jenewa I, Konvensi ini akan berlaku terhadap yang luka dan yang sakit yang termasuk dalam golongan-golongan berikut, Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok perbekalan, anggotaanggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai.

B. Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa kejahatan perang karena terjadi pada situasi perang dan yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi menurut konvensi.11 C. Pasal 50 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orangorang atau objek yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan : (i) pembunuhan disengaja; (ii) penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan; (iii) percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas badan atau kesehatan yang berat; (iv) penghancuran yang luas; dan

J.G. Starke, Pengantar hukum internasional, Jakarta : Sinar Grafika.hal:45 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia , Bandung : Binacipta.hal:44 11 Wiratraman ,R.Herlambang Perdana Wiratraman,Konsep dan Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusian ,Jurnal Ilmu hukum, Vol 23 tahun 2008.HAL:68
10

(v)

tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena.12

D. (diperjelas) oleh Pasal 51 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977, menyebutkan bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat situasi perang maka penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak yang seharusnya wajib dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa penyerangan yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang. E. Mahkamah Kriminal untuk Rwanda13 Mahkamah ini bertempat di Arusha,Tanzania yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.955 tanggal B November 1994. Tujuan dibentuknya Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang orang yang melakukan genosida di Rwanda dan mengadili warga Negara Rwanda yang melakukan genosida dan pelanggaran serupa lainnya di wilayah Negara tetangga dan Rwanda yang dilakukan pada tanggal 1 januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994. Yuridiksi Dari Mahkamah Kriminal Rwanda ditujukan untuk kejahatan-kejahatan ,sebagai berikut : 1. Genosida 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan 3. Pelanggaran terhadap pasal 3 konvensi Jenewa ,1949 danh Protocol Tambahan II 1977 F. Mahkamah Pidana Internasional Apabila dibandingkan dengan mahkamah militer Nuremberg , Tokyo,Yugoslavia dan Rwanda maka mahkamah Pidana Internasional adalah salah satu Peradilan Internasional yang bersifat permanen. Mahkamah Pidana Internasional Ini bertempat kedudukan Di Den Haag Belanda Yuridiksi dari ICC mencakup empat kejahatan yaitu genosida,kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang dan kejahatan agresi.

12

Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta:Erlangga, 2009.HAL:79

13

Elsam, Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, Genosida, Kejahatan Perang, dan KejahatanTerhadap Kemanusiaan Vol 16 , Jakarta, (2004).HAL:58

BAB IV ANALISIS
PELANGGARAN TERHADAP HAK KEMANUSIAAN Seperti telah diuraikan diatas, bahwa setiap manusia mempunyai hak nya sama saja dalam hal terjadi konflik bersenjata. Maka dalam hal ini, suku hutu pun melakukan hal-hal yang memenuhi unsur kejahatan berat terhadap kemanusiaan berupa pembantaian besar-besaran atau pemusnahan secara masal terhadap suku tutsi. Dasar hukum nya pada Pasal 27 dan Pasal 35 Konvensi Jenewa IV 1949. Dari uraian diatas banyak sekali pelanggaran terhadap Azas Hukum Humaniter (Humanity) yaitu Azas Perikemanusiaan, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 yang dilakukan saat konflik bersenjata di Ossetia. Singkatnya, dapat dibuat uraian para komandan telah melakukan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 antara lain : 14

a) Pembunuhan yang disengaja; b) Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia, termasuk percobaanpercobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan penderitaan hebat; c) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan dengan semenamena; d) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi pada Penguasa Perang; e) Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa III; f) Memindahkan atau menstransfer penduduk dengan paksa; g) Menjatuhkan hukum kurungan; dan h) Melakukan penyanderaan. Pertanggungjawaban komando di dalam Hukum Humaniter Internasional, selain melibatkan atasan, maka yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dan menjadi rantai komando adalah juga anak buah/bawahan langsung yang melakukan pembunuhan/pelanggaran. Maka, dapat dikatakan bahwasanya para komandan dan juga bawahan yang melakukan pelanggaran tadi dapat dituntut di muka pengadilan Internasional, karena memang apa yang mereka lakukan telah banyak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan yang diatur di dalam Hukum Humaniter melalui instrumen hukum nya. Kaitan HAM dan sebuah negara yang mengakui hukum adalah sangat erat, sekalipun sifatnya kedua hal tersebut bertolak belakang. HAM adalah hak kodrati sehingga tidak membutuhkan pengesahan, namun seiring perkembangan pengaturan HAM pun dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia.Upaya perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya
14

Mitchell, Andrew, Failure to Halt, Prevent or Punish, The Doctrine of Command Responbility for War Crimes vol 22, Sydney Law Review, (tanpa tahun).HAL:46

yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM berat bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku. Hukum Internasional telah meletakan suatu dasar bahwa suatu negara memikul tanggung jawab utama dalam penegakkan hukum atas pelanggaran HAM berat, yang mana tanggung jawab negara tersebut tidak dapat dikurangi dengan alasan-alasan politik, ekonomi maupun budaya. Belum ada pengertian secara teoritik tentang apa itu pelanggaran HAM berat, namun menurut F.S. Suwarno terjadinya pelanggaran HAM berat, antara lain disebabkan karena adanya sentralisme kekuasaan, adanya absolutisme kekuasaan, dan adanya dominasi militerisme. Suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act of commision), ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang mestinya harus dicegah (act of ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.15 Biarpun belum ada pengertian secara pasti, pelanggaran berat yang dilakukan dalam hal hukum humaniter internasional, dapat saja kita katakan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya begitu yang menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara. Dalam sejarah perkembangan HI, pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang para pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando merupakan bagian dari kejahatan internasional.Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat terjadi pada konflik bersenjata baik yang bersifat internasional maupun non internasional. Sejumlah model pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan melalui pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik. Dalam hal ini, tidak hanya instrumen hukum internasional yang dapat digunakan dalam hal pertanggungjawaban, sesungguhnya negara juga berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia warga yang berada dibawah kekuasaannya, jadi ada kemungkinan hukum nasional sebuah negara juga dapat dipakai.

15

Moseneke, Dikgang, Deputi Chief Justice of South Africa, The Role of Comparative and Public International Law Vol 23, (2010).HAL59

BAB V KESIMPULAN 1) Tindakan yang dilakukan para suku hutu merupakan pelanggaran berat terhadap Hukum Humaniter. 2) Tindakan yang dilakukan tadi mungkin saja dan dapat dituntut di muka pengadilan Internasioanal yang berwenang dikarenakan tindakan genosida merupakan pelanggaran hukum berat . 3) Tanggung jawab dalam kasus ini adalah rezim suku hutu dikarenakan suku hutu telah melakukan tindakan pelanggaran kemanusiaan yang sangat berat yaitu pemusnahan suatu kaum atau suatu etnis (genosida).

DAFTAR PUSTAKA
1.Abdul Muthalib, Hukum Internasional Dan Perkembangannya, Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2012. 2.GPH Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press,2007. 3.Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:Erlangga, 2009 4.Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung. 5.Henckaerts,Jean-Marie, Sebuah Sumbangan Bagi Pemahaman dan Penghormatan Terhadap Tertib Hukum Dalam Konflik Bersenjata,87-857,International Review of The Red Cross vol 18, (2005). 6.Xavier, Philippe,Prinsip-Prinsip Yurisdiksi Universal dan SalingMelengkapi, 88:862, International Review of The Red Crossvol 21.(2006). 7.Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999. 8.Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : Raja Grafindo, 9.J.G. Starke, Pengantar hukum internasional, Jakarta : Sinar Grafika.
10

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung : Binacipta. 11Wiratraman ,R.Herlambang Perdana Wiratraman,Konsep dan Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusian,Jurnal Ilmu hukum, Vol 23 tahun 2008. 12. Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta:Erlangga, 2009. 13.Elsam, Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, Genosida, Kejahatan Perang, dan KejahatanTerhadap Kemanusiaan Vol 16, Jakarta, (2004). 14. Mitchell, Andrew, Failure to Halt, Prevent or Punish, The Doctrine of Command Responbility for War Crimes vol 22, Sydney Law Review, (tanpa tahun) 15. Moseneke, Dikgang, Deputi Chief Justice of South Africa,The Role of Comparative and Public International Law Vol 23, (2010).

STUDY KASUS HUMANITER Sometime in april

DISUSUN OLEH NAMA NPM KELAS : GITO ROLIS : 1112011158 : A2

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

Вам также может понравиться