Вы находитесь на странице: 1из 2

Setengah Gelas Isi Dalam Reformasi Perpajakan

Oleh Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Reformasi perpajakan telah gagal! Deretan kata-kata ini menjadi highlight di beberapa media massa belakangan, terkait dengan penangkapan beberapa oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang. Tudingan-tudingan mengenai buruknya sistem perpajakan, komitmen dan integritas pegawai DJP yang masih dipertanyakan, serta remunerasi yang tidak mengubah tabiat para pegawai DJP, dimana semua hal tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa reformasi perpajakan yang tengah dijalankan telah gagal. Untuk mengambil kesimpulan bahwa reformasi perpajakan gagal atau berhasil, tentu saja kita harus menjawab pernyataan mengenai sejauh mana efektifitas sistem perpajakan, kualitas komitmen dan integritas pegawai Ditjen Pajak dan pemberian remunerasi bila dikaitkan dengan reformasi perpajakan. Penulis akan mengemukakan tiga indikator, yang merupakan jawaban bahwa DJP telah berupaya untuk melakukan reformasi perpajakan secara sepenuh hati.

Indikator-Indikator Efektifitas Reformasi Perpajakan 1. Nilai Penerimaan pajak yang meningkat Angka penerimaan pajak menjadi salah satu indikator utama dalam menentukan keberhasilan reformasi perpajakan. Pada tahun 2002, ketika reformasi birokrasi perpajakan pertama kali dicanangkan melalui pembentukan Kantor Pajak Modern pertama atau Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar (Large Taxpayer Office /LTO), jumlah penerimaan pajak yang berhasil dihimpun adalah sebesar Rp210, 087 triliun. Pada tahun 2011, jumlah tersebut sudah naik empat kali lipatnya yaitu sebesar Rp872,6 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi perpajakan telah memberikan dampak yang luar biasa bagi penerimaan negara di sektor perpajakan. Jika reformasi birokrasi tidak berjalan, dan pegawai DJP pada umumnya adalah koruptor, maka dapat diperkirakan penerimaan pajak yang dihimpun oleh Ditjen Pajak tidak akan sebesar itu. 2. Terpenuhinya standar integritas oleh KPK Berdasarkan hasil survei integritas sektor publik tahun 2011 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DJP memperoleh nilai tinggi dalam pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dari semua variabel yang disurvei, DJP memperoleh nilai total integritas sebesar 7,65, yang mana nilai ini jauh lebih tinggi dari standar minimal integritas yang ditetapkan KPK yaitu sebesar 6,0. Nilai ini juga lebih tinggi dari nilai rata-rata total integritas 15 unit layanan yang disurvei yaitu 6,4 (skala nol sampai 10). Survey KPK kepada DJP berkaitan dengan penilaian inisiatif anti korupsi pada tahun 2010 yang menunjukkan hasil 9,73 dengan skala 10 untuk kode etik dan 9,82 untuk promosi anti korupsi. Dengan hasil survei oleh KPK tersebut, dapat menjadi bukti bahwa upaya reformasi birokrasi perpajakan DJP sejauh ini telah melebihi standar yang ditetapkan.

3. Peningkatan mutu pelayanan kepada publik yang diakui oleh masyarakat. Berdasarkan survei IPB di tahun 2010 mengenai indeks kepuasan layanan wajib pajak, menunjukkan DJP memperoleh skor 3,79 dari skala 4. Hal ini membuktikan bahwa Reformasi Perpajakan telah mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, bila dikaitkan dengan pelayanan kepada publik. Fakta lain mengenai peningkatan mutu pelayanan kepada publik yang diakui oleh masyarakat adalah keberhasilan Kring Pajak sebagai contact center yang meraih penghargaan terbanyak oleh Indonesia Contact Center Association (ICCA) pada 1 Juni 2011. Penghargaan tersebut adalah Platinum (penghargaan tertinggi) sebagai The Best Quality Assurance, 3 Gold untuk Best Back Office Operation, Best Inbound Agent, Best Telemarketer, 2 Silver untuk Best Agent dan Best Quality Assurance serta satu Bronze untuk Best Supervisor. Dalam acara penghargaan ini, Kring Pajak berada di peringkat kedua setelah Halo BCA yang meraih 12 penghargaan. Kring Pajak adalah layanan contact center yang bertujuan untuk memudahkan masyarakat untuk bertanya segala hal tentang pajak, atau bahkan melaporkan pengaduan seputar penyimpangan pelaksanaan pelayanan perpajakan yang diterima masyarakat. Survei dan penghargaan tersebut membuktikan telah ada peningkatan mutu pelayanan kepada publik yang diakui oleh masyarakat. Hal ini tentu saja, berkaitan erat dengan reformasi perpajakan. Menurut penulis, untuk memandang hal tersebut di atas suatu hal permasalahan dapat dilakukan dengan kacamata positif maupun negatif. Ibarat sebuah gelas yang berisi air, kita dapat melihat gelas tersebut setengah kosong atau setengah isi. Jika melihat isi gelas sebagai setengah kosong diartikan kita melihat tanpa harapan ke dalam gelas tersebut. Sementara itu, jika kita melihatnya sebagai gelas setengah isi, berarti kita memandang isi gelas tersebut denga harapan. Haruskah memandang sebagai setengah gelas kosong? Sebelum menyimpulkan gagal atau tidaknya reformasi birokrasi perpajakan, kedua perspektif di atas dapat menjadi salah satu indikator dari sudut pandang masing-masing individu. Bila kita membandingkan upaya perbaikan dalam tubuh Ditjen Pajak sebagai gelas yang setengah kosong, maka tentu saja kita akan terus melihatnya dari sisi negatif dari upaya Ditjen Pajak tersebut. Sedangkan bila kita memandangnya dari setengah gelas yang isi, maka kita akan mendapatkan wawasan yang lebih luas, bahwa ada upaya dari Ditjen Pajak untuk terus memperbaiki diri. Dan hal tersebut bukan hanya basa basi belaka.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.

Вам также может понравиться